Showing posts with label Denny Mizhar. Show all posts
Showing posts with label Denny Mizhar. Show all posts

Wednesday, February 1, 2012

Pertunjukan Teater Negri Sungsang dan Silaturrahmi Budaya

Denny Mizhar *
http://sastra-indonesia.com/

Sore tampak cerah, orang-orang sedang menata barang dagangannya, berharap mengais rejeki di sebuah pagelaran teater. Desa Wisata Jono Kecatan Temayang Kabupaten Bojonegoro akan ada pergelaran Teater dari Komunitas Suket Indonesia dari Jombang. Kali ini mereka akan menampilkan Negri Sungsang. Desa Wisata Jono adalah tempat perdana yakni pertunjukan teater Komunitas Suket Indonesia dengan kalaborasi dengan Komunitas Jaran Kepang Wahyu Budaya Mojowarno pada Minggu, 22 Januarai 2012.

Senja pun beranjak. Penata musik, pemain jaranan, dan pemain teater bersiap-siap melaksanakan tugasnya. Di awali dengan sambutan dari Mbah Catur kepala desa Mojowarno yang menjadi ketua rombongan Komunitas Suket Indonesia. Penonton mulai berdatangan ingin menyaksikan pertunjukan teater kali ini. Meski hujan rintik jatuh, para penonton tak ambil peduli untuk tetap berada di tempat pertunjukan yakni di halaman samping Sanggar Anugrah Desa Jono yang didirikan oleh Pak Dasuki kepala Desa Jono.

Musik dari intrumen perkusi rancak berbunyi, empat penari jaranan masuk ke dalam panggung berjoget mengikuti irama bunyi dari para pemusik. Penonton semakin berdesakan, bahkan ada yang harus berjinjit untuk menyaksikan atraksi para penari jaranan. Bunyi yang konstan semakin intens berbunyi seorang pawang masuk ke dalam panggung, penari pun mulai trans sehingga gerakan para penari menjadi suatu pertunjukan komedi dengan ulah dan tingkahnya. Penonton menjadi terhibur.

Negri Sungsang

Ketika para penari jaranan akan meninggalkan panggung, dua orang membawa bendera berwarna merah-putih yang terpisah di kanan dan kiri tangannya. Mulailah adegan pertunjukan Negri Sungsang. Gerak teatral, seorang yang melawan kekuasaan negrinya. Rasa sakit, ia bahasakan dengan gerak tubuh dan dialog-dialog perlawanan dengan latar dua perempuan membawa bendera. Di Panggung belakang sebelah kiri berada sebuah podium dimana penguasa berada dan di sampingnya pengawal dengan properti pecut (cambuk).

Logika kekuasaan pun nampak: siapa pun yang melawan dan mengganggu rasa aman kuasanya harus disingkirkan. Pengawal yang membawa pecut pun beraksi menyingkirkan orang yang melawan tuannya.

Di sela-sela dialog-dialog liris, muncul dua tokoh yang memerankan orang kampung. Dua orang tokoh dengan dialog-dialog satir menyitir dengan cara banyolan, membuat dramatik dari pertunjukan teater Negri Sungsang menurun. Ruang terbagi menjadi dua, aktor-aktor yang berdialog dengan liris dan aktor yang berdialog natural komedian.
Ruang yang berbedah dari penciptaan pemanggungan akhirnya menjadi satu pada akhir pertunjukan. Ketika kekuasan tumbang dan seorang yang melawan kekuasaan menjadi pahlawan. Dari beberapa dialog yang muncul dari pengawal adalah keterbelahan pilihan, antara membela suara hatinya dan tuan kuasanya.

Sungsang memiliki arti terbalik, biasa digandenkan dengan kelahiran, lahir sungsang artinya lahir terbalik. Begitu pun dengan negri sungsang yakni negeri terbalik. Hal ini menjadi kritik terhadap kondisi kekinian yang dialami bangsa ini, begitulah pentas negri sungsang dapat diambil makna. Kondisi bangsa Indonesia yang harusnya kaya raya dan masyarakatnya tentunya sejahtera, karena salah urus dan para penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri maka rakyatpun menjadi terabaikan.

Negri Sungsang adalah naskah yang ditulis oleh Lek Glagah Putih dengan para pemain Jati Utami, Wulan, Juki Alamsyah, Muflikhun, Mahendra, Hadi dan Sabrang Soeparno menjadi pertunjukan alternatif di desa wisata Jono. Pertunjukan yang pertama Negri Sungsang dilakukan oleh komunitas suket di Desa Jono memiliki beberapa catatan teknis. Pertama adalah tak sampainya vokal pada penonton, kedua panggung yang tidak bisa dijangkau semua penonton. Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi sebuah pertunjukan yang dilakukan di ruang terbuka tetapi teknis pemanggungan serupa dalam gedung pertunjukan, tanpa bantuan soud system. Sehingga pesan dari pertunjukan tidak sampai pada penonton. Ketakberanjakan penonton pada pertunjukan tersebut karena seni tradisi jaranan dan aktraktifnya aktor tanpa terdengar dialog. Selain itu, keterjarakan antar pertunjukan dan penonton yang seharusnya dapat diwakili oleh komedian tidak bisa sampai. Hal itulah yang menjadi catatan bagi saya yang menonton Negri Sungsang. Selain itu, buklet sebagai jalan memahami jalan cerita pertunjukan dan mengenal aktor-aktornya pun tidak ada.

Silaturrahmi Budaya

Tak kalah pentingnya dari peristiwa pertunjukan Negri Sungsang adalah silaturrahmi Budaya antara Desa Mojowarno dan Desa Jono dengan kesenian meski berbeda Kabupaten. Desa Mojowaro dengan Kepala Desa Catur, biasa dipanggil akrab dengan Mbah Catur adalah seniman teater sedang kepala desa Pak Dasuki seniman tradisional pendiri sanggar Anugrah. Mereka berdua adalah sama-sama kepala desa yang sedang mengembangkan desa dengan kesenian. Sebelum keberangkatan rombongan Komonuitas Suket Indonesia, desa Mojowarno mengelar pertunjukan teater dengan mendatangkan kelompok Teater Ruang. Begitu halnya dengan Desa Jono, sehabis ketempatan Konggres Satra Jawa.

Pertemuan dua kepala desa dengan model silaturrahmi yang bermedia kesenian dan budaya jarang sekali ditemui. Malahan kerap kali kita mendengar perkelahian antar desa. Maka silaturrahmi ini dapat menjadi sebuah percontoan bagi desa-desa lain yang mengoptimalkan serta mengembangkan kesenian dan budaya untuk saling bertukar wacana. Hal tersebut juga akan memperkaya khasana seni budaya bagi masyarakat. Tak hanya itu, tetapi akan mengurangi disintegrasi bangsa, juga menjadi tontonan alternatif di tengah semburan televisi yang tidak memiliki nilai estetika tinggi.

Komunitas Suket Indonesia dan Komunitas Seni Jaran Kepang Desa Mojowarno tak hanya tampil di desa Jono tetapi berkeliling menyapa desa di Tuban dan Blora. Selamat.

Malang, 24 Januari 2012

*) Pegiat Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang.

Saturday, November 19, 2011

Imaji Yang Terbingkai Nihilisme

Denny Mizhar*
http://sastra-indonesia.com/

Nada-nada membentuk satu komposisi musik mengalun dan mengalir mendorong tubuh untuk bergerak dengan beragam tingkah. Musik yang mewakili ruang imajiner sedang dicarinya oleh sekelompok orang dengan membawa bingkai berwarna hijau. Suara itu belum diketahui dari mana asalnya. Hal itulah yang membuat sekelompok orang-orang mencari. Dengan tingkah komedian yang terbentuk lewat gerak karikatural: mengalir, patah.

Pencarian akan bayangan, suara yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan mengenakan busana warna-warni, dengan gaya bermain-main (dolanan), dengan kata-kata dan gerak tubuh hingga paduan antaranya menyatu membuat tawa sesekali mengucur dari penonton yang memenuhi gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang pada Rabu 06 April Kamis 07 April 2011 Pukul 19.00 WIB. Itulah adegan pembuka pertunjukan Teater Kelompok Bermain Kangkung Berseri (KBKB) Malang yang mengarap pertunjukan teater dengan mengadaptasi dari cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Aji Darma (SGA), Cerpen yang ditulis pada tahun 90’an.

Permainan grouping dan komposisi di panggung tapal kuda semakin menegang ketika ditemukannya asal suara, di sanalah bermula keteganggan antar aktor untuk mamusuki ruang di mana tempat asal suara tersebut berada, bingkai menjadi metafor tempat suara berada diekplorasi oleh aktor-aktor. Dalam keheningan dan ketenangan yang dikondisikan untuk menuju dan penjernian diri aktor masing-masing munculah penari perempuan. Penari yang menghampiri setiap aktor. Para aktor pun membayangkan dalam ruang imaji masing-masing, entah apa yang menjadi imaji para aktor. Hanya aktor sendiri yang tahu. Tetapi simbol penari menarik garis imajinasi para aktor tentang perempuan. Perempuan yang menjadi pijakan tafsir imaji sebebas-bebasnya. Kutipan di booklet:

“Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia. Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya”.

