Friday, December 30, 2011

Penulis Kondang Israel Menangkan Gugatan untuk Hapus Agama Yahudi di KTP-nya

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Haaretz
http://www.republika.co.id/

JERUSALEM - Yoram Kaniuk tersenyum lega. Penulis kondang Israel ini memenangkan gugatan di pengadilan untuk menghilangkan kata 'Yahudi" dari seluruh dokumen kependudukannya. Ia lebih memilih menulis "tak beragama" di kolom agama, dari sebelumnya tertulis dirinya beragama Yahudi.

Menghapus agamanya dari dokumen resmi kependudukan bukan hal yang gampang. Ia berperpakara dengan pemerintah terkait hal ini sejak Mei lalu. Tepatnya, setelah Kementerian Dalam Negeri Israel menolak mengubah status agamanya dari Yahudi menjadi 'tak beragama'.

Mengomentari hasil persidangan, ia menyatakan baru kali ini pengadilan Israel 'Secara historis menjatuhkan putusan yang proporsional'.

Pekan lalu, pengadilan Tel Aviv menyidangkan lagi kasusnya. Setelah melalui perdebatan maraton, palu hakim diketok, dan memerintahkan Kementerian Dalam Negeri membebaskan warganya memilih atau tidak memilih orientasi agama dalam data kependudukannya.

"Kebebasan beragama adalah bagian dari hak azasi manusia, yang dilindungi Undang-undang," demikian harian terkemuka negeri itu, Haaretz, mengutip pernyataan hakim.

Dalam data kependudukan Israel, asal-usul warganya sangat diperhitungkan. Seluruh keturunan Israel ditulis 'Yahudi' [pada kolom agamanya, sedang keturunan Arab akan dipilah lagi.

03 Oktober 2011

MEMBACA SASTRA DARI LOKUS BUDAYA SANG PENGARANG

Studi “Serampangan” atas Buku Puisi Takdir Terlalu Dini karya Nurel Javissyarqi *
Mh Zaelani Tammaka
http://sastra-indonesia.com/

KETIKA saya diminta untuk mengupas karya-karya puisi Nurel Javissyarqi, seperti yang terlumpul dalam Takdir Terlalu Dini ini, saya nyaris buta terhadap pengarang ini. Hal itu di antaranya karena faktor dekade kepengarangan dari yang bersangkutan, yang muncul pada paruh akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, di mana pada periode itu lebih aktif sebagai seorang jurnalis daripada sebagai aktivis sastra. Tentu saja akan berlainan dengan kawan-kawan penyair yang aktif menulis pada tahun-tahun paruh akhir 1980-an hingga paruh pertama 1990-an, saya lebih banyak mengenalnya secara pribadi, setidak-tidaknya lebih intens membaca karya-karyanya, karena pada waktu itu memang sebagai besar waktu saya banyak tercurahkan pada dunia sastra.

Tentu saja pengetahuan saya yang minimal ini terhadap diri si penyair, dan juga karya-karyanya, mau tidak mau sedikit merepotkan saya, setidak-tidaknya menyulitkan saya harus memulai dari mana ketika harus berhadapan dengan puisi-puisi tersebut. Namun demikian, ketidakkenalan saya ini bisa saja menjadi lebih menguntungkan, karena barangkali penilaian saya akan lebih obyektif, meskipun tidak menutup kemungkinan justru melahirkan ketersesatan. Bukankah studi strukturalisme dalam sastra justru mengharuskan adanya pengabaian terhadap latar belakang pengarang, karena bisa saja kehadirannya justru menjadi “kecap penyedap rasa” sehingga menenggelamkan nilai obyektif dari karya sastra itu sendiri.

Karena keminusan pengetahuan saya pada diri pengarang bisa melahirkan dua kemungkinan yang saling bertolakan – antara berpikir obyektif dan peluang ketersesatan – ditambah tiadanya kesempatan untuk melakukan studi yang mendalam, maka tidaklah terlalu salah kalau saya menamakan pembahasan ini sebagai sebuah “studi serampangan”. Semoga saja, sebagai “studi serampangan” atas pembacaan yang penuh ketergesa-gesaan ini, tidaklah melahirkan terlalu jauh “ketersesatan”, namun justru menghasilkan suatu pembacaan yang “otentik” karena kecilnya pengaruh-pengaruh di luar teks puisi – seperti biografi pengarang – yang kehadirannya justru bisa saja mencemari proses penyimpulan.

Fokus pembahasan ini memang saya hindarkan dari upaya penilaian atau penghakiman, karena tulisan ini memang bukanlah dimaksudkan sebagai kritik sastra, tetapi lebih upaya penyelaman terhadap lokus budaya si pengarang yang mau tidak mau sering kali akan mempengaruhi corak kepengarangan yang bersangkutan. Dari sini diharapkan akan lebih membimbing pada pemahaman dan penghayatan terhadap puisi- puisi yang ada, bukan sekadar memperoleh pengetahuan kognitif-struktural tapi lebih pada pengetahuan afektif-emosional-transendental.

SEORANG penulis (pasti) memiliki “rumah”. Demikian kata Chintia Ozick, pengarang Yahudi Amerika ketika diwawancarai The New York Time pada awal 1990-an, sebagaimana pernah dikutip R. William Liddle ketika memberi pengantar buku Catatan Pinggir 3 Goenawan Mohammad (1991: VII). Ketika itu, dengan mengutip Shakespeare bahwa kehidupan moral memiliki “a habitation and a name” – bertempat tinggal dan bernama – , Ozick menegaskan bahwa seorang penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.

Bahkan, dengan nada sedikit provokatif, Ozick memberi kredo, yang barangkali bisa dijadikan panduan bagi seorang sastrawan: “If you want to live the live that can best bring into a sense of being a civilized person, then you heve to suize it through your own culture.” Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan Anda merasa menjadi orang beradab, Anda harus merebutnya melalui budaya Anda sendiri.

Memang, meski setiap orang memiliki “rumah”, yang tidak lain adalah kebudayaan sendiri, namun tidak semua orang berhasil menemukan “rumah”-nya tersebut. Butuh perjuangan panjang, dialektika yang tiada henti, agar seseorang menemukan “rumah”-nya, yang tidak lain adalah jati dirinya sendiri. Namun demikian, yang tidak dapat dielakkan, pastilah setiap orang pertama-tama dan pada akhirnya mestilah mereguk peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.

Lantas di mana “rumah budaya” Nurel Javissyarqi? Dari sedikit pengetahuan yang saya milki, khususnya setelah saya menemukan nama kunci Nur Laili Rohmat yang sedikit banyak telah saya kenal, saya mendapatkan kesan kuat bahwa Nurel pastilah “orang Jawa” yang berasal dan dibesarkan dari kultur santri. Memang, dari puisi-puisinya yang ada, termasuk banyaknya nama samaran yang dia pakai, tampaknya dia masih dalam periode “pengembaraan” dan belum sepenuhnya menemukan “rumah jati diri”-nya, namun dari potret perjalanan yang ada, alur “pesantren” tampak lenih dominan.

Kuntowijoyo pernah menyebutkan ada tiga loci kebudayaan Jawa, yaitu keraton, pedesaan dan pesantren dengan unsur wong agung, wong cilik dan santri. Tentu, kalau dilihat dari pendekatan tiga loci model Kuntowijoyo ini, kebudayaan yang dominan yang membentuk pribadi Nurel adalah loci pesantren, meski pada perkembangannya juga bersentuhan kedua loci budaya Jawa yang lain (wong cilik dan wong agung) dan budaya kosmopolitan (Barat dan Timur) khas kelas menengah (terdidik) di negara berkembang, seperti Indonesia ini.

Corak “kesastrapesantrenan” Nurel tampak dari kecenderungan gaya bertutur yang kuat dalam puisi-puisinya. Ini seakan mendekatkan pada puisi-puisi lisan pesantren, seperti syair puji-pujian, cara pembacaan kitab-kitab yang dilagukan, serta suluk yang berisi ajaran-ajaran tarekat (sufisme) dan sebagainya. Gaya ini juga ditunjukkan pada kecenderungan pada pola epik daripada lirik. Gaya epik kian terasa ketika membaca, misalnya “Balada Jala Suta” atau tiga sajak tentang Van Gogh. Dengan demikian, sajak-sajak Nurel lebih mengesankan sastra lisan yang ditulis.

Sebagai sastra epik, khususnya epik-tutur, puisi-puisi tampak mengedepankan “pikiran” daripada “perasaan”, khususnya ketika ia harus dihadapkan pada kesimpulan-kesimpulan filosofis-ideologis. Puisi-puisinya tidak lagi cenderung bernyanyi seperti sajak-sajak imajis yang banyak berkembang di Tanah Air, tetapi lebih mengajak berpikir dan berfilsafat. Gaya seperti ini barangkali ada pararelismenya – kalau tidak dikatakan terpengaruh – dengan sajak-sajak Iqbal yang juga berkecenderungan filosofis-ideologis.

Sekadar contoh pararelisme antara Iqbal dan Nurel tampak pada perbandingan berikut ini. “Kemarajaan Roma yang megah ada obat penawar/Sekali lagi telah kita turunkan mimpi Yulius Caesar/Kepada Musolini, anak cucunya, yang bertangan besi/Bangsa ini amat perkasa menjaga laut Itali/Dalam sejarahnya pernah megah kemudian jatuh tersungkur tanah” (kutipan “Parlemen Setan” Muhammad Iqbal). Sementara dalam bait XXIX puisi “Nistsche, Aku Tetap Diet”, Nurel menulis: “Kau cemooh Socrates, dengan dialektikanya/kau tak sadar dengan dialektikanya sendiri/seperti serangga dalam kuluman bunga teratai/di atas kertas ia berdiam diri, sedang telaga-samudra Tuhan.”

NANUN demikian, kecenderungan epik dan kelisanan Nurel bukannya tidak ada bahayanya. Yang paling nyata barangkali puisi-puisinya menjadi sangat “memprosa” dan sangat boros dengan kata-kata. Kata-kata tidak lagi diperas hingga diperoleh kata-kata yang metaforis, tetapi cenderung lugas dan apa adanya. Sesuatu yang barangkali bertolakan dengan prinsip-prinsip puisi modern, apalagi seperti yang dirumuskan oleh “wali” penyair Indonesia Chairil Anwar yang berkata, “ …tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwood, ke kernbeeld.” (Chairil Anwar, Kartu Pos, 8 Januari 1944).

Bahkan, dalam tataran ekstrem, puisi-puisi Nurel menjadi terasa “anti-puitik”. Sebab, kalau hendak konsisten dengan teori-teori puisi modern, setidak-tidaknya syarat-syarat bahasa puisi yang bersumber dari tradisi sastra Barat-Modern, jelas sebagian puisi-puisi itu tidak memenuhi syarat sebagai puisi, setidaknya dianggap puisi yang gagal. Ini tampak, misalnya, pada sajak “Nyala Api Kehidupan”. Bait-bait dalam sajak ini lebih kumpulan jargon-jargon kata-kata mutiara, yang dalam hal tetentu sering kehilangan kepaduan. Bahkan, ada baik-bait yang berisi sumber-sumber inspirasi penyair, yang ditulis begitu saja dan terkesan kurang pendalaman.

Kelemahan lain yang tampak adalah penyebutan nama-nama tokoh atau sumber yang tidak akurat dalam puisi. Ini penting, sebab bila memilih bentuk ucap puisi epik-filosofis-ideologis seperti Iqbal, akurasi baik nama maupun sumber menjadi penting. Sebab, kalau tidak, bisa menimbulkan keraguan bagi pembaca bahwa itu sebagai perwujudan sikap kenes, sok filsafat, namun sebenarnya belum menyentuh inti filsafat itu sendiri.

Namun demikian, saya tetap merasakan hangatnya nyala semangat kepenyairan Nurel. Di lihat usianya yang relatif muda (kelahiran Kendal, Kemlagi, Lamongan, 8 Maret 1967), masih terbentang harapan perkembangan ke depan. Dan tampaknya kekuatan bentuk pengucapan epik tuturan, yang ini merupakan salah kekhasan sastra pesantrenan, sangat berpeluang untuk terus digali dan kelak pasti bisa ikut memperkaya khazanah sastra Indonesia yang terlanjur Eropa-sentris. Semoga!***

Solo, Wisma Ceremai V-14E, 10 Juni 2001

*) Sekadar bahan diskusi untuk Bedah Buku “Takdir Terlalu Dini” Karya Nurel Javissyarqi di Taman Budaya Surakarta (TBS), 11 Juni 2001.

Memahami Geliat Bengawan Solo

Adi Faridh, M.Pd*
http://adifaridh.blogspot.com/

Sosok Indonesia hari ini adalah wajah ibu pertiwi yang kusut masai berlinang air mata oleh deraan musibah dan bencana yang menghantam bertubi. Tidak tampak lagi bumi pertiwi yang dilukiskan sebagai negeri impian oleh karena kekayaan alam dan kesuburan yang akan menjadi tamsil kemakmuran anak bangsa. Untaian zamrud khatulistiwa bak mutu manikam kini hanya tinggal jargon belaka terbungkam oleh penderitaan yang tak kunjung usai.

