Tuesday, October 30, 2012


Jebakan Menghibur : Propaganda Jepang Di Hindia Belanda 1942-1945
Oleh : Ardan As’ad[1]
            Masa  pendudukan Jepang meskipun hanya berdurasi 3 tahun (1942-1945) begitu membekas dalam catatan sejarah kita. Romusa adalah salah satu kata yang sering digunakan untuk mewakili serangkaian kekejaman bala tentara Dai Nippon. Para penduduk yang terlibat dalam Romusa kondisinya sangat mengenaskan. Jangankan gaji, jaminan makan, pakaian, kesehatan atau bahkan jaminan hidup tidak mereka dapatkan (Isnaeni & Apid, 2008: 6). Kebanyakan mereka yang terlibat dalam kegiatan Romusatenaganya dipakai untuk tenaga pertambangan, pertanian, pembangunan pangkalan militer, serta tidak jarang pula untuk dijadikan Jungfun Lanfu.
            Dalam artikel ini tidak akan dibahas tentang bagaimana kekejaman bala tentara Jepang pada masa pendudukan, atau membahas Romusa, melainkan membahas cara jepang memobilisasi masa lewat propaganda. Menarik rasanya menelisik ulang bagaimana strategi Jepang memobilisasi masa, apakah cukup dengan semboyan 3A? tentu saja tidak, berikut uraian strategi propaganda pemerintah pendudukan Jepang.

KEDATANGAN JEPANG
            Gelombang Pertama Kedatangan orang Jepang ke Indonesia (Hindia Belanda) adalah kedatangan para Karayuki-san setelah masa kekaisaran Meiji yaitu pada 1868. Karayuki-san adalah wanita Jepang yang bekerja di bidang prostitusi. Karayuki-san pada periode tahun 1880-an sering dijumpai di Medan, Palembang, Batavia, Surabaya. Kebanyakan dari mereka ditempatkan di wilayah perkebunan atau pelabuhan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang Belanda, setelah itu barulah disusul oleh golongan pedagang kelontong serta warga sipil lainnya (Astuti, 2008: 1-3). Keberadaan warga Jepang di Hindia Belanda semakin lama semakin bertambah banyak, karena Hindia Belanda merupakan wilayah yang cocok untuk memasarkan barang dagangan mereka.
            Keberadaan masyarakat sipil Jepang di Hindia Belanda mengalami masa-masa yang sulit ketika terjadi konflik dengan pemerintah Hindia Belanda. Saat itu jumlah nelayan dan pedagang jepang sangat banyak. Tidak kurang dari 4.000 nelayan Jepang dengan 500 perahu tersebar di wilayah perairan Hindia Belanda, keberadaan mereka sangat merisaukan pemerintah Hindia Belanda (Onghokham, 1987: 38). Ketegangan  semakin memuncak ketika secara resmi dikumandangkan perang antara Belanda dan Jepang pada 8 desember 1941. Keadaan tersebut diatas tentunya membuat warga sipil Jepang di Hindia Belanda kembali ke negara asalnya.
            Memanfaatken momentum kekalahan Belanda dalam perang melawan Jerman, Jepang kembali masuk ke Hindia Belanda. Kali ini yang datang bukanlah Karayuki-san, pedagang kelontong atau warga sipil lainnya melainkan armada militer. Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di tiga titik pulau Jawa yaitu di Merak (Banten), Pantai Eretan Wetan, serta  di Sragen. Tiga tempat tersebut jadi pilihan karena dianggap lemah dan lebih mudah ditaklukan (Isnaeni & Apid, 2008: 24).  Kondisi Belanda yang carut marut akibat kalah perang membuat Jepang leluasa memasuki Hindia Belanda dengan perlawanan yang tidak begitu berarti. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1942 betempat di Kalijati Belanda menyerah tanpa syarat terhadap pemerinah pendudukan Jepang. Dimulaihah masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda.
PROPAGANDA JEPANG
            Sadar akan keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dalam mengarungi pertarungan melawan sekutu di ajang Perang Dunia II[2]pemerintah pendudukan Jepang  memanfaatkan Hindia Belanda untuk menyuplai kebutuhan perang. Bahkan, tidak jarang bukan hanya SDA saja yang digunakan tetapi juga manusia. Banyak penduduk Hindia Belanda yang ikut perang Asia Timur Raya. Diperlukan mobilisasi penduduk dalam jumlah banyak untuk memenuhi ambisi Jepang dalam perang Perang Asia Timur Raya. Salah satu cara yang tempuh adalah dengan teknik propaganda untuk pengumpulan masa.
            Lawsel dalam (Sunarjo & Sunarjo, 1982 :26) memberikan definisi propaganda yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan kontrol opini. Kontrol opini dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti, cara penyampaian pendapat, melalui cerita, rumor, laporan kegiatan dan bentuk lainya yang bisa dipakai untuk komunikasi sosial.  Dasar pemikiran propaganda pemerintah pendudukan Jepang adalah untuk memobilisasikan masyarakat serta memasukkan idiologi Jepang yaitu demi terciptanya kemakmuran bersama Asia Timur Raya (Nurrokmansyah, 2007: 78).
Beberapa hal yang dipropagandakan antara lain untuk menerangkan bahwa Jepang sebenarnya adalah keturunan Dewa yang ditakdirkan memimpin dunia, menerangkan bahwa Inggris, Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi, serta perang pasifik mempunyai tujuan suci untuk membangun Asia Timur Raya (Sunarjo & Sunarjo, 1982:17-18). Untuk keperluan propaganda maka pemerintah pendudukan Jepang mendirikan beberapa lembaga penunjang seperti Sendenbu (Departemen Propaganda). Sendenbu dalam perjalananya selain sebagai biro propaganda juga bertugas mensensor semua surat kabar, majalah, bahkan naskah sandiwara yang ada, dalam hal ini Sendenbu dibantu oleh Kempetai (Polisi Militer).
            Beberapa surat kabar yang menjadi corong propaganda Jepang antara lain adalah Asia Raya di Jakarta, Tjahaya di Bandung, Sinar Matahari di Jogjakarta, Sinar Baroe di Semarang serta Soeara Asia di Surabaya (Nurrokmansyah, 2007: 80). Selain lewat surat kabar dan media massa lainya, pemerintah pendudukan Jepang juga memanfaatkan seni pertunjukan sebagai sarana propaganda. Perkumpulan-perkumpulan sandiwara sengaja ditugaskan untuk berkeliling sebagai alat propaganda pada masyarakat. Beberapa diantaranya adalah Noesantara, Bintang Soerabaja, Tjahaja Timoer dan Dewi Mada (Huntari, 2009: 57). Pertunjukan sandiwara sepertinya lebih tepat dipakai untuk corong propaganda karena sangat berpotensi mengundang gerumulan massa, dinikmati setiap lapisan masyarakat serta berupa hiburan. Tidak ketinggalan pula Jepang memanfaatkan tokoh lokal untuk menarik masa. Mereka dijadikan peminpin organisasi buwatan Jepang dengan imbalan janji kelak akan diberi kemerdekaan. 
            Surat kabar Tjahaja pertama kali terbit pada 8 Juni 1943. Pada edisi pertama dijelaskan oleh Kolonel K Matsui seorang pembesar pemerintah bala tentara Dai Nipponbahwa tujuan terbitnya surat kabat Tjahaja adalah membimbing penduduk Hindia Belanda untuk menjadi hamba Teno Heika serta untuk keteguhan kemakmuran bersama. Tjahaja juga bertujuan untuk membangkitkan penduduk dari lembah kesengsaraan dan menggerakkan mereka untuk mengejar cita-cita yang mulia, yaitu kemakmuran bersama Asia Raya (Tjahaja, 8 Juni 1943). Dengan begitu diharapkan bahwa penduduk Hindia Belanda akan percaya pada pemerintah pendudukan Jepang, serta rajin mengikuti perkembangan berita di surat kabar Tjahaja.
“---Toedjoeanja ialah akan mendidik dan memimpin pendoedoek Indonesia soepaja mendjadi hamba TENNO HEIKA baharoe dan soepaja beroesaha lengkap dan sempoerna goena ketegoehan Asia Raya, ---dapatlah TJAHAJA membangkitkan pendoedoek dari lembah kesengsaraan dan menggerakan mereka mengedjar tjita2 jang maha moelia---” (Tjahaja, 8 Juni 1943)