Simbol imajinasi perempuan yang divisualisasikan lewat penari. Munkin inilah yang tak dilepas oleh sutradara dari naskah aslinya sebagai teks awal (cerpen) menuju teks kedua (pertunjukan teater). Hingga akhirnya para tokoh tersebut menemukan suara tersebut yang berada dalam kamar mandi. Ramai-ramai menengok, nihil hasilnya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh sutradara pada sesi diskusi seusai pentas berakhir “Ruang imaji tak terbatas tetapi juga terbatas akhirnya dan akhirnya menemui kekosongan”.

Pertunjukan Dilarang Bernyanyi Di Kamar Mandi oleh KBKB menitik beratkan pada unsur gerak. Adapun dialog-dialog yang dilakukan para aktor kebanyakan mengarah pada komedian hanya pada kondisi pembangunan dramatik dialog-dialong menjadi tragedi dan sedikit liris bisa dibilang secara utuh garapannya adalah komedi tragedi. Seperti dialog setelah konflik kecil saat pencarian asal suara ditemukan dan salah satu aktor memberikan peringatan agar bersabar. Para aktor pun duduk, salah satu memimpin untuk mengkondisikan kesabaran dengan konsentrasi. Kalimat dialognya berbunyi “Titik membesar, titik berubah warna, ….. titik Puspa”, dialog yang awalnya serius menjadikan penonton tertawa.

Pertunjukan teater yang disutradari oleh Agus Fauzi Ramdhan telah mengalami metamoforsis dari teks cerpen aslinya. Berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Gusmel Riyadh dalam melakukan pengadaptasian cerpen karya SGA pada judul yang sama. Gusmel hanya memindahkan teks cerpen dan memberi tambahan gambaran visualisasi di panggung: susana, latar dan pencahayaan. Dan adaptasi Gusmel yang banyak dimainkan oleh kelompok-kelompok teater. Sedangkan Agus Fauzi Ramadhan dalam melakukan adaptasi dengan cara mengabil spirit dan tema teks cerpen tersebut. Tokoh-tokoh tidak dijelaskan siapa dia, sedang teks cerpen aslinya ada beberapa tokoh diantaranya Pak RT, Hansip, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak dan Zus. Aktor yang terdiri dari delapan laki-laki dan satu permapuan penari di antaranya: Sindu Dohir Herlianto, Muhammad Zainy, Sri Wahyudi, Andrean Fahreza Nur Wicaksono, Ervin Lukmanul Hakin, Aga Shakti Kristian, Muh. Fatoni Rohman, Avan Fauzi, dan satu penari yakni Anggar Syaf’iyah Gusti. Dalam kelompok KBKB pentas mereka adalah perdana, patut diapreseasi. Pertunjukan yang juga akan dimainkan dibeberapa kota Batu (Gd. Simonstok), Pasuruan, Surabaya, Banyuwangi, dan Bali.

Adapun catatan yang perlu diperhatikan adalah pemilihan panggung tapal kuda atau U, diperlukan pembagian ruang dan bloking yang tepat. Hal tersebut menjadi sedikit kekurangan pentas Dilarang Bernyanyi Di Kamar Mandi KBKB. Adapun hal-hal lain secarah utuh adalah pemilihan bentuk gerak yang beragam menjadikan keutuhan bentuk terganggu. Secara utuh pesan tersampaikan apa yang diharapkan sutradara lewat pertunjukan teater. Meskipun, dalam setiap penonton yang memiliki latar belakang berbeda akan tidak sama karena gangguan-gangguan kecil saluran komuniksasi yang terjadi, dari penyampai kepada penerima hal ini adalah wajar.

Malang, April 2011

*Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang

Sunday, September 11, 2011

Pergerakan Sastra di Malang

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Polemik pembacaan atas pergerakan sastra di Malang dan pengakuannya pada wilayah Jawa Timur terjadi sejak lama. Tan Tjin Siong (1989) pernah menulis dengan nada gugatan dengan judul “Peta Sastra Malang” : “Sebagai warga Jatim pecinta sastra, rasanya kurang sreg kalau selama ini hanya keberadaan atau kegiatan sastra di Surabaya yang mendapat porsi paling banyak untuk dibicarakan. Ada kesan penganak tirian terhadap daerah lain…. Nah, apa Malang tak punya peta sastra yang menarik untuk dibicarakan? Ada. Bahkan bahkan peran sastranya di Jawa Timur tak bisa diabaikan”.
Apa yang dituliskan oleh Tan Tjin Siong mendapat balasan oleh Sauripan Sadi Hutomo (1994) dalam bukunya “Kronik Sastra Indonesia di Malang” bahwa gugatan oleh Tan Tjin Siong tidak berdasar jika melihat dokumentasi-dokumentasi secara mendalam apa yang dilakukan oleh generasi pendahulunya di Malang. Sauripan Sadi Hutomo membagi dua pembacaan atas sastra Malang yaitu pembacaan sastra secara Emik dan Etik. Pembacaan bersifat Etik yakni pembacaan yang dilakukan oleh orang luar Malang sedang Pembacaan Emik pembacaan yang dilakukan oleh orang Malang sendiri.

Apa yang dilakukan oleh W. Harianto (WH) dengan tulisannya di Kompas Jatim pada 23 Desember 2010 adalah pembacaan secara Etik terhadap Perpuisian Mutahir Malang. WH menyebutkan ada nama tiga penyair Mutahir Malang. WH mengatakan “Terbukti pada beberapa tahun terakhir, booming penyair itu hanya euforia dan pseudo-reality. Namun, tidak banyak yang tercatat dari Malang ketika arah perpuisian kita sebatas kontemplasi redaksi di ruang tertutup”. Menjadi pertanyaan saya adalah ruang tertutup itu ruang yang hanya bisa dinikmati penyairnya saja atau tertutup hanya di Malang? Tetapi realitasnya tidaklah benar jika hanya berada dalam ruang tertutup itu. Jika menelisik gerakan penyair-penyair Malang. pada era 2000-an hingga sekarang. Misalnya terbitnya beberapa antologi puisi secara komunitas yang meluas atau persingungan penyair-penyair Malang antar komunitas dengan daerah lain. WH juga mengatakan bahwa “Malang hanya memiliki prosais Ratna Indraswari Ibrahim”. Peryataan itu akan gugur dengan sendirinya jika membaca antologi cerpen “Pledooi: Pelangi sastra Malang dalam cerpen” yang diterbitkan oleh MOZAIK BOOK bekerjasama Dewan Kesenian Jawa Timur.

Selain itu penyebutan nama-nama penyair mutakhir oleh WH masih belum merepresentasikan penyair Malang. Masih ada beberapa nama yang harus di sebutkan dalam dimanika kepenyairan Malang. Selain Ragil Suprinto Samid, Yusri Fajar dan Denny Mizhar masih ada beberapa nama jika hendak menyebutkan nama-nama penyair mutakhir Malang di antaranya Abdul Mukid, Lodzi Hadi, Lubis Grafura, Liza Wahyu, Masdar Zaenal, Masaly, Aziz Abdul Ghofar Andi Wirambara, Faradina I, Amrullah Budari, Ria AS, Tsabit Nur Paramita, Johan W, Royan Dwi J, Hasan Caleg, dll. Nama-nama itu yang pernah mengisi buku-buku antologi puisi yang diterbitkan secara indie, antologi puisi tunggal juga bersama ataupun mempublikasikan karyanya melaui media internet.

Gerak Sastra Malang

Jika WH melakukan pembacaan secara etik maka saya akan membaca secara emik. Gesekan-gesekan penyair malang dengan pergerakannya seusai periode 90-an. Pertama dapat diamati lewat komunitas-komunitas yang dibentuk oleh penyair Malang. Ada beberapa komunitas diantaranya Forum Penyair Muda Malang, Bengkel Imajinasi, Komunitas Sastra Reboan Pustaka Rakjat, Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis UM, Komunitas Jalaludin Rumi, Komunitas Pramoedya, Komunitas Sastra Parkiran, Lembah Ibarat, Mafia Sastra UMM, dll. Saya pikir kesepian Puisi Malang yang disitir oleh WH tidaklah terjadi. Interaksi karya dan diskusi karya terjadi dalam komunitas-komunitas tersebut. Beberapa komunitas-komunitas tersebut pernah disinggahi beberapa penyair atau sastrawan yang sudah punya nama di percaturan sastra koran ataupun mereka yang terlibat dalam dinamika sastra Indonesia. Dan mereka melakukan diskusi intens.

Bagi saya, tidak perlu risau, Malang tidak perna dibaca oleh otoritas sastra Jawa Timur. Toh HB Jasin penah menulis “sastra berbahas Indonesia tidak hanya terjadi di pusat saja (baca: jakarta) tetapi di daerah-daerah juga ada (Sauripan, 1994). Ungkapan seorang paus sastra tersebut dapat digubah menjadi sastra tidak hanya terjadi di surabaya tetapi juga ada di Malang ataupun daerah-daerah wilayah Jawa Timur. Maka tidak menjadi soal jika Malang tanpa harus dibicarakan oleh Surabaya tapi Malang bergerak kesustraannya dengan caranya sendiri.