Indonesia yang terbentang sepanjang 5500 Km membujur dari Sabang sampai Merauke dengan luas hampir 2 juta Km2 adalah negara kepulauan terbesar dengan jumlah 17.504 pulau. Dampak dari letak geografis ini adalah keanekaragaman hayati dan kekayaan alam berupa sumber daya energi dan mineral yang berlimpah. Sungguh suatu anugerah dan rahmat tak terhingga dari Tuhan Yang Maha Esa bagi 225 juta warganya.

Namun kekeliruan kita adalah begitu mudah terlena dan terninabobokan oleh limpahan kekayaan alam sehingga kerap memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang yang harus dibabat habis. Maka kita menjadi lalai, bahwa sesungguhnya sumber daya alam itu adalah titipan dari anak cucu yang semesti-nya kita pertahankan kelestariannya. Maka bencana alam yang tak kunjung usai adalah konsekuensi logis sebagai ongkos kepandiran kita.

Episode terbaru buah dari kealpaan yang kini mengharu biru adalah luapan Bengawan Solo yang menenggelamkan sepanjang daerah aliran sungainya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banjir bandang sejak penghujung Desember 2007 itu menggerus mulai dari hulu Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan sampai Gresik di bagian hilir.

Bengawan Solo yang biasanya kalem layaknya putri solo pada awal musim penghujan ini meluluhlantakkan permukiman penduduk, lahan pertanian, fasilitas umum, fasilitas sosial dan pendidikan hingga industri. Tercatat di bumi Angling Darma Bojonegoro 149 desa di 15 kecamatan terendam bajir dengan taksiran kerugian mencapai 100 milyar. Amuk Bengawan Solo di Lamongan juga menenggelamkan 37 desa di 6 kecamatan. Kondisi serupa juga melanda 50 desa di 5 kecamatan wilayah Tuban dan 49 desa di 4 kecamatan Kabupaten Gresik. Sebelumnya sejarah mencatat sejak tahun 1863 setidaknya telah terjadi sepuluh kali banjir besar di Bengawan Solo.

Selama ini, Bengawan Solo yang memiliki panjang 548,53 Km dikenal sebagai sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa menjadi urat nadi kehidupan bagi puluhan juta masyarakat di sekitarnya. Bengawan Solo adalah sumber kehidupan yang menopang irigasi pertanian, perikanan, penambangan pasir, transportasi, industri, dan bahan baku air minum. Bahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur menjadikan DAS Bengawan Solo sebagai sumber potensial air baku.

Maka, pemandangan yang terlihat sepanjang hulu sampai hilir adalah pemanfaatan sumber alam Bengawan Solo tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Di bantaran dan tebing sungai, nyaris tak ada sejengkal lahan pun yang luput dari perambahan dan aktivitas pertanian. Perilaku yang demikian tanpa disadari menjadi penyumbang bagi penggemburan tanah di tebing sungai yang semakin memudahkan tergerus arus. Pohon tanaman keras yang dapat menahan tanah sekaligus menjaga areal tangkapan air tanah sudah lama terjarah.

Hasil ekspedisi menyusuri Bengawan Solo oleh sebuah tim dari media massa nasional Juni 2007 lalu mengidentifikasi beberapa masalah yang menggerogoti Bengawan Solo. Pertama, erosi yang terjadi sejak hulu hingga hilir oleh karena kurangnya penutupan tanaman keras dan sistem terasering yang salah. Kedua, sedimentasi yang parah di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri sebagai akibat erosi tebing.

Masalah ketiga adalah maraknya berbagai penambangan pasir yang menyisakan lubang-lubang besar di dalam sungai menyebabkan ketidakstabilan tebing yang memperparah longsoran. Ketiga masalah di atas akan menjadi pemantik bagi masalah keempat yaitu banjir di lembah Bengawan Solo seperti sekarang ini. Walaupun sudah ada sistem pengendalian banjir seperti Waduk Gajah Mungkur, Bendungan Colo, dan Bendungan gerak Babat tetapi karena masih ditambah masalah kelima yaitu sungai menjadi tempat sampah raksasa dan pencemaran maka banjir tak terelakkan.

Kondisi di atas adalah pemicu bagi bencana banjir yang selalu berulang tanpa adanya upaya menekan dan mengurangi dampak bencana (mitigasi) secara terencana dan komprehensif. Pada fase ini Bengawan solo adalah contoh nyata ironi bagaimana manusia Indonesia memperlakukan sumber kehidupan utamanya. Pada satu sisi Bengawan Solo sangat vital dibutuhkan tetapi pada saat yang bersaman dengan mudah mereka merusaknya untuk kemudian mengundang bencana banjir.

Karena sudah terlanjur masuk dalam perangkap bencana banjir, yang harus dilakukan pemerintah adalah membudayakan masyarakat siap bencana melalui aspek edukasi. Informasi mengenai kawasan rentan dan rawan banjir harus tersedia akurat dan dapat dijangkau oleh masyarakat dalam waktu yang tepat sebelum banjir menyapa mereka. Ketersediaan peta zone merah bencana banjir diaktualkan tidak hanya berupa peta skala kabupaten tetapi sudah saatnya pelosok desa sekalipun tertera dalam simbol peta. Bukan saatnya lagi masyarakat tidak menyadari bahwa daerah tinggalnya rawan bencana karena informasi peta tidak mencantumkan wilayahnya.

Langkah kedepannya adalah mendesakkan rekomendasi penyelamatan Bengawan Solo yang terdiri dari: pertama, perlu upaya penyadaran penduduk akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan DAS bagian hulu dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan Bengawan Solo. Misalnya upaya preventif meminta masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan pertanian di tepi sungai hingga jarak 50 – 100 meter yang masuk dalam kawasan sabuk hijau.

Sinergi bijak pemerintah dan masyarakat dapat dijadikan langkah kedua dengan menggugah mereka melakukan penghijauan dengan menanam untuk tujuan konservasi yang hasilnya dinikmati masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Langkah nyata lainnya adalah pengawasan dan pemantauan terhadap penambangann pasir dan batu serta elevasi dasar sungai. Untuk pengelolaannya dapat diintensifkan terasering. Demikian pokok-pokok rekomendasi yang pernah disampaikan koordinator ekologi ekspedisi Bengawan Solo dari UNS, Retno Rosariastuti.

Setelah bencana tak kunjung habis mendera sudah saatnya langkah konkret direkonstruksi dengan beranjak dari kesadaran bahwa manusia dalam relasinya dengan alam bukan lagi antroposentrisme tetapi biosentrisme. Artinya manusia bukan lagi sebagai pusat penguasa alam yang bisa melakukan apa saja terhadap komponen alam lainnya, tetapi etika lingkungan menggariskan manusia sebagai bagian dari alam eksistensinya tergantung dari komponen alam lainnya. Karenanya, manusia tidak bisa berperilaku sekehendak hati tanpa menakar dampaknya.

Merefleksi Bengawan Solo kurang lengkap rasanya bila tidak meminjam lirik langgam gubahan komponis Gesang berikut ini:

Bengawan Solo, riwayatmu ini;
Sedari dulu jadi perhatian insani;
Musim kemarau, tak seberapa airmu;
Di musim hujan, air meluap sampai jauh...

Mohon maaf dengan segala hormat kepada pengarangnya, sesuai dengan konteks kekinian pada bagian reffreinnya mungkin lirik yang tepat adalah:

Air matamu dari Solo;
Bercampur sampah seribu;
Air menggenang sampai jauh;
Akhirnya banjir juga.

* Adi Faridh, M.Pd adalah alumni Geografi Universitas Negeri Malang, Staf Ahli LSM Prakarsa Lamongan
Dijumput dari: http://adifaridh.blogspot.com/2008/11/opini-bengawan-solo.html

Thursday, December 29, 2011

HAMBA KEBUDAYAAN DAMI N. TODA *

Yohanes Sehandi **
Majalah Mutiara (Jakarta) edisi Nomor 347, 22 Mei--4 Juni 1985

DALAM dunia kritik sastra Indonesia modern, nama Dami N. Toda termasuk kritikus sastra Indonesia yang diperhitungkan setelah nama kritikus besar Indonesia, H.B. Jassin, mulai meredup pengaruhnya. Di samping nama Dami N. Toda, ada kritikus sastra Indonesia lain yang juga berbobot, antara lain Umar Junus, Hary Aveling, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.

Di tengah ributnya masyarakat sastra Indonesia mempertanyakan kehadiran novel-novel absurd karya Iwan Simatupang, puisi-puisi suasana mistik milik Sutardji Calzoum Bachri, dan teater mini kata W.S. Rendra, di saat itulah Dami N. Toda tampil ke permukaan, menjembatani masyarakat sastra Indonesia dengan karya-karya sastra Indonesia modern yang “sarat” diwarnai dengan bentuk-bentuk pengucapan yang baru. Karya-karya Dami N. Toda berupa kritik sastra terhadap bentuk-bentuk pengucapan baru itu terhimpun dalam buku yang diresensi ini. Buku ini berjudul Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, dengan tebal 166 halaman.

Catatan: Dami N. Toda lahir pada 29 September 1942 di Pongkor, Manggarai, Flores, meninggal dunia pada 10 November 2006 di Hamburg, Jerman. Karya-karya kritik sastra Dami dalam bentuk buku, antara lain: Puisi-Puisi Goenawan Mohamad (berisi telaah/kritik sastra, 1975), Novel Baru Iwan Simatupang (skripsi sarjana UI, berupa telaah/kritik sastra, 1980), dan Hamba-Hamba Kebudayaan (himpunan kritik sastra dari berbagai media, 1984). Dami pun mengumpulkan cerpen Iwan Simatupang yang tercecer dalam satu kumpulan cerpen dengan judul Tegak Lurus dengan Langit (1983). Puisi-puisi Dami dapat dinikmati dalam buku antologi puisi Penyair Muda di Depan Forum (1974) dan Tonggak III (Editor Linus Suryadi AG, 1987), serta kumpulan puisi pribadinya berjudul Buru Abadi (2005).

Buku berbobot dengan gambar kover motif tenunan ikat daerah ini, berisi 11 artikel kritik sastra Dami yang telah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar di Indonesia. Ke-11 artikel kritik sastra itu adalah (1) Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan; (2) Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam; (3) Teater Baru Indonesia; (4) Catatan Teoretik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an; (5) Iwan Simatupang (1928-1970), Manusia Hotel Salak Kamar 52; (6) Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia; (7) Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir; (8) Pada “Malam Chairir Anwar” KNPI Pusat, 29 April 1980; (9) Menonton dan Mendengar Puisi Konkret; (10) Willy yang Mencari, Terluka, dan Berang; dan (11) Puisi-Puisi Luka Sutardji Calzoum Bachri.

Lewat artikel-artikel yang berbobot dalam buku ini, kritikus sastra Dami N. Toda menemu dan mengungkapkan “kebaruan-kebaruan” estetika sastra Indonesia modern, baik dalam penciptaan novel dan  puisi, maupun dalam penciptaan teater atau drama. Untuk itu, Dami memusatkan perhatian pada  karya-karya Iwan Simatupang (novel), Sutardji Calzoum Bachri (puisi), dan karya-karya W.S. Rendra (teater).

Dalam menelaah karya-karya sastra itu, Dami N. Toda sengaja menghindari penerapan  metode kritik sastra tertentu, karena menurut Dami suatu metode belum tentu dapat dengan utuh menelusuri keunikan suatu karya sastra. Bagi Dami, kritik sastra yang baik perlu cara kerja intrinsik dan ekstrinsik. Di samping kritik sastra bergulat dengan isi dan bentuk dari dunia yang ditemukan pengarang, juga harus menghubungkan cakrawala sastra dengan cakrawala luar sastra yang memungkinkan nilai karya sastra itu komunikatif.

Pada waktu menelaah novel-novel absurd (eksistensial) Iwan Simatupang, Dami terlebih dahulu menelusuri secara mendalam kehidupan pribadi Iwan, kemudian barulah diungkapkan wawasan esetetika karya-karya sastra Iwan. Novel-novel Iwan mengangkat pembacanya ke dunia tak berbenda, dunia spiritual, tak terpahamkan, dan penuh relativisme, karena yang tampak hanya bayang-bayang imajinasi belaka. Realitas imajinasi ini tak berbentuk, tidak mempunyai awal, tengah, dan akhir.

Tokoh-tokoh dalam novel Iwan Simatupang bukan lagi tokoh fisik, seperti dicirikan berpsikologi darah dan daging seperti halnya pada teori novel lama yang hanya terbatas pada realitas formal saja. Karena dalam novel Iwan terjadi perubahan hakikat tokoh, maka konsekuensi logisnya terjadi pula perubahan pada nama tokoh, wawasan alur, dan juga dalam hal latar atau setting. Akhirnya Dami menyatakan penilaian, novel-novel Iwan membawa “kebaruan” estetika penciptaan novel dalam sastra Indonesia modern.

