Tuesday, July 27, 2010

28 Sajak Persembahan Nurel Javissyarqi

[UNTUK PUTRI BENGAWAN SOLO]

Rupanya terjerat benang halus kasat mata
menaiki ketinggian ombak ke mana perginya
:
bersamamu tujuan musim perasaan muda.

Jari-jemari tangan bergelayut ke mega-mega,
hujan menyirami mimpi-mimpi hampir musnah.

Perbaiki langkah keluar menjelajahi rahasia,
takkan muncul jika tak ke penghujung masa.

Selendang kau terbangkan nyata warnanya
berganti-ganti sulaman tiadalah memudar
:
aku menyimak bau harum semerbak rupa.

Sanggullah mahkotamu membuhul tanggul,
sesekali geraikan kecupan gerimis kesucian.

Awan menyisiri tangkai bayu pesonakanmu,
cahaya berhamburan senyanyian rambutku.



[MATA KAKI PETAPA]
Untuk Suryanto Sastroatmodjo

Nafas-nafas gelombang
mengukir batuan karang,
gelak busa saksi matahari.

Sejauh hempasan ke pantai,
terjatuh di mata kaki petapa.

Rentangan sayap di angkasa
kedip bebintang disapu gerimis.

Jantung ombak memompa awan,
direngkuh malam-malam bestari.

Suara-suara sedari laut, ganggu
tidur panjang butir-butiran garam.

Unggun menghibur sederu arang
menghampiri batas pedalaman.

Memburu arak-arakan sang fajar,
decak kangen lengkungan pantai.

Sejauh tarian di relung samudra,
gemuruh samadi mengangkasa.



[TEBING NASIB]
Untuk Alexander Pushkin

Meratapi tebing nasib
hatinya mendekap belukar.

Dibawanya kutukan para nabi
hidup yang perih
merongga kekal.

Ketika angin di jemarinya,
merambati leliku waktu.

Tubuh terbenam malam,
dikepakkan sayap lautan.



[PENYIMPAN KARAGUAN]
Untuk Wislawa Szymborska

Keraguan apa kau pendam?
Hingga dunia terkagum
senyuman gaibmu.

Aku mengenalmu sejauh senja
namun kerut pada wajah
tidak tampak kecewa.

Dengan kacamata apa
kau melihat cakrawala
Wislawa?

Bertahun-tahun
aku renungkan keraguanmu
yang kudapati selalu saja semu.

Oh, di mana kita dapat berjumpa?
Di negara apa kita bisa bertemu?
Apakah di Polandia?

Terangkan keraguanmu padaku,
agar kudapat menenggaknya
penuh sungguh.

Dan kurang berapa dalam,
aku gali pekuburan waktu?

Beri pidatomu Szymborska
dalam mimpi-mimpiku.



[PANCARAN WAKTU]
Untuk Jawaharlal Nehru

Ia setia merawat zaman menyendiri
merangkai warna cahaya renungan.

Seharum waktu dipeluk matahari
melampaui perbincangan sejarah.

Surat terkelupas dari jeruji penjara,
waktu-waktu berdekatan nafasnya.

Angin mengeja rambut kesadaran
yang panjang menggalang angan.

Dialah pemetik alunan rindu tanah air
gemericik menari-nari di altar nurani.

Menemukan kuncupan mekar negeri
pada segaris kening jiwa-jiwa murni.

Atas debu-debu kitab suci cakrawala
yang selalu membuka pepintu dunia.



[PENGUMBAR]
Untuk Johann Christian Günther

Ruhmu melayang-layang
mencari titik-titik keabadian.

Melepaskan tubuh mendesir
bergema di rerongga nafas.

Adakah dirimu terus gelisah
di alam keabadian masa?

Memburu cahaya
memahat senjakala.



[PINTU WAKTU]
Untuk Konstantin Dimitriwitsj Balmont

Dengan bulan putih menggantung
pelapar kenyang dalam lamunan.

Menembus batas pintu gerbang
menakar awan dan gemintang
:
ditaksirnya hati merenda kekal.



[NAFAS SEKAM]
Untuk Alexander Blok

Abu hitam paling purba
luruh padam hatimu.

Ranting kayu hutan
sekelam arang tidak menjalar.

Namun, desir angin membangkit
selentik biji api menyalakan jiwa.



[WAKTU BEKU]
Untuk Jalaluddin Rumi

Aku menjenguk dirimu di sekapan waktu
tiada murung walau terkuliti dingin beku.

Jiwa khusyuk menyendiri di alam semedi
terbasuh embun kembang kesucian hati.

Sebening sungai menggelinjaki batu-batu
menyeruak ilalang kala pekabutan subuh.

Kenang tertampung di kelopakan malam
dipandang purnama menemui kediaman.

Membimbing pengorbanan kasih hening
ribuan gemintang menerangi rumputan.

Rongga pernafasan petir ditempa angin
menyambar kesadaran bulu-bulu mata.

Berabad lambaian wangimu pengekang,
aku pasir pesisir ditiup ombak berulang.



[SEBUTIR JAGUNG]
Untuk Thales

Kau sebar butiran jagung ke tengah laut,
digulung ombak memukul batuan karang.

Terhempas ke pantai-pantai, didorongnya
seperti sampan menyaksikan pedalaman
:
disapu bayu-bayu terpendam masa silam.

Bertahun-tahun sedenyut air serasi jiwa,
awan-gemawan selimuti bumi makin tua.

Membangkitkan hantu-hantu, petir murka
membelah langit lempengkan air samudra
:
sejauh-jauh matahari terlempar senjakala.

Hukum waktu menemukan belahan benua
kaktus-kaktus meliar menjebak ikan-ikan
:
lengking tanah merah di negeri balik bulan.

Kau tinggalkan aku sebatang di ujung waktu
bibir merayu putuskan sepuluh jemari meragu
:
menyisiri anak-anakan rambut panjang usia.

Aku dipersunting takdir, hamil keyakinanmu,
aku bijian jagung, rindu sejarah lemparanmu.



[HAIFA, KAU SAJAK PERTAMAKU]
Untuk Haifa Puspita Surya Dewi

Simaklah syair wahai putri
suara kisah tentang diri ini
terasa sudah saat sendiri
di Denanyar penjara suci.

Tak jauh dari Jombang kota,
di embong miring ada cerita
disinari bulan separuh rata
di sanalah pokok legenda.

Seorang gadis ayu permai jelita,
rambut tergerai anggun mahkota
aku berbondong menghampirinya,
sambil membawa setangkai cinta.

Bibirnya mengatup suatu hari
jawaban lembut laksana peri,
bijaksananya serupa Srikandi
ucap terlambat sebelum pergi.

Jiwaku tak bisa berkata-kata
sukmaku diam seribu bahasa
mendengar tutur sang juwita,
aku terimalah kenyataan luka.

Puspita Surya Dewi sebutannya
banyak yang tahu kian ke sana
cantik manis memikat hati
mata menawan tiap lelaki.

Ini sajak pertamaku padamu
sedurung tinggalkan kotamu,
bacalah kidungan permai ini
untuk kenal bayang sendiri.

Diriku ke Jogja perdalam seni
menggurit waktu kian misteri,
menambah tebal asalnya rindu
yang berlalu biarlah bayu setuju.

Menterjemah-jamah ruh tubuh
melampiaskan takdir kaweruh
lantaran tetap tidak berjodoh
berpisah sudahlah sayangku.

Tinggal kenang di ujung ingatan
aku menjelma diri petanda jaman
dan kau menjadi ibunda kegaiban,
segalanya mengalirkan denyutan.

Kasih sayang bersayaplah pantai
laut berbilang kepak gelombang,
aku mewujud rindu gentayangan
antara mereka pendam cemburu.

Simaklah ini kembali Dewiku
aku tambahkan berpantulan,
agar tak habis ditelan malam
tak busuk dimakan kesiangan.

Harus aku jujur kepadamu
kalbuku berkembang lara,
sebab waktu mencabik usia
meradang samping wanita.

Tuhan perbuat segalanya
aku tertunduk takdir-Nya,
berlari-lari menjemput kau
sampai keringat habis cerai.

Kalau kau siulan bayu
hisaplah kelembutanku,
itu milikmu jua. Melumati dunia
dengan kenyataan pahit sejarah.

Jikalau kau air telaga desamu
biarkan aku gelembung udara
pun tiada pelangi di sana
penyair memperolehnya.

Denanyar 1994



[ANGGUR NABI]
Atas Ibn Rushd (Averroes)

Segelas anggur dari tuangan kendi abad silam
tersimpan di kediaman tuan.

Aku bertamu, tuan persilahkanku meminumnya
kuteguk dalam kesunyian lama
gemerincing menjalari tenggorokan.

Jiwaku segar berpandangan jernih bukan samar,
menggelegak ke lambung kerinduan.

Jangkauanku bertanya: apa yang tuan suguhkan?
Jawabnya: itulah hasil perasan tangan anak yatim,
dia hadiahkanku saat kembara, bersinggah kemari.

Dadaku tiba-tiba terguncang meninggikan debaran,
sebelum terus bertanya, tuan lenyap dari hadapan.



[PEMECAH TAKDIR]
Untuk Iman Budhi Santosa

Arak-arakan kecemburuanku padamu
mendung melengkung di langit ungu.

Meratap-ratap menimbun cerita lalu,
di negeri semalam ditempa hara-huru.

Lengan pepohonan hangus terbakar
jilati petir lecutan pecut menyambar.

Menjatuhkan kecupan maut ke batu
merindu bayang tundukkan dendam.

Kabarnya pemecah takdir akan datang
segenggam palu memukul serat waktu.

Pada kening kerutan kabut pegunungan
sejauh hati terhempas buih-buih pantai.

Yang tersimpul dalam lelaku penafsiran
memasuki tarian jiwa bertujuan pulang.

Bersimpan dinaya terjang kemungkinan,
lebih ngeri dari seunggun penghianatan.



[KIDUNG PERSEMBAHAN]
Untuk Rabindranath Tagore

Aku simak kidung persembahanmu
alunannya menghanyutkan zaman.

Burung-burung kau beri kebebasan
bersarang pucuk bambu menjulang.

Desau malam memikat para kekasih
sedenyut bayu keagungan pangkuan.

Kau berlaksa stupa candi sumringah,
pebukitan jua kaki gelombang cerita.

Anak-anak lepaskan pelukan selenda
ibunda memandang lekuk hembusan.

Pemotong bambu rapikan mata kaki,
di taruhnya nyala lilin pada cekungan.