Akan tetapi interaksi antar komunitas-komunitas sastra di Malang kira-kira setahunan ini mulai redup. Karena penyair atau sastrawan Malang kebanyakan adalah mahasiswa, setelah lulus kuliah, sedikit yang menetap di Malang. Sehingga naik turunya komunitas-komunitas sastra di Malang terjadi. Kampus tidak bisa dipisahkan dengan gerak perpuisian di Malang. Karena basis atau kantong-kantong komunitas sastra masih didonomasi oleh kampus. Dari pergerakan sastra di Malang masih menyisakan satu problem, yakni pembacaan atas karya-karya penyair Malang secara mendalam dan koprehensip. Hal tersebut bisa dimungkinkan karena kurangnya kritikus sastra di Malang (?).

*) Pegiat Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang.

Tuesday, March 29, 2011

Kabar di Hari Minggu

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Hari minggu kali ini, menjadi hari yang tidak biasa bagi keluarga Arman. Kalau hari minggu biasanya mereka sekeluarga nyantai di rumah sambil nonton tv bersama-sama. Sulastri sebagai istri bekerja sebagai guru SD swasta di desa tempatnya tinggal juga libur. Dengan hari minggu mereka bisa berkumpul. Arman sebagai suami juga menghentikan semua pekerjaanya di sawah yang dipunya, walau cuma sepetak. Minggu yang tidak biasa, karena mereka di kagetkan surat yang datang dari anaknya. Surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki berbadan tinggi dan tegar. Tak sempat mengenalkan namanya. Ia bercerita. Sebelum bercerita tentang anak mereka, laki-laki itu membuka tasnya dan memberikan surat dari anak mereka.

Laras anak pertamanya, sejak lima tahun lalu tak pernah pulang. Ia pergi meninggalkan keluarganya. Waktu itu Lastri belum menjadi guru di SD yang terletak di kampungnya. Kepergian Laras memang berat buat keluarga yang ditinggalkannya. Laras punya adik dua, satu masih umur 4 tahun waktu itu, sedang adik ke duanya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Kepergian laras adalah keterpaksaan yang harus dilakukannya karena ia beranggapan anak pertama punya tangung jawab pada keluarga. Keluarga pun harus merelakan demi hidup keluarganya. Pada masa-masa menjelang kepergian Laras, sawah yang dimiliki Arman terserang hama. Kenekatan Laras adalah jalan satu-satunya.

Lewat agen yang ada di kota dengan jarak tempuh kira-kira satu jam. Laras harus mengikuti pelatihan dahulu. Pelatihan ketrampilan bekerja: merawat anak, memasak, dan segala yang berkait dengan pekerjaannya. Laras dengan cepat bisa menguasai. Laras bisa pergi, karena agen yang mengurus segala administrasi buatnya segera membrangkatkan. Keinginan Laras bekerja dengan gaji yang banyak adalah harapannya. Laras pun pergi dengan pesawat dari agen tempatnya mendaftar menjadi pekerja. Sampai di tempat kerjanya, Laras dikenalkan dengan majikan yang telah memesan lewat agennya. Laras senang. Laras memang memiliki kebiasaan yang grapyak sama orang yang baru dia kenal. Begitu pula majikan yang baru dikenalnya. Majikannya punya seorang bayi sama persis seperti adiknya umur dari anak majikan barunya. Gaji Rp. 125.00 perhari, tapi gaji tersebut harus dipotong oleh agen yang memberikan pelatihan, menguruskan administrasinya hingga dia dapat bertemu dengan majikannya. Awal yang indah hingga tiga bulan berlangsung. Laras dapat mengirimkan uang gajinya pada ibunya ketika bulan pertama hingga ke tiga dilaluinya. Bulan-bulan selanjutnya, tak ada kabar lagi mengenai Laras. Sempat Arman menanyakan pada agen yang memberikan pelatihan dan mengurus administrasinya. Pengurus agen tersebut tak menjawab, bahkan tak tahu menahu. Saat itu satu tahun kepergian Laras. Agen tersebut mengatakan bahwa Laras sudah putus hubungan kemitraan sejak enam bulan yang lalu. Arman tak bisa berbuat sesuatu, harus meminta bantuan siapa dan di mana.

***

Anak muda yang tak sempat mengenalkan nama bercerita tentang Laras. Minggu menjadi duka bagi keluarga Arman dan Lastri. Berkali-kali mengucapkan penyesalan kenapa harus mengijinkan Laras pergi waktu itu. Di kampungnya baru pertama kali ada yang berangkat ke Malaysia, yakni Laras. Baru bulan ketiga laras di Malaysia banyak yang berangkat dari mulai anak-anak muda hingga orang-orang tua yang rela meninggalkan anak dan istrinya. Hal tersebut dilakukan karena melihat keberhasilan Laras mengirim uang pada keluarganya. Hampir sama yang dialami oleh tetangga Laras yang berangkat ke Malaysia. Datang-datang ada yang tak mebawa uang malahan membawa istri muda, begitupun anak-anak muda kampungnya Laras, ada yang berhasil dan kabar terus mengalir ke kampung. Ada juga yang bernasib sama seperti Laras, hanya sebulan, dua bulan memberi kabar lalu tak ada kabar.

Kesedian yang dirasakan oleh Arman berbuah senang walapun harus mengeluarkan air mata. Laras masih hidup.

“Lalu, laras sekarang di mana?”

“Ibu coba baca surat yang dari tadi Ibu pegang”

“Apa kabar Emak, Bapak, dan adek-adek. Laras harap sehat-sehat saja. Juga laras sekarang sehat. Ma’afkan Laras, tidak pernah memberi kabar. Laras sekarang sedang bekerja sebentar untuk cari uang buat pulang. Ma’af mak, nanti kalau Laras pulang tak membawa apa-apa. Hanya sesuatu yang berharga buat Laras. Semoga Mak juga senang. Bila ingin tahu kondisi Laras secara detail. Tanyalah pada yang membawa surat ini. Tahun depan mungkin Laras pulang. Sudah ya Emak, Bapak dan adik-adik. Laras mau bekerja dahulu. Bekerja seadanya untuk mencari uang saku. Semoga Tuhan masih mempertemukan kita.”

Singkat sekali surat yang ditulis Laras. Hingga keluarganya masih menyimpan tanya.

“Dik, ceritakan. Ada apa dengan Laras”

“Bu Lastri dan Pak Arman, harus tabah. Sejak empat bulan awal, Laras sudah tidak bisa berkirim surat dan mengirim uang lagi. Laras tidak digaji. Laras diawasi oleh majikannya. Jangn kaget ya, Bu. Laras diperkosa oleh anak majikannya. Lalu laras melambaikan tangan dari cendela. Jika ada isyarat begitu, maka itu adalah seseorang minta bantuan. Lalu kami mencari akal, bagaimana menyelamatkan Laras. Sebelum itu, Laras menjatuhkan kertas ke bawah lewat cenjela yang terbuka. Dari situ kami tahu, ada saudara sebangsa minta tolong. Kami masih berunding dengan teman-teman. Tapi ketika akan melaksanakan rencana kami. Laras sudah di bawa oleh polisi Malaysia. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mau melapor juga sudah jerah. Tak pernah mendapat perhatian dari petugas negara kita yang ada di sana”

Tangis Lastri semakin menjadi-jadi, Arman menenangkan bersama adik-adik Laras.

“Lalu, apa yang kalian lakukan”

“Kami tak berani mengunjungi Laras di penjarah. Kami juga takut sebab paspor kami mati. Kalau paspor mati, kami juga bisa masuk penjara”

“Apa, Adik, dan teman-teman adik tak mengurusnya”

“Kami sempat hendak mengurusnya. Ketika itu KBRI yang ada di Malaysia berjubel orang-orang sebangsa mengurus administrasi di sana. Tapi perlakuan petugas KBRI pada kami tidak membuat kami senang. Terutama saya. Bahkan saya hampir saja berkelahi karena harus menangkis pukulan tongkat yang hendak dijatuhkan di kepala saya. Hambir semua kena pukul. Karena saya merasa manusia yang harus diperlakukan layaknya manusia dan kecewa dengan perlakuan petugas KBRI yang ada di Malaysia. Saya pun balik tak mengurus paspor saya. Keberadaan saya pun ilegal. Saya merasa tidak aman diterotorial harusnya melindungi kami tapi malahan membuat kami menderita”

“Oh, ya dik. Saya lupa menanyakan nama njenengan”

“Nama saya Ahmad Pak. Tolong Pak, beritahukan pada tetangga bapak. Lebih baik bekerja di kampung sebagai petani dari pada harus pergi ke negeri orang yang tidak aman buat keselamatan. Tapi kalaupun harus bekerja di Malaysia lebih baik diperjelas agen yang akan membawanya. Kerja yang lumayan aman adalah bekerja di pabrik yang ada di sana. Keterjaminan tersebut karena ada undang-undang yang mengaturnya. Tapi lebih baik tidak Pak”

Pak Arman dan Bu Lastri senang tetapi juga resah. Apa yang dibawa anaknya. Kenapa harus terjadi begitu.