Di samping menelaah novel-novel Iwan, Dami N. Toda mengupas dengan cukup kritis kebaruan estetika perpuisian Indonesia modern, terutama kebaruan yang terdapat dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Menurut Dami, sejak lahirnya kesusastraan Indonesia modern (sekitar tahun 1920-an), baru ada dua “titik ekstrim” dalam wawasan estetika perpuisian Indonesia sampai dengan saat ini (1984). Titik ekstrim pertama berasal dari Chairil Anwar (muncul tahun 1940-an), dan titik ekstrim kedua berasal dari Sutardji Calzoum Bachri (muncul tahun 1970-an).

Chairil Anwar bertolak dari “kepercayaan” pada kekuatan kata yang membentuk puisi. Sebaliknya, Sutardji bertolak dari “penampikan kata” sebagai alat rasional estetika satu-satunya, sambil memberikan kepercayaan kepada daya fantasi. Menurut Dami, dalam menulis puisi Sutardji sangat cermat memperhitungkan elemen kata konvensional yang otonom, kata buntungan, elemen bunyi, bahkan tanda-tanda baca, dan cara menuliskan kata-kata. Dengan gigih Dami mempertahankan pendapatnya bahwa kesadaran terhadap kemandirian elemen-elemen tersebut merupakan “dasar kreativitas berkarya”  penyair Sutardji Calzoum Bachri, bukan sekadar kegenitan licentia poetica!

Dalam artikel yang berjudul “Teater Baru Indonesia,” Dami N. Toda mencoba mengungkapkan pertumbuhan teater/drama di Indonesia, dan mendasarkan telaahnya pada karya-karya W.S. Rendra, baik karya asli (Bipbop, Peristiwa Sehari-Hari) maupun karya asing yang disutradarai khas Rendra sendiri (Oedipus Raja, Hamlet, Macbeth, Menunggu Godot, dan Kasidah Berzanji). Analisis Dami terpusat pada “faktor aktor” di atas pentas.

Aktor dalam drama-drama Rendra, menurut Dami bukanlah mesin kata-kata. Tetapi dialah artis. Di atas segala-galanya, aktorlah yang menjadi pusat. Bertolak dari tinjauan yang demikian itu, maka pada akhirnya Dami berkesimpulan bahwa kehadiran teater Rendra di Indonesia merupakan kehadiran “teater baru” yang harus diakui sebagai “pembuka mata” terhadap pengertian teater yang sesungguhnya.

Kesan yang kita dapatkan setelah membaca buku  kumpulan kritik sastra Dami N. Toda ini adalah kekritisan, keorisinalan, dan keluasan wawasan sastra dan filsafat Dami N.Toda dalam mencari, menemukan, dan mengungkapkan “kebaruan-kebarauan” estetika dalam karya sastra Indonesia modern, terutama dalam penciptaan novel, puisi, dan teater. Pandangan Dami N. Toda dalam buku Hamba-Hamba Kebudayaan ini mengukuhkan dirinya sebagai kritikus sastra Indonesia modern yang patut diperhitungkan setelah kritikus besar Indonesia, H.B. Jassin mulai meredup pengaruhnya. *

*) Artikel resensi buku ini disusun 26 tahun yang lalu dan sudah dimuat dalam Majalah Mutiara (Jakarta) edisi Nomor 347, 22 Mei--4 Juni 1985. Sengaja ditampilkan kembali di sini (dengan sedikit penambahan)  sebagai “bentuk rasa hormat” saya kepada Dami N. Toda, seorang sastrawan Indonesia modern (yang juga sastrawan NTT) yang  pada  10 November 2011 genap 5 tahun meninggal dunia).

**) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/12/hamba-kebudayaan-dami-n-toda.html

Mochtar Lubis: Pahlawan Saya Mahatma Gandhi

ditulis ulang: Leila S. Chudori
http://tempointeraktif.com/

Dalam usia 70 tahun pekan lalu, wartawan sejak sebelum perang ini mengenang banyak hal. Dari “zaman keemasan pers Indonesia”, hubungannya dengan Bung Karno, sampai bagaimana menjaga semangat dalam sel penjara.

Dialah wartawan Indonesia yang banyak memperoleh penghargaan internasional. Antara lain Hadiah Ramon Magsaysay dari Filipina, dan Pena Emas dari Federasi Pemimpin Redaksi Sedunia. Sastrawan yang juga banyak meraih hadiah ini, yang mendirikan majalah sastra Horison, dan salah seorang anggota Akademi Jakarta ini bertutur tentang semua itu kepada Leila S. Chudori.
***

Saat itu saya masih berusia sembilan tahun. Dan saya ingat betul, di suatu pagi, ayah yang bekerja sebagai seorang demang di Kerinci, melarang kami bermain di halaman belakang rumah kami yang luas. Rumah kami yang terletak di bukit memang dipenuhi pohon, dan kami sering memanjat pohon-pohon itu untuk memandang kota Sungai Penuh atau menonton yang terjadi di halaman belakang penjara. Tapi, justru karena ayah melarang, saya jadi penasaran. Saya terbelalak, karena saya melihat ayah saya beserta seorang dokter kenalan keluarga kami dan kontrolir Belanda berdiri di halaman belakang penjara.

Kemudian dua tahanan yang lunglai keluar dari pintu penjara diiringi pengawal penjara. Tahanan itu diperintahkan tengkurap di dua balai. Kaki dan tangan mereka diikat. Dua orang berpakaian hitam dan membawa cambuk panjang menyusul. Setelah dokter memeriksa kedua tahanan, kepala penjara memberi perintah pada dua orang berpakaian hitam tadi. Maka keduanya memulai mencambuki punggung kedua narapidana itu. Setiap kali cambuk itu mendarat di punggung mereka, hatiku terasa ikut dicambuk.

Dari jauh saya bisa melihat dengan jelas darah segar yang menetes. Kenapa Bapak tidak menghentikan tindakan itu? Dan bagaimana dokter kenalan kami bisa berdiri di sana? Lalu, kenapa kepala polisi yang selama ini begitu ramah tamah pada kami kelihatan garang di sana? Saya tak tahan lagi, saya menangis, saya berlari ke rumah.

Di rumah saya katakan pada ibu badan saya panas. Saya meringkuk di tempat tidur sampai Bapak pulang. Siang hari, Bapak banyak memandangi saya dengan lembut. Saat itu saya menyadari, ia pasti tahu bahwa saya mengintip kejadian itu. “Sekarang kau mengerti kenapa aku selalu melarang anak-anakku untuk menjadi pegawai Belanda. Cukup satu saja di keluarga ini!” katanya sambil mengusap kepala saya.

Saya menangis dengan hati perih. Belakangan saya baru tahu identitas kedua narapidana malang itu. Bapak bercerita bahwa kedua orang yang dicambuk itu kuli kontrak dari pulau Jawa. Mereka bekerja di perkebunan teh terbesar di Indonesia di daerah Kayu Aro, Kerinci. Karena upah mereka tidak memadai, maka para kuli ini suka meminjam uang. Nah, jika kontrak habis sementara mereka masih berhutang, terpaksa mereka bikin kontrak baru dengan Belanda. Ini menyebabkan mereka harus jadi kuli kontrak sampai mati.

Mereka yang sudah tidak tahan dengan beban itu lalu mencoba melarikan diri. Mereka yang kabur dan tertangkap itulah yang dipecut punggungnya hingga keluar darah. Kejadian ini terus membayang di benak saya, hingga mempengaruhi pandangan saya terhadap keadilan. Dan agaknya peristiwa inilah menjadi dasar dari sikap saya sebagai wartawan maupun sebagai penulis.

MASA KECIL

Sentuhan saya pada kesenian sebenarnya diawali dengan melukis. Saya mulai melukis ketika saya masih di sekolah rakyat. Baru ketika saya duduk di kelas V saya mulai menulis cerita anak-anak. Mungkin saya terpengaruh oleh ibu saya yang sering mendongeng dan saya mengulangnya buat adik-adik. Abang dari ibu saya seorang seniman Mandailing yang menulis syair-syair dalam huruf Mandailing. Ibu melahirkan saya di Padang 7 Maret 1922 sebagai anak keenam. Kami semua berjumlah 10 bersaudara yang terdiri lima perempuan dan lima lelaki.

Ibu saya, Siti Madinah bermarga Nasution meninggal ketika berusia 96 tahun. Ayah saya Raja Padapotan bermarga Lubis meninggal ketika berusia 75 tahun. Meski lahir dan dibesarkan di Padang, saya tetap merasa sebagai seorang Mandailing. Bagi saya, Mandailing adalah tanah yang cantik. Pada zaman kolonial, daerah itu masih penuh harimau, gajah, dan burung-burung dan tak mungkin saya bisa-lupakan alamnya dan gunung Merapinya, ada sungai yang indah berpasir mengandung emas. Orang Mandailing mencari nafkah dari tanaman karet, tapi jika harga karet jatuh, mereka ke sungai mendulang emas.

Meski ayah saya bekerja sebagai demang, tak bosan-bosannya ia mengatakan kepada kami, “Jangan kalian bekerja kepada pemerintah Belanda.” Sebagai pegawai Belanda, ayah saya terkenal tegas, tak pandang bulu. Ia pernah diturunkan pangkatnya gara-gara menampar seorang kontrolir Belanda. Ayah saya kesal karena kontrolir itu bersikap congkak.

Kesadaran bahwa kita dijajah cepat sekali tumbuh di dalam diri saya. Ayah tak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda. Ia masukkan abang saya ke America Methodist Boys Scool di Medan, abang saya tertua dikirim sekolah di Singapura, dan saya sendiri setelah lulus sekolah rakyat dikirim ke Sekolah Ekonomi di Sumatera Tengah. Padahal, saya ingin masuk MULO, karena saya ingin jadi dokter. “Jangan! Kalau kamu sekolah dokter, nanti bekerja pula sama Belanda,” cegah ayah saya. Jadi, dengan berat hati saya Sekolah Ekonomi di Kayu Tanam, di kaki gunung di luar kota Padang.

Sekolah ini memang agak istimewa dari segi kurikulum maupun filsafat. Ini sekolah yang didirikan oleh salah seorang tokoh pendidikan yang bernama S.M Latief. Ia lulusan pertanian tinggi di Nederland. Latief membangun sekolah ini dengan tujuan mendidik anak Indonesia untuk menjadi mandiri, merdeka dan anti kolonialisme. Mereka mengajar kepada murid agar para murid jangan ada yang mau bekerja dengan Belanda setelah lulus nanti. Akhirnya, saya memang menyukai guru-gurunya dan setuju dengan filsafat sekolah itu, yakni anti kolonialisme. Maka kami mengerti apa arti penjajahan, mengapa kita menginginkan kemerdekaan, apa arti Indonesia Raya, apa harga diri bangsa, dan seterusnya.

Dalam hal kurikulum, sekolah ini agak berbeda dengan sekolah umum lainnya. Anak-anak yang bersekolah di situ bisa meneruskan SMP ke SMA yang sama. Dan masih semuda itu, kami sudah diajarkan pemikiran Adam Smith dan teori ekonomi lainnya. Selain itu, mereka juga tidak ingin menjejalkan hafalan seenaknya. Mereka ingin kami mengerti filsafat hidup melalui berbagai praktek.

Misalnya, suatu hari, kami diajarkan main catur. Mula-mula saya heran dan tidak melihat konteks pengajaran catur dalam hidup. Setelah delapan bulan gurunya bertanya, kenapa kita belajar main catur. Semua murid mengangkat tangan. Seorang kawan saya menjawab, “karena permainan ini mengajak kita berpikir berbagai langkah dan antisipasi ke masa depan dan belajar berpikir yang matang.” Dan guru saya membenarkan.

Ketika libur, anak-anak yang sudah kelas senior disuruh latihan kerja di perkebunan karet atau perkebunan kelapa sawit atau di pabrik, dan dianjurkan bergaul dengan kuli-kuli. Selain itu, karena kami tinggal di asrama yang fasilitasnya lengkap tersedia. Kami bisa main tenis, berenang, atau naik gunung. Jika pelajaran botani, kami diajak masuk hutan untuk mempelajari kekayaan tanaman Indonesia selama 10 hari atau lebih. Jadi kami tidak mengurung diri di kelas saja.

Yang paling mengesankan adalah perpustakaan sekolah yang saat itu yang terbesar di Sumatera karena memiliki 35 ribu buku. Latief mempunyai cara sendiri untuk mengumpulkan buku sebanyak itu. Setiap tiga bulan sekali, ia menerbitkan sebuah majalah bernama Resensi dalam empat bahasa: Jerman, Belanda, dan Prancis. Kemudian dia kirimkan ke semua penerbit di seluruh dunia. Maka para penerbit mengirim buku-buku sastra, ekonomi, politik, dan buku-buku lainnya ke perpustakaannya.