Bumbung dibasuh rindu penerangan,
dipandang purnama perkampungan.

Bebocah melantunkan tetembangan,
kelanggengan wengi ke pembaringan.



[KUAS BULU KUDA]
Untuk Jean Paul Sartre

Sebelum matahari dibuka bijian mimpi
menyisiri rambut menaburi usia bulan
segoresan maut pertimbangkan nalar.

Sayap lembut birahi memasuki lukisan,
bulu-bulu kuda jantan lepas dari kendali,
kering sentuhan tertampar kuas revolusi.

Atas panggung, garis tegak tampak sayu
menyapu alis malammu ke ujung awan,
kelana pengantin musim peperangan.

Lembut terkantuk dinaya mengawang,
ngapung tersentak senja perbincangan
: jejiwa merdeka bertempur kecurigaan.



[TAMU KESUNYIAN]
Pada Marguerite Yourcenar

Depan pintu tertulis kalimah:
“Masuk lepaskan nama idola,
akan keluar membawa pelita.”

Pada pintu tertempel tanda
yang ikut gagal berlalu suara.

Kepulan asap cerutu meragu
harapan tidak kunjung menepi
padahal nafas pastikan selesai.

Hujan lebat pucatkan langit
mengapung membelah biru
bertengger di siang klawu.

Kehampaan tubuh terjatuh
dingin kata terlampiaskan
ketinggian angin membisu.

Menguras tarian pena ke jurang
petik gerimis pebukitan curam.

Kembarai musim tangan waktu
bawa takdirmu mencintai abadi.

Jejiwa gentayangan ditebus awan
mengurai detakan jantung kelabu,
tersimpan dalam tabung rencana.

Segelantung kembang teras rumah
tangkainya menjalari pribadi utama.



[PERNIKAHAN MATA]
Untuk K’tut Tantri

Jiwa-jiwa muksa bertarian sukma
ruh berbangkit di tengah gerimis.

Gemerincing binggel kaki penari
kisahkan tarian di tanah pertiwi.

Mata anak-anak berkulit coklat
tangan menyatukan fajar laut.

Menyentakkan bambu runcing
menyobek leher para penjajah.

Daya-dinaya muncratkan darah
seharum melati sepanas mawar,
kain merah putih membalut luka.

Jika petang gerilyawan mengintai
di balik lintang bukit karang nurani
menggelegak jantung menghujam.

Penciuman angin di langit kemboja
belai uban-ubun ditempa purnama.

Sewarna perak pernikahan mataku
di tengah wengi penuh cahaya tinta.



[KEMBANG GAPURA]
Untuk Samira Mahmalbaf

Dari gapura negeri Iran
kepak putri sayap elang.

Kekuatan jiwanya risau
melintasi pusaran awan.

Ketinggian ombak kebisuan
serupa kekupu sebrangi teratai.

Katupan sayap buku di pangkuan
mata mungilnya menggoda insan.

Pangeran melirik dari singgasana
dinaungi cahaya ketenangan senja.

Selaguan seruling lembah gembala
menarik mahabbah jejanur kurma.

Diajaknya menjelma matahari
kibaskan gemuruh angin, pada
debu-debu memusari bara rindu.

Menggelinding gosongkan usia,
keringat mendidih gelora pecah
karang terlempar jelma purnama.

Malam harum kembang kanthil
sekuat stupa candi tegak kukuh
sepohon bergetah takkan runtuh.

Kembarai mimpi tempaan empu
sewaktu asah keris berkelok tujuh
kegigihan menerima takdir waktu.

Awan sejarah sederu jiwa semesta.
Entah di manakah dirinya sekarang?
Semoga tetap mencintai tlatah Iran.



[RAJA PELAMUN]
Untuk Kahlil Gibran

Menuang keganjilan bertemu genap
diikuti arus deras,
gemerincing anggur ke batu-batu
busanya meluap,
menelenjangi tubuh sungai malam
mendenyutkan nafas.

Jalan membentang kenangan
rerambut cemara menari-nari
sederai gerimis patahkan hati.

Ranting sayap kabut pebukitan
bergelembung embun terjatuh
dirawatnya ke tanah kelahiran.

Angkat dayung keringat lengan,
setinggi gemawan digiring angin
terpenggal lecutan dahan cahaya.

Bebuah terdampar menuju fajar
melamun di bencah batas desa
ke tangga pesawahan lembah.

Dicecapnya bulan yang dingin
terpahat tetembangan lama,
dicukupkan bersarang setia.



[DI YOGYA SUATU MALAM]
Untuk Pantomimer Enderiza

Melewati ribuan lampu
terbalut putih tubuhnya
: ia bermandikan cahaya
wajah berbedak purnama.

Jiwanya remuk dipukuli waktu
mata berkeping-keping berita:
ia lebih waras dari yang berlalu
sadarnya kaki-kaki melangkah
lentur menggapai muasal kata.

Terangnya serpihan kalimah
selembut lembaran malam
meleburkan tarian ragawi
merasuki sukma berlaksa.

Kaki-kakinya terus berjalan
hingga membatu tegak tugu
di tengah-tengah kota Yogya:
sekuat tabah setua zamannya.



[SANDIWARA SOEKARNO DI ENDEH FLORES]

Menyaksikan kulit-kulit lumut terkelupas
dari daging karang atas sobekan mentari.

Batuan cadas terlempar membisu panas
ditempa besi baja tapal kuda ke jalanan.

Semakin jauh pilunya seperti para janda,
tetangkai kelapa diderai angin kembara.

Melumpuhkan debu-debu kemarau
tangisannya sampai daun rumput
pulau Bunga.

Nafas tersengal udara menyumbat
lempengan padat awan-gemawan
terhempas ke kaki-kaki senjakala.

Menapaki tanjung ujung pesisir
atas tubuh lusuh tenggelam
dalam riak duri-duri malam.

Tanpa peduli gemintang
bulan berkaca samudra
kala danau matanya
menjadikan muara.



[SAYAP SELENDANGMU]
Untuk Penari Saraswati

Waktu sayap selendangmu hilang ditelan panggung
bayangannya sampai ke mari, diantar cahaya pagi.

Matahari melukis cakrawala mengepak arus sungai
olehnya lupakanlah khilafku, lantas maafkan diriku.

Wahai siur rambut kelapa janur-janur hijau embun
menuju ombak angkasa jiwaku bersalam padamu:

Hukum langit memberi kasih serupa sayang ampun
darimu, selalu memberkati tapak-tapak langkahku.



[BENGAWAN SOLO]
Untung Gesang Martohartono

Aliranmu berkisah lelaki tua
duduk di gugusan tanah liat.

Menatapi gulungan ombak
belaian kabut dan matahari.

Kelambu angin berdetakan
sekuat dada pejala curiga.

Menggali pedalaman watak
menyanyikan keroncong jiwa.

Bunga tak bernama dari desa,
persekutuan jiwa musim sunyi.

Menggayuh perahu ribuan masa
terhapus tangis setegar pohon jati.

Kidung-kidunganmu alirkan rindu
hingga menembus batas empedu.



[MEMBACA BAYANGAN]
Untuk Suhrawardi

Bayangan hadir menggoda malam
diterpa cahaya memburu putaran.

Mengejar jarak lengkingan nurani
kembarai tanah liat hening sunyi.

Gerakan nafas gelisah memberat
sesayup kalimah ketiadaan hadir
memberi punggung belati elang.

Kiranya renung kesiaan mencari
hikmah tipudaya telusuri muasal
sepohon melepas daun ke telaga.



[POTRET DIRI]
Untuk Van Gogh

Melihatmu, jantungku berdetak keras
meronceng kalbu mencerca cemburu.

Adakah senja lamban menyimak usia?
Sedang guratanmu tanpa ragu-ragu.

Sapuan kering kuasmu melumat dunia
segetaran penyangga awan berpindah.

Campuran warnamu buyarkan batu
mata kikisan duri tumpulkan belati.

Van Gogh, berilah aku kenekatan
: memotong telingamu yang satu.



[NYAI LORO KIDUL]
(Putri Lara Kadita)

Oh, masuklah penuh kelembutan
seharum bunga sedap malam
nan dinanti di sebrang lautan.

Bayu berkabar bukit keabadian
pesisir remang sekecupan bulan
seranting kayu tinggallah lamunan.

Kelepak rambut akasia terhempas
dada berbangkit bawa kalbu sunyi
menjulur berpisah Prabu Siliwangi.

Berderap kencana menggulung awan
ikuti hasrat musim semi menari-nari,
menembusi abad sedari silam lestari.

Gemintang bersekutu peputik ranum
tutuplah pintu agar matamu terlelap
saat bangun, mimpi dalam dekapan.

Kidung serangga langgam pelaminan
kekal penggalan hati rintihan bambu,
tinggalkan nestapa ditiup kabut rindu.



[UNTUK YANG MERASA]

Sampaikan salam pertiwi
lantunkan hujan purbawi,

pengisi dengar para insani
bertembang senjakala hati.

Pahatan malam bersungguh
nyala obor terangi jalan itu
:
menelanjang ke altar nurani.

Tuntun gemerincing jiwa-jiwa
sedari kemabukan abad lama.

Gemerlap kota-kota lembah
dermaga dicahayai purnama
segurau gemintang angkasa.

Mentari sebar putik kembang
selautan dengar ikan perkasa.

Jangan terlena
agar bayu tak sobekkan layar
:
lembar waktu rambahi rahasia,
berlaksa maknawi satukan rasa.



[MENAMPUNG DANAU BALADA]
Untuk W.S. Rendra

Sampailah salam ke lembah-lembah berbaur kabut hijrah
dituntun jalanan setapak bukit tua memetik angin cahaya.

Kicauan burung kabarkan sarang biru, embun terpelanting
menepati janji kenai lantai marmer pendapa nan menyerap.

Kucuran keringat bocah bermelodi kangen halaman rumah
serta rerumputan bersalam pagi membasahi lembaran hati.

Dalam tanjakan gerimis, degup elang melintasi cakrawala
sayap-sayap perkasa selengking gayuhan kisah negeri ini
: orang-orang berduyun pada gerbang kota tertelan warna.

Tatap saja saat ragu, kan diperlihatkan kasih sayang merdu
airmata ketenangan jiwa menampung danau-danau balada,
dan prahara tinggalkan kelopak-kelopak tanah kan bersemi.