Selain Tjahaja di Bandung, Soeara Asia  adalah salah satu surat kabar yang menjadi alat propaganda jepang di Jawa timur. Selain memuat kabar tentang perkembangan dari kabar perang Pasifik, kondisi umum yang terjadi di Jawa tidak jarang surat kabar ini juga memberitakan tentang ajakan , seruan serta himbauan untuk membantu serta berpartisipasi dalam perang. Tidak jarang pula propaganda melibatkan kegiatan lain seperti sepak bola, seperti diberitakan pada Soeara Asia 25 September 1943 sebagai berikut:
            Atas oesaha kesebelasan sepakraga dari pegawal Harima Butai Soerabaja baroe-baroe inil telah diadakan pertandingan sepakraga. Pendapatan loemajan djoega. Oeang ini akan di persembahkan kepada P.T Soerabaja Syutyokan sebagai soembangan oentoek perang sotji peristiwa ini membuktikan djoega adanja kehendak mereka membantoe perang soetji sekarang ini. karena mereka telah lnsjaf bahwa kemoeliaan Noesa dan Bangsa bergantoeng kepada kemenangan terachir Dai Nippon dalam peperangan di Asia Timoer Raya”(Soeara Asia, 25 September 1943).
           
            Petikan berita diatas menunjukkan bahwa uang hasil penjualan tiket masuk menonton pertandingan sepak bola juga digunakan untuk keperluan perang. Penonton yang masuk dengan membayar tiket dianggap sudah insyaf karena bersedia menyumbang untuk keperluan perang demi kemuliaan nusa dan bangsa serta kemakmuran Asia Timur Raya. Tiket pertandingan sepak bola di Surabaya di jual pada kisaran harga 40 cent untuk kategori tribun, 30 cent untuk tempat duduk serta 20 cent untuk penonton berdiri (Pewarta Perniagaan, 2 Juli 1942). Pemasukan dari hasil pertandingan tersebut sebagian akan digunakan untuk keperluan pemerintah pendudukan Jepang, baik untuk perang atau biayaya oprasional lainya.
           