Yang lebih penting lagi, kami selalu didorong untuk selalu membaca. Cara mereka mendorong kami adalah dengan memberikan kredit angka jikalau kami bisa menceritakan kembali buku yang sudah kami baca. Melalui perpustakaan itulah saya mengenal karya sastra dunia. Saya ingat betul, salah satu buku yang berkesan bagi saya dimasa kanak-kanak adalah Tom Sowyer karya Mark Twain yang terjemahannya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sungguh saya melihat diri seolah-olah seperti Tom yang senang bertualang itu.

Saya juga terkesan oleh karya Hernet Becheer Stowe yang berjudul Uncle Tom’s Cabin. Betapa sedihnya ketika saya membaca halaman terakhir buku itu. Setelah lebih dewasa, saya mulai menyukai buku sastra klasik Perancis karya Dostoyesky dan berbagai sastra klasik Perancis dan Inggris. Untuk sastra kontenporer saya penggemar Albert Camus dan Ernest Hamingway. Ketika saya berusia 16 tahun saya bergabung dengan Indonesia Muda, sebuah pergerakan yang mendukung gerakan nasionalis untuk merebut kemerdekaan. Anggotanya adalah pemuda berusia 16 ke atas.

MASA PENJAJAHAN

Sebelum Perang Dunia II, sekitar tahun 1940-an, saya lulus sekolah. Karena saya bercita-cita ingin menjadi dokter, maka saya pindah ke Jakarta. Semula saya berkerja di Bank Factorij, sebuah bank besar Belanda yang mendukung finansial industri gula di pulau Jawa. Sementara abang saya, Bactar Lubis, yang sekolah di America Methodist Boys Scool, sudah bekerja di konsulat jenderal Inggris.

Selama saya bekerja di sana, saya selalu berterus terang pada rekan Belanda, “kalian tak boleh berlama-lama di sini.” Lalu kami mulai berdiskusi hingga meningkat menjadi perdebatan yang panas. Dua tahun kemudian, Jepang datang. Kantor Bank Fatorij langsung disita. Saya ingat betul, betapa gembiranya kawan-kawan saya yang menyangka akan dibantu orang Jepang. Ketika Jepang mendarat di Banten, orang Jakarta sudah siap menyambut. Saya menunggu mereka di Hayam Wuruk.

Di sebelah saya ada seorang nyonya muda Belanda dengan anaknya yang berumur sekitar lima tahun. Ketika tentara Jepang masuk, baunya menyerang hidung kami karena mereka baru saja berperang dan tak pernah mandi. Ada yang menuntun sepeda dan semua membawa senapan yang lebih panjang dari badannya. Eh, tiba-tiba anak kecil Belanda itu berteriak dalam bahasa Belanda sambil menunjuk bendera Jepang, “Mami, mami alangkah jeleknya bendera itu,mami…” Ibunya menyuruh anaknya menutup mulut sambil melirik saya, wajahnya tampak ketakutan. Saya tersenyum padanya. Dan nyonya muda itu membungkuk sedikit serta menarik anaknya, lalu mereka pergi.

Di situlah saya melihat betapa takutnya Belanda terhadap orang Jepang. Orang Indonesia pada umumnya gembira bukan karena Jepang masuk Indonesia, tapi gembira merayakan kekalahan Belanda. Ada yang percaya bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan itu dan adapula yang curiga dengan kehadiran Jepang. Belum lama ini terbuka bagaimana tentara Jepang memperlakukan wanita-wanita Korea. Saya merasa mereka pernah memperlakukan hal yang sama terhadap perempuan Indonesia.

Saya mendengar dari beberapa kawan, mereka melihat perempuan-perempuan Indonesia yang dibawa ke Tanjung Priok untuk dikirim ke Ambon dan ke tempat lain tentara Jepang bertugas. Entahlah. Memang ada yang melakukan investigasi tentang hal ini. Saya menganggur sekitar sebulan. Bang Bachtar bergabung dengan stasion radio yang saat itu sudah dikuasai Jepang. Bang Bachtar menginformasikan bahwa kantor radio militer Jepang memerlukan anggota redaksi yang mampu siaran berbahasa Inggris. Saya melamar dan diterima. Maka, pekerjaan saya setiap hari mendengarkan VOA, BBC, Radio Australia, Radio Belanda, dan Radio siaran asing lainnya. Setelah itu saya harus mencatat dan bikin laporan dan komentar.

Selain saya, ada beberapa orang Indonesia dan orang Belanda bekas redaksi Kantor Berita Belanda di Indonesia Aneta yang bekerja di sana. Kantor radio militer Jepang itu terletak di jalan Riau, belakang President Hotel sekarang. Saya senang karena saya bebas mengetahui apa yang terjadi di dunia dan setiap kali ada berbagai informasi, saya sampaikan pada Bang Bachtar yang ikut gerakan mempersiapkan perjuangan untuk merebut kemerdekaan.

Jepang memang kejam. Tapi mereka memperlakukan saya cukup baik. Terus terang, secara tidak langsung, saya belajar jurnalistik ketika bekerja di radio militer Jepang itu. Saya ikut latihan militer karena senang dengan latihannya yang keras. Pada zaman Jepang pula saya berkenalan dengan Hally yang kemudian menjadi istri saya. Ceritanya, Hally dulu bekerja sebagai staf di surat kabar Asia Raya yang diterbitkan Jepang. Ia berkawan dengan istri Rosihan Anwar yang bekerja di sana. Banyak wartawan bekerja di sana, termasuk B.M Diah dan Rosihan Anwar. Nah, saya berkenalan disitu.

Saat itu, sabun wangi sangat sukar didapat. Kebetulan saya menjadi salah satu juru distributor sabun wangi kepada kawan-kawan. Nah, salah satu sabun itu saya berikan pada Hally, untuk merayunya, ha,ha,ha… Maklum, sabun wangi adalah barang eksotik saat itu. Kami berpacaran dan menikah tahun 1945. Bulan Agustus 1945, saya sudah berjanji pada Bang Bachtar, saya akan memberitahu mereka jika Jepang kalah. Bang Bachtar dan kawan-kawannya sudah mempersiapkan pemuda-pemuda Indonesia. Jadi begitu saya mendengar berita tersebut, langsung saya kasih tahu padannya.

Bang Bachtar, Jusuf Ronodipuro, Taslim Ali, dan kawan-kawannya yang lainnya akhirnya merebut RRI Jakarta. Karena Bachtar dianggap salah satu pemimpin yang merebut RRI dari tangan Jepang, ia ditangkap polisi Kenpentai dan disiksa cukup berat. Setelah proklamasi ia masuk Akademi Militer Yogya.

MENJADI WARTAWAN

Setelah proklamasi, seorang kawan yang bekerja di Kantor Berita Antara mengajak saya membantu Antara. Sebetulnya Kantor berita Antara sudah didirikan di masa penjajahan Belanda, tapi pada masa pendudukan Jepang sempat dipegang oleh kantor berita Jepang Domei. Setelah Jepang kalah, Bung Adam Malik membenahinya kembali. Seorang wartawan Antara, Syahrudin juga mengajak saya untuk bergabung. Saya segera bergabung karena memang tertarik untuk menjadi wartawan.

Beberapa hari setelah saya bekerja, tiba-tiba Bang Bachtar mengajak saya masuk Akademi Militer di Yogya. “Kita harus ikut bertempur melawan Belanda yang akan datang ke sini. Abang sudah mendaftar di AMN. Kalau kamu mau ikut, kita bisa atur…” katanya. Terus terang, saya sempat tertarik untuk ikut berjuang dengan senapan. Maklum saat itu saya masih muda dan jiwa saya masih berkobar-kobar. “Tunggu dulu, Bang. Saya sudah berjanji dengan Bung Adam (Malik) untuk membantu Antara. Saya harus bicara dulu dengannya,” jawab saya. “Baik, saya tunggu tiga hari,” kata Bang Bachtar.

Saya agak bingung dan saya datangi Bung Adam. “Bung Adam, program perjuangan kemerdekaan nampaknya harus berubah… saya mau masuk militer saja…” kata saya. Bung Adam kaget. “Ah, jangan. Berjuta pemuda Indonesia sudah siap berjuang angkat senjata. Tapi yang berjuang dengan pena susah dicari,” bujuk Bung Adam. “Aduuuh,” saya garuk kepala, “kasih waktu dua harilah, Bung.” Buat saya pendapat Bung Adam dan Bang Bachtar sama-sama sah dan berharga.

Perjuangan pena maupun senjata sama beratnya, hanya lapangan yang berbeda. Dilema ini menyebabkan saya tak bisa tidur semalaman. Tapi, saya tertarik dengan bidang jurnalistik. “Bang, saya mau jadi wartawan saja …,” kata saya akhirnya. Bang Bachtar berangkat, lulus AMN, jadi letnan dan bertempur di daerah Krawang Bekasi.

Tahun 1949, muncullah ide untuk mendirikan sebuah harian yang independen dari pengaruh Belanda. Kawan-kawan mengatakan bahwa kita perlu satu suara yang mewakili Republik Indonesia. Ide dan dorongan datang antara lain dari Hasyim Mahdan, juru bicara komando militer Jakarta Hiswara, seorang wartawan Kolonel dan Yahya, Gubernur Militer Jakarta dan saya. Indonesia Raya lahir tanggal 29 Desember 1949 dengan filsafat Dari Rakyat Untuk Rakyat. Logonya berwarna hitam dan terbit hanya empat halaman. Headline kami yang pertama adalah tentang timbang terima kedaulatan Indonesia di Istana Merdeka.

Karena dulu belum ada yang namanya SIT (Surat Ijin Terbit) atau SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers), jalan untuk penerbitan Indonesia Raya sangat mudah. Cukup hanya dengan mendaftar kantor polisi saja. Saat itu jumlah “awak kapal” Indonesia Raya hanya sekitar 15 orang, termasuk reporter dan korektor. Pemimpin Redaksi pertama adalah Hiswara, dan beberapa saat kemudian, baru saya menggantikannya.

Memang saat itu pers belum menjadi industri besar. Penghasilan Indonesia Raya sebagian besar tertolong karena kami dilanggani beberapa ribu eksemplar oleh Angkatan Darat, yang beranggapan perlunya surat kabar yang mendukung Republik Indonesia untuk mengimbangi pers Belanda. Seingat saya, demikian pula keadaan oplah harian Pedoman dan Abadi. Dalam keadaan kesulitan cashflow, selalu ada saja pengusaha yang membantu kami, antara lain almarhum Syahzam, adik Perdana Menteri Syahrir Dasaad Haji Gani.

Saya merasakan yang sering kami sebut secara bergurau sebagai zaman keemasan pers Indonesia. Di tahun pertama kemerdekaan sistim parlementer dilaksanakan, partai-partai yang punya suara terbesar membentuk pemerintahan dari tahun 1946 sampai tahun 1955. Kebebasan pers saat itu sangat baik dan jauh lebih terjamin dibandingkan dengan masa kini. Bayangkan, berbagai harian bisa mengkritik pemerintah secara langsung. Jika pemerintah tersinggung paling-paling mereka membantah. Artinya pemerintah mengerti yang disebut hak jawab.

Hally, istri saya, sangat kritis terhadap berita-berita yang dimuat harian Indonesia Raya. Jika Indonesia Raya dianggap melempem, ia pasti menyindir saya. “Kok, rasanya sudah nggak enak ya baca Indonesia Raya.” Saya tertawa saja. Buat saya, komentar Hally memang penting karena ia sangat berharga dalam kehidupan saya. Ia adalah istri yang setia dan mengerti akan perjuangan. Ia sangat tabah ketika saya dipenjara. Ia tahu itu konsekuensi perjuangan. Tentu Hally sangat sedih. Tapi Hally sangat mendukung perjuangan kami sepenuhnya. Ketika saya ditahan di Madiun, Hally pasti muncul setiap bulan, naik KA berjubel-jubel, dengan ibu Anak Agung, Anak Agung Gde Agung, Yunan Nasution, dan lain-lain.

BUNG KARNO DAN SAYA

Orang sering menganggap saya sebagai musuh bebuyutan Bung Karno. Sebenarnya saya sangat menghargai Bung Karno pada awal pemerintahannya hingga masyarakat dan pers bisa sebebas itu. Bahkan, percaya atau tidak, Bung Karno pernah menjadi salah satu idola saya pada zaman Belanda. Pada zaman pendudukan jepang saya mulai skeptis padanya karena ia menganjurkan anak-anak muda masuk Romusha dan Heiho. Sebagai pemimpin seharusnya ia tahu akibatnya pada anak-anak muda yang kagum padanya.