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk lampiran)

Inilah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah pa-norama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia da-lam rentang waktu satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pe-mikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya. Itulah yang segera muncul ketika kita mencoba mencermati ke-97 artikel dalam buku ini.

E. Ulrich Kratz yang menyusun sejumlah artikel itu, mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadap-an dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Nama-nama ke-56 penulis yang artikelnya dimuat dalam buku ini, nyaris seluruhnya tidak diragukan lagi kualitasnya. Demikian juga ke-97 artikelnya, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang meng-angkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebutnya sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz sungguh cerdas. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting, berhasil dibentangkan secara tematis. Dan ia berusaha menjaga benang merahnya, meskipun di sana-sini tampak tidak begitu lempang sistematikanya. Namun, seperti lazimnya menghimpun sejumlah tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Pemilihan artikel pertama “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dan penjelasannya yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Yamin, misalnya, mengandaikan bah-wa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, Kratz terkesan sejalan dengan gagasan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Pa-dahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan maja-lah akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah ter-sebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan bahwa pemi-kiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkem-bang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe.Tulis-an Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemi-lihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesas-teraan I–IV” atau empat artikel Sutan Takdir Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baru I–IV” yang dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan? Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesu-sastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan asing. Begitu pula artikel Takdir, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia justru bersambungan dengan artikel Takdir “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Takdir itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Su-sunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan buku yang disusun C. Hooykaas (1947).

Mengherankan, bahwa Kratz tidak begitu tegas menjelaskan kriteria pemilihan se-jumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan apa yang dilakukannya dalam “Pendahuluan” buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43). Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang terbit tahun 1950-an. Dan sesungguhnya, secara keseluruhan, masalah inilah yang menja-di titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertang-gungjawaban merupakan hal yang penting, meski penyusun mempunyai hak penuh atas pilihannya. Jika saja Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihim-punnya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kon-tribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Ham-ka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusas-traan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboeda-jaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih me-wakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayang-nya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Meski begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Di sana, ju-ga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Oleh sebab itu, beberapa artikel lain, sampai ke tulisan H.B. Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Jika dita-rik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masa-lah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan itu. Belakangan ketika Pramoedya mem-peroleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu.
***

Sungguh Sumber Terpilih yang disusun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menye-marakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok).

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA (II)

Catatan Kecil untuk Gagasan Besar
Maman S.Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk indeks)

Kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Inilah pertanyaan yang diajukan Ajip Rosidi yang kemudian dijadikan judul bukunya. Sesungguhnya, pertanyaan Ajip Rosidi itu tidaklah datang secara serta-merta. Ada persoalan yang melatarbelakanginya dan persoalan itu berkutat di seputar batas awal munculnya karya-karya sastra Indonesia yang memperlihatkan ciri-ciri kemodernan. Umar Junus, mengatakan bahwa sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928. Alasannya, bahwa “sastra ada sesudah bahasa ada” maka kehadiran sastra Indonesia ditandai dengan kelahiran bahasa Indonesia, yaitu ketika Kongres Pemuda kedua yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakui “bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” yang lalu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Sementara itu, A. Teeuw, menempatkan kelahiran sastra Indonesia sekitar tahun 1920. Alasannya, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat masyarakat setempat yang tradisional dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan…. Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.” Lantaran adanya perbedaan itulah, boleh jadi, maka Ajip Rosidi menyodorkan gagasan lain yang berbeda dengan Umar Junus dan Teeuw. Lalu, bagaimana dengan gagasan Ajip Rosidi sendiri? Menurutnya, masalah kesadaran kebangsaan yang seharusnya dijadikan patokan. Dengan patokan ini maka lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah awal tahun 1920-an. Alasannya, pada tahun-tahun itulah para pemuda Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Sanusi Pane, mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra. Demikian juga, kumpulan sajak Muhammad Yamin, berjudul Tanah Air terbit pula pada tahun 1922.

Semua pendapat itu, belakangan ini, digugat kembali. Apa yang dilontarkan Umar Junus, Teeuw, dan Ajip Rosidi, sesungguhnya menafikan keberadaan sastra yang muncul di media massa atau yang belum tercetak dalam bentuk buku. Akibatnya, sastra yang secara sosiologis hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sebagaimana yang dapat kita cermati dari karya-karya yang dimuat di berbagai media massa yang terbit akhir abad XIX dan awal abad XX, luput dari catatan sejarah. Bahkan, lebih dari itu, sejumlah nama yang secara signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia, ikut pula ditenggelamkan. Kondisi inilah yang secara tragis menimpa kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh para sastrawan peranakan Tionghoa dan sastrawan “kiri” yang karya-karyanya diterbitkan penerbit swasta. Karya-karya mereka secara sepihak dikategorikan sebagai karya-karya sastra Melayu rendah atau yang oleh pihak pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai “bacaan liar”.

Lalu, apa pula kaitannya masalah tersebut di atas di dalam konteks buku yang disusun Kratz ini? Justru dalam hal itulah, masalah yang segera muncul ketika kita mencermati buku ini adalah penempatan artikel pertama. Meskipun Kratz beralasan bahwa esai yang dipilihnya “bukanlah karya-karya yang melibatkan diri, misalnya, dalam diskusi tentang tanggal lahir sastra Indonesia …” lalu mengapa ia mengawali himpunan artikel dalam buku ini dengan “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda dan bukan hasil kongres Budi Utomo atau artikel lain yang pernah muncul dalam media massa awal abad XX? Demikian juga, penjelasan mengenai Sumpah Pemuda yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Jamin, mengindikasikan pilihan Kratz yang terkesan hendak menempatkan bahwa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, penempatan kedua artikel itu di awal, niscaya bukan tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, kita boleh berasumsi bahwa secara tersirat, gagasan Kratz patut dicurigai sejalan dengan gagasan Umar Junus dan belakangan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Padahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan majalah akhir abad XIX dan awal abad XX, sebagaimana yang sudah disinggung tadi, merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah tersebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan, pemikiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkembang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Demikianlah, penempatan kedua artikel itu saja sudah mengundang masalah. Jika memang Kratz hendak memilih sejumlah sumber sejarah sastra Indonesia abad XX, maka setidak-tidaknya ia mesti menampilkan artikel lain yang muncul awal abad XX, dan itu tidak susah dicari, karena memang bertebaran dalam surat kabar atau majalah waktu itu.
***

Di luar persoalan itu, secara keseluruhan buku ini, harus diakui, laksana sebuah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah panorama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia dalam rentang waktu hampir satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya.

Dalam “Kata Pengantar”, E. Ulrich Kratz mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadapan dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Ke-97 tulisan yang dihimpun dalam buku ini, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi (buku, majalah, surat kabar, kertas kerja atau makalah) dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang mengangkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebut artikel-ertikel itu sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz tampak melakukannya secara sangat hati-hati. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting itu, berhasil dibentangkan secara tematis. Ia berusaha menjaga benang merahnya, meski di sana-sini tampak sistematikanya tak begitu lempang.

Lazimnya menghimpun tulisan-tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Setelah pemuatan artikel pertama dan kedua yang mengangkat ihwal Sumpah Pemuda, misalnya, Kratz memasukkan tulisan Nur Sutan Iskandar, “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia.” Sebuah artikel yang pernah dimuat dalam Pustaka dan Budaya, No. 8, Th. II, 1960. Jika hendak mengangkat konteks Balai Pustaka, mengapa tulisan K.A.H. Hidding mengenai Balai Pustaka, dilupakan. Jika alasannya karena penulisnya bukan orang Indonesia, tulisan K. St. Pamuntjak (?), Balai Pustaka Sewadjarnja (1948), jauh lebih menggambarkan peran Balai Pustaka dalam penerbitan majalah, buku sastra, termasuk terjemahan, dan terutama dalam melahirkan sastrawan kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe. Tulisan Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemilihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesasteraan I-IV” atau empat artikel Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baroe I–IV” yang dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan?

Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesusastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan tanah luar, meskipun yang dimaksud dengan tanah luar itu adalah kesusastraan Timur. “Kesoesasteraan Indonesia ini banjak dipengaroehi oleh kesoesasteraan tanah loear, tanah jang hampir dengan kepoelauan Indonesia. Tambahan poela tanah jang mengelilingi kepoelauan Indonesia ini kaja dalam ilmoe sastra.” Begitu pula artikel Alisjahbana, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia juga bersambungan dengan artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Alisjahbana itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Susunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan Prospectus dalam buku yang disusun C. Hooykaas (1947). Jika itu pilihan Kratz, mestinya ada penjelasan serba sedikit mengenai perbedaan antara artikel yang dimuat Poedjangga Baroe dengan Prospectus yang terdapat dalam buku Hooykaas.

Mengherankan, Kratz tidak tegas menjelaskan kriteria pemilihan sejumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan “Pendahuluan” dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43) yang pertanggungjawabannya begitu meyakinkan. Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang bertebaran dengan rentang waktu yang sangat panjang itu. Secara keseluruhan, masalah inilah yang menjadi titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertanggungjawaban merupakan hal penting, meski penyusun punya hak penuh atas pilihannya. Jika Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihimpunnya, termasuk urutan pemuatannya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kontribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusastraan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih mewakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayangnya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Dalam artikel itu, Chairil menegaskan, antara lain, “Angkatan 1945 harus merapatkan barisannja dan berusaha sekeras2nja untuk menegakkan selfrespect dan melaksanakan selfhelp. Pertjaja pada diri sendiri dan berusaha meneguhkan ikatan-sosial dikalangan bangsa Indonesia.” Jadi, artikel ini sedikitnya memberi penegasan pada sikap Chairil Anwar dalam melihat semangat Angkatan 45. Mengingat Chairil Anwar termasuk salah satu tokoh kunci Angkatan 45, maka amat disayangkan jika sikap dan pandangannya mengenai angkatan 45 yang menjadi tonggak penting dalam perjalanan (kebudayaan dan kesusastraan) bangsa ini, dilewatkan begitu saja.