***

Minggu di tiga bulan sesudah Ahmad ke rumah mereka. Seorang anak kecil mengetuk pintu rumah mereka. Semua yang ada di dalam terheran. Siapa anak itu. Mereka bertanya-tanya. Dari belakang Laras dengan mententeng tas. Seketika air matanya keluar.Bedungan ketabahannya tak menahan. Mereka saling rangkul dan peluk.

“Itu yang Laras bilang di surat, Mak. Laras hanya bisa membawa itu. Mak dan Bapak pasti sudah dapat cerita dari Ahmad. Mak, ma’afkan Laras Mak. Laras tidak bisa berbuat sesuatu. Laras sedang berfikir. Bagaimana Fatoni kalau sudah besar nanti menanyakan bapaknya. Laras tidak tahu Mak”

Sulastri mengusap air matanya.

“Sudalah, nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Tenangkan dirimu. Ketika kondisi sudah membaik. Kita fikirkan nasib Fatoni. Emak dan Bapak telah menerima kamu dengan segala hal yang terjadi. Terpenting bagi Emak adalah kamu selamat”.

Fatoni berlarian di halaman rumah. Laras duduk menunguinya. Sambil menerawang matanya. Membayangkan nasib Fatoni di masa akan datang.

Lamongan-Malang, November-Desember 2010
(Terinspirasi dari cerita teman, mantan TKI di Malaysia)

Thursday, March 3, 2011

Armageddon: Relegiusitas Danarto Pada Pertunjukan Teater

Denny Mizhar *
http://sastra-indonesia.com/

Lampu menyala di panggung dengan setting batu-batu besar dan sebuah taman. Belakang terbentang kain separuh hitam dan separuh putih. Panggung pertunjukan pun dimulai, iringan musik yang digubah oleh Leo Zaini dan naskah drama yang diadaptasi oleh Okto Fajar dari salah satu cerpen karya Danarto “Armageddon” berpadu saling mengisi dan membatu menjadi satu kemasan pertunjukan teater. Di awali dengan adegan pencarian seorang Ibu mencari pada anak gadisnya yang sudah lima malam tidak pulang. Tokoh Ibu yang diperankan oleh Ade Diana Afrianti, sedangkan Gadis diperankan oleh Caulina Dike Virginis Sholiha.

Ibu tersebut khawatir terhadap anak gadisnya. Tiba-tiba muncul mahluk yang bernama Bekakraan yang diperankan oleh Erza Sahrul Mubarok. Ibu yang gelisah, kehilangan anak gadisnya didekati oleh Bekakra-an dengan membisikkan kalimat “aku adalah mahluk suci yang menemani setiap kesepian”. Ibu tersebut pun berbincang-bincang dengan Bekakraan yang selalu memainkan tubuhnya dengan dinamis, mengerakkan tangannya, kepalanya, meloncat dari batu ke batu, lahan berlahan membisikkan kebusukan sikap pada Ibu yang mencari anak gadisnya.

Tak disangka, anak gadisnya pun pulang dengan tubuh telanjang. Senyum sumringah, membelai-belai rambutnya, tubuhnya, wajah bahagia nampak pada gadis tersebut. Ibu gadis pun mengintograsi anaknya, ke mana perginya dengan waktu lima malam yang membuatnya resah. Anak gadisnya tak menjawab, ia ingin merahasiakan. Tetapi mahluk yang serbah hitam yang bernama Bekakraan sepertinya memiliki mata di mana-mana. Perbuatan anak gadis tersebut pun terbongkar. Hingga berujung dengan jawaban, bahwa kepergiannya selama lima malam ditemani Boneka.

Tentu saja Ibunya naik pitam. Sebab Boneka adalah kekasih Ibunya. Anak gadinya tidak tahu menahu, bahwa Boneka adalah kekasih Ibunya. Anak gadisnya pun meminta ma’af pada Ibunya atas ketidak tahuannya. Ibunya pun luluh dengan permintaan ma’af anaknya. Tetapi, Bekakara-an mahluk yang serba hitam melancarkan propaganda pada Ibu tersebut, dengan kesaktiannya Bekakaraan memutar waktu menampilkan kembali adegan percintaan yang dilakukan anak gadis tersebut dengan Boneka.

Tirai yang diwakili lampu membedakan ruang masa, di mana anak gadisnya terlihat sedang bercinta dengan Boneka. Tokoh Boneka yang diperankan oleh Nanang Syaiful Rohman dan Tokoh Gadis II yang diperankan oleh Januari Krintianti. Dengan alunan musik mereka menari dan membentuk simbol-simbol adegan percintaan yang bergairah. Gerak tari yang lembut dan sedikit erotis menjadi adegan bayangan Gadis dan Boneka bercinta yang dibuka waktu masanya oleh Bekakra-an.

Sepontan Ibu tersebut kembali naik pitam, anak gadisnya diikat. Sambil membawa kapak, lalu dipotong kedua tanggannya. Darah mengalir di batu tempat anaknya diikat. Anak gadinya terjatuh. Anak gadisnya pun menangis, memohon ma’af pada Ibunya. Bekakraan tetap saja memompa sikap kemarahan yang telah turun, menjadi naik kembali. Masih tetap saja dengan ulahnya yang banyak tinggkah. Akhirnya Ibu tersebut memotong leher anaknya, hingga terpisah antara kepala dan tubuhnya. Bekakraan pun tertawa dengan kemenanggannya. Akhirnya kapak tersebut juga menimpah tubuh Bekakraan, kahirnya bekakra-an pun ikut mati.

Gedung J9 Universitas Negeri Malang yang penuh dengan penonton persembahan dari Teater Pelangi Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Indonesia pun berakhir. Dialog-dialog liris dari tokoh Ibu dan Gadis, gerak karikatural dari tokoh bekaraan dan gerak tari teatral yang diperagakan oleh Boneka dan Gadis usai. Penonton yang menyaksikan adegan demi adegan bertepuk tangan.

Secara utuh pertunjukan “Armageddon” yang diadaptasi oleh Okto Fajar Syafari dapat ditangkap pesannya. Jika kita melihat karya cerpen tersebut yang ditulis oleh Danarto memiliki pesan relegius. Pesan yang disampaikan oleh Tuhan lewat ayat sucinya “Bahwa kerusakan alam ini karena ulah manusia sendiri”. Kita dapat mengamati akhir-akhir ini, moralitas kemanusiaan mulai luntur, keseimbangan alam juga goyang. Seorang anak yang berani melawan orang tuanya, orang-orang tua yang membunuh anak-anaknya sendiri. Bahwa dunia ini akan berakhir dengan tanda-tanda yang kian waktu menyapa pada keseharian kita. Dunia yang tak seimbang lagi, dunia yang njomplang akibat ulah manusia yang tak patuh pada hukum-hukum alam (kausalitas Tuhan).

Bekakra-an sebagai simbol nafsu angkara; manusia yang suka bertingkah polah, akan nangkring dalam hidup kita. Jika diri kita tidak pernah merenung dan menggali dasar kebertuhanan kita. Mentaati suara-suara Tuhan yang telah tertanam dalam diri kita, ketika ditiupkan roh pada kita dan akhirnya kita hidup menjadi manusia. Jalan kebebasan telah kita punyai, kebebasan berkehendak. Kehendak pada kebaikan atau kehendak pada keburukan. Tuhan telah membebaskan kita, tapi kebebasan kita kadang salah jalan. Yakni kebebasan pada jalan keburukan yang kita tempuh dan jalan kebebasana ke arah Tuhan tertutup. Begitulah manusia makan akan tertimpah akibatnya, ketakseimbangan kemanusiaan dan alam.

Tetapi banyak cela yang menjadi catatan pada pertunjukan “Armageddon” tersebut. Keaktoran yang belum tergarap sepenuhnya sehingga pada tengah jalan pertunjukan ada titik jenuh akibat dialog liris yang tidak sampai. Kesan natural yang tidak nampak dari dialog-dialog tersebut yang menjadi sebab, tetapi tertolong dengan gerak karikatural tokoh Bekakra-an dan menjadikan pertunjukan dapat sedikit mengelitik. Selain itu, dramatik juga tidak terbangun dengan baik, panggung juga belum terkelola dengan maksimal, gerak-gerak tanpa ada motif terjadi.

Dengan berbagai catatan cela, pertunjukan Teater Pelangi Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia “Armageddon” yang dilaksanakan dua kali yakni pada tanggal 23 & 24 Pebruari 2011 bertempat di Gedung J9 Universitas Negeri Malang, sukses dengan penonton yang berhimpitan saat menyaksikan pertunjukan tersebut, di tengah-tengah tontonan-tontonan populer yang tidak memiliki nilai education.

*Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pegiat Pelangi Sastra Malang

Friday, February 4, 2011

Berawal dari Kesunyian

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Aku membaca gerak yang berawal dari kelahiran adam dan hawa, mereka berada dalam ruang kesunyian—dekat dengan Tuhan –surga. Karena lena maka kemurkaan didapatnya. Menanggung akibatnya maka turunlah pada ruang kesunyian yang ke dua –dunia– mengenal benda-benda dengan petunjukNya. Entah itu yang disebut zaman purba atau tidak saya menganggapnya begitu: zaman purba. Prilaku anak-anak adam dalam perihal cinta yang diperebutkan, akhirnya mati satu di antaranya. Adam-hawa terus membuat keturunan-keturunan hingga saya. Entah keturunan yang ke berapa saya tak pernah menghitungnya.

Teryata kesunyian dapat melahirkan kesunyian kedua dalam rumus fisika atau matematika biasa disebut dengan aksen (a–>;a’). Penahapan dan pertambahan. Saya berfikir demikian. Dalam sejarah agama islam. Muhammad juga menerima wahyu dalam kesunyian yakni dalam goa Hiro. Wahyu pertama diturunkankan dengan ayat yang memberi isyarat untuk membaca (belajar). Akhirnya Muhammad dinobatkan sebagai Nabi. Membawa risalah dari Tuhan untuk disampaikan pada umatnya. Hingga sampai kita hari ini. Banyak yang sudah membuat pembacaan pada gerak penyampaian risalah-risalah Muhammad. Saya hanya menitik beratkan pada kondisi ruang sunyi proses terjadinya dialog Muhammad dengan Jibril.

Zaman bergerak pemahaman atas kenabian dan keTuhanan beragam. Semua berusaha mendekat pada Tuhan sebagai nilai-nilai untuk diejahwantahkan. Filsafat (mistisisme) metafisika membawa ke arah kesunyian lebih dalam. Maka lahirlah tokoh-tokoh sufi menelanjangi (memahami) diri bagaimana agar dekat dengan yang haq. Maka ruang sunyi adalah tempat persetubuhan manusia dengan Tuhan.

Saya pun membaca dan menafsir atas segala kesunyian orang-orang terdahulu. Yang merelakan diri bersepi-sepi (bertapa, bersemedi) untuk membaca kesadaran diri dengan Tuhan dan zaman. Teryata nilai-nilai ketuhanan mengisyaratkan kebajikan dan pembebasan untuk menuju manusia yang sempurna. Yakni manusia yang pembebas: memiliki visi kenabian (profetik).

Maka ruang sunyi memerlukan ruang ramai (segala aktivitas kehidupan manusia). Kenapa? Hal tersebut untuk menebarkan hikmah dari kontlempalsi atau bersemedi agar apa yang diperoleh dapat juga dinikmati manusia-manusia lainnya selain dirinya. Jika itu adalah tulisan maka akan dapat dibaca dan direnungkan atau mungkin memberi inspirasi pada pembacanya.

Kesunyian adalah ruang privat bagi seseorang. Maka jika mengharap kesunyian bisa jadi harus menyendiri. Berjibaku dengan segala daya yang dipunyai. Atau mungkin ruang sunyi adalah ruang pengasingan bagi seseorang hingga dapat melahirkan renungan yang mengetarkan pembaca. Maka sebenarnya ruang sunyi dapat diciptakan sendiri atau bisa jadi karena keadaan dan kondisi yang menghedaki lahirnya ruang sunyi.

Kalaupun melihat mereka yang menempah diri dalam kesunyian tetapi hasil dari renungan mereka tak bisa dipungkiri didapat dari melihat realitas sekitarnya atau melihat sejarah yang berjalan. Keaktivan dalam perjalanan sejarah juga menjadi penting. Keaktivan sejarah dapat dilakukan dengan membaca buku-buku, menapaktilasi benda-benda sejarah, tempat-tempat bersejarah, berdialektika dengan pelaku sejarah dan ikut juga nimbrung dalam pergolakan sejarah yang sedang terjadi atau proses pembuatan sejarah. Sejarah diri sendiri ataupun sejarah dinamika sosial, pemikiran, politik bangsa. Itu lah ruang keramian hiruk pikuk para pejalan kaki menapaki kehidupan. Maka segalanya tidak ada yang lahir dari ruang hampa. Dalam gerak kesunyian menuju ke keramaian atau sebaliknya diperlukan kematangan diri dalam tempaan yang terus menerus hingga daya tak ada, jika berharap memiliki makna dalam hidup.

Malang, 2010

Sunday, October 31, 2010

Sajak Di Bawah Bayang-Bayang Rezim Tiran

Judul Buku : 50% Indonesia Merdeka; kumpulan puisi Heri Latief
Penulis : Heri Latief
Penerbit : Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan
Terbitan I : Agustus 2008
Tebal Buku : xxii + 86
Peresensi : Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Latar belakang penindasan rezim tiran yang tak kunjung padam di bangsa Indonesia. Kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat, kapitalime tak surut-surut mengeksploitasi sumber daya-sumber daya bumi pertiwi akhirnya membuat rakyat tak berdaya, serta masih banyak lagi problematika yang sedang diderita bangsa Indonesia. Dari persoalan-persoalan tersebut kesadaran Heri Latief terpicu untuk menuangkan suara berontaknya dalam sajak-sajak yang terhimpun dalam buku 50% Merdeka, diterbitkan oleh Ultimus Bandung, Agustus 2008. Suara-suara perih yang dirasakan anak bangsa yang sebagian terwakilkan oleh Heri Latief, nampak jelas sekali dalam sajak-sajak yang ditulisnya.

Hal tersebut mengingatkan saya pada penyair Wiji Thukul yang sampai saat ini masih tidak diketahui keberadaanya. Akibat pergolakan dan perlawan rezim orde baru hingga tumbang yang melahirkan orde reformasi. Wiji Thukul hilang bersama 12 aktivis pro demokrasi lainnya saat itu. Sajak yang masih mengema sampai sekarang yang ditulis oleh wiji Thukul “hanya ada satu kata: Lawan!”. Perlawanan terhadap penindasan tidak akan pernah padam dari orang-orang yang memiliki kesadaran politik kritis. Bahwa ada penindasan yang dilakukan oleh penguasa dengan sewenang-wenang, entah itu penuasa politik, penguasa modal, penguasa wacana, penguasa agama.

Dalam pengantar buku 50 % Merdeka tersebut Eep Saefulloh Fatah mengatakan, bahwa banyak kegagalan orang dalam mengenal Heri Latief karena hanya sekedar menimbang gaya penulisan sajaknya tetapi alpa dalam membaca pesan-pesan tegas yang disampaikannya. Selain itu Eep juga mengutarakan perihal kepenyairan Heri Latief adalah penyair yang memihak hal tersebut didapatkan dari pembacaan atas sikap Heri Latief yang menegaskan pemihakan. Senada dengan Asahan Aidit seorang filolog dalam pengantar setelah Eep mengatakan, puisi-puisi Heri Latief adalah puisi hujatan, dakwaan, gugatan terhadap musuh-musuh rakyat. Yakni yang mebuat rakyat terhimpit, terbodohi, tertindas, akhirnya rakyat tak berdaya. Itulah yang dibela dalam sajak Heri Latief. Mari kita lihat, sebuah ajakan untuk menaikan kesadaran perlawan dalam sajak Heri Latief yang berjudul 50% Merdeka: ….. sedang di bawah banyak urusan penting/korban bencana alam mengigil kedinginan/rakyat perlu kepastian hukum dan keadilan/bukan pameran dukungan terhadap bekas tiran//ayo! mari kita bersama/menganyang keraguan/kita belum merdeka 100% bung!//sirajatega masih berkuasa/maka derita itu dobel bencana (hal.18)

Sangat nampak sekali dengan tegas tanpa mengunakan metafor bahwa sajak di atas mengajak untuk bersikap, karena kemerdekaan belum sepenuhnya didapat atau istilahnya, masih ada penjajahan walaupun di suasana kemerdekaan. Penjajahan itu bukan seperti jaman kolonialisme dahulu, penjahan dilakukan oleh anak bangsa sendiri pada rakyatnya. Penjajah tersebut diwakili oleh penguasa, dapat ditelisik pada ketidak pedulian penguasa pada penderitaan rakyat dengan politiknya tanpa nilai. Padahal sejatinya politik itu adalah mulia untuk mencapai kekuasaan dan kekuasaan untuk mensejahterahkan rakyat kata sosiolog klasik Ibnu Khaldun.

Hari Latif dalam sajak-sajaknya mengajak kita untuk sadar sejarah, bahwa ada kekelaman sejarah di bangsa Indonesia yakni peristiwa G3OS, dapat kita lihat dalam sajak yang berjudul 42 Tahun G30S: …. sejarah kita adalah penindasan/sekalipun dalam ruang mimpi/bermuara pada satu nama/:G30S//adalah kode buat jutaan korban/yang ditindas sampai hari ini/harga nyawa orang indonesia/murah meriah seperti obral besar! (hal.27). Kealpaan pada peristiwa yang menelan jutaan anak bangsa seakan tengelam begitu saja. Seperti kasus-kasus pelanggaran ham yang sampai kini hanya menjadi slogan penguasa dan tak pernah tuntas terjawab. Kasus tanjung priok, penghilangan orang, semanggi, pembunuhan munir, lumpur lapindo, dan lainnya masih memutar-mutar dalam benak luka bangsa Indonesia.