            Selain dengan media sepak bola, sarana hiburan lain yang digunakan untuk propaganda yaitu melalui film yang diputar di bioskop. Di Bandung pada hari jum’at 12 Juni 1942 diadakan pemutaran film propaganda di bioskop FUJI dan Ginza. Di bioskop FUJI akan diputar film yang berjudul Gives Us Wings, sedangkan di bioskop GINZA diputar film dengan judul 13 Stuhle (Tjahaya, 11 Juni 1942). Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang cerita film yang akan diputar, layaknya film propaganda bisa dipastikan film tersebut akan sangat kental dengan nuasana semangat serta heroism dan tentunya kepentingan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
            Pemerintah pendudukan Jepang juga gencar melakukan propaganda dengan memanfaatkan sarana hiburan Sandiwara. Sandiwara dipilih karena dianggap dapat menggelorakan persaan orang banyak. Tema-tema yang diangkat dalam sandiwara antara lain tentang gagasan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, pengerahan romusa, hiburan untuk prajurit-prajurit Jepang, pembelaan tanah air, peningkatan hasil produksi pertanian dan pengorbanan untuk menyumbang pendapatan untuk organisasi militer Jepang (Huntari 2009: 43). Cerita serta tampilan sandiwara dibuat semenarik mungkin agar penduduk dapat menikmati serta menangkap maksud dari Sandiwara tersebut.
            Sandiwara digunakan sebagai salah satu sarana utama pemerintah pendudukan Jepang untuk melakukan propaganda karena bisa dinikmati semua kalangan. Berbeda dengan bioskop yang memang lebih menarik tapi tidak bisa diakses oleh semua kalangan, bioskop hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja. Untuk mendukung kebijakan tersebut maka dibangunlah sekolah Tonil pada bulan Juni 1942 di Jakarta. Sekolah ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas seni sandiwara berdasarkan semangat ketimuran. Sekolah Tonil mendidik para calon penulis naskah, aktor atau pemain sandiwara, serta para staf lainya. Tampil sebagai pengajar pada adalah tiga ahli seni dari Jepang yaitu R Takeda, Jasoeda, dan Takoema serta mantan sutradara film masa Hindia Belanda yaitu R Afiffien (Huntari, 2009: 44).
            Salah satu perkumpulan sandiwara yang terkenal adalah Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) yang dipimpin oleh Hinatu Eitaroo. Beberapa lakon sandiwara yang pernah dimainkan antara lain adalah “Fadjar telah menjingsing”, “Samoedra Hindia”, “Moesim Boenga di Asia”, “Boenga Rampai Djawa Baroe” dan banyak yang lainya. Lakon Moesim Boenga di Asia dikarang untuk memperingati hari pecahnya perang Asia Timur Raya (Koosai). Alur ceritanya tentang persamaan kebudayaan antara Jepang dengan negeri-negeri di Asia lainya seperti Indonesia, Birma dan Tiongkok serta mengisahkan heroisme Jepang melawan penjajah bangsa Barat dari Asia (Hitanu, 1945; Huntari, 2009: 89-90). Dengan menunjukan kesamaan budaya, Jepang bertujuan untuk memperkuat opini bahwa mereka adalah saudara tua bangsa Asia. Sementara itu, kisah heroisme digunakan untuk melegitimasi bahwa Jepang adalah pemim[in Asia untuk melawan bangsa Barat yang menjajah di Asia.


Gambar 1. Iklan Sandiwara Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa
dengan lakon Cerita Moesim Bunga di Asia
(Asia Raya, 4 Desember 1944)
            Pemerintah pendudukan Jepang juga memanfaatkan poster, pamflet dan gambar dalam melakukan propaganda. Penggunaan media bergambar digunakan menginggat sebagian besar penduduk masih buta huruf, sehingga media gambar dengan sedikit saja pesan tulisan lebih bisa dipahami penduduk daripada melalui artikel di surat kabar. Gambar dibuat sesederhana mungkin tetapi pesan yang terkandung didalamnya termuat dan dapat dipahami oleh penduduk yang melihatnya.


diakses tanggal 17 Oktober 2012)

            Gambar diatas adalah salah satu sarana propaganda Jepang lewat poster. Pada gambar nampak seorang pemuda Bumiputra yang nampak gagah dan berani menggunakan seragam PETA serta menbawa senjata. Pesan yang hendak digambarkan adalah seorang pemuda sedang berjuang dalam perang dan mengajak pemuda-pemuda lain yang ingin berjuang agar bergabung dalam PETA. Kata “IKOETLAH!” yang ditulis menggunakan huruf berukuran besar menujukan penekanan dan inti pesan yang akan disampaikan yaitu ikutlah dalam PETA tersebut.
            Pemerintah pendudukan Jepang juga memanfaatkan karisma serta daya pikat tokoh lokal dalam memobilisasi masa. Seorang tokoh tentu punya pengikut yang loyal dan setia mengikuti perintah tokoh panutanya, hal inilah yang coba dimanfaatkan oleh Jepang. Tokoh-tokoh yang berkolaborasi dengan Jepang antara lain Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantoro serta K.H Mas Mansoer yang terkenal dengan istilah “Empat Serangkai”. Pada tanggal 9 Maret 1943 pemerintah pendudukan Jepang mendirikan POETRA (Pusat Tenaga Rakyat) yang digawangi oleh Empat Serangkai. Dalam memoarnya Hatta (2010: 49) mengakatan bahwa titik berat tugas putra adalah untuk mempropagandakan masalah meruntuhkan sekutu serta menambah hasil bumi. Selain itu, guna memobilisir golongan Islam pada oktober 1943 dibentuklah Majelis Syuro Muslimin (Masyumi) yang dimpin oleh K.H Hasyim Ashari, sedangkan yang menjalankan kegiatan sehari-hari adalah K.H Wachid Hasyim.
            Jepang menggunakan berbagai macam strategi untuk mengikat para tokoh lokal dalam organisasi yang dibuatnya. Salah satunya adalah dengan memeberikan sedikit kebebasan, misalnya boleh menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun dalam pengawasan dan kendali Jepang kegiatan beserikat dan berorganisasi diperbolehkan. Hatta (2010: 52) mengungkapkan bahwa pemerintah pendudukan Jepang mengakatakan bahwa mereka tidak bertujuan menjajah bangsa Asia, melainkan akan memerdekakannya. Pemerintah Jepang menduduki Indonesia adalah untuk mengusir imperialis Belanda.
            Demikianlah beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk memobilisasi masa dan menggiring opini penduduk Indonesia. Pemerintah pendudukan jepang sukses membuat jebakan yang menghibur bagi penduduk Indonesia. Mereka tidak merasa jika sebenarnya semua yang dikerjakan hanya untuk kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.