Meskipun begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Salah satu artikel penting dalam pembicaraan Angkatan 45 adalah tulisan Rosihan Anwar, “Angkatan 1945 buat Martabat Kemanusiaan” yang dimuat Siasat, 2, 1948. Penting lantaran menurut banyak sumber, Rosihan Anwar yang pertama melansir penamaan Angkatan 45. Di sana juga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Beberapa artikel lain mengenai Angkatan 45 sampai ke tulisan Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Jika ditarik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan belakangan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masalah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, jika memang Kratz hendak membuat sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX, artikel dari golongan Lekra yang pernah dimuat dalam media-media massa itu sangat penting untuk melihat sikap dan pandangan ideologis sastrawan Lekra yang kemudian menjadi alat ukur mereka untuk mendengungkan gagasan realisme sosialisnya.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan buku-buku yang dilakukan pemerintah. Tetapi belakangan, ketika Pramoedya memperoleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Jika kemudian muncul tanggapan pro dan kontra mengenai kepatutan atau ketidakpatutan Pramudya memperoleh hadiah itu, masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Secara tersirat, kontroversi itu merupakan pertanda bahwa konflik ideologi yang terjadi tahun 1965-an antara para penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan golongan sastrawan Lekra, belumlah berakhir. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu sampai ke persoalan Pram tadi.
***

Beberapa catatan tadi tentu saja tidak mengurangi kontribusi buku ini sebagai sumber penting dalam penelusuran berbagai gagasan yang pernah mewarnai dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sungguh Sumber Terpilih yang disu-sun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menyemarakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.
—————-

Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985).

Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’,” Medan Ilmu Pengetahuan, Juli 1960; 245–260.

A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm. 15–18.

Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta:Gunung Agung, 1985; hlm. 6

Periksa Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung, 1962); Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985); Leo Suryadinata (Peny.), Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 1996); Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). Nama-nama Semaun, Mas Marco, atau Tirto Adhi Soerjo, juga tenggelam dalam catatan sejarah sastra Indonesia.

Periksa sejumlah artikel dalam Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (terbit di Surabaya, edisi pertama, 12 Januari 1856); Bientang Timoor (terbit pertama kali di Surabaya, 4 Januari 1865; 3 Januari 1866 ejaan nama majalah itu diganti menjadi Bintang Timor); Pembrita-Bahroe (1881–1896); Harian Tjahaja Moelia (1883–1884), serta sejumlah surat kabar lain yang terbit akhir abad XIX; Lihat juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856–1994, (Surabaya: Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadi Hutomo, 1995), hlm. 10–28.

Dalam konteks urutan pemuatan berbagai tulisan itu, kesan yang segera muncul adalah bahwa artikel-artikel itu disusun secara kronologis. Secara garis besar, sesuai dengan judul buku ini, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, urutannya adalah sebagai berikut: Tahun 20-an, Zaman Pujangga Baru, Zaman Jepang, Angkatan 45, Tahun 1950-an, Angkatan 66, Tahun 1970-an, dan Tahun 1980-an. Dalam kenyataannya, ada sejumlah artikel yang disusun secara tidak kronologis, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembicaraan berikutnya.

Tulisan-tulisan lain mengenai Balai Pustaka, periksa B.Th. Brondgeest, G.W.J. Drewes, T.J. Lekkerkerker, Bureau voor de Volkslectuur. The Bureau of Popular Literature of Netherlands India. What it is, and What it does. Batavia: Balai Pustaka, 1930 (?); “Apakah Balai Pustaka?: Kitab Peringatan Timbang Terima Pimpinan Balai Pustaka 12 Maart 1927”; “Apakah Balai Poestaka” (Pengantar bagi lid-lid Congres Bestuur Boemipoetera jang ke III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka (1930).

Tulisan Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 1 (Juli), 2 (Agustus), 3 (September), 4 (Oktober), Th. I, 1933.

Dimuat bersambung secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 12 (Juni) Th. I, 1933, No. 13 (Juli), 14 (Agustus), 15 (September), Th. II, 1934.

Dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 14 (Agustus), No. 15 (September), 17 (November), 18 (Desember), Th. II, 1934.

Ada kesan Kratz hendak mengurutkan pemuatan esai atau artikel dalam buku ini secara tematik kronologis, dimulai dengan “Sumpah Pemuda” dan diakhir dengan artikel Putu Wijaya (1997) “Pram” yang mengangkat seputar kontroversi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Tetapi ternyata urutannya tidaklah seperti itu. Dalam hal ini Kratz tidak konsisten. Periksa misalnya artikel 7 (“Persatuan Indonesia” karya Sanusi Pane) dan 8 (“Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” karya Sutan Takdir Alisjahbana). Tulisan Sanusi Pane justru dalam konteks memberi tanggapan atas tulisan Alisjahbana. Jadi, mestinya tulisan Sanusi Pane diurutkan setelah tulisan Alisjahbana, bukan malah sebaliknya. Kasus serupa terjadi juga pada pemuatan artikel 89 (“Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” karya Korrie Layun Rampan) dan artikel 90 (“Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia” karya Abdul Hadi WM). Atas dasar apa artikel Korrie ditempatkan lebih awal dari artikel Abdul Hadi? Tak ada penjelasannya mengenai itu.

H.B. Jassin, “Kesusasteraan dimasa Djepang,” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 74–85. Artikel ini bertarikh 31 Juli 1946. Jadi, sangat mungkin artikel ini ditulis Jassin pada tanggal itu, mengingat artikel yang sama dengan penambahan mengenai Chairil Anwar dijadikan sebagai “Pendahuluan” buku Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang, (Djakarta: Balai Pustaka, 1948: Cet. II, 1954), hlm. 1–27. Dengan demikian, untuk memberi “potret” kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang, artikel Jassin itu mestinya menjadi bahan pertimbangan betul.

Chairil Anwar, ”Angkatan 45,” Siasat, Gelanggang, 6 November 1949. Jika benar artikel ini tulisan Chairil Anwar, maka inilah karya terakhir Chairil Anwar dan pemuatannya justru setelah tujuh bulan Chairil meninggal, 28 April 1949.

H.B. Jassin, “Angkatan 45” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189. Tulisan Jassin ini mula-mula dimuat dalam majalah Zenith, 3, 15 Maret 1951. Para pengamat umumnya mengutip artikel Jassin yang dimuat dalam buku yang terbit tahun 1954. Mereka yang mengutip artikel Jassin itu, antara lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, Ende: Nusa Indah, 1980; hlm. 169), Keith Foulcher, Angkatan 45: Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994). Tulisan ini dengan perubahan di sana-sini, termasuk judulnya menjadi “Angkatan ‘45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masya-rakat Dunia” kemudian dimuat dalam Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), hlm. 85–114. Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 20. Semua sumber itu menyebutkan bahwa penamaan Angkatan yang mula dilansir Rosihan Anwar itu dimuat dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Sementara Ajip Rosidi menyebutkan bahwa penamaan yang dilakukan Rosihan Anwar pertama kali pada tahun 1948. Dengan adanya artikel Rosihan Anwar itu, maka sangat mungkin justru dalam artikel inilah penyebutan Angkatan 45 dilakukan Rosihan Anwar, yaitu yang dimuat majalah Siasat, 2, 1948, dan bukan tahun 1949 sebagaimana yang dinyatakan dalam sumber-sumber di atas, termasuk yang dikemukakan H.B. Jassin.

Sejumlah nama yang diusulkan waktu itu, antara lain, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang, dan Angkatan Pembebasan. Yang kemudian diterima adalah penamaan Angkatan 45.

Kratz mengurutkan teks-teks itu sebagai berikut: “Surat Kepercayaan Gelanggang” (artikel ke-27), “Mukadimah Lekra” (artikel ke-49), dan artikel ke-64, 65, dan 66 adalah “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, “Penjelasan Manifes Kebudayaan” dan “Manifes Kebudayaan”. Sesungguhnya, publikasi Mukadimah Lekra (Agustus 1950) mendahului publikasi “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950, tetapi baru dipublikasikan dalam Siasat, 22 Oktober 1950. Jadi atas dasar apa Surat Kepercayaan Gelanggang ditempatkan lebih awal daripada Mukadimah Lekra. Kemudian mengenai Manifes Kebudayaan, mengapa pula sejarah dan penjelasannya harus ditempatkan lebih dahulu dari Manifes Kebudayaan itu sendiri? Kratz tidak menjelaskan masalah ini.

9 Sajak Kembar Nurel Javissyarqi

[MERAWAT JIWA-JIWA]

Aku tunda kantukku, demi fajar ranum gemerisik:
lelangkah ibu ke pasar, burung-burung berkicauan.

Yang terlelap di butiran awan, senandungkan bukit,
lereng bibir pantai tarian gelombang, membiru haru.

Sepasang sayap terbang melebihi ketinggian purba
pada harapan matahari, bayangan mengambili ruh.

Pengetahuan setajam mata sabit di tangan kembala,
kata-kata melingkar ke dalam kesadaran abad-abad.

Musik berdendang perang membunuh besar-besaran:
yang tak sanggup memanggil, akan terpenggal sia-sia.



[MERAWAT JIWA-JIWA, VERSI II]

Aku tunda kantukku
demi fajar ranum gemerisik, lelangkah ibu-ibu ke pasar,
burung berkicau di belantara kota membopongku keluar.

Butiran putri mendung senandungkan bayu-bayu pantai,
menarian gelombang lautan membiru hatimu menunggu.

Sepasang sayapnya terbang melebihi ketinggian bukit,
harapan setua bayang matahari mengambili ayat-ayat.

Meruh pengembala kata-kata memasuki kesadaran
abad-abad. Musik berdendang perang kebijakan di
mata dunia, yang tak memanggil terpenggal sia-sia.



[SETUWUNG SENYUMMU]

Cahaya langit melukis tetumpukan awan,
melewati ribuan angin serentak keyakinan.

Menghujani ubun-ubun pengab menggeliat,
bercangkul di ladang-ladang jiwa para insan
:
menebah tanah lempung dijanjikan kembara.

Memasuki hutan belantara penuh kekicauan
embun menetes di dedaun memanggil pagi.

Di luar gua jarum-jarum rumput meninggi
sesudut mata kubiarkan tanpa perpisahan.

Lelangkah membuka gerbang lamunan
mengikuti aliran sungai ke matahari.

Yang riuh ombaknya gemerincing, di
kedalaman dada isyarat senyummu.



[SETUWUNG SENYUMMU, VERSI II]

Cahaya langit cemerlang
melukis tumpukan awan.

Dan ribuan angin serentak,
keyakinan hujan tak bakal datang.

Ubun-ubun pengab geliatkan tubuh
keringat menggantungkan kalimah.

Bercangkul di ladang-ladang jiwa,
menebah lempung diri, dijanjikan.

Memasuki hutan belantara kicauan
embun menetesi dedaunan pagi:
memanggil hati di goa pertapaan.

Jarum rumput ilalang meninggi,
ke sudut mata langit perpisahan.