Pertemuan saya pertama kali ketika saya mewakili Antara di Yogyakarta. Saat itu, ibu kota Indonesia masih di Yogyakarta. Saya ingat, ada sekitar lima atau enam wartawan yang berbincang dengan Bung Karno dan banyak orang, sehingga saya tak punya kesempatan berbincang secara personal. Ketika Bung Karno kembali ke Jakarta dan masuk ke Istana Merdeka, saya mulai mengenal Bung Karno secara pribadi. Maklum saat itu, tak seperti masa kini, Istana Merdeka sangat terbuka bagi wartawan. Bung Karno rajin mengundang kami makan bersama sambil mengobrol, saya terkesan oleh keramahan dan kehangatannya. Bayangkan, kami selalu diperlakukan sama, duduk bersama dan makan bersama di satu meja.

Indonesia Raya mulai mengkritik Bung Karno ketika ia kawin lagi dengan Hartini. Suatu hari kami didatangi serombongan perempuan yang menamakan dirinya Perhimpunan Puteri Indonesia (PPI). Ini organisasi pembebasan wanita yang sama sekali tidak identik dengan filsafat Dharma Wanita. Sayang saya lupa nama ketuanya. Yang jelas rekan-rekan wanita ini mengutarakan kekecewaan mereka, kenapa Presiden Indonesia yang mereka hormati dan selalu memuji harkat wanita wanita Indonesia itu bisa kawin lagi.

Mereka semua berpihak pada Fatmawati dan mengatakan harian Indonesia Raya harus membicarakan soal ini. ” Ini menyangkut martabat perempuan. Lihat, masak ibu negara diperlakukan seperti ini,” kata salah satu anggota PPI. “Tunggu dulu. Apa benar Presiden kawin lagi, kami harus mengecek lagi,” kata saya merasa terdesak. Lalu mereka menginformasikan Bung Karno mengawini Hartini di Cipanas. Akhirnya, saya pergi sendiri ke sana.

Saya cari penghulunya ke Kantor Urusan Agama. “Pak, saya dengar ada kabar gembira ya. Presiden kita sudah memperbesar keluarganya dan saya dengar bapak yang mengawinkan? ” Penghulu itu nampak senang mendengar pertanyaan saya, “O, betul Pak…” katanya semangat. Dia membuka bukunya. Saya baca: nama Soekarno, jabatan Presiden Indonesia dan seterusnya. Dan nama itu memang menikah dengan Hartini. Saya catat apa yang saya baca. Kisah ini kami beritakan di harian Indonesia Raya sebagai head line dan editorial keesokan harinya. Pemberitaan kami mengakibatkan kehebohan. Apalagi, kami juga menekankan di editorial bahwa betapa tak pantasnya seorang pemimpin memberi contoh demikian.

Yang kami dengar kemudian, Bu Fatmawati bermaksud meninggalkan istana. Yang menarik, setelah hebohnya headline itu, Bung Karno toh masih mengundang saya ke Istana Bogor untuk menghadiri acara rutin yang diadakannya. Ini acara berpiknik Bung Karno dengan wartawan beserta istri masing-masing sambil makan siang, mendengarkan musik dan menari lenso. Sikapnya tetap baik. Malah dia berolok-olok kepada rekan-rekan, “Alaah, Mochtar kan cuma cemburu sama saya…” Ha,ha,ha …Bung Karno memang lucu.

Indonesia Raya terus menghantam perkawinan-perkawinan Bung Karno berikutnya setelah perkawinannya dengan Hartini. Tapi Bung Karno tidak pernah bereaksi terhadap tulisan-tulisan itu. Yang membuat Bung Karno berang adalah tulisan saya mengenai sikap Bung Karno terhadap Jepang. Saya mengkritiknya gara-gara ratusan ribu pemuda Indonesia bersedia menjadi Romusha dan Heiho. Mereka mati disiksa Jepang karena mengikuti seruan Bung Karno dalam pidatonya untuk membantu perjuangan tentara Jepang. Saya punya banyak bukti kejamnya perlakuan Jepang terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang ikut Romusha.

Ketika Ibu Kota dikembalikan ke Jakarta, Bung Adam Malik bilang kami harus keliling Asia Tenggara untuk membuat kontak-kontak untuk Kantor Berita Antara. Di Filipina, kami bertemu dengan dua orang Indonesia yang pernah ikut Romusha. Tubuh mereka bagaikan mayat, sudah tak berdaging dan mata cekung. Adapun yang bersedia bergabung dengan Jibakutai, pasukan bunuh diri Jepang. Saat terakhir Jepang di Jakarta, sebelum pasukan Inggris masuk, saya bertemu dengan satu regu Jibakutai mereka digunduli, berbadan besar dan tidak bersedia berbicara.

Sayang ketika Jepang kalah, Jepang banyak membakari dokumen militer mereka. Saya yakin, sebenarnya belakangan Soekarno menyadari bahwa imbauannya terhadap pemuda Indonesia untuk bergabung menjadi Romusha dan Heiho adalah kesalahan besar. Namun, tampaknya sudah terlajur termakan slogan “Inggris kita linggis, Amerika kita seterika”, meski sudah jelas Jepang akan kalah.

Suatu hari Jaksa Agung Suprapto menelpon saya: “Bung Mochtar, coba datang kemari sebentar.” Sayapun datang. Pak Suprapto menceritakan ada telepon dari Istana mengenai tulisan Romusha.” Saya tertawa. “Perkara Romusha? Wah, saya senang sekali kalau bisa bicara dengan Presiden soal Romusha,” sambut saya. “Saya siap dituntut, Pak. Saya bisa mengumpulkan sekitar 100 atau 200 orang yang pernah ikut Romusha” sambung saya lagi.

Saat itu undang-undang masih berlaku dengan baik, jadi saya siap menghadapi tuntutan seorang Presiden pun. “Tunggu dulu,” kata Jaksa Agung, “Saya harus lapor dulu pada Bung Karno.” Tiga hari kemudian saya ditelepon Jaksa Agung dan saya diminta singgah lagi. “Bung Karno tidak jadi menuntut…”kata Jaksa Agung Suprapto. “Lho, kenapa? Saya sudah menyatakan sudah bersedia kok,” kata saya. “Entah. Katanya, cabut saja,” jawab Jaksa Agung Suprapto.

Salah satu contoh lagi tentang kemerdekaan pers saat itu adalah kasus Roeslan Abdulgani, menteri luar negeri waktu itu. Ia menuntut Harian Indonesia Raya. Wakru itu ada undang-undang yang melarang warga negara Indonesia membawa mata uang asing ke luar negeri tanpa izin Departemen Keuangan. Roeslan Abdulgani dititipi uang oleh kawannya yang bernama D. Quelyu, bekas direktur Percetakan Negara, untuk suatu keperluan. Lalu kami mendengar keluhan orang Departemen Keuangan tenteng pelanggaran ini. Isi tulisan Indonesia Raya merusak nama baiknya. Kami membuktikan memang dia telah melakukannya, dan hakim membebaskan saya dari dakwaan Ruslan Abdulgani.

Belakangan, Roeslan Abdulganilah yang menjadi terdakwa. Bayangkan, zaman itu, seoarang menteri bisa dibawa kemeja hijau. Dan bahkan di dalam pengadilan terbukti Roeslan telah membawa uang asing hingga ia dijatuhi hukuman penjara dua tahun sekian bulan. Presiden Soekarno segera memberi amnesti kepada Roeslan, maka ia tak dipenjara. Hubungan saya dengan Roeslan tetap baik setelah kejadian itu, paling tidak dari pihak saya tidak pernah terjadi apa-apa. Hal-hal semacam ini masih bisa dilakukan pers jaman itu terutama, karena lembaga yudikatif masih sangat indenpenden.

Di masa itu pers masih dimungkinkan untuk menulis seorang menteri melanggar peraturan dan melakukan korupsi. Tentu saja sang menteri boleh menuntut. Tapi sang pemimpin redaksi juga mendapat kesempatan membuktikan apa yang ditulis itu bukan omong kosong. Ini menunjukkan bahwa perangkat hukum saat itu seperti hakim, jaksa, dan pengacara, masih bisa dipercaya intergritasnya. Tapi setelah Bung Karno mulai kacau, membubarkan konstituante dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, hancurlah masa jaya pers Indonesia.

Ketika BK meninggal, terus terang saya sangat sedih. Buat saya, biar bagaimana, ia adalah seorang pemimpin besar yang banyak jasanya. Memang jasanya dihancurkannya sendiri dan telah meninggalkan warisan yang harus dibereskan kembali. Sebagai seorang tokoh, ia seorang tokoh yang tragis. Ia disanjung rakyat, bahkan hingga kini, tapi dalam kurun waktu terakhir, ia terlalu asyik dengan petualangan politiknya dengan PKI yang tidak bermutu.

Saya banyak kawan-kawan lain adalah korban-korban dari PKI dan Lekra, jadi sulit bagi kami untuk melihat rasio di balik tindakan-tindakan mereka. Di dalam dunia kesenian, PKI tak kalah agresifnya. Saya tak pernah kenal Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang tokoh Lekra, secara dekat, karena bagi saya dunia kami memang berbeda. Bahwa kemudian buku-buku saya, Achdiat Kartamihardja, Takdir Alisjahbana, dan pengarang-pengarang lain dilarang karena desakan Lekra adalah salah satu desakan yang tidak mengherankan.

Pelarangan itu resminya menyatakan buku-buku itu anti demokrasi terpimpin. Saya ingat betul, sebelum saya ditahan oleh Soekarno, secara kebetulan saya bertemu dengan Aidit di resepsi di kedutaan RRC di Jakarta. “Aaah, Bung Mochtar, sudah lama tidak bertemu,” tegur Aidit. “Bung Aidit, makin hebat saja,” jawab saya: “Aaah, tidak, biasa saja. Begini Bung, saya ingin meramal sesuatu. Kelihatannya Bung Moctar dan mungkin anak-anak Bung tidak mungkin saya bikin menjadi PKI. Tapi saya pastikan, cucu Bung Mochtar suatu hari akan menjadi PKI. Saya yakin.” Saya tertawa mendengar ramalan itu.

Tahun 1974, ketika para wartawan senior diajak Pangkobkamtib (saat itu) Jenderal Soemitro mengunjungi pulau Buru, kata-kata Aidit terngiang kembali. Apa katanya, jika ia melihat kawan-kawannya bekerja di pulau terpencil seperti ini, memacul, membersihkan WC dan kesepian? Apakah Aidit masih akan tertawa terbahak-bahak? Kami mendapatkan waktu tersendiri untuk berbincang dengan Pramoedya. Ia menceritakan bagaimana beratnya tinggal di pulau Buru dan bagaimana mereka harus mendirikan rumah-rumah itu sekaligus menanam jagung dan membangun komunitas dari nol.

Pram mengeluh bahwa penjagaan terhadap mereka sangat keras dan jika ada yang berani mencoba lari, hukumannya sangat berat. Pram kelihatan sangat emosional dan memperlihatkan bahwa ia tak setuju dengan perlakuan terhadap penghuni penjara. Ia kelihatan sangat geram dan saya bersimpati kepadanya.

SAYA DITAHAN

Di suatu malam jumat, 21 Desmber 1956, saya ditahan atas perintah Bung Karno. Ia memerintahkan Nasution untuk menangkap saya. Nampaknya akhirnya kesal juga melihat tak bosan-bosannya mengkritiknya. Beberapa kawan sudah mulai mengolok-olok saya karena masih juga berseliweran dan belum juga ditahan Bung Karno. Awalnya penangkapan tokoh-tokoh PSI dan Masyumi, seperti Syahrir, Subadio (Sastropratomo) dan Natsir. Saya mengkritik penangkapan ini. Lalu saya dikenakan tahanan rumah.

Indonesia Raya boleh terbit. Saya tetap menulis tajuk rencana. Caranya, Hally membawa naskah itu ke kantor dan sementara saya tetap di rumah saya di jaga dua CPM bersenjata penuh setiap hari. Bulan pertama, saya tak boleh terima tamu, bulan berikutnya saya sudah mulai bisa merayu para penjaga. Saya bercerita tentang alasan saya mengkritik Bung Karno. Akhirnya mereka mulai mengerti, kalau saya mau keluar rumah.

“Pokoknya kami tutup mata deh, Pak…” kata mereka. Mereka percaya saya tak akan melarikan diri dan saya memang tak pernah berencana melarikan diri kemana-mana. Suatu hari, malah para penjaga CPM itu yang permisi mau pergi sebentar. “Pak kalau letnan kontrol, tolong dong bilang kami di belakang. Kami tinggalkan senjata. Kami mau ke Jakarta Kota cari duit…” Mereka pergi ke Glodok. Ketika letnannya datang saya bilang anak buahnya sedang di belakang. Pernah pula suatu malam, mereka minta izin pulang. “Pak, sudah dua minggu saya tidak tidur sama istri, jadi minta pulang ya …” Nah, karena itu para penjaga CPM bisa kompak dengan saya.