Daftar Rujukan
Surat Kabar
Asia Raya, 4 Desember 1944
Tjahaya, 11 Juni 1942
Tjahaja, 8 Juni 1943
Soeara Asia, 25 September 1943
Pewarta Perniagaan, 2 Juli 1942
Buku dan Internet
Apid & Isnaeni, H.F. 2008. Romusa : Sejarah yang Terlupakan. Jogjakarta : Ombak.
Astuti, M.S.P. 2008. Apakah Mereka Mata-Mata? Orang-Orang Jepang
di Indonesia 1868-1942. Jogjakarta : Ombak.
Hatta, M. 2010. Untuk Negriku : Sebuah Otobiografi. Jakarta: Kompas
Hera, F.X.D.B.B. 2011. Menjual Tubuh di Negeri Jajahan : Prostitusi Jepang di Hindia Belanda 1885-1912. Jakarta : Jurnal AGSI Edisi 4/juli-september 2011.
Herdiansyah. 2012. poster propaganda Belanda dan Jepang masa penjajahan. (online, http://newprasastyfm.blogspot.com/2011/02/poster-propaganda-belanda-dan-jepang.html,
diakses tanggal 17 Oktober 2012.)

Huntari, F. 2009. Sandiwara dan Perang : Politisasi Terhadap Aktivitas Sandiwara Modern
Masa Jepang. Jogjakarta : Ombak.
Nurrokhmansyah, H. 2007. Media Propaganda Jepang : Surat Kabar Soeara Asia 1942-1945 dalam Basundoro, P Dkk, 2007 Tempoe Doeloe Selaloe Aktoeal. Jogjakarta : Ar-rruzz Media.
Onghokham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta : Gramedia.
Soenarjo & Soenarjo. 1982. Mengenal Propaganda. Jogjakarta : Liberty.




[1]  Aktif di FSKI (Forum Studi Kebangsaan Indonesia)
[2]Terkadang juga disebut dengan istilah Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik

CONRAD, WELLS, AND IDEAS REVOLUTION

Daya N. Wijaya
Dayawijaya15@yahoo.com
MA History, University of Sunderland, UK


It is believed that period of nineteenthcentury havemany changes of ideas not only coming from situation and condition of war but also people havemany inventions in term of science. There is a lot of people use their logics to understand human condition and show to the world through many works, one of them by literature. Literature tended to influence all of mind by imagination of author and also in this age, Conrad and Wells introduced common society with scientific studies and their rules to have the truth. However, they used a fiction book but the reader knows their purpose to have the rational logics. Having different ways to find rightness of things brought them to the conflict of ideas reflecting the condition of the age of ideas revolution. It was a natural condition to transform the logics of man from irrational to rational thinking. Learning from Marx, in term of dialectics, it is clearly seen that the principle of development by contrast and conflict can modernize the human way of thinking. In this age also, the war of ideas started between idealism and emprism. But, Karl (1973, p.1049) stated that it is not a new thing because the discussion existed since Plato & his student, Aristotle between the power of mind and experience.
In Literature, the rapid changes of ideas influenced the man ways of thinking to be more rational and logic. Wells’ job of “The Time Machine” and “the Island of Docor Moreau” had well described how science become a sign of changing in term that people call modernity. Childs (2000, p. 38) pointed out that the both of works brought the mood of decades to the reader because written at the end of century when societies were always discussed it. The Time Machine reflecting current issues of human development, degeneration, and depravity. Then, the Island of Doctor Moreau, asked the reader to use the critical views that science had many advantages and also disadvantages for the development of world.