Selain itu, neoliberalisme juga memenjarahkan bangsa ini. Dengan agen-agennya hingga kita seakan mengiyakan satu sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Agen neoliberalismen salah satunya adalah IMF dan Bank Dunia, dalam hal ini juga menjadi persoalan yang di tulis oleh Heri Latif dalam sajaknya yang berjudul Pameran Penindasan: teruslah menetek pada IMF-bank dunia/jangan berzikir atas nama kemiskinan/ jadilah pengemis bermentalitas budak/jagoan ilmu korupsi kampiun dunia tipsani//tak pernah berani mencoba ilmu berdikari/riwayatmu tak seindah zamrud katulistiwa/hancur-lebur dirajah gerombolan maling berdasi (hal.49). Dalam sajak ini mengisyaratkan apa yang pernah dikatakan di ungkap oleh Revrisond Baswir, tentang Mafia Berkeley yakni pejabat atau pemikir yang memihak pada ekonomi neoliberal bukan pada ekonomi kerakyatan. Hingga rakyat menjadi kehilangan keberdayaannya, padahal memberdayakan rakyat untuk mengambil hak-haknya dan berekonomi adalah harus dilakukan oleh pemerintah bukan sebaliknya membela orang asing dan menghisap rakyat kecil.

Itulah suara-suara kritis sajak Heri Latif, tetapi menurut saya ada perbedaan dengan sajak-sajak Wiji Thukul yang kritis. Perbedaannya terletak pada keterlibatan secara langsung dengan rakyat. Saya hanya mengamati pada riwayat biografi Heri Latif dan biografi Whiji Thukul. Jika Wiji Thukul terlibat pada pergolakan 1998, tetapi itu tak nampak pada keterlibatan Hari Latief. Nampaknya Heri Latief ketika menulis sajak, diungkap dari daya bayang dan empati pada rakyat tertindas, sedangkan Wiji Thukul terlibat dan merasakan penindasan itu sendiri hingga dia melawannya dan hilang. Hal tersebut saya telisik dari sajak yang dibuatnya kebanyakn di Belanda tempatnya berada kini. Tetapi bukan soal antara terlibat atau tidak yang menjadi soal adalah pesan atas kesadaran kritis melihat persoalan bangsa ini menjadi lebih penting. Melawan segala penindasan hingga manusia-manusia Indonesia menjadi bebas dan menikmati kemerdekaan 100%.

Thursday, September 9, 2010

Upacara Kemerdekaan, Upaya Mengkritisi Bangsa

Denny Mizhar*
http://www.sastra-indonesia.com/

Jika menapak tilasi bangsa Indonesia, tak jua menemui perubahan. Kebobrokan para pengambil kebijakan sudah bukan hal asing disaksikan. Pada realitasnya bangsa ini belum menemukan titik perubahan segar sesudah reformasi 1998. Tapi malah memasuki babak kegelapan. Orde Baru memang telah tumbang, namun gaya prilakunya masih menghantui, bahkan semakin akut. Tampak pada realitas keseharian dapat dipandang melalui layar televisi pun di sekitar kita. Kesewenang-wenangan penguasa politik pula penguasa modal. Demokrasi yang diharapkan malah diam di tempat tak bergerak sama sekali.

Pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65, semua merayakan. Dari pesta kecil-kecilan sekedar makan ucapan syukur, pula perhelatan yang besar-besaran sehingga membetot banyak biaya. Mungkin saja lupa sesaat kasus-kasus yang tak kunjung usai. Salah satunya korupsi sengaja diambangkan agar masyarakat lalai.

Seharusnya malu pada para pahlawan, yang telah perjuangkan kedaulatan bangsa ini hingga titik darah penghabisan. Penjajahan kini bukan lagi dilakukan bangsa asing dengan agresi pendudukan wilayah tetapi dengan modal, budaya, dll. Semakin runyam kita dapati penjajahan dilakukan warganya sendiri yang terwakili pemegang kuasa. Saban hari, kita dapati kebrobrokan para penguasa bangsa ini.

Pada peringatan 17 Agustus 2010 kemarin, sebagian seniman di Malang menggelar ritual guna ikut andil merayakan kemerdekaan memilih cara lain. Upacara bendera di bawah jembatan Kali Brantas, Jl. Majapahit yang dimulai pukul 11 dan dilanjutkan dengan acara inti. Yakni membuat agenda yang direncanakan tahunan: Performance Art Malang Festival 2010, kali ini tema yang diangkat ialah penyikapan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
***

Upacara di bawah jembatan dan di areal Kali Brantas memberi makna sendiri, bagi penyikapan kondisi bangsa ini, yang tak juga berubah lebih baik. Locus di bawah jembatan menggambarkan kemerdekaan yang dirasai belum naik ke atas. Meminjam logika biner strukturalisme Sausurian: atas x bawah. Atas menghadirkan nilai perubahan, sedang bawah tidak. Sungai mengalir mencipta pengertian agar segala permasalahan terhayut mengikuti arusnya terbawa tidak kembali sebagai harapan berbangsa terindah.

Di sini para seniman heppening art memberikan gambaran harapan lewat actingnya. Performance art pertama yaitu keterbungkaman bangsa dalam kasus korupsi yang tak kunjung usai. Adegan tersebut dilakukan aktor dengan menutup seluruh tubuhnya dengan plastis, menerbangkan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas sedari atas jembatan. Lalu membawa tikus-tikus. Tikus-tikus digigit sehabis membuka balutan plastik yang menempeli badan aktor. Tetikus mati darah tercecer di plastik yang tadinya digunakan membalut tubuhnya, dan dikerek ke atas sambil aktor yang memainkan berteriak “merdeka”. Makna yang dapat tertangkap darinya adalah realitas korupsi yang tak kunjung selesai. Simbol membunuh tikus dapat diartikan, para koruptor harus segera dibasmi, ditarik ke atas hingga terjadi perubahan, guna wabah korupsi tidak membudaya sebagaimana yang melandai bangsa ini.

Berlanjut performance art yang kedua diperankan Eny Asrinawati, beradegan mencuci bendera lalu manabur bunga sambil berdoa untuk para pahlawan. Hal itu menggambarkan bangsa ini perlu dicuci, lantas berdo’a demi pahlawan bangsa agar perjuangannya dapat diteruskan. Performent art ke tiga diperankan Oktaviani Puspitasari, adegan yang diawali membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan harapan apa saja yang harus dihilangkan atas bangsa ini, misalkan korupsi, kebodohan, penindasan, dll. Kertas-kertas yang tertulis dibawanya ke tempat sepi, lalu aktor tersebut mengali. Masalah-masalah yang sudah tertuliskan dimasukkan ke liang yang sudah digalinya, serupa kegiatan mengubur ketika ada kawan meninggal dunia. Permasalahan yang membuat bangsa ini terpuruk harus segera dipendam. Sehabis itu diakhiri pelepasan burung yang menerbitkan pengertian; kebebasan telah didapatkan, karena seluruh musabab buruk sudah terkubur dalam.

Performance art selanjutnya, aktor mengajak pengunjung mengambili sampah yang berserakan di sekitarnya, lalu beramai-ramai membakarnya. Darinya diajak menyadari diri bahwa di sekeliling kita masih banyak soal membelit, segerahlah diselesaikan atau dibuang. Hal itu terwakili dengan adegan pembakaran tumpukan sampah. Performance art kelima, aksi dilakukan aktor memerankan: mencuci bendera dan mengibarkanya. Secara makna sama performance art di atas, akan keharusan dalam membersihkan prolem bangsa ini. Performance art terakhir dilakukan oleh Gembo, ini memberikan penegasan akan hakikat kemerdekaan yang sedang kita rayakan. Dengan adegan seorang aktor membawa kanvas lalu melukis bermedia lumpur. Yang terbaca bangsa ini masih berkubang di rimba masalah. Mungkin saja, kritik terhadap kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Sehabis aktor melukis di kanvas dengan lumpur, ia membagikan bendera pada penonton yang bertuliskan “Sudakah Anda Merdeka?” Sebuah sindiran pada bangsa ini pun diri kita, apakah sudah mendapati kemerdekaan?

Secara utuh semua adegan performance art yang dilakukan para aktor dalam acara Performent Art Malang Festival itu, mengungkap kegelisahan bangsa Indonesia yang tidak kunjung berubah dalam lawatannya yang ke 65. Selain memberi kesadaran, akan pertanyaan di batas penyadaran, betapa pentingnya perubahan harus dilakukan. Sebuah kritik lewat performent art di hari peringatan bangsa, dapat memberi kesan tersendiri makna kemerdekaan. Walaupun secara teknis dan penguasaan ruang masih radak kedodoran. Artinya pembacaan ruang yang kurang maksimal dengan kendala di lapangan. Serta tidak adanya buklet penjembatan atas pembacaan, sehingga penonton awam bertanya-tanya apa, yang dilakukan para aktor tersebut.