Langkah membuka gerbang lamunan:
seiring waktu lagu diam kutermangu,
mengikuti alunan sungai ke matahari.

Yang riak ombaknya menggemerincing
dalam dada, isyarat senyum penentu.



[MEMUNGUTI MIMPI]

Seringan tembang hujan menari-nari
dari langit cahaya membuka jendela
:
ia senantiasa menantikan kata-kata.

Sesayap rindunya mengapung setia,
memancarkan hidup gerimiskan doa
:
sunyi mengirisi kulit daging kekasihnya.

Di mana kepastian berdegup dalam dada
memburu membidik guguran gemintang
:
memunguti mimpi-mimpi perempuannya.

Meneguk matahari atas fajar persekutuan,
menjilat langit tumpahkan darah perawan
:
menampar pipi segoresan ombak menikam.



[MEMUNGUTI MIMPI, VERSI II]

Seringan nyanyian gerimis ke hati
cahaya lampu membuka jendela,
yang dinanti hanyalah kata-kata.

Sayap kekasih mengapung setia
memberikan pancaran doa-doa
menghiasi harum wengi lestari.

Sunyi, pastikan degupan dada
membidik bintang berguguran
memunguti mimpi dan harapan.

Meneguk angin fajar menyergap
menjilati langit gemuruh awan,
menumpahkan ombak menikam:

Aku yang selalu mencumbui puisi
tidak rela lepas sebelum kata-kata
menyunggi beban seribu penantian.



[SAJAK JEMBATAN]

Pandanglah lautku, ambillah segenggam awan
sembari tikam gelombang pada himpitan karang.

Pasir beterbangan menjelma lebah di matamu
dan angin tiupan itu pingsan dijemput syairku.

Di sini aku masuk dalam kesadaran jembatan
bayang-bayang menyusuri pantai ke hutan.

Aku menguntitmu
sejauh senja menghulu ke pintu.



[SAJAK JEMBATAN, VERSI II]

Pandanglah lautku, ambil segenggam awan
kan tertikam gelombang di himpitan karang.

Pasir beterbangan mengenai mata angin,
dari hadapan pingsan dijemput syairku.

Di sini, langkahku memasuki kesadaran,
bayang menyusuri hutan rimbun cemara.

Sebias cahaya kota asal matamu
menguntit di senjakala nun jauh,
terlelap mimpi menuju jembatanku.



[DALAM CANDI IJO]

Pahatan kepala naga memberi tanda
ke debu-debu di dinding langit batu.

Memasuki lorong-lorong kota purba
digulungnya gema waktu menstupa.

Kertas-kertas wasiat kekal terbaca
nafas pewaris menyebrangi kisah.

Kura-kura mengucurkan air mata
pada tangan terbuka cahayanya.

Zaman terisi gending bertuah
daya pecinta abadi di dalamnya.



[DALAM CANDI IJO, VERSI II]

Tubuh-tubuh kita gemetar
kunjungi rahim percandian.

Dada berselubung gemuruh
memandangi relief percintaan.

Rambut dewi alam semesta
terurai, ditiup jemari masa.

Dan sangkakala membahana
ke gerbang benderang senja.

Serupa membiar bunga batu
kelopak gemawan menjauh.

Di petang hari melipat peta
mata angin menuju lembah.

Pepucuk daun usia bertaut
dahan mengubah bimbang.

Adakah seruan bayu ditabuh
bertalu-talu ke pembaringan?



[UJUNG]

Makin ayu menghadap siur bayu,
pagi-pagi ombak laut berdentang
:
camar meniti buih tiadalah bosan.

Takdirnya belum terangkum nafas
:
kata-kata tersengal akan bersayap
ke belahan lain adalah gema suara.



[UJUNG, VERSI II]

Kan datang masa-masa lampau
serentang doa tengadah tangan.

Embun dedaun dimamah dendam,
kering dahaga ke ujung penantian.



[PEKUBURAN]

Tergesa pribadiku meminjam penamu
yang terpendam sedari abad lampau.

Izinkan menulisnya di bingkai waktu
sebab hawa kematian menguntitku.

Serintihan gerimis ke pucuk cemas
kenang terjatuh di tumpukan buku.

Dedaun pemandu angin kupu-kupu,
mengepak tiupan keluh ke wajahmu.

Ikan-ikan dingin menari di balik awan,
sehalus kabut pembuka gunung Lawu.

Bergulung angin menunggangi turangga
berderap maju mengingat masa kecilku.

Menerima mesin ketik nyanyikan kenang
mengecup kalbu di sepanjang tapak lalu:

menyusuri prasangka hantu, gumamku.



[PEKUBURAN, VERSI II]

Tergesa diriku meminjam bibirmu
yang terpendam sedari menunggu.

Izinkan kuucapkan di bingkai waktu
oleh telempap telah menanti mautku.

Ibunda malam memanggil di balik tirai
:
puja bergegas memanggul jasad layu.

Dalam pendengaran semakin khusyuk,
jiwa-jiwa hujan menumpahkan tarian.

Musim hening berhamburan keluar,
menjemput bersegala kerinduan.



[SAJAK PULANG]

Penyelamanmu ke dasar laut
tenggelam merangkaki bibir
:
matamu dipedaskan air mata.

Hanya angin penghuni nafas,
tersimpan batu di lipatan besi.

Terukir sebilah keris di jantung
gerbang langit sekilatan takdir.

Pulang berturangga sembrani,
melesatkan titah cahaya hati.



[SAJAK PULANG, VERSI II]

Aku simpan batu granit terlipat besi
kuukir sebilah keris tiada memesan
hanya jantung selalu berkata-kata.

Sepanjang dilempar batu langit,
masa membuka gerbang pulang.

Berdatangan menunggang turangga
titisan titah dewata di telapak tangan,
sejarah tercipta di bawah sadar insan.



[WARUNG KOPI DI HUTAN NGAWI]

Di gerbang waktu memandang wanita
: duduk di warung tengah hutan rimba
tak tersia segelas kopi ujung beranda.

Elang kendarai angin melintasi awan
ditatap menarik harap kucuran hujan.

Diciumnya bau-bau rumbut senjakala,
terpanggang kaki langit di ufuk purba.

Lelempengan bukit tungku cakrawala,
berpeluk petang mata-mata membisu.

Menelusuri malam bertenggelam lama
garis-garis pepohon tinggalkan cahaya.

Hawa dingin terusik hangatan unggun
kayu-kayu arang mendetak teriak api.

Gegas tumpangi mimpi ke batas fajar
seembun pesawahan basahi hari-hari.



[WARUNG KOPI DI HUTAN NGAWI, VERSI II]

Di kepung hutan belantara
pepohon kering meranggas
:
tangkai kemarau rontok sudah
taburkan debu-debu memucat
di jalanan berliku pilu sunyinya.

Tiap kali tergilas roda-roda masa
daun-daun berhamburan menyala
:
menari-nari menuju pinggiran kaki
berkidung-kidung sedih pertiwi.

Di sebalik mendung temaram,
aku memesan segelas wedang
:
manis kental panas menguap.

Seorang gadis terhempas melirik
bawakan cawan di ujung geretan
:
api tersulut, jantungnya blingsatan.

Melewati jendela terbuka, kupandang
musim gugur menanti mekar bunga
:
berharap hijau daun kembali di mata.

Saturday, July 24, 2010

BAYI-BAYI BESAR SASTRA INDONESIA

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Bermula dari sms kawan Fahrudin: “Rel, Geladak Sastra #3 diskusi dg tema GAIRAH MENULIS MENEMBUS KORAN. Kamu jd pembicara ya? Nanti sama Bandung Mawardi dr Solo.” Lalu aku telpon: “Den, tema itu kan tidak cocok denganku?” Dijawablah: “Makanya dibenturkan.” Lantas aku timpali: “Ok kalau begitu.” Tak berselang lama sms lagi: “Gaweo tulisan Rel, temane Gairah Menulis Menembus Koran.” Dan dari status facebook ini, aku coba menuangkan.

Ada beberapa kawan. Kalau merasa senior pasti kalimahku bernada ini, “ada beberapa anak muda” yang datang ke rumah, pada intinya menanyakan cara menembus koran. Aku jawab: “Kau salah kawan, kau sampai ke alamat keliru, aku sendiri sering gagal menembus media.” Biasanya kuberi solusi hijrah ke Jogja. Masuk komunitas Kutub atau Pesantren Hasyim Asy’ari, yang dulu pengasuhnya almarhum Gus Zainal Arifin Thoha. Sebab terbukti di sana, telah banyak menghasilkan karya, serta tersebar pada koran-koran atas jerih ikhtiarnya.

Di waktu tempat peristiwa berbeda, kala bedah buku pun pembicara dalam sebuah diskusi, ada peserta bertanya senada. Aku katakan sekenanya, tentu kuberitahu posisiku sebelumnya. Tidakkah yang duduk di depan undangan, kadang menyerupai insan setengah dewa, apalagi wajahnya bersimpan kharisma. Maka segenap tindak-tanduk ocehannya disimak pula direnungkan. Lanjut berkata: “Ya pelototin saja satu-persatu, tentu tersembul warna kecenderungan.” Kalau redakturnya sedang kasmaran, pasti suka karya berbau sayang.

Untuk pembuka kukira cukup, mari menukik ke dalam. Perkembangan sastra di Indonesia hingga kini dapat dikata, tidak lepas media massa pun yang menghidupi gairah di koran, majalah, jurnal &ll, yang tersebar di daerah dan ibukota. Dari rubrik esai sastra, resensi buku sastra, puisi atau sajak, cerpen, cerbung kepanjangan novel &st. Dari sanalah saling menyapa beradu pendapat, sampai suatu masa dikukuhkan dalam kumpulan atau buku. Lalu menjadi dokumentasi penting, demi perpindahan tongkat estafet ke masa-masa kejayaan selanjutnya.

Di masa kini, ada beberapa penulis yang langsung membentuk pembicaraan hangat. Awalnya tidak melewati koran terlebih dulu namun buku, istilahku ialah masa-masa kecolongan. Aku teringat, sejarah pelukis Van Gogh dalam hidupnya tiada yang mengenal pula menghargai karyanya. Tidak lebih orang-orang sejaman menganggap dirinya seniman gagal. Tapi angin perubahan, siapa sanggup meramalnya tepat. Lukisan-lukisannya menjelma karya termahal, beserta karya-karya besar dunia lain yang capaian nilainya agung pula. Dan para penulis besar tempo dulu juga banyak bernasib sama, yakni alam sekitar dirinya belum mampu memahami kilau jangkauan cahayanya.