In brief, the novel of Wells under the title of The Island of Doctor Moreau told the reader about someone who had a name Prendick got a shipwrecked in the ocean and Montgomery (the doctor) revived him then explained him they were on the way to unnamed island where he worked. After arrived on the Island, Prendick met Doctor Moreau who conducted a research in that place and he was really curious with his research. Hence, Moreau explains to him that he had been on the island for eleven years, striving to make a complete transformation from animal to human. Apparently, his reason for the pain was scientific curiosity. Prendick accepted the explanation as it began life on the island. One day, Moreou had a difficulty when the puma was free of his restraints and escape from the lab. Moreau pursued it, but the two end up killing each other. Montgomery fell apart, and having gotten himself quite drunk, decided to share his alcohol with the Beast Men. Prendick tended to stop him, but Montgomery threatened violence and leaved the enclosure alone with bottle in hand. Later in the night, Prendick heard a commotion outside; he rushed out, and saw that Montgomery appeared to had been involved in some scuffle with the Beast Folk. He died in front of Prendick, who was now the last remaining human on the island. He did not attempt to claim Moreau's vacant throne on the island, but he instead settled for living with the Beast Folk as he attempted to build and provision a raft with which he intended to leave the island. Luckily for him, he had a raft in the beach and leaves the next morning. He was picked up by a ship only three days later.
It is interesting to elaborate Prendick’s psychology and his reflection after returning to England. He said:
“and unnatural with my return to mankind came, instead of that confidence and sympathy I had expected, a strange enhancement of the uncertainty and dread I had experienced during my stay upon the island. No one would believe me, I was almost as queer to men as I had been to beast people.....I do not expect that the terror of that island will ever altogether leave me, at most times it lies far in the back of my mind, a mere distant cloud, a memory and a faint distrust; but there are times when the little cloud spreads until it obsecures the whole sky..... (Wells, 1974, pp. 174)
The assertions above shows that he get a traumatic event in the island and this event exist in his mind especially in his unconscioussness. Then, his unconscious indirectly determine his behaviour and  his activities. In moses and monotheism, Freud explains a lot of theories, especially latency memory, about this phenomena. He explains the neurotic stages theory and one of stages, called latency stage. The latency, which exists both in the individual and the collective, is a sort of mental period of incubation, where the traumatic event is forgotten to the conscious mind, but remains subconsciously and gains strenght, so that when it erupts, it is much more potent than it was at the time of the traumatic event. It is specially worthy of note that every memory returning from the forgotten past does so with great force, produces an incomparably strong influence on the mass of mankind, and puts forward an irresistible claim to be believed, against which all logical objections remain powerless. Beside that, Prendick also said about his views of human nature:
“......I look about me at my fellow men. And I go to fear. I see faces keen and bright, others dull or dangerous, others unsteady, insincere; none that have the calm authority of a reasonable soul. I feel as though the animal was surging up through them; that presently the degradation of the islanders will be played over again on a larger scale. I know this is an illusion, that these seeming men and women about me are indeed men and women, men and women for ever, perfectly reasonable creatures, full of human desires and tender solicitude, emancipated from instinct, and the slaves of no fantastic law-being altogether different from the beast folk....” (Wells, 1974, pp. 175).
However, the assertions show that human and animal are different things because humans are rational and animals are instinctive but Freud believes that Humans are animals with inborn biological "drives" for sex and aggression. Every person is subject to unconscious mental processes that are capable of influencing behaviour. Freud changesthe view of human nature from that of a rational being to a complex animal of primitive urges, desires and emotional preferences barely kept under control by peer pressure and the repression of society.
It can be clearly seen that Wells emphasizes on empirism using empirical evidences and experience to conclude his theme of human nature. On the contrary, Conrad uses rationalism assuming his thesis can be supported by his experiences and empirical evidences. Conrad’s work of “The Heart of Darkness” give the reader understanding of colonialism and confrontation of the civilised and savage man reflected by Marlow’s character. In brief, Heart of Darknessfollowedone man’s nightmarish journey into the interior of Africa. Aboard a British ship called the Nellie, three men listen to a man named Marlow recounted his journey into Africa as an agent for the Company, a Belgian ivory trading firm. Along the way, he witnesses brutality and hate between colonizers and the native African people, becomes entangled in a power struggle within the Company, and learned the truth about the mysterious Kurtz, a mad agent who has become both a god and a prisoner of the "native Africans." After "rescuing" Kurtz from the native African people, Marlow watches in horror as Kurtz succumbs to madness, disease, and finally death. Finally,Marlow returns to England, but the memory of his friend haunts him.
The issue of tyranny was a central theme in conrad’s work not only in private life just like Conrad’s work “Chance”, he showed that the feminism espoused by Mrs Fyne provides a mistaken solution to its threat (Hayes, p. 104) but also public life, depicted in The Heart of Darkness above, the tyranny of Roman conqueror to the world. The novel also gave illustration of colonialism in Congo from the journey of Marlow and alongside it; he had inner conflict between employee of the company and the feeling of humanity. As known that manifestation of colonialism was present in military control, administration, the establishing of lines of communication (railways), the exploitation of a native labour force to produce the country’s natural resources. In the final point of producing natural resources, colonial governed corruptly and always used one of brutal physical control: detribalization was not only a removal of natives from their normal environment and habitual social groupings and practices but also the imposition of an alien language and transformation of indigenous cultural practices and rituals through the introduction of European Culture (Fothergill, 1989, P.40), it is called tyranny in term of colonialism.
Marlow is the central man in Heart of Darkness because Conrad tends to emphasize his ideas to the character. It is interesting to elaborate the psychology of Marlow in the novel, why he has inner conflict while he accepts to do the job. He said:
“....and presently he said, very slow—‘I was thinking of very old times, when the Romans first came here, nineteen hundred years ago—the other day…. Light came out of this river since—you say Knights? Yes; but it is like a running blaze on a plain, like a flash of lightning in the clouds. We live in the flicker—may it last as long as the old earth keeps rolling! But darkness was here yesterday. Imagine the feelings of a commander of a fine—what d’ye call ‘em?—trireme in the Mediterranean, ordered suddenly to the north; run overland across the Gauls in a hurry; put in charge of one of these craft the legionaries—a wonderful lot of handy men they must have been, too—used to build, apparently by the hundred, in a month or two, if we may believe what we read. Imagine him here—the very end of the world, a sea the colour of lead, a sky the colour of smoke, a kind of ship about as rigid as a concertina— and going up this river with stores, or orders, or what you like. Sand-banks, marshes, forests, savages,—precious little to eat fit for a civilized man, nothing but Thames water to drink....” (Conrad, pp.8-9)
It is clearly seen that he (and his society) has a repressed memory of Romans colonialism and held his unconciouss, continuing to influence his consciousnees. According to Freud having the views of human mind, believed that the majority of what people experience in the lives, the underlying emotions, beliefs, feelings, and impulses are not available to us at a conscious level.  He believed that most of what drives (instinct or wishes) them is buried in our unconscious. If people remember the “Oedipus and Electra Complex, they were both pushed down into the unconscious, out of our awareness due to the extreme anxiety they caused.  While buried there, however, they continue to impact them dramatically. The role of the unconscious is only one part of the model.  Freud also believed that everything people are aware of is stored in the consciouss. The final part is the preconscious or subconscious.  This is the part of us that people can access if prompted, but is not in our active conscious.  It’s right below the surface, but still buried somewhat unless we search for it.  Information such as our telephone number, some childhood memories, or the name of your best childhood friend is stored in the preconscious. (Boeree, 2006, pp.5-6).
Commonly, people use iceberg analogy to illustrate Freud's structure of the human mind. The mind is likened to an iceberg, only the tip of an iceberg, or the mind, is visible. This is our conscious, or awareness. Just under the water line is our preconscious or dream state. The vast bulk of the iceberg or mind is hidden from view. We are unaware of it. This is our unconscious. Our unconscious contains our instincts, passions and fears. It is where long-forgotten memories of personality-forming experiences are held. Often parts of an iceberg break off and float to the surface. Likewise Freud thought bits of our unconscious could break off, and float to the surface of our conscious awareness in terms of neuroses.
The best sample of the concept above as depicted byFreud, in his work ‘Moses and Monotheism’, gives the reader great analysis of relations between Judaism and Christianity in Europe also Jews and German in particular.  Judaism is the root of monotheism and the figure of Moses is central. He argues that there are two Moses, one is Egyptian because the word “Mose” means children in ancient Egyptian and Egytian Moses intruduced circumcision (rite) to Jews as a mark of holiness. The other is a Midianite who introduced the Jews “Yahweh” means the god. So Judaism is fusion of ancient Egyptian god and “Yahweh”. One day, Jews killed the Egyptian Moses and refused to acknowledge that they had done to do it. This killing of father figure was a traumatic event which continued to influence the Jews unconsciously. The Jews produced an attempt to handle this repressed memory by developing christianity (originally Judaism). In this stage, the son (christianity) tended to offer his father to assuage the guilt (murder of Egyptian Moses). But, Jews turned to against christianity and killed the founder of christianity. The Jews were subjected to pogrom in this period of European History. Hence, Nazism tried to awake his nation to be Supermen and they believe there are no race better than German. They really hated Jews because they had a glamorous live and reacted jealous feeling and anti-semitism for them. Finally, they decided to kill a lot of Jews (Bocock, 1983, pp.110)
Based on Freud explanation through learning religious narratives of Moses and relations of Judaism and Christianity, people can understand human condition and the causing factors of the present events. Freud also uses his critically thinking of Torah or Bible in order to be trapped of misunderstanding because some assertions of the holy book having many ambiguities. Hence, literary work shows people the zeitgeist or soul of age from society in form of words and naturally this work coming from author’s reflection or author’s imagination. Both of them can equip each other to make people have comprehensive understanding.