Setelah tiga bulan, saya bilang, “Eh, sudah lama saya tidak nonton film. Nonton yuk…” Mereka mau dan katanya: “Tapi belakagan saja datangnya, biar tidak kelihatan. Bapak terlalu dikenal orang, kalau ketahuan, kami yang susah.” Saya setuju. Maka saya nunggu di mobil sampai penonton sudah masuk semua, lantas kedua CPM itu mengurus tiketnya di Globe Teater. Ternyata tidak pakai karcis karena ada tempat duduk gratis buat anggota pemadam kebakaran yang dapat dipakai.

“Pak, kolonel mau nonton, ” kata CPM itu kepada menejer bioskop. “O, beres …” Saya segera diantar ke dalam dan orang-orang memberi hormat pada saya. Saya menahan tawa geli. Dulu, jabatan kolonel itu sangat tinggi. Begitulah kehidupan saya selama empat tahun, Indonesia Raya tetap beredar dan tetap laku. Setelah saya dibebaskan, saya mendapat undangan dari International Press Institute untuk menghadiri sebuah konprensi international di Tel Aviv. Di dalam konperensi itu saya mengatakan bahwa berbagai pemerintah negara berkembang tidak suka pada kebebasan pers. Banyak pemerintah negara berkembang takut di ekspos. Bung Karno nampaknya tidak suka dengan ucapan saya.

Ketika saya pulang, mampir di Singapura karena janji ketemu dengan istri saya untuk honey moon kedua. Ketika kami tiba di Kemayoran, di Imigrasi, pegawainya mengatakan “Maaf Pak, ada perintah jika bapak pulang, paspornya harap diserahkan pada kami.” Saya jawab, “Ambil saja.” Sebulan saya tidak diapa-apakan. Lalu saya dipanggil Peperti (Penguasa Preng Tinggi), “Pak, kami diperintah menahan Bapak.”

Waktu itu Mayor Pepertinya adalah Mayor Sudharmono yang sekarang menjadi Wakil Presiden. Jadi tugasnya dulu adalah menangkap-nangkapi orang. Alasannya menangkap saya karena saya dianggap menjelek-jelekan kepala negara. Padahal saya hanya mengatakan bahwa kebanyakan berbagai negara berkembang tidak suka kebebasan pers dan sama sekali tidak menyebut Bung Karno. Akibatnya, saya dibawa ke RTM (Rumah Tahanan Militer) di jalan Budi Utomo, dan dimasukkan ke dalam sel. Itulah pertama kali saya masuk sel.

Saya mendapat kamar yang sempit. Saya merasa gusar dan marah. Saya tak bisa duduk, tak bisa tidur. Beberapa hari dalam keadaan demikian, saya seperti mendengar suara bahwa jika saya terlalu merasakan penderitaan di sel itu, saya akan sakit. Benar juga. Maka saya menulis surat untuk Hally agar membawakan buku-buku bacaan, kertas, dan pena. Saya membaca dan rajin menulis buku harian sekaligus bersosialisasi dengan orang-orang sesama ditahan. Ada serdadu, ada yang ditahan dengan tuduhan subversi, ada pencopet, ada pembunuh. Pokoknya mereka sangat menarik untuk dijadikan bahan cerita.

Setelah beberapa lama di sana, saya dipindahkan ke RTM Madiun. Penjara di Madiun ini, berbeda dengan sebelumnya, penuh sesak dengan sebelumnya tahanan politik seperti Prawoto Mangunkusumo, Yunan Nasution, Kyai Ashari, Sultan Hamid, Princen dan lain-lain. Tapi saya anggap penderitaan di penjara ini tak seberapa karena direktur penjaranya seorang kapten yang gila tenis. Ia selalu mengajak kami main tenis setiap kali ada yang membawa bola tenis baru dari Jakarta. Bahkan kami sering dibawa main tenis ke tengah kota, minimal sebulan sekali.

Sekali waktu kami dipanggil kepala penjara yang baru dapat instruksi dari Jakarta. “PKI mengadu, katanya bapak-bapak terlalu enak hidupnya di Madiun. Jadi sementara ini kita jangan main tenis di luar dulu,” katanya. Maklum, zaman itu PKI sedang dominan. Ketika peristiwa gerakan 30 September PKI pecah, saya masih di penjara Madiun. Kami semua hanya mendengar peristiwa itu dari radio Jakarta.

Yang pertama disiarkan adalah nama-nama Dewan Revolusi. Saya ingat, yang pertamakali bereaksi adalah pak Subadio, “Wah, ini jelas PKI.” Kami semua langsung berdiskusi dan berkesimpulan bahwa di belakang itu adalah PKI. Kami semua memang menentang PKI.

Kami berbincang dengan pemimpin penjara, seorang komandan CPM, saya bilang, “Mayor, kalau PKI bisa jalan terus, kamilah yang pertama dibunuh di Madiun. Apakah anda bisa menjamin keamanan kami?” Mayor itu menjawab terus terang, “Tidak bisa Pak. Persenjataan dan anak buah kami tidak cukup. Tapi saya akan berusaha mengumpulkan senjata apapun ke sini. Nah, terserah Bapak-bapak akan melakukan apa. Jika mereka menyerbu, dengan anak buah yang lima orang ini, terserahlah.” Kami menghargai keterusterangannya dan kerja samanya, dan langsung menyusun strategi.

Rekan-rekan sepenjara dari Masyumi segera mengontak kawan-kawannya di Madiun, entah bagaimana mereka juga mendapatkan senjata dan mereka menyatakan siap untuk menjaga orang-orang yang di penjara. Suasana saat itu sangat menyeramkan dan tegang. Ketika saya mendengar salah satu korbannya adalah Ade Irma Suryani Nasution, hati saya menangis dan luka. Ini peristiwa yang sungguh gila. Sambil tiduran, meski mata terpicing, saya teringat kembali bagaimana kejam dan berkuasanya PKI ketika Bung Karno memberi angin.

Saya ingat bagaimana pandainya mereka menteror orang-orang yang menentang mereka. Tapi seberapapun kejamnya PKI masa lalu, saya tak setuju jika ada anak-anak, atau saudara eks PKI ikut-ikutan terkena getahnya seperti apa yang terjadi di masa Orde Baru. Artinya mereka dihukum berdasarkan guilt by association. Konsep bersih lingkungan adalah sebuah konsep yang sangat tidak saya setujui.

Apa salah anak-anak, kemenakan, atau cucu-cucu orang-orang PKI itu? Yang bersalah adalah orang tua mereka, bukan anak-anaknya atau saudaranya yang belum tentu percaya pada ideologi yang dianut bapak, adik, atau kakaknya. Itu sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Tentang kejadian itu sendiri, saya tetap percaya bahwa kejadian tanggal 30 September itu adalah gerakan PKI.

SASTRA

Saya sudah mulai menulis sastra secara serius tahun 1946. Semuanya diawali karena saya tergugah melihat anak-anak muda yang mengikuti perjuangan bersenjata. Saya pernah mengikuti Syahrir, perdana menteri RI waktu itu, dan beberapa pejabat Departemen Luar Negeri ke Yogyakarta. Di kereta api ikut juga Soebandrio yang kala itu menjadi Sekjen Departemen Penerangan. Kala itu Bung Karno sudah pindah di Yogyakarta, tapi perdana menteri masih di Jakarta.

Kami naik kereta api ke Yogyakarta. Ketika kami menyeberangi batas antara tentara Republik dan tentara Belanda di kali Bekasi, saya melihat anak-anak Indonesia mulai menembak. Kami jalan terus ke Karawang. Kereta api berhenti. Lalu, kami dapat laporan, beberapa anak Indonesia terkena tembak. Soebandrio sebagai dokter segera bertindak. Dia mendiagnosa ada yang kakinya harus dipotong. Karena tidak ada alat untuk melakukan operasi, kaki mereka dipotong dengan gergaji. Sungguh mati, saya tak kuat melihatnya. Itulah sebabnya jika saya melihat para politikus Indonesia mempermainkan rakyat, wuaduh, saya marah besar. Saya sudah melihat bagaimana rakyat bersedia mengorbankan jiwanya untuk kemerdekaan Indonesia.

Saya tidak ingin terlalu emosional dalam sebuah penulisan jurnalistik, meski yang saya lihat adalah realita. Menyadari keterbatasan jurnalistik, saya lalu menuangkan hal-hal seperti itu ke dalam sastra. Sastra bisa mengekspresikan persoalan humanitas dan emosi manusia dengan kuat. Cerita pendek saya yang pertama dimuat di majalah Siasat. Waktu itu, usia saya sekitar 24 tahun. Lalu cerita pendek berikutnya dimuat di Mimbar Indonesia. Saya selalu menulis sebuah kisah fiksi berdasarkan pengalaman-pengalaman saya.

Sastra saya adalah kisah nyata berdasarkan kisah masyarakat kehidupan yang nyata. Bromocorah, Harimau-harimau, Kuli Kontrak, Si Djamal semuanya adalah berdasarkan kisah nyata. Bromocorah diilhami pada saat saya ditahan Bung Karno di Madiun. Bromocorah yang mengilhami saya itu kerjanya membelah kayu, dan saya sendiri sering mencari kayu untuk saya ukir. Kami sering mengobrol dan dia menceritakan ketika lari ke Riau. Saat itu masih banyak perampok kapal yang datang dari Singapura. Dan dia mengaku sering ikut kapal-kapal itu untuk merampok.

Cerita pendek Dara juga adalah sebuah kisah nyata tentang anak puteri kawan saya. Mengembara dalam Rimba adalah pengalaman saya ketika masih muda mengembara dalam hutan-hutan. Si Djamal memperlihatkan kenaifan manusia Indonesia. Dia seorang intel di Yogyakarta ditugaskan memata-matai Belanda di Jakarta. Belum apa-apa, yang dilakukannya pertama kali adalah mendatangi saya di kantor, menunjukkan kartu intel yang dimilikinya, dan menceritakan ke seluruh dunia bahwa ia adalah intel. Waduh, naif betul. Saya tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya.

Juga banyak yang merasa bahwa dalam Senja di Djakarta saya menceritakan sebagian kawan-kawan saya. Soedjatmoko sampai menghampiri saya dan mengatakan, “pasti tokoh ini adalah saya….” Dan saya jawab, “saya tak akan bilang apa-apa, tapi yang pasti memang ada Anda.” Kami sama-sama tertawa.

Saya ingat, suatu pagi ketika saya naik mobil menuju kantor Indonesia Raya, saya melihat seorang wanita yang kotor dan setengah telanjang. Ia berdiri di bawah pohon dan beberapa kali saya lewat, ia tampak tertawa sendiri, dan ngobrol sendirian. Sepotong kain yang menutup pinggulnya tampak kotor dan sobek-sobek. Maka saya tanyakan pada Hally, apakah ia memiliki sepotong kain batik bekas untuk diberikan pada perempuan itu. Hally segera memberi sepotong kain baik, dan sehelai blus.

Pagi itu juga saya menghampiri perempuan itu. Karena nampaknya sukar berbicara dengannya, saya hanya menggunakan bahasa tangan saja bahwa saya ingin memberikan kain batik dan blus itu padanya. Ia malah lari meninggalkan saya, dan setiap kali saya mendekat ia menjauh malu-malu. Beberapa hari saya bolak-balik, dan yang terjadi adalah wanita itu lari setiap kali melihat saya. Akhirnya saya tinggalkan saja potongan kain itu di bawah pohon.

Dari jauh, saya melihatnya ia mengambil kain batik dan blus itu. Sebuah pertanyaan yang selalu mengganggu saya adalah: apakah wanita itu benar-benar gila atau ia berpura-pura gila? Setelah beberapa lama, akhirnya saya menulis sebuah cerita pendek berjudul Perempuan Gila. Isi ceritanya adalah seorang perempuan yang sebenarnya tidak gila, tapi karena tidak memiliki baju, maka ia berpura-pura menjadi gila.

Saya ingat, saya menerima beberapa surat yang menyukai cerpen itu, tapi beberapa surat lain protes karena menganggap saya membesar-besarkan kondisi kemiskinan di Indonesia. Nampaknya banyak juga orang Indonesia yang menolak untuk melihat realitas di sekelilingnya. Tapi, semua komentar ini penting untuk saya.

Kritikus yang paling saya perhatikan di dunia ini adalah isteri saya sendiri. Seperti dalam dunia jurnalistik, Hally pun berperan penting dalam dunia kepenulisan saya. Ia sangat penting bukan hanya dalam karya saya, tapi dalam kehidupan saya. Terkadang karya saya, saya ubah karena kritik Hally, tapi sering juga saya biarkan.

Perhatian saya terhadap dunia sastra salah satunya adalah melalui Yayasan Obor. Ini adalah satu yayasan yang antara lain bergerak di bidang penerjemahan karya sastra asing ke Indonesia. Saya menganggap, masyarakat Indonesia patut diperkenalkan dengan karya sastra dunia, yang bukan hanya dunia Barat tapi juga belahan dunia lainnya, misalnya India, Filipina, Muangthai, Kenya, dan negara Dunia ketiga lainnya misalnya negara Amerika Tengah dan Selatan. Tapi itu tak berarti saya tak menghargai sastra Indonesia. Saya menyukai karyakarya Ramadhan KH karena ia sangat memperhatikan persoalan sosial. Novelnya Kemelut Hidup dan Keluarga Permana sangat menyentuh perasaan saya.