Kedatangan para insan kreatif yang tidak menembusi koran, tapi juga menyuarakan jamannya yang berhembusan di pinggiran. Masih saja dipandang sebelah mata, oleh yang sudah lama berakar di media. Jikalau mengurai ini, tentu butuh waktu serius meneliti kandungan karya-karyanya. Tidakkah kita tengok, sejarah sastra Indonesia yang terbangun berawal media massa -koran, ada banyak kelemahan. Ada beberapa sastrawan yang harum namanya di koran-koran selaksa kembang berabadi. Mewujud perbincangan deras menyerupai kekisah sastrawan dunia di masanya. Tetapi mental bersastranya tanggung, tenggelam sudah tidak berkarya, namun masih kerap disebut-sebut orang seangkatan serta dibawahnya.

Ada puluhan penyair ternama menjelma penanda di masanya. Karya-karyanya terhimpun antologi puisi, cerpen, leksikon pula bebentuk dokumentasi terkemuka lain. Namun karena pensiun tidak berkarya, tinggallah bayang-bayang nama, bagiku ini seperti bayi-bayi besar. Dari sini seakan buyar istilah sastrawan di Tanah Air? Sebutan itu seyogyanya untuk yang terbukti setia atau telah mewarnai hasana kesusastraan di negerinya.

Atas telisik pernah kulakukan lewat nguping pun bertanya langsung dengan yang dulu namanya menjadi sorotan, tapi kini mandek. Pula ada masih ingin menulis, tetapi sudah merasa tiada kemampuan lebih. Malah ada yang menganggap hidup dengan menulis itu sia-sia. Yang terakhir bertolak sungguh sedari keadaannya dulu merasa sastrawan ampuh?

Kebanyakan yang berhenti berkarya, selepas menemukan lahan empuk pendapatan hingga terbelit kesibukan. Sampai ruang-waktu perenungan hayati demi berkarya, sudah tidak ditemukan lagi dalam lekuk-leliku hari-harinya. Ada sepertinya ragu-ragu kembali menulis, entah menyiapkan karya terbaik, dengan tidak memunculkan buku atau di koran. Pun pula perkembangan tulisannya tidak setangguh gairah awal. Orang macam ini kebanyakan puas keadaan, merasa berhasil menjadi sastrawan dahsyat, lalu ada sikap merendahkan pendatang baru. Dengan membincangkan kisahnya dulu, sambil bercerita hikayat penulis dunia, seolah-olah telah tersemat dalam lelaku hidupnya.

Yang paling menggelitik bercampur aneh, menganggap kegiataan menulis itu sia-sia, setelah peroleh pekerjaan mapan. Sambil melirik sebelah mata kepada kawannya yang terus bergelut di bencah tanah hitam tinta. Dari tiga wajah di atas, dapat ditangkap dua muka pada kaca benggala. Merasa puas, kedua merasakan hadirnya kegagalan di tengah laluan. Yang pertama masih bergerak di dunia penulisan, tapi energinya melemah tidak segencar awal atau karyanya tak setangguh kemunculannya tapi terus mensyiarkan diri. Sambil melihat pendatang baru bermimik culas, laksana penulis-penulis anyar itu badut-badut di hadapannya. Yang merasa gagal tiadanya keinginan menulis lagi, kita anggap saja ruh kepenulisannya telah lenyap, maka tidak perlu diperbincangkan di sini.

Aku kira yang patut ditempa pertama kali sebelum menjadi penulis, ialah niatan menggelombang, menggerus batuan karang waktu berulang-ulang. Maka kawan-kawan bertanya padaku: “Bagaimana menjadi penulis?” Aku kerap berkata: “Kalau ingin harus sampai mati, jika tidak, jangan. Sebab itu ngerusuhi ruangan pun membuat hidupmu sia-sia.” (jawaban dari kata sia-sia di atas). Atau aku melukiskan: “Di Indonesia penyairnya sudah banyak, mungkin kelewat seribuan lebih, jikalau menelisiki ke seluruh kepulauan di Nusantara. Antara yang sudah jadi, akan jadi, jadi-jadian pun iseng menggurit kata-kata. Bayangkan setiap kota besar ada berapa, hingga pelosok seterusnya. Semua ingin menyerupai sosok penulis kondang, seperti para sastarawan dunia dalam buku-buku yang dibacanya.”

Kalau tetap ngotot, aku bilang: “Ya siap-siap saja suntuk setiap hari, membaca menulis mendekati gila atau mati berkali-kali. Sebab tanpa itu, karyamu kelak tidak memiliki keistimewaan alias kebanyakan, pengekor urutan kesekian.” Sambil aku katakan: “Jangan mencontoh diriku, lihat mereka yang sudah mapan, sebab diriku bisa saja berhenti dan kau malu menyaksikan ulahku.” Kala seperti itu, dendam rinduku semakin menggebu, ingin punya kepribadian sebagaimana sastrawan matang, bukan karbitan.

Jikalau melihat bentukan karya di media massa, kebanyakan seragam mengikuti kecenderungan redakturnya. Atau senafas gaya kepenulisan pendirinya, para redaksi awal yang sastrawan, dan dianggap menjadi penanggung jawab, seolah telah menciptakan madzab kesusastraan tersendiri. Sehingga sulit karya-karya masuk, yang tak sesuai corak dianutnya. Mungkin dari sini, istilah kompromi dengan media itu muncul. Bagi jiwaku yang belia, jalan hidup ialah keyakinan. Di sana tiada bahasa kompromi, namun sikap saling menghargai di atas hasana sungguh ingin dicapai pula ditanggung beratnya, meski berbeda.

Paling fatal andai redaksinya kurang faham sastra pun lingkup sejarah susastra serta perkembangan dalam gairah jamannya. Dan setiap hari disibukkan naskah yang masuk, seakan kerja pegawai negeri ambil gampangnya. Maka bibit-bibit berbakat kurang muncul, pula seakan menganggap tulisan para senior semuanya layak dimuat. Di sebalik itu timbul rasa ingin dihargai lebih, sebagai penelor orang hebat, egonya bersayap, laksana malaikat penyelamat atau dewa-dewa penumpas kejahatan. Di samping ada redaktur yang berhasrat mengangkat faham dipegangnya, dengan menganggap jenis-jenis karyanya, karya-karya anak didiknya, sudah pantas diperhitungkan di kemudian hari.

Bagiku yang pemula ini, redaktur abadi adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia pembolak-balik warna jaman seadil-adilnya. Menghargai yang gigih dalam lingkup perjuangan ikhlas menempuh nasibnya. Tiada bentuk rekayasa di dalamnya, hanya kesungguhan insan menggerus saling menghargai sesama makhluk di bawah kaki kuasa-Nya. Maka terpetiklah, kegagalan melahirkan bayi-bayi besar itu, sebab terlanjur diangkat terlampau tinggi para pencetaknya. Yang belum sesuai karya, serta jerih usaha yang barusan sejumput di dalam kehidupannya. Itu langkah kedholiman alias menempatkan sesuatu tidak pada letak semestinya. Menyundul ke langit-langit kepuasan, bayangannya meraksasa, seagung kemuliaan, seperti sastarawan dunia yang diandaikan.

Presiden Bogambola

Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ayo, kita bebaskan iblis dan setan
Agar jelas mana surga mana neraka
Tanpa dunia di tengahnya!

Kita seakan dibikin bahlul dan geregetan menonton kondisi kisruh KPK-POLRI yang hinggi kini makin memanas. Mafia peradilan, makelar kasus, dan koruptor di mana-mana. Seperti puting-beliung Menggasak siapa saja. Skandal Bank Century sungguh menghantui. Hingga, si Amin, nasabahnya, stress lalu bunuh diri. Lama-lama orang-orang yang terlibat di dalamnya bagai monster. Memangsa saudara sendiri. Negeri ini bak “pabrik aib”, “sampah kebejatan” dan gudangnya anjing-anjing politik yang kerjanya nyolong dan saling menjilat. Tak ubahnya mafioso Michael Corleone dalam The Godfather yang kuasa membeli jabatan kehormatan “Mobilionare” di kepausan Vatikan. Everything is money and gun will finished everything, begitulah yang tersirat di film besutan Francis Ford Coppola dan Mario Puzzo ini. Jadi, demi segala persoalan di negeri ini, apa kira-kira yang dipikirkan Presiden kita?

Jadi pada siapa rakyat berharap penyelesaian semua itu? Pada Presiden? Pada MUI? Pada penegak hukum? Tampaknya tidak ada jaminan. Jika benar-benar serius, apa yang dilakukan SBY dalam 100 hari pemerintahannya? Solusi hanya andai-andai. Ngambang dan lamban. Ya, inilah “Dunia Bogambola” kita: dunia yang buntu, mampat, mentok, no way to run, no way to out. Bayangkan, jika selokan Anda mampat. Sampah menumpuk, menyumbat. Kadang karena bangkai tikus atau kucing kudisan. Baunya minta ampun. Bikin pening dan muntah-muntah. Bau banger, amis, dan rasa jijik juga adalah yang kita tonton tiap hari di TV. Drama politik yang mendebarkan. Santapan sinetron politik yang lebih aduhai, bikin ngiler, belingsatan, lebih menggairahkan plus kepingkal-pingkal ketimbang adegan Aming di film Perjaka Terakhir. Di balik semua keruwetan negeri ini, apa yang selalu digelisahkan Presiden kita?

Sajak Sosiawan Leak “Dunia Bogambola” yang ditulisnya pada 2000 tidak diniatkan menggambarkan kemampatan akut seseorang. Tapi sebagai sindiran, ia menonjok siapa pun. Karena dirinya sendiri juga pernah merasakan kebuntuan sebagai seniman, dan terhentak untuk mencari jalan keluar dengan berseru: Ayo, kita bebaskan iblis dan setan. Tapi toh iblis dan setan telah menguasai babi-babi politik yang sebenarnya tahu perbedaan mana jalan yang menuntun ke surga maupun ke neraka. Mengerti mana halal mana haram. Baik dan buruk. Nista dan bajik. Meski orang-orang Indonesia mayoritas muslim. Ya, puisi Leak cuma kata-kata yang tak mampu seperti celeng hutan menyeruduk kaum koruptor. Puisi bukan Izrail yang dengan seucap geram dapat menggencet nyawa si durja. Puisi juga bukan tank yang seketika bisa melindas ketidakadilan.