References


1.      Bocock, R., ‘Sigmund Freud’ (Sussex: Ellis Horwood Ltd,1983)
2.      Boeree, C., ‘Personalities Theory’ available at http://www.ship.edu/%7Ecgboeree/ perscontents. html (2006)
3.      Child, P., ‘Modernism’ (London: Routlegde, 2000)
4.      Conrad, J., ‘Heart of Darkness’. Available at http://www.planetpdf.com
5.      Fothergill, A., ‘Heart of Darkness’ (Milton Keynes: Open University Press, 1989)
6.      Hayes, P., ‘Conrad, Male Tyranny and The Idealization of Women’, ARIEL: A Review of International English Literature, 28 (1997) pp. 97-117, available at http://ariel. synergiesprairies.ca/article/download.3047-3044-1PB.PDF
7.      Karl, FR., ‘Conrad, Wells, and The Two Voice’, PMLA 88 (1973) pp. 1049-1065, available at http://www.jstor.org/discover/10.2307/461639
8.      Stenudd, S., ‘Freud’s Moses and Monotheism’ available at http://www.stenudd.com/myth /freudjung/freud-mosesmonotheism.html.
9.      Wells, HG., ‘The Island of Doctor Moreau’ (London: Heinemann, 1974)

Thursday, October 11, 2012

Yang Manakah Sastra Kita Sebenarnya? (Antara Kontekstual dan Universal)