Saya juga menyukai karya Achdiat Kartamihardja dan Rendra. Saya juga menyukai Sutardji Calzoum Bachri karena ia berhasil membuat inovasi baru dalam dunia kepenyairan Indonesia. Tapi yang saya kenal betul sebagai seorang penyair dan secara pribadi adalah nama Chairil Anwar. Pertemuan pertama saya di rumah seorang teman. Lantas, saya juga sering bertemu di rumah Bung Syahrir. Saya tertarik dengan semangatnya yang selalu berapi-api, matanya selalu merah, dan badannya ceking seperti kekurangan makan. Mungkin karena itu dia selalu datang ke rumah saya tepat jam makan siang, ha,ha,ha…

Chairil pernah juga menyumbang perpustakaan saya dengan buku-buku curiannya. Ha,ha,ha. Ceritanya begini. Setiap hari saya menuju kantor majalah Mutiara, kantor saya sebelum mendirikan Indonesia Raya, saya selalu melalui sebuah toko buku besar yang terkenal, Van Dorp. Saya tahu betul, Chairil sangat ahli mencuri buku di situ. Pernah saya iseng-iseng bilang, “Ril, saya ingin deh sebuah buku.” Chairil mencatat nama buku itu, lalu katanya: “Beres. Kau bonceng aku ke toko buku itu, Tar.”Setengah jam kemudian dia datang, dan melempar buku itu ke atas meja saya.

Dia juga sering meminjam buku milik perpustakaan USIS (United States Information Service) untuk saya dan tidak mengembalikannya. Gila nggak!! Ha,ha,ha… Bicara tentang Chairil berarti bicara soal wanita-wanita impiannya. Pacar Chairil banyak betul. Kelihatannya waktu Chairil hanya habis digunakan untuk pacar-pacar dan puisinya. Kami selalu prihatin melihat cara Chairil menggunakan waktunya. “Ril, kau ini jangan seperti lilin, terbakar di ujung atas dan bawah. Kau punya bakat begitu bagus. Jaga dong kesehatanmu.” Dia selalu menjawab dengan matanya yang merah dan suara parau, “Ah, itu kan prinsip hidup kalian yang borjuis. Aku ini seniman murni.”

Seringkali kini jika kita berdebat soal sastra dan kebudayaan, saya teringat Chairil karena pemikiran Chairil tentang budaya sangat tajam. Memang benar, sekarang banyak sekali seniman-seniman muda yang potensial dan banyak pula forum-forum yang tumbuh. Tapi saya tidak yakin diskusi-diskusi atau forum yang terjadi kini mengekspresikan keadaan di masyarakat. Saya ikut dalam Forum Kebudayaan yang diorganisasi oleh Fuad Hassan. Banyak rekan-rekan, antara lain Sutan Takdir Alisyahbana, Umar Kayam, yang duduk di dalam forum ini yang bertugas mempersiapkan ide-ide masalah kebudayaan yang harus masuk dalam Kongres Kebudayaan. Tapi nyatanya, yang dilontarkan oleh anggota forum tak ada yang diperhatikan sama sekali.

Salah satu contoh saja, saya diminta menulis peranan seniman dalam masyarakat. Lalu saya bilang, “Saya tidak suka tema ini. Ini sudah sering dibicarakan dan tak ada gunanya diulang-ulang. Saya ingin memfokuskan persoalan kebudayaan hari ini dan mendatang.” Lalu surat saya tidak dibalas lagi. Ya sudahlah, saya tak perlu datang. Bagi saya, uang satu milyar rupiah ongkos Kongres Kebudayaan itu buang-buang uang saja. Saya merindukan perdebatan-perdebatan kebudayaan yang mampu membuat kita berpikir lebih mendalam tentang problem-problem kebudayaan yang sedang dan akan kita hadapi.

Saya teringat terjadinya perdebatan panas tentang apakah sastra bisa menggerakkan masyarakat untuk menjadi revolusi. Tentu saja saya tak percaya sebuah karya sastra secara langsung bisa meletupkan revolusi besar. Jika kita menulis sastra dengan mengungkapkan nurani, dengan sendirinya sastra itu sudah menyentuh perasaan manusia, dan mendorong manusia untuk berpikir. Jadi saya lebih percaya bahwa sastra bisa menggerakkan manusia untuk berpikir.

MASA ORDE BARU

Ketika Orde Baru, harapan saya mulai tumbuh. Tapi harapan dan kegembiraan saya hanya berusia beberapa tahun pertama. Saya mulai kecewa ketika Orde Baru tidak cukup rasional dalam menangani soal Taman Mini Indonesia Indah. Ketika mahasiswa protes dan Arief Budiman sampai digiring ke atas truk, saya sedih dan mulai ragu terhadap keadilan Orde Baru.

Rekan-rekan di Indonesia Raya mulai menganggap ada sesuatu yang terulang kembali di dalam Orde Baru. Ketika Ibu Tien mulai tampil dengan usulnya mendirikan Taman Mini Indonesia, sikap kami menentang karena kami anggap TMII bukanlah sebuah prioritas untuk saat itu.

Banyak ahli ekonomi maupun rekan wartawan yang menganggap bahwa prioritas pertama adalah menaikkan taraf hidup rakyat. Tidak ada yang bermimpi setiap rakyat harus mampu tinggal di rumah mewah, tapi paling tidak rakyat harus bisa menikmati taraf hidup yang paling minimum, dan kebutuhan dasar sehari-hari sudah harus bisa dicapai. Tapi, masih ada sekitar 20 sampai 30 juta rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Ketika Indonesia Raya menulis kritik terhadap TMII melalui pemberitaan dan tajuk rencana, pers Indonesia belum mengalami belenggu yang ketat seperti masa kini. Buktinya kami masih bisa memuat tulisan-tulisan orang yang mengkritik berdirinya Taman Mini. Saya kira, Orde Baru masih mengalami masa balita sehingga mereka masih mentoleransi kritik-kritik. Jadi kami tidak dibreidel, tidak ditegur, bahkan tidak ditelepon sama sekali.

Di masa Orde Baru pun saya pernah ditahan tanpa melalui pengadilan, tanpa kesalahan, dan hingga sekarang tak pernah ada penjelasan apa pun. Semua bermula ketika tanggal 15 Januari 1974 saya berangkat ke Paris untuk memenuhi undangan UNESCO. Di sepanjang jalan dari Matraman ke Senen, saya lihat betapa ramainya anak-anak muda bergerombol. Saya tidak mendengar apa-apa tentang Malari atau Peristiwa Lima Belas Januari sebelumnya. Yang saya tahu adalah, ketika pulang dari Paris, harian Indonesia Raya bersama berbagai media lainnya telah ditutup. Dan saya ditahan tanpa alasan yang jelas.

Dalam sebuah wawancara majalah TEMPO dengan Jenderal Yoga Soegama, ia mengungkapkan sesuatu yang menggelikan. Ia menganggap bahwa saya adalah PSI atau paling tidak simpatisan PSI. Dan saya dengar saya dituduh pernah mengadakan pertemuan dengan Hariman Siregar di kantor Indonesia Raya dalam rangka menggerakkan mahasiswa. Itu semua adalah tuduhan yang sungguh tidak bermutu!

Memang benar saya sering berdiskusi dengan anak-anak muda, karena mereka sering bertandang ke rumah saya, hingga sekarang. Diskusi itu memang ngalor-ngidul dari soal dunia, hingga kritik-kritik kebijakan pemerintahan Orde Baru. Tapi itu hanya diskusi biasa yang saya yakin dilakukan berjuta penduduk Indonesia di berbagai forum resmi maupun tak resmi. Jadi hingga hari ini, Indonesia Raya beserta Harian KAMI, Nusantara, Pedoman dan lain-lainnya sudah tinggal makam saja.

Indonesia Raya pasti dikhawatirkan karena kritik-kritiknya. Apalagi sekarang, ketika soal komisi Haji Thahir dan Pertamina ramai dipersoalkan. Maklum, kami mendapatkan bukti-bukti kasus korupsi Pertamina sampai satu koper banyaknya. Isi dokumen itu antara lain adalah laporan pengeluaran minyak yang kemudian dimanipulasi pada saat penjualan. Dan selisih beribu-ribu liter minyak itu tak jelas ke mana larinya. Headline harian Indonesia Raya terus menerus membicarakan masalah korupsi ini hingga berminggu-minggu lamanya karena saya anggap ini kasus yang harus diberantas.

Seingat saya, reaksi pemerintah kemudian membentuk Panitia Tujuh dengan ketua Wilopo. Waduh, berapa puluh ribu rupiah ongkos yang dikeluarkan Indonesia Raya untuk memfotokopikan dokumen-dokumen itu, padahal kami tidak terlalu kaya. Tapi, kami pikir, ini demi pemberantasan korupsi dan karena pemerintah yang meminta, maka kami berikan. Satu kopor fotokopi dokumen kami berikan kepada Panitia Tujuh, dan satu kopor gede lagi buat Kejaksaan Agung. Toh sampai hari ini tak pernah terdengar hasilnya. Padahal Adam Malik sudah bilang, pemerintah akan menyediakan 80 orang akuntan untuk memeriksa keuangan Pertamina.

Setahun setelah kami mengekspos kasus Pertamina, saya ikut menyelenggarakan International Association Cultural Freedom di Bali yang dihadiri berbagai intelektual asing dan Indonesia. Ternyata, Ibnu Sutowo mengadakan resepsi untuk para peserta pertemuan itu di sebuah gedung di jalan Merdeka Barat. Karena saya yang mengantar beberapa tamu asing itu, maka mau tak mau saya juga ikut ke resepsi itu. Untuk pertamakali, setelah ekspos Pertamina itu, saya bertemu dengan Ibnu. Dan saya kagum, betapa correctnya sikap Ibnu kepada saya. Dengan sopan dia mempersilahkan kami dan mengatakan senang sekali bisa menjamu kami. Dia tidak menyentuh apa pun soal pemberitaan kami.

Sebenarnya kami pernah mendapatkan tanda-tanda optimisme dari pihak pemerintah untuk menerbitkan Indonesia Raya kembali. Tapi syaratnya adalah: nama korannya harus diganti jika pemimpim redaksinya saya, atau namanya tetap Indonesia Raya dengan pemimpin redaksi berbeda. Saya menolak persyaratan ini. Karena jika saya menerima salah satu persyaratan itu, berarti seolah-olah yang dituduhkan kepada saya itu memang benar.

Saya ingat, ketika saya baru dilepaskan dari tahanan setelah beberapa bulan. Pagi itu, saya masih melukis dan tiba-tiba saja seorang petugas penjara terengah-engah menceritakan bahwa saya dipanggil oleh Jaksa Agung Ali Said. “Biasanya kabar baik, Pak…” kata petugas. “Wah, nanti dulu deh, saya masih mau melukis,” jawab saya. Pagi itu, saya memang sedang dalam mood ingin melukis. Tapi petugas itu memaksa. Akhirnya, saya setuju dan dibawa mobil menuju kantor Jaksa Agung Ali Said.

Di dalam kantornya, Ali Said langsung menjabat saya dan mengatakan bahwa ada kabar baik, “Anda dibebaskan!” “Dibebaskan? Saya boleh ke mana saja?” tanya saya. “Ya, ke mana saja!” Ali Said menceritakan pertemuannya dengan pak Harto bahwa investigasi tentang saya menghasilkan kesimpulan bahwa saya tak bersalah dan tak ada bukti saya ikut menggerakkan Malari. Dan menurut Ali Said, Pak Harto mengatakan, “Sudah saya bilang pada Yoga, memang tak mungkin Mochtar Lubis melakukan hal yang bodoh seperti itu.” Cerita Ali Said ini kemudian saya tuliskan langsung di buku harian saya. Dan buku harian itu kini sudah diterbitkan sebagai sebuah buku dalam bahasa Belanda.

Saya mengerti jika pers masa kini sulit untuk memberitakan soal nepotisme dengan telanjang, misalnya. Saya merasa simpati dan sedih. Begitu banyak wartawan muda yang sangat potensial, mampu berbahasa Inggris dan berwawasan luas, tapi geraknya terbatas karena adanya SIUPP. Saya mengerti betul jika wartawan muda menjadi frustrasi karena mereka pasti sudah membongkar berbagai skandal, tapi demi kelangsungan hidup penerbitan maka masalah-masalah korupsi dan nepotisme itu tak bisa ditulis secara blak-blakan.

Orang memakai alasan bahwa kebebasan pers hanya bisa hidup di Barat. Saya sama sekali tak setuju dengan pandangan yang begitu simplistik ini. Ketika saya diwawancarai sebuah harian tentang Hari Pers Nasional, saya jawab bahwa itu adalah hari berkabung untuk pers Indonesia. Wartawan muda itu kaget dan mengajukan argumennya bahwa kini industri pers sudah lebih maju. Tentu saja industri pers sudah lebih maju. Tapi kalau ada wartawan yang menganggap bahwa SIUPP itu wajar dan menganggap bahwa kebebasan pers itu hanya hidup di negara-negara Barat, alangkah sedihnya saya.

Hal lain yang perlu ditulis saat ini, menurut saya adalah soal harkat wanita Indonesia. Menurut saya, meski sekarang sudah banyak wanita kota yang berpendidikan tinggi dan berpikiran maju, lelaki Indonesia masih tetap patriarkis, tetap chauvinis dan egois. Secara kultural, mereka masih lebih dinomorsatukan hingga dalam soal sosial dan politik, perempuan masih selalu didiskriminasi.

Pernah saya ke pantai Selatan Ujung Kulon (Binuangen) saya bertemu seorang perempuan usia 14 tahun. Setelah kami bercakap-cakap, saya menjadi sedih dan sakit hati. Ketika berusia 11 tahun dia sudah dipaksa kawin. Laki-laki itu meninggalkannya setelah empat bulan. Dikawinkan lagi, ditinggal lagi setelah dua bulan. Sekarang dia sudah dipaksa kawin lagi untuk ketiga lagi.

Saya heran, bagaimana undang-undang perkawinan bisa melindungi perempuan di desa seperti ini. Di kota pun sebenarnya persamaan hak wanita dan pria Indonesia masih terbatas di atas kertas saja. Salah satunya adalah tragedi Dharma Wanita. Buat saya sungguh menggelikan melihat seorang wanita menjadi Ketua Dharma Wanita hanya karena suaminya adalah seorang menteri. Padahal bisa saja isteri dari salah satu anak buahnya jauh lebih mampu memimpin. Bagi saya, Dharma Wanita adalah sebuah konsep dan pemikiran yang maha feodal.

Saya pernah membuat penelitian untuk sebuah organisasi internasional tentang PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) ke pulau Alor. Organisasi ini pernah mendengar bahwa bantuan yang diberikan kepada PKK tidak digunakan secara efisien. Saya bertemu dengan isteri lurah dan menanyakan efektifitas PKK. Ibu lurah mengatakan bahwa saya hanya boleh melempar pertanyaan pada perempuan yang mendampinginya. Selama dua jam ibu-ibu itu tak (berani) mengeluarkan sepatah kata pun. Bagi saya, ini sangat mencemaskan. Kemudian saya dengar bahwa Ibu lurah itu buta huruf, karena itu pendampingnya yang harus bicara atas nama dia.

Pernah juga saya menyaksikan ibu-ibu dibawa ke pusat PKK untuk mendapat makanan sehat, susu, dan kacang-kacangan. Ketika saya tanyakan salah seorang ibu apakah di rumah mereka mendapat makanan yang sama, maka ibu itu menjawab tidak. Mereka hanya bisa memakan seadanya. Padahal, laporan-laporan PKK yang diberikan kepada pihak donor adalah keadaan dan situasi yang bagus, timbangan bayi sehat, makan setiap hari bergizi dan laporan-laporan indah lainnya. Perhatian saya terhadap perempuan saya ekspresikan dalam kumpulan cerita pendek yang saya beri judul Perempuan.

APA YANG SAYA INGINKAN KINI

Kini saya adalah seorang Bapak dari tiga anak dan kakek dari 10 cucu-cucu yang manis. Tak ada satu pun anak saya yang menjadi wartawan maupun penulis. Mungkin mereka kenyang melihat bapaknya dipenjara melulu, ha,ha,ha…

Saya merasa beruntung selalu berbadan sehat dan tidak dibebani penyakit yang serius. Saya hanya pernah sakit kena malaria di Srilanka. Saya menjaga kesehatan saya dengan rajin beryoga. Ini salah satu oleh-oleh saya dari penjara selain keahlian mendongkel pintu dan mencopet dompet, ha,ha,ha…

Saya juga rajin berlatih kungfu dari seorang guru yang sudah sangat tua. Selain itu saya main tenis seminggu dua kali setiap jam enam pagi. Itu saya lakukan sejak usia 16 tahun. Olah raga saya yang lain adalah naik gunung. Saya sering naik gunung sendirian saja, menikmati hutan sendirian. Indah sekali. Karena keranjingan olah raga itu, maka ketika saya checkup di Singapura, sang dokter kagum mengatakan, “You have a fine machine, Mr.Lubis” katanya tertawa.

Meski saya punya kiritik besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia saat ini, saya selalu berpandangan optimistis. Saya tidak ingin bersikap pahit, karena itu tidak akan membantu memperbaiki keadaan. Pahlawan saya adalah Mahatma Gandhi. Saya merasa sangat beruntung pernah bertemu dengannya.

Waktu itu saya harus menghadiri Konperensi Asia pertama. Untuk menerobos blokade Belanda, kami mengendarai pesawat milik Patnaik, seorang pengusaha India yang sangat simpati dengan perjuangan Indonesia. Ia segera menyediakan beberapa kapal terbang buat menjemput kami di Maguwo. Sampai di Singapura, baru kami naik pesawat lain ke India.

Gandhi mendatangi delegasi kami. Ia begitu sederhana dengan mengenakan selembar kain putih dan sandal. Melihat mukanya saja, saya sudah jatuh sayang kepadanya begitu bening, begitu halus dan lembut. Tingkah lakunya persis seperti yang sering digambarkan media dan buku-buku tentang dirinya. Dengan membaca pemikiran Gandhi, saya selalu percaya akan perjuangan tanpa kekerasan.

Saya tak percaya bedil dan saya tak ingin aliran darah. Saat ini, banyak yang menganggap keberhasilan Orde Baru adalah stabilitas. Tapi untuk saya, stabilitas yang tercipta sangat semu karena berbagai hal dilakukan dengan paksaan. Tapi, seperti biasa, saya masih percaya, masyarakat Indonesia akan terus menerus menuntut haknya untuk berpartisipasi. Saya percaya, kita semua adalah orang-orang yang pandai…

14 Maret 1992

Sumber: http://202.158.52.214/id/arsip/1992/03/14/MEM/mbm.19920314.MEM7774.id.html

Saturday, December 24, 2011

Senandung Salawat di Tengah Banjir

Ahmad Zaini*
http://sastra-indonesia.com/

Cahaya matahari di senja itu mulai berubah menjadi merah jingga. Kian lama kian redup. Lantas tak tampak lagi cahaya bundar memerah di ujung cemara di sebelah barat rumah. Gumpalan mega yang sejak sore bergantung di atas langit meredup dan dalam sekejap berubah menjadi gelap. Di atas langit kini tampak gemerlap bintang yang sejak tiga hari lalu tak muncul menghias indah malam lantaran cuaca hujan.

Sayup terdengar suara bunyi kentongan dari langgar yang menandakan waktu menjalankan shalat maghrib telah tiba. Suaranya riuh rendah terombang-ambing tiupan angin ke segala penjuru arah. Satu per satu para tetanggaku berjalan melewati jalan yang sudah mulai kering. Ya, sejak tiga hari lalu saat adzan maghrib dikumandangkan tak terlihat para tetangga yang berjalan menuju ke tempat beribadah itu lantaran jalannya licin dan becek. Maklum saja karena saat ini adalah musim penghujan.

“Subhanallah, malam ini kan ada acara mauludan di langgar! Hampir saja aku lupa.” Aku mencari istriku yang sejak tadi masih di ruang belakang.

“Bu, mari kita berangkat ke langgar! Malam hari ini ada acara mauludan di langgar.”

“Iya, saya sudah tahu Mas! Ini saya sudah menyiapkan jajan untuk hindangan dalam acara nanti.” Istriku menunjukkan kepadaku bungkusan tas kresek berwarna hitam yang aku sendiri tak tahu apa isinya.

“Alhamdulillah, kalau kamu sudah siap!”

Kami berdua berangkat ke langgar bersama-sama dengan para tetangga. mereka berduyun-duyun datang ke langgar. Di tangan mereka hampir semuanya membawa tas kresek yang isinya penuh dengan makanan. Ada yang berupa pisang, ada pula yang membawa makanan ringan lainnya. Pak Mustain sebagai ketua panitia sudah berdiri di depan pintu gerbang langgar menyambut kedatangan kami. Beliau mempersilakan kami dan para jamaah untuk masuk ke dalam langgar dan menyampaikan barang bawaannya ke bagian konsumsi.

“Taruh di sini, Pak Ahmad!” suruhnya. Kemudian tas yang kubawa dari rumah kuletakkan di situ.

“Ayo, langsung masuk saja, Pak!” Pak Mustain berdiri mengatur posisi duduk para jamaah agar langgar yang kecil itu mampu menampung orang banyak.

Ada sekitar lima puluh orang yang datang di langgar itu. Mereka duduk berbaris menghadap ke kiblat. Dibarisan depan dipenuhi para jamaah yang usianya sudah tua. Sementara yang muda-muda lebih banyak menempati barisan belakang. Bahkan dari mereka ada yang duduk di teras langgar.

“Mas, ayo, masuk saja! Di dalam masih ada tempat kosong,” seru Pak Mustain.

“Wah, di sini saja pak. Sambil mencari angin biar tidak mengantuk.” Jawab dari salah satu pemuda yang duduk di teras. Memang ada saja alasan mereka tak mau masuk ke dalam langgar.

“Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan Saudara sekalian! Pada malam hari ini kita akan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.,” kata Pak Mustain. Perhatian kami diarahkan kepada Pak Mustain yang berdiri di bagian depan. Kami mengikuti dan mendengarkan acara itu dengan khidmat dan khusuk.

Satu jam telah berjalan. Acara mauludan belum sampai kepada acara inti yaitu pembacaan shalawat nabi. Anak-anak yang kami bawa sudah lunglai di pangkuan. Sebagian dari kami juga ada yang tak kuasa menahan rasa kantuk yang menghinggapi kami. Bahkan Salah satu dari kami ada yang menguak disertai suara keras hingga membangunkan anak-anak yang terlelap di pangkuan orang tuanya.

Perlahan Pak Mustain menghimbau kepada kami dengan suara berwibawa agar mengikuti pembacaan shalawat nabi yang dibacakannya. Sesaat kemudian lantunan shalawat bergema di dalam langgar yang kecil di tepi jalan itu diikuti oleh suara para jamaah yang menirukan pembacaan Pak Mustain. Kami bersemangat melantunkan pujian-pijian kepada Nabi Agung Muhammad SAW.
***

Di luar langgar terdengar gemuruh suara air dari tanggul desa. Deburan deras air semakin mendekati kampungku. Para penduduk yang sedang bersantai di dalam rumah, seketika panik menyelamatkan barang-barang berharga miliknya. Mereka kemudian membawa anggota keluarganya mencari tempat aman ke dataran yang lebih tinggi daripada rumahnya. Air bengawan solo yang menjebol tanggul desa mereka memporakporandakan semua yang dilewatinya. Air itu, kini benar-benar menenggelamkan desa tersebut yang kesekian kalinya. Rumah-rumah di sekitar langgar, tempat kami bershalawat memperingati hari kelahiran nabi, roboh terseret derasnya air bengawan solo. Tinggal bangunan kecil itu yang masih tampak kokoh berdiri di tengah terjangan air bengawan solo.

Para penduduk yang melihat kejadian aneh itu ternganga keheranan. Matanya terbelalak dan menganggap bahwa telah terjadi peristiwa luar biasa. Saat air bengawan solo menerjang dan menyeret rumah-rumah penduduk, langgar yang di dalamnya penuh sesak para jamaah yang sedang bershalawat tak tersentuh air walau hanya setitik.

“Subhanallah! Subhanallah! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Kami dan para jamaah masih khidmat bershalawat seakan di luar langgar tidak terjadi apa-apa. Kami bersemangat melantunkan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan diiringi suara hadrah yang rancak. Bibir mereka mengucapkan shalawat hingga meneteskan air mata.
“Ya nabi salam alaika, ya rasul salam alaika. Ya habib salam alaika, shalawatullah alaika!”

Penglihatanku terhalang oleh lembab air mata. Diri tak mampu memandang kilau cahaya lampu yang tergantung di atap langgar. Cahanya terasa kalah oleh cahaya yang muncul dari lantunan shalawat. Diri terasa nista saat disebut-sebut keistimewaan Nabi Muhammad. Beliau manusia sempurna yang tiada tersentuh oleh dosa. Pengakuan beliau atas diri ini menjadi umatnya merupakan kebanggaan semua insan yang hidup di dunia. Diri yang hina tak mampu mengandalkan amal baik kita yang masih sedikit bila dibandingkan dengan amal kejelekan kita.

Petuah-petuah beliau melalui hadis-hadisnya selalu terabaikan. Diri sudah diperbudak kilau dunia yang menyesatkan manusia. Diri