Agenda yang digagas MeizHtRuatiOn PeRfORmaNcE semoga berlangsung tahunan. Sehingga Malang memiliki agenda tetap yang dapat dirujuk seniman-seniman performance art sedari daerah lain. Dan akhirnya dinamika performance art di kota Malang kian semarak.

Malang, 18 Agustus 2010

*) Pegiat Seni Teater dan Sastra tinggal di Malang.

Tuesday, September 7, 2010

Cinta di Bulan Ramadhan

Denny Mizhar
Malang Post, Minggu, 5 September 2010

Gadis, sudahlah. Jangan menangis. Tak ada gunanya. Lelaki yang kau cintai telah melukaimu. Apa pantas kau mengiba dan meratapinya, bahkan mengharapnya kembali? Mari, buka mata hatimu. Lalu tenggelamkan diri dengan do’a-do’a kepada Tuhan. Aku yakin. Segalanya akan baik-baik saja. Hidup itu sementara, jangan dibuat bersusah-susah. Mari, memaknai segala peristiwa pasti akan lebih indah. Mari, berfikir hal yang penting agar diri berguna buat sesama.

***

Gadis berhari-hari mengunci dirinya dalam kamarnya. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukannya. Hanya pesan pendek, sering aku terima itupun kadang tak tuntas mengirimnya?putus di tengah percakapan.

Seorang temannya menemuiku, menanyakan perihal masalah yang menimpahnya. Hingga kenapa harus mengunci diri dalam kamarnya. Aku sendiri tak tahu. Maka kujawab sekenanya

“Ia sedang patah hati yang dalam dan ingin tenangkan diri. Supaya jadi baik-baik saja, ketika keluar kamar dan tak ada yang mengira ia sedang patah hati”

Temannya malah mendebatku

“Bahwa siapa yang tidak tahu! akan sakit hatinya?semua sudah tahu”.

Aku pun berlagak tidak tahu, permasalahan yang sedang dialami oleh Gadis dengan detail. “Memangnya kau tahu apa yang sedang terjadi pada Gadis?”

Temannya menjawab

“Kekasihnya telah menduakannya. Gadis sangat terpukul atas kejadian tersebut”.

Aku pun tersenyum dan menggerakkan kepala ke bawah agar terlihat mengamini apa yang dikatakannya, seakan-akan baru tahu permasalahan Gadis secara detail.

Temannya melangkahkan kaki menjauh dariku yang terus berfikir. Apa yang bisa aku perbuat untukknya sedang aku bukan apa-apanya. Hanya, baru saja kenal dan aku tertarik padanya. Ah, dasar naluri lelakiku muncul tiba-tiba saat bertemu dengannya pertama kali. Padahal sudah lama rasa cinta menghilang dari peredaran orbit hati.

Pada suatu malam ketika bulan purnama. Seorang lelaki datang padaku yang mengaku kekasih Gadis. Bercerita tentang perihal hubungannya sama Gadis. Bahwa ia sangat mencintainya. Tapi sayang, Gadis tak mampu memberikan apa yang diharapkan. Lalu ia bertemu dengan perempuan semasa SMA-nya yang pernah dicintainya. Sebab jarak yang jauh lalu ia meninggalkannya.

Kini, jaraknya sudah dekat maka ia pun kembali lagi pada perempuan yang semasa SMA dicintainya. Tetapi sebenarnya ia masih cinta pada Gadis. Berhubung Gadis tak dapat memenuhi apa yang diharapkannya, ia harus meninggalkan Gadis. Sesekali ia mengoda Gadis. Agar mau berubah dan ia pun akan kembali pada Gadis. Perubahan yang diharapkan pada Gadis adalah agar Gadis dapat masak, agar Gadis berjilbab, agar Gadis meninggalkan teman-teman mainnya, agar Gadis tak seperti anak kecil, agar Gadis Dewasa. Agar Gadis…..

Sehabis ia bercerita panjang lebar kali tinggi, tentang hubungannya sama Gadis. Ia berpamitan pulang. Dan mengatakan padaku

“Tolong Mas, disampaikan pada Gadis, tentang apa yang aku ceritakan padamu!”.

Sungguh, lelaki macam apa itu? Memaksa kehendaknya untuk orang lain berubah. Padahal perubahan harusnya melewati kesadaran dari pelakunya. Bukan pemaksaan. Aku mengingat pemikir-pemikir positivisme, bahwa hubungan relasi antara diri dan diluar diri adalah subyek dan obyek. Sehingga apapun yang diluar dirinya adalah obyek yang dapat dirubah semaunya. Dengan adanya unsur paksaan dan ekploitasi. Ah, robotlah jadinya. Sudah sebegitu parahkan pemikiran positivisme masuk dalam alur logika kita?

Tiba-tiba poselku berbunyi.

“Kak telpon aku”.

Rupanya Gadis mengharap aku menelponnya. Sebagai manusia aku tak bisa membiarkan orang lain meminta tolong dan butuh bantuanku, aku biarkan begitu saja. Lalu aku pencet call Gadis. Masih terdengar nada terisak-isak. Habis menangis seharian, katanya. Lalu mengisahkan lelaki yang baru saja datang padaku. Bahwa ia mempermainkan hatinya. Aku pun bilang

“Kenapa kau mau dipermainkan?”

Gadis mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai lelaki tersebut, hingga terkadang buta dirasakannya. Tak peduli berkali-kali disakiti, tetap saja mengharapkannya. Tetapi gadis kali ini sadar, bahwa ia harus memutuskan untuk melupakan. Akan tetapi, Gadis tidak bisa. Katanya.

Dengan sadar diri, aku bukanlah Gadis. Aku tak mengerti perihal perasaannya. Aku hanya membantu memecahkan kebuntuan-kebuntuan fikirannya yang gelap. Akibat perasaan cinta butanya. Aku katakanya padanya

“Gadis yang dilakukan kekasihmu itu bukanlah cinta tetapi penguasaan terhadap dirimu. Relakan saja ia pergi dan terimalah kenyataan yang terjadi. Bahwa ia telah mencintai orang lain. Bukan lagi dirimu”

Tiba-tiba telpon terputus.

Aku sebenarnya takut untuk memberikan solusi-solusi padanya. Apakah aku dengan tanpa tendensi atau punya tendensi untuk membantunya. Sebab aku mencintainya. Dan yang aku tahu. Bahwa, aku tak ingin serupa yang aku diskripsikan pada lelaki yang dicintai Gadis. Ada unsur penguasaan atas cinta, tetapi bukanlah cinta yang membebaskan yang mencari jalan kebenaran bagi dirinya sendiri.

Teringat buku yang aku baca tentang kekuasaan cinta dan keadilan karya Paul Tillich. Aku membelinya bersama Gadis ketika awal kita kenal. Gadis bertanya padaku perihal buku tersebut. Setelah aku buka dan baca, memang agak berat. Mungkin juga bagi Gadis yang tak pernah baca buku akan mengalami kesulitan. Lalu aku katakan

“Ini persoalan ontologis cinta kekuasaan dan keadilan”.

Gadis tidak paham apa itu ontologis. Aku pun bilang

“Kau tau filsafat. Nah, ontologis itu bagian pembahasan dalam filsafat. membahas tentang objek apa yang di telaah ilmu. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut. Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia ”.

Gadis malah bingung. Aku pun diam. Lalu gadis mengajak pulang. Aku mengantarkan gadis kerumahnya. Kenangan yang indah walau sesaat. Ketika itu, sehari sebelum puasa Ramadhan tiba.

***

Gadis, sudahlah. Jangan menangis. Tak ada gunanya. Lelaki yang kau cintai telah melukaimu. Apa pantas kau mengiba dan meratapinya, bahkan mengharapnya kembali? Mari, buka mata hatimu. Lalu tenggelamkan diri dengan do’a-do’a kepada Tuhan. Aku yakin. Segalanya akan baik-baik saja. Hidup itu sementara, jangan dibuat bersusah-susah. Mari, memaknai segala peristiwa pasti akan lebih indah. Mari, berfikir hal yang penting agar diri berguna buat sesama.

Aku kirimkan lagi pesan singkat pada Gadis, yang mulai bisa melupakan kekasihnya. Dengan seringnya kita berkomunikasi lewat telpon. Aku pun sedikit membuka kesadarannya. Bahwa hidup itu tak harus tengelam dalam permasalahn yang dangkal. Aku sering mengibaratkan cinta Tuhan pada manusia. Tak pernah pupus walau manusia selalu menjauhinya, ketika hendak mendekat tetap saja Tuhan menerima. Sebab Tuhan Maha Pema’af. Begitupun manusia yang di dalam dirinya ada pancaran roh Tuhan. Maka, paling tidak mendekati “serupa” Tuhan. Itulah kenyakinan terhadap kebertuhananku dan pemahamanan atas keberagamaanku.

Gadis sudah mulai tak menangis lagi, tapi masih teringat kekasihnya. Aku pun terus menghiburnya. Aku tak dapat mengatakan cinta padanya, sebab pernah ketika awal-awal bertemu aku mengatakan cinta padanya dan mengharap sebagai kekasihnya. Gadis hanya memberi jawaban, bahwa aku di anggapnya saudara. Tapi tak apalah. Aku yakin hati manusia bisa berubah, karena yang ada di dunia ini semuanya relatif kebenarannya kecuali kebenaran Tuhan.

Temannya masih sering bertanya padaku, ketika berpapasan betemu di gang sebelah rumahku. Lelaki itu, kekasih Gadis sudah jarang menghubunginya. Walau kadang-kadang masih mengirimkan pesan pendek pada Gadis. Tapi Gadis tidak menghiraukannya. Cerita gadis padaku.

Gadis pun pergi ke luar kota untuk mencari susana yang baru. Gadis berharap dapat melupakan dengan purnah jalinan cinta kasih yang pernah dilaluinya.

“Kak, Gadis pergi dulu. Tidak lama kok” pesan singkat masuk di ponselku.

***

Aku masih tetap berdo’a pada Tuhan. Agar Gadis membuka hati untukku. Malam-malam pada bulan Ramadhan aku lewati dengan khusuk beribadah pada Tuhan. Membaca Al-Qu’an. Membaca buku-buku agama. Ketika, tepat aku membaca surat Ar-Rahman, aku teringat Gadis. Surat ini adalah paling disuka, karena Gadis sering mendengar ketika menjelang subuh. Gadis pernah bercerita padaku tentang itu.

Suara ponselku berbunyi, tanda ada pesan singkat masuk. Aku menghentikan membaca sesampai perhentian ayat yang tak mengurangi arti utuhnya. Aku membuka ponselku, Gadis mengirimkan pesan singkat.

“Kak, besok bareng terawih ya? “

Dengan cepat aku membalasnya “Iya”.

Ah, Tuhan pertanda apakah ini. Tadi aku mengingatnya, lalu Gadis mengirimkan pesan padaku. Besok mengajakku berangkat terawih bareng.

Aku pun melewati waktu dengan sewajarnya, aku pasrahkan pada Tuhan apa yang terjadi nanti. Aku percaya, yang membolak-balikkan hati manusia adalah Dia.

***

Kita bareng berangkat terawih dengan jalan kaki. Rumah kita tidak jauh. Aku yang mendatanginya dan menjemputnya. Aku berusaha bersikap biasa tanpa tendensi apapun. Dalam kantong celanaku sudah aku persiapkan sebatang coklat dan Al-Qur’an kecil yang aku bungkus dengan kertas kado. Sehabis sholat terawih aku memberikan padanya. Gadis tersenyum dengan manis. Tak biasanya Gadis tersenyum dengan manis sejak betermu awal denganku. Gadis menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Dalam berjalanan pulang, kita saling bercanda. Aku pun sesekali bercerita tentang masalah bangsa yang tak kunjung sirna. Gadis menikmatinya. Malahan bertanya-tanya masalah-masalah bangsa yang belum tuntas-tuntas untuk diselesaikan. Dari persoalan Lumpur Lapindo, masih banyaknya angka kemiskinan, politik yang kacau. Gadis semakin penasaran, mungkin saja Gadis jarang membincal hal-hal yang saban hari aku geluti meski masih dalam wacana belum banyak aksi. Persoalan yang baru saja terjadi dan masih hangat-hangatnya pun menjadi perbincangan kita. Yakni masalah, sikap bangsa atas Malaysia. Aku melihat wajah Gadis berseri-seri penuh arti.

Sesampai di rumahnya, gadis mempersilahkan aku duduk dulu. Gadis masuk ke dalam rumah dengan keluar kembali membawa secangkir kopi. Kopi belum aku minum, gadis mengagetkan aku. Bahwa gadis mengatakan cinta padaku.

“Kak, di bulan Ramadhan ini. Aku menemukan banyak arti setelah mengenal Kakak. Aku tak lagi berdiam diri dalam kamar, meratapi malasah-masalah cinta pada kekasihku yang menyakitiku. Kak, Gadis cinta Kakak.”

Dengan hati yang berseri, aku pulang sehabis menghabiskan secangkir kopi cinta di malam bulan Ramadhan. Yang ku harapkan dapat terwujud.

Gadis mulai berbenah diri, sering mengaji, sering membaca buku, sesekali mengajakku membagi makanan buat anak-anak jalanan dari sisa uang yang Gadis punya. Tanpa, aku memaksa tanpa aku menyuruh. Malahan kadang Gadis mengingatkan padaku, agar jangan sampai daya kritis yang kumiliki hilang. Gadis pun menjelma martil yang mengerakkan kesadaranku untuk terus menanjak. Pada keutuhan kemanusiaanku. Aku pun berdo’a atas segala kesadaran diri padaNya “Di hening malam Ramadhan, aku berserah diri padaMu”.

Malang, 21 Ramadhan 1431 H

Friday, June 25, 2010

Orasi-Orasi Massa (Sajak-Sajak Denny Mizhar)

Mahasiswa dan Celana Jeannya

kemarin kau kenakan celana jean warna biru yang masih baru.
hari ini kau pakai celanan jean warna hitam dan kau lupa mencopot bandrol harganya.
esok mungkin kau kenakan celana jean yang berwarna-warni
sebab kau lupa membeli buku diktad kuliah.



Gadis yang Mengkriting Rambutnya

hai gadis mau pergi ke mana? tanyaku.
kau melambaikan tangan sambil mengibaskan rambut panjangmu
mententeng dompet yang resletingnya masih terbuka
terlihat gambar model rambut kriting dari beberapa artis yang lagi kau gandrungi.
kembali lewat jalan yang sama rambutmu sudah berubah
gaunmu membuatku bergairah:
hotpen dan kaos yang kau gunting tak rapi terlihat sedikit buah dadahmu.



Sepotong Pizza dan Gadis Muda

kau membeli sepotong pizza dan kau letakkan di lidahmu yang sudah lupa rasa singkong dan padi. kau pernah menanamnnya waktu di desa. Sambil memamerkan gigi terselip rasa pizza yang selalu minta tambah.

gadis muda itu pun harus menahan lapar ketika pulang ke desa. tak ada pizza untuk penuhi dahaga.

Sajak-Sajak Denny Mizhar

http://www.sastra-indonesia.com/
Sajak untuk Aku

Hai, aku. Lihatlah kunang-kunang yang kau simpan tak berkerlip lagi. Lepaskanlah pada udara bebas agar ia dapat melesat pada ketinggian langit menggapai segala asa yang ia endapkan lama.

Hai, aku. Tak usah lagi kau tulis jejak lukamu yang membuatnya tak betah tinggal denganmu walau hanya mencium bau anyir darahmu. Rebahkanlah ia jauh dari tubuhmu yang penuh darah dari duka masa lalumu hingga kini masih belum mengering.

Hai, aku. Selami sukmamu sedalam kau membaca Tuhanmu. Agar harum mawar menebar wewangian kebahagiaan yang lama ia idam-idamkan. Tak usah kau kunci egomu dengan gembok yang kuat hingga tak ada lagi cela untuk keluar.

:Sebab aku memandangmu, wahai kunang-kunangku dengan kebebasan membiaskan venus menuju rumahNya. Berkerliplah di gelap malam di taman kamboja hingga sepi menjadi riang tanpa kelam.



Perjamuan Senja

:khotbah zarathustra di atas bukit
memberi kabar kematian tuhan dari hutan

mengambil langkah jejak-jejak resah
kalbu dirundung sepi menepiskan gadisnya
tak ada syahwat terbaca hanya lingkar tanya

kuda-kuda meringkik dalam gelombang masa
membawa ujaran dari hikma sang petapa
melengking di dinding-dinding telinga
membasuh pada gugatan amarah
mencari daya dari diri yang membara

waktu pada ujungnya melawat
menemui ajal atas kematian
antara tuhan dan mahluknya
merekat dekat dalam kalbu hati
saling bicara dan merasa

menelesap pada senja kuasa
zarathustra mati jatuh pada jurangnya
dan tuhan pun mati dalam khotbahnya.



Hati Batu

Dan batu-batu pun pecah merekah menghantam hatiku dan jatuh pada pertayaan paling burba yakni kelukaan yang mederah meluber ke segala arah mencari ruang singgah hingga jawab segala resah bermuara.

Kemanakah hatimembatu sehabis itu?

Di sini aku masih terus saja bertanya tentang hati waktu dan batu
masih menjadi keras melewati masa.



Pasar Malam dalam Ruang Kelas:

ada gemuruh berloncatan dalam tas bocahbocah sekolah menengah, bergerakgerak mencari pegangan tangantangan mungil ingin mainan. buku-buku pergi sembunyi. bergesek-gesekan dengan tangan memainkan hurufhuruf dalam tuts hand phone. ada yang berbisik-bisik siapa artis paling tampan, cewek yang siap diajak kencan. bayangbayang lampu-lampu diskotik berkerlipan dalam kepala dan pergi ke mall dalam perhatian. berjalanlah komedi putar dalam kepala isi ruang kelas.

Thursday, June 24, 2010

Gerak Kepribadian Diri dalam Kumala Pusaka Kasih

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.

Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.

Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:

ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.

Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.

Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.

Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.

Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.

Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.

Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga

Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Denny Mizhar Template by Bamz | Publish on Bamz Templates