Sutejo
Surabaya Post, Feb 1990

Setiap saat kita selalu dihadapkan pada pertanyaan klasik, namun bila kita bicarakan akan semakin asyik. Yakni, tentang manakah sastra kita? Sehingga jawabannya akan sangat perspektif sekali, tanpa ada suatu kepastian. Termasuk para ‘’dewa-dewa sastra’’ sekarang tak mampu memberikan jalan tengah. Mereka berpendapat sendiri dengan penuh kesubjektivitasan. Di satu sisi, di dengungkan tentang sastra adiluhung yang mempunyai nilai sastra tinggi, dengan begitu orientasi diarahkan pada lapisan masyarakat tertentu, yakni para kritisi sastra. Sementara, di sisi lain didengungkan tentang sastra yang kontekstual, yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat (sosial, budaya, pendidikan, teritorial daerah, dan seterusnya).

Satu hal yang patut kita amati adalah masalah penentuan manakah sastra, dan manakah yang bukan (belum) sastra. Agaknya keputusan masih terletak erat di tangan para kritisi sastra. Efek dari keadaan ini tampak sekali dalam dunia pengajaran sastra di sekolah, yang banyak memanfaatkan vokal para kritisi sebagai senjata andal dan pamungkasnya. Bahkan, tidak jarang dalam mengajarkan sastra mereka mengenakan ‘’seragam apresiasi’’, kemudian dikenakan beramai-ramai oleh siswa sebagai penikmat sastra. Dan jarang sekali, memilih karya sastra yang bertebaran dan yang telah terpublikasikan di media massa.

Inilah kenyataan sekarang. Terkecuali bila pengarangnya sudah mempunyai tahta –sebagai sastrawan yang mapan- bukan sastrawan pemula yang masih banyak mencoba-coba mencari bentuk dan jati diri.  Maka dari keadaan ini, tidaklah mengheranka bila pada ‘’pertemuan Sastrawan Muda Jawa Timur’’ tempo hari, ada semacam kesepakatan masalah perlunya respon para kritisi terhadap karya mereka, minimal diperhatikan dan diperhitungkan kehadirannya. Atau, katakanlah, ada semacam kesepakatan dibutuhkannya ‘’keterterimaan’’ atas kehadirannya, bukan antisipasi ataupun ‘’keteracuh-tak-acuhan’’.

Barangkali, inilah suatu keironisan panjang yang akan menjadi keriskanan, bila sang kritisi tidak juga mau dan sudi mengerlingkan mata pada sastrawan muda yang mencoba merangkak untuk menemukan sosok sastranya yang ideal, karena mereka ibarat tumbuhan adalah calon-calon benih yang akan tumbuh. ‘’Bagaimana agar mereka tidak mati?’’ tentunya dibutuhkan siraman dan perhatian terhadapnya agar tidak musnah.

Sastra Universal

Sastra inilah, agaknya yang diidealkan oleh kritisi sastra, yakni ‘’sebuah karya sastra yang berada di awang-awang’’, karena sastra ini dianggap mempunyai nilai rasa universal, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, yang berlaku kapan saja dan di mana saja. Dan sastra macam ini hanyalah milik orang-orang tertentu. Ambillah contoh, karya sastra yang mendapat Hadiah Nobel, yang penciptaannya cenderung diorientasikan untuk konsumsi bagi konsumen tertentu, yakni para kritisi sastra. Dengan begitu, akan terasa adanya kesenjangan panjang dengan penikmat yang lain.

Pada keadaan ini, muncullah problema bahwa sastra kita akan menjadi tidak akrab lagi dengan publik sendiri (masyarakat), tepatnya hanya untuk kalangan tertentu. Sehingga akan terasa menyakitkan bila ketidaktahuan penikmat yang lain, dianggap sebagai suatu keterbelakangan, kebodohan, dan kepicikan apresiatornya. Bukankah sebenarnya sastra kita mempunyai corak tersendiri dengan yang lain?

Dan barangkali, sastra yang macam inilah yang diidealkan dalam tulisan sastrawan Bandung ‘’Obsesi Resepsi Sastrawan Muda Jawa Timur’’, dengan menampilkan beberapa tuntutan dalam menentukan kebermaknaan suatu karya, diantaranya (i) sudahkah karya sastra yang dimaksudkan memenuhi harapan si apresiator (Jauss dan Mandelokov) sehingga dengan begitu akan diperoleh adanya perluasan jarak estetis dan penemuan norma baru, (ii) apakah faktor ketidaktentuan (inerden) dan bidang kosong (Iser) dapat dihadirkan oleh sang kreator dan konstruktif, sehingga karya mempunyai pesona untuk diapresiasi.

Dalam keadaan ini, agaknya yang patut dicatat adalah apresiator kita yang beragam, sehingga akan muncul kemungkinan bahwa karya itu bermakna bagi yang satu belum tentu bagi yang lain, indah bagi apresiator yang satu belum tentu indah bagi apresiator lain. Padahal, keindahan dan kebermaknaan itu bukankah ada pada karya itu sendiri, penikmat sastra (apresiator), dan keindahan yang ada di luar antara keduanya. Barangkali yang terpenting adalah bagaimana karya itu bisa berinteraksi secara elastis dan fleksibel dengan penikmatnya.

Sastra Kontekstual

Sastra ini secara ekstrem dapatlah dikatakan sebagai pertentangan dari sastra universal. Sastra yang dibatasi oleh konteks tertentu, mempunyai nilai yang berbeda dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, tempat yang satu berbeda dengan tempat yang lain, begitu seterusnya. Mungkin karya sastra yang bertebaran hijau di lahan massa dapat digolongkan dalam sastra ini, di mana sastra yang demikian mempunyai hubungan yang lebih akrab  dan menyatu dengan penikmatnya. Bukan saja bentuk-bentuk yang demikian dapat dikatakan sastra, seperti halnya Yudhistira yang mengatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang bisa berkomunikasi dengan lingkungan. Dicontohkan salah satu bentuknya sastra dangdut. Bagi Romo Mangun, lebih berbicara masalah keagunan yang menggantikan konsep keindahan secara formal dalam dunia sastra –keindahan adalah formal dalam dunia sastra – keindahan adalah kecerlangan kebenaran (puchrum splendor est veritas), sehingga sastra yang berkualitas baginya adalah sastra yang mempunyai nilai (dimensi) religius.

Bila kita apresiasi beberapa karya sastra yang sudah mapan, banyaklah yang dapat kita golongkan ke dalam karya sastra ini. Di antaranya (1) Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, (2) Ronggeng Dukuh Paruk (1982), (3) Lintang Kemukus Dini Hari (1985), (4) Jantera Bianglala (1986), yang ketiganya karya Ahmad Tohari, (5) Burung-burung Manyar (1981) karya Romo Mangun, dan masih banyak lagi.

Pada Pengakuan Pariyem tercermin adanya kepasrahan seorang pembantu yang digauli oleh bendoronya, dia terima dengan kepasrahan lego lilo pasrah sumarah menggambarkan adanya ‘’dunia kecil’’ dan ‘’dunia besar’’. Pada ketiga karya Ahmad Tohari tercermin warna lokal kedaerahannya, yang menggambarkan warna lokal Jawa (tepatnya Jawa Tengah). Sedangkan Burung-burung Manyar Romo Mangun, lebih menonjolkan suatu nilai yang patut dipersembahkan kepada bangsanya, yang mencerminkan keadaan masyarakat (tepatnya masyarakat Indonesia).

Kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sastra Jawa yang mempunyai nilai tinggi. Seperti halnya Wayang, yang banyak mengandung nilai filosofis dan mistis tersendiri, bahkan mistis itu begitu tertanam dalam masyarakat Jawa (tepatnya yang masih memegang adat Jawa). Keyakinan akan ‘’candrane pewayangan’’ terhadap seseorang yang lahir pada hari tertentu, misalnya seorang anak yang lahir pada hari Wage, dianggap mempunyai tabiat dan perwatakan yang mirip Bima (=Bayuputro, Werkudoro). Sehingga anak itu, dianggap mempunyai ciri berpendirian teguh, kuat keyakinan, pantang mundur, mempunyai sikap yang sederhana (prasojo), dan seterusnya.

Lalu Sastra Kita?

Barangkali kita tidak terlalu repot dan bersusah-susah dengan teori Barat kemudian kita paksakan pada sastra kita untuk sekadar menentukan baik atau buruknya. Karena, kita mempunyai ciri karakteristik yang khas pada sastra kita yang berbeda dengan yang lain. Tapi, bukan menutup kemungkinan bahwa sejumlah teori Barat yang dianggap agung bisa diterapkan pada sastra kita, namun jangan disalahkan sastranya. Itu semua adalah sastra kita, milik kita. Mengapa harus memakai ukuran orang lain? Agaknya bukanlah suatu keharusan.

*) Sutejo, atau S.Tedjo Kusumo, (dulu) penulis  tingggal di Malang.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/10/yang-manakah-sastra-kita-sebenarnya-antara-kontekstual-dan-universal/

Sunday, October 7, 2012

Kematian penyair Pablo Neruda diselidiki

http://www.bbc.co.uk, 3 Juni 2011

Pablo Neruda, seorang komunis dan sahabat Presiden Salvador Allende - meninggal mendadak pada 1973 setelah kudeta militer yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Augusto Pinochet.

Keluarga penyair itu menyebutkan dia meninggal di Klinik di Santiago akibat kanker prostat pada usia 69 tahun.

Yayasan yang merawat warisannya mengatakan pernyataan itu "tidak memiliki bukti sama sekali, yang membuat Pablo Neruda meninggal karena penyebab lain selain kanker".

Tetapi, akibat tekanan dari Partai Komunis Chile, seorang Hakim memutuskan untuk menyelidiki penyebab kematiannya.

Penyelidikan ini dilakukan untuk menindaklanjuti dugaan dari mantan supir Neruda, Manuel Araya Osorio, yang menyebutkan intelejen menyuntikan Neruda dengan racun di klinik atas perintah Jenderal Pinochet, duabelas hari setelah kudeta.

Neruda beberapa kali melontarkan kritik terhadap militer yang disebutnya mengkhianati negara.

Bukan hanya kematian Neruda yang diselidiki. Makam Presiden Allende digali kembali atas perintah hakim yang sama, untuk memastikan penyebab kematiannya, apakah karena bunuh diri - seperti yang dipercaya oleh khayalak- atau dibunuh oleh tentara yang menyerang istana presiden ketika terjadi kudeta.


Dijumput dari: http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/06/110603_neruda.shtml
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: October 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates