Thursday, September 9, 2010

Upacara Kemerdekaan, Upaya Mengkritisi Bangsa

Denny Mizhar*
http://www.sastra-indonesia.com/

Jika menapak tilasi bangsa Indonesia, tak jua menemui perubahan. Kebobrokan para pengambil kebijakan sudah bukan hal asing disaksikan. Pada realitasnya bangsa ini belum menemukan titik perubahan segar sesudah reformasi 1998. Tapi malah memasuki babak kegelapan. Orde Baru memang telah tumbang, namun gaya prilakunya masih menghantui, bahkan semakin akut. Tampak pada realitas keseharian dapat dipandang melalui layar televisi pun di sekitar kita. Kesewenang-wenangan penguasa politik pula penguasa modal. Demokrasi yang diharapkan malah diam di tempat tak bergerak sama sekali.

Pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65, semua merayakan. Dari pesta kecil-kecilan sekedar makan ucapan syukur, pula perhelatan yang besar-besaran sehingga membetot banyak biaya. Mungkin saja lupa sesaat kasus-kasus yang tak kunjung usai. Salah satunya korupsi sengaja diambangkan agar masyarakat lalai.

Seharusnya malu pada para pahlawan, yang telah perjuangkan kedaulatan bangsa ini hingga titik darah penghabisan. Penjajahan kini bukan lagi dilakukan bangsa asing dengan agresi pendudukan wilayah tetapi dengan modal, budaya, dll. Semakin runyam kita dapati penjajahan dilakukan warganya sendiri yang terwakili pemegang kuasa. Saban hari, kita dapati kebrobrokan para penguasa bangsa ini.

Pada peringatan 17 Agustus 2010 kemarin, sebagian seniman di Malang menggelar ritual guna ikut andil merayakan kemerdekaan memilih cara lain. Upacara bendera di bawah jembatan Kali Brantas, Jl. Majapahit yang dimulai pukul 11 dan dilanjutkan dengan acara inti. Yakni membuat agenda yang direncanakan tahunan: Performance Art Malang Festival 2010, kali ini tema yang diangkat ialah penyikapan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
***

Upacara di bawah jembatan dan di areal Kali Brantas memberi makna sendiri, bagi penyikapan kondisi bangsa ini, yang tak juga berubah lebih baik. Locus di bawah jembatan menggambarkan kemerdekaan yang dirasai belum naik ke atas. Meminjam logika biner strukturalisme Sausurian: atas x bawah. Atas menghadirkan nilai perubahan, sedang bawah tidak. Sungai mengalir mencipta pengertian agar segala permasalahan terhayut mengikuti arusnya terbawa tidak kembali sebagai harapan berbangsa terindah.

Di sini para seniman heppening art memberikan gambaran harapan lewat actingnya. Performance art pertama yaitu keterbungkaman bangsa dalam kasus korupsi yang tak kunjung usai. Adegan tersebut dilakukan aktor dengan menutup seluruh tubuhnya dengan plastis, menerbangkan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas sedari atas jembatan. Lalu membawa tikus-tikus. Tikus-tikus digigit sehabis membuka balutan plastik yang menempeli badan aktor. Tetikus mati darah tercecer di plastik yang tadinya digunakan membalut tubuhnya, dan dikerek ke atas sambil aktor yang memainkan berteriak “merdeka”. Makna yang dapat tertangkap darinya adalah realitas korupsi yang tak kunjung selesai. Simbol membunuh tikus dapat diartikan, para koruptor harus segera dibasmi, ditarik ke atas hingga terjadi perubahan, guna wabah korupsi tidak membudaya sebagaimana yang melandai bangsa ini.

Berlanjut performance art yang kedua diperankan Eny Asrinawati, beradegan mencuci bendera lalu manabur bunga sambil berdoa untuk para pahlawan. Hal itu menggambarkan bangsa ini perlu dicuci, lantas berdo’a demi pahlawan bangsa agar perjuangannya dapat diteruskan. Performent art ke tiga diperankan Oktaviani Puspitasari, adegan yang diawali membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan harapan apa saja yang harus dihilangkan atas bangsa ini, misalkan korupsi, kebodohan, penindasan, dll. Kertas-kertas yang tertulis dibawanya ke tempat sepi, lalu aktor tersebut mengali. Masalah-masalah yang sudah tertuliskan dimasukkan ke liang yang sudah digalinya, serupa kegiatan mengubur ketika ada kawan meninggal dunia. Permasalahan yang membuat bangsa ini terpuruk harus segera dipendam. Sehabis itu diakhiri pelepasan burung yang menerbitkan pengertian; kebebasan telah didapatkan, karena seluruh musabab buruk sudah terkubur dalam.

Performance art selanjutnya, aktor mengajak pengunjung mengambili sampah yang berserakan di sekitarnya, lalu beramai-ramai membakarnya. Darinya diajak menyadari diri bahwa di sekeliling kita masih banyak soal membelit, segerahlah diselesaikan atau dibuang. Hal itu terwakili dengan adegan pembakaran tumpukan sampah. Performance art kelima, aksi dilakukan aktor memerankan: mencuci bendera dan mengibarkanya. Secara makna sama performance art di atas, akan keharusan dalam membersihkan prolem bangsa ini. Performance art terakhir dilakukan oleh Gembo, ini memberikan penegasan akan hakikat kemerdekaan yang sedang kita rayakan. Dengan adegan seorang aktor membawa kanvas lalu melukis bermedia lumpur. Yang terbaca bangsa ini masih berkubang di rimba masalah. Mungkin saja, kritik terhadap kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Sehabis aktor melukis di kanvas dengan lumpur, ia membagikan bendera pada penonton yang bertuliskan “Sudakah Anda Merdeka?” Sebuah sindiran pada bangsa ini pun diri kita, apakah sudah mendapati kemerdekaan?

Secara utuh semua adegan performance art yang dilakukan para aktor dalam acara Performent Art Malang Festival itu, mengungkap kegelisahan bangsa Indonesia yang tidak kunjung berubah dalam lawatannya yang ke 65. Selain memberi kesadaran, akan pertanyaan di batas penyadaran, betapa pentingnya perubahan harus dilakukan. Sebuah kritik lewat performent art di hari peringatan bangsa, dapat memberi kesan tersendiri makna kemerdekaan. Walaupun secara teknis dan penguasaan ruang masih radak kedodoran. Artinya pembacaan ruang yang kurang maksimal dengan kendala di lapangan. Serta tidak adanya buklet penjembatan atas pembacaan, sehingga penonton awam bertanya-tanya apa, yang dilakukan para aktor tersebut.

Agenda yang digagas MeizHtRuatiOn PeRfORmaNcE semoga berlangsung tahunan. Sehingga Malang memiliki agenda tetap yang dapat dirujuk seniman-seniman performance art sedari daerah lain. Dan akhirnya dinamika performance art di kota Malang kian semarak.

Malang, 18 Agustus 2010

*) Pegiat Seni Teater dan Sastra tinggal di Malang.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►