Namun, jika dihayati benar, puisi dapat berfungsi sebagai peniup kesadaran. Corong berisi angin kearifan, kendati tak semua orang bisa menangkapnya. Apapun bisa terudar atasnya. Bentuknya bisa kesadaran kolektif yang menggedor kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Mengintrusi alam batin rakyat. Yang sekian lama disia-siakan. Dipecundangi. Ditilap. Digelapkan kesejahteraannya. Reformasi 1998 adalah bukti pemicu gerakan perlawanan rakyat dan pemuda. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”, menemukan momentumnya saat itu. Apakah sengkarut hukum yang didramatisir saat ini bakal meledakkan aksi sosial yang besar? Entahlah. Imajinasi tidak bisa diremehkan. Imajinasi akan “suara Tuhan” sebagai kebenaran yang diangankan dalam konteks psiko-sosiologi menyimpan “daya bangkit” sendiri. Ia dapat jadi hulu-ledak atas nama perlawanan rakyat. Apa pula yang akan diperbuat sang Presiden jika hal itu terjadi?

Krisis kepemimpinan saat ini di ujung ambang. Masyarakat tak lagi percaya. Mereka hanya punya harapan. Mungkin yang tersisa impen-impen kosong. Boleh jadi banyak yang kecewa atas terpilihnya SBY, juga menteri-menteri pilihannya. Setidaknya untuk saat-saat pelik akhir-akhir ini. Tepisan berulang-ulang SBY soal keterlibatan sejumlah tim suksesnya yang diduga menerima aliran dana dari Bank Century untuk kampanye kian mengasapi kebingungan masyarakat. Prasangka pahit dan menyudutkan ini sangat memukul SBY hingga ia perlu bersumpah “Demi Allah” atas tuduhan pengucuran dana tersebut.

Pemerintahan yang bersih dan tata hukum yang steril dari anjing-anjing politikus busuk adalah harapan kita semua. Tak ada yang berharap negara ini mengalami krisis yang menghebat. Sejarah mencatat betapa Jerman, Italia dan Jepang hancur habis-habisan setelah Perang Dunia II, lalu bisa pulih, membangun kembali kejayaan mereka. Raden Patah di Demak juga demikian. Ia bisa memulihkan situasi centang-perenang dan hiruk huru-hara di masa Wikrama Wardana. Di masa selanjutnya, pemerintahan Raden Patah juga mengalami kegoncangan yang luar biasa akibat lahirnya sosok Panembahan Senopati yang menancapkan kekuatan baru di tlatah Mataram.

SBY dan pemerintahannya tidak diperhadapkan pada situasi genting demikian. Hanya yang perlu diingat bagaimana ia mamandang dan menempatkan “rasio” kedaulatan rakyat. Artinya, tujuan SBY dipilih adalah agar cita-cita dan harapan rakyat terwujud. Bukan menambah beban penderitaan. Pasti, rakyat tak menghendaki kekuatan Presiden yang misalnya, absolut, fasis, tiranik, atau lebih kuat menancapkan partai politik tunggal demi kelanggengan kekuasaannya. Buku Membela Masa Depan karya WS Rendra menyebutnya sebagai “Politik Daulat Tuanku”. Inilah praktek yang dilakukan Niccolo Macheavelli di zaman renaissance Eropa di Florenzo, Italia. Ia mendasarkan pemikirannya bahwa stabilitas politik hanya bisa diciptakan oleh seorang penguasa yang secara mutlak menguasai dana dan serdadu dalam negara. Para pemimpin kesohor dunia melakoni teori ini seperti Napoleon, Stalin, Hitler, dan Mussolini. Inilah yang kita khawatirkan terjadi di negeri ini, meski agak mustahil.

Justru “Daulat Hukum” yang sekarang dirongrong, dilanda krisis. Dilecehkan cukong-cukong, dan Anda bisa terkaget-kaget sendiri bagaimana rekaman si Anggodo yang mencatut banyak pihak menyebar menjelma gosip sengak bahkan fitnah. Kewibawaan hukum di sana dimainkan. Ditertawakan. Ditunggangi. Yang fakta disulap jadi fiksi. Yang fiksi direka-rancang sedetil mungkin supaya jadi fakta yang benar-benar dapat dibuktikan. Kita tak lagi tahu mana penegak hukum yang jujur dan bersih dengan penegak hukum yang kotor dan jago bersilat manipulasi. Terasa benar di rekaman itu, si penegak hukum diperintah-perintah dengan cibiran mengece. Jika sudah begitu, sebagaimana kesan Mahfud MD (ketua Mahkamah Konstitusi yang dihadirkan beberapa waktu lalu di acara Kick Andy): para penegak hukum ini seperti “binatang” yang bisa seenak udelnya disuruh-suruh seperti budak. Nah, bagimana Presiden mengatasi semua sengkarut di lembaga hukum Indonesia ini?

Saya tidak berharap, Presiden kita adalah Presiden Bogambola: yang pikiran dan kerjanya tidak fokus karena digrujug banyak persoalan sehingga jadi buntu, mampat, dan mentok. Kita tunggu, dengan debar dan gatal, episode sandiwara politik selanjutnya!

Budaya Lokal dalam Sastra di Mata Cerpenis

Kolecer & Hari Raya Hantu
Eka Fendri Putra
http://www.suarakarya-online.com/

Cerita pendek sebagai salah satu genre sastra, kadang dianggap lebih mudah menuliskannya dibanding puisi, drama atau novel. Padahal menulis cerita pendek membutuhkan kepiawaian mengemas satu fragmen kehidupan yang dipadatkan dalam dunia kata yang lebih pendek. Pengamatan, pemahaman, pengalaman dan imajinasi itulah yang dimunculkan oleh 11 penulis dalam duapuluh cerita pendek. Nama-nama mereka sudah dikenal dengan pengalaman menulis yang cukup menggaram. Kumpulan cerpen ini menjadi menarik ketika dikemas dengan memasukkan warna-warna lokal dalam tradisi yang kadang memunculkan tragedi pada para pelaku budaya tradisi itu sendiri. Kisah-kisah biasa bisa menjadi sangat menarik ketika dikemas dalam dunia kata dengan cara yang apik. Begitu sebagian dari kata pengantar kumpulan cerpen “Kolecer dan Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal” yang diberikan oleh Free Hearty, pengamat budaya dan juga dosen Universitas Al-Azhar Jakarta. Kumcer ini diluncurkan di Gelanggang Remaja Bulungan, Jaksel, Jumat, lalu.

Free Hearty tampil sebagai pembicara bersama cerpenis Agus Noor dalam talkshow “Kearifan Lokal dan Trend Sastra”. “Selain talkshow juga diisi dengan pagelaran seni”, kata Saut Poltak Tambunan, salah satu cerpenis yang karyanya termuat di kumcer itu. Komunitas Persada Etnika dari Bogor misalnya akan menampilkan musik etnis yang menawan, seperti halnya Tunrung Rincik (Rampak Gendang dari Makassar) dan parade lagu daerah yang dinyanyikan oleh beberapa penulis seperti Fanny Poyk, Saut Poltak Tambunan, Nurul Aini dan Shinta Miranda. Mantan wartawan yang kini lebih sering main film Sujiwo Tejo ikut meramaikan acara tersebut. Peluncuran kumcer itu tentu tak lengkap tanpa penampilan para penulisnya, meski tak semua atau karyanya. Cesilia Ces, Benny Arnas, Khrisna Pabichara, Iwan Soekry berduet dengan Irmansyah akan membacakan petikan cerpen karya mereka. Dalam siaran pers panitia, diketahui sekilas tentang pengisi “Kolecer dan Hari Raya Hantu” yang sampulnya didominasi warna hijau itu.

Kumcer itu memang mencoba menampilkan beragam tradisi di Indonesia yang dituangkan oleh 11 cerpenis dalam 20 cerpen, dengan berbagai sudut pandang yang menarik.

Nenden Lilis, cerpenis dari Bandung misalnya menyajikan dua cerpen Hari Pasar dan Kolecer. Dua cerpen yang berkisah tentang kritikan dan kerinduan akan masa lalu, serta pintarnya tukang obat menjajakan barang dagangannya dengan berbagai tipuan.

Hanna Fransisca yang kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat dengan Hari Raya Hantu dan Sembahyang Makan Malam. Dua kisah yang kental dengan budaya leluhur Hanna, yang ditulisnya dengan gaya jenaka namun miris, seperti pada beberapa goresan puisinya.

Sedangkan Benny Arnas (Lubuk Linggau, Sumsel) menyajikan Anak Ibu yang Kembali dan Tujuh. Dua cerpen ini menyajikan budaya daerah yang mengagungkan kehadiran anak perempuan, dan menjadi kekecewaaan kala tak sesuai dengan kenyataan, serta tukang tenung yang sama terhormatnya dengan pimpinan daerah setempat.

Cesillia Ces (Bali) mengemas kisah antara Bali dengan Balige Toba Samosir. Ketika dua anak manusia menjembataninya dengan cinta, mereka berhadapan dengan tradisi masing-masing yang demikian kukuh mempertahankan eksistensinya.

Khrisna Pabichara dari Sulawesi Selatan, memberikan warna lokal dalam tiga cerpennya Laduka, Pembunuh Parakang dan Selasar Ada dendam yang tak pernah padam dalam hasrat yang selalu disimpan. Kepercayaan terhadap mitos. Mitos sering menggiring ke arah yang salah. Ketika mitos tak lagi memberi pengaruh maka pragmatisme merampas semua.

Sastri, Noena dan Oka Rusmini yang memunculkan masing-masing satu buah cerita pendek memberikan tema dengan perempuan sebagai tokoh sentral. Sastri Bakrie (Padang) mempertanyakan penerapan Adat, Tradisi dan Agama dalam budaya Minangkabau dalam cerpennya Baminantu.

Oka Rusmini (Bali) dalam Pastu mengisahkan tentang persahabatan dan bertahan untuk kawin atau tetap melajang. Apakah menjadi perempuan merupakan sebuah kutukan? Karena ketika lajang, perempuan dipandang dengan sebelah mata. Perempuan pun mengejar perkawinan demi status disebut ibu, istri sebagai perempuan sempurna. Lalu Kasta pun menjadi hal yang menyudutkan perempuan pada kondisi kepatuhan dengan resiko tersisihkan bila tidak patuh. Padahal perkawinan sering pula menyeret ke dalam lubang penghianatan demi penghianatan yang kadang berujung kepada kematian demi kematian.

Noena (BMI Hongkong) seakan mewakili kaumnya Buruh Migran di Hongkong. Ia memberikan kisah lain yang berakhir sukses dari perjuangan seorang perempuan yang berada di negeri orang dan didzalimi oleh oknum penguasa setempat. Cerita penderitaan perempuan yang tertindas dan terdzolimi sering terjadi. Kehendak perempuan untuk menemukan diri sendiri atau menjadi mandiri sering berakhir tragis. Sutan Iwan Soekri Munaf (Pariaman, Sumbar) yang lebih akrab disapa Iwan Soekri, menyuguhkan kepiawaian retoriknya dalam prosa liris Pak Gubernur Belum Mendengar Cerita Ini. Iwan mengawali kisahnya dengan kemegahan ‘kerajaan keluarga’ Minang masa lalu, melengkapinya dengan kisah kepahlawanan kaum albino menghadapi musuh, menggunakan otak yang lebih kuat dari otot.

Saut Poltak Tambunan (Tapanuli) mengangkat kisah dengan warna lokal yang kental lewat Lali Panggora, Elang Pengabar, Menunggu Matahari dan Omak. Lali Panggora bukan kisah dalam tradisi, tetapi kisah ini dikemas di lingkaran tradisi yang sering terjadi. Elang Pengabar yang terbang berputar menebar keresahan pada diri si ‘Aku’. Sebaliknya, kedatangan Elang Pengabar memunculkan kegembiraan menunggu kematian bagi pembuat peti mati.

Dalam Menunggu Matahari, Saut Poltak bercerita tentang cinta dan kasih yang diekspresikan dengan cara yang salah. Kekerasan sang ayah dan kemanjaan si Adik telah membuat kakak laki-laki lari dan hilang tak jelas rimbanya. Sedangkan dalam Omak bercerita tentang ibu yang dalam cerita ini Saut Poltak menyebutnya ‘omak’. Perempuan beranak tujuh dengan ’sense of crisis’ yang tinggi, tampil menating nasib ketujuh anaknya di tengah kemelut perang pemberontakan PRRI. ***

Rafilus tak jatuh dari langit

Leila S. Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/

“APA yang hendak diceritakan novel Rafilus?” Ini pertanyaan budayawan Umar Kayam di depan pengunjung di ruang Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Sabtu pekan lalu. Didampingi moderator Salim Said serta Nirwan Dewanto sebagai pembahas, Kayam, dengan suara getar, membacakan makalahnya Rafilus Budi Darma. Komite sastra Dewan Kesenian Jakarta juga mengajukan Umar Junus dan Faruk H.T. untuk mendiskusikan karya-karya Ahmad Tohari.

Usai mengutip bagian yang dianggapnya menarik, kemudian satu per satu Kayam menelanjangi tokoh Rafilus, dan mengasumsikan si narator Tiwar adalah alter-ego Budi Darma. Seperti dalam karya Budi Darma yang lain, tokoh-tokoh dalam Rafilus memang aneh. Ada Rafilus yang awalnya mengesankan Tiwar sebagai sosok tak terbentuk dari daging, tapi besi. Kulitnya hitam mengkilat, seperti permukaan besi yang dipoles. Dan pada waktu berjabatan tangan dengannya, tangan Tiwar terasa akan berantakan.

Ada Pawestri, pacar Tiwar, yang menurut Kayam neurotic dan punya kelainan perilaku seks. Hobinya jatuh cinta pada lelaki pincang dan gigi mrongos, bermata juling, atau kepala botak. Lebih gila, di malam hari Pawestri sering membayangkan dirinya bergiliran digarap banyak lelaki. Menghadapi serentetan keanehan, baik tokoh maupun alur ceritanya, Kayam mempertanyakan novel kedua Budi Darma ini sekadar deretan biografi. Bila biografi, pastilah biografi-biografi yang aneh strukturnya.

Menurut Kayam, biografi punya alur dan struktur jelas. Tapi Rafilus lantas berkembang menjadi novel “antiplot”, bahkan mungkin “antistruktur” atau “anticerita”. Karena itu, ia menyimpulkan unsur-unsur inilah yang menyebabkan novel Budi Darma dikategorikan “absurd”. Lalu Kayam (juga seorang cerpenis) memaparkan lahirnya kesenian absurd di Eropa sejak Frans Kafka — sebelum Perang Dunia I — dan teater absurd Beckett, Ionesco dan Genet, yang menetas usai Perang Dunia II. Ia mengacu pula pada absurditas menurut yang didefinisikan Martin Esslin. Malah, Albert Camus dalam berbagai esei dan novelnya disebutnya sebagai pelopor sastra absurd.

Kemudian, Kayam mempertanyakan karya absurd Budi Darma, apakah didukung kondisi absurd di Eropa Barat. Dan khusus Rafilus, apakah juga didukung pandangan dunia yang pesimistis tentang kondisi kemanusiaan di negeri kita atau dunia umumnya. Akhirnya, Kayam menutup makalahnya: “Sudah sampaikah karya sastra absurd di negeri kita pada kesimpulan absurditas kondisi yang kontemporer?” Atau, mungkinkah karya sastra absurd di negeri kita baru exercise di permukaan kehidupan kontemporer kita? Samakah ini dengan “musik rock Indonesia” dan “fashion Indonesia”? Tutur Kayam kepada TEMPO, ia hanya mempertanyakan apakah unsur pesimisme di Indonesia cukup beralasan melahirkan karya absurd.

Tapi menurut Nirwan Dewanto, sastra absurd di Indonesia sudah lama ada, sejak cerpen Museum karya Asrul Sani diterbitkan di tahun ‘50-an. “Yang disebut karya sastra absurd karena cara mereka melihat dunia di sekelilingnya dan cara berekspresinya berbeda dengan yang realistis. Kedua, karakterisasi dibebaskan tanpa beban sosial, hingga secara ekstrem karakter dalam cerita sudah sama dengan ide,” ujarnya. Penyair muda ini bahkan menganggap bahasa dan pengungkapannya tak dapat dipertahankan lagi karena tanpa mampu menyingkapkan kondisi sebenarnya.

Karena itu, kata Dewanto, bahasa dan teknik absurditas sudah bangkrut. Contohnya, Putu Wijaya yang dulu menulis prosa absurd baru saja melahirkan novel Perang, yang kelihatan menandai kebangkrutan penulisan absurd di Indonesia. Kesimpulan Dewanto membangkitkan semangat sastrawan Satyagraha Hoerip. “Apakah absurditas bukan realitas kita sekarang? Baca Kompas hari ini. Ada berita menunjukkan realitas kita tidak memerlukan logika,” tuturnya.

Menurut Hoerip, berita tentang realitas sosial-politik di Indonesia tak berbeda dengan cerpen Budi Darma berjudul Kritikus Adinan — seorang yang tak tahu kenapa diadili, dan diletakkan di kamar terasing, tanpa ia tahu sebabnya. Menurut Hoerip, realitas di Indonesia justru lebih absurd dari cerita-cerita Budi Darma. Kayam menjawab, “Realitas sosial yang absurd semacam ini jika diceritakan dengan teknik absurd justru menjadi lucu.” Dan biasanya, realitas absurd akan “bermakna” kalau penulis mengekspresikan dengan konvensional dan linier.

Sedangkan Sapardi Djoko Damono, secara terpisah, mengatakan ada kerancuan dalam terminologi absurdisme. Karya Budi Darma, Putu Wijaya, dan Iwan Simatupang janganlah dilihat dengan kaca mata absurditas Barat. Absurditas bisa lahir di mana-mana dalam kondisi pesimistis pengarang terhadap lingkungannya. Penyair dan dosen Fakultas Sastra UI ini menganggap, jika karya Budi Darma atau Putu Wijaya diukur seperti didefinisikan Martin Esslin, tentu tak cocok. Kita berjarak dengan soal nuklir atau perang besar. Rafilus serta karya Budi Darma yang lainnya itu ekspresi absurditas keseharian di Indonesia, yang terdiri dari upacara-upacara. Dan Budi Darma pernah menyatakan, karya sastra adalah abstraksi kehidupan. Pengarang yang baru saja menyelesaikan novelnya Ny. Talis di Bloomington ini berpendapat, “Mereka (karya sastra — Red.) lahir dari realita. Pada hakikatnya, semuanya itu tidak mungkin jatuh dari langit.”

Kreativitas Guru, Tumpuan Pengajaran Sastra

Ahmadun Yosi Herfanda*
http://www.infoanda.com/Republika

Saya selalu merasa bahagia tiap kali membaca karya-karya siswa SMU, puisi maupun cerpen, yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison. Meskipun di satu sisi, suplemen tersebut kerap dianggap memerosotkan wibawa majalah tersebut, tetapi di sisi lain suplemen tersebut cukup menggairahkan budaya menulis kreatif di kalangan siswa. Suplemen tersebut juga menjadi bukti makin banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Jika dikaitkan dengan persoalan pengajaran sastra, yang selama ini sering dikeluhkan, karya-karya siswa SMU pada suplemen tersebut menjadi salah satu bukti bahwa pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, dikutip dari Jawa Pos).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah masih kurangnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra.

Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya — persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, bertumpu pada kreativitas guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Namun, sembari menunggu kebijakan ‘pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa’ yang belum jelas akan disetujui atau tidak alangkah baiknya jika para guru bahasa dapat memaksimalkan pengajaran sastra di sekolah masing-masing. Meskipun hanya menyumbang 20 persen pada nilai bahasa Indonesia, pengajaran sastra perlu diefektifkan dengan menekankan pada apresiasi.

Langkah sederhananya adalah mendorong atau mewajibkan siswa lebih banyak membaca karya sastra, seperti memberi penugasan pada siswa untuk membuat resensi karya sastra sebanyak mungkin. Sementara, siswa-siswa yang berbakat menulis kreatif dapat dipupuk melalui kegiatan ekstra kurikuler di luar jam pelajaran resmi.

Tradisi kompetitif dengan memberi penghargaan pada karya siswa, baik resensi sastra maupun karya kreatif (cerpen dan puisi), dapat juga dipilih untuk merangsang budaya baca dan tulis siswa. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam mengajarkan sastra menjadi tumpuan utama. Hanya dengan kesungguhan, kecintaan, dan kreativitas guru, kualitas pengajaran sastra di sekolah dapat didongkrak secepatnya, agar apresiasi sastra kaum terpelajar kita bisa ditingkatkan lagi.

*) Sastrawan dan wartawan Republika.

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: July 2010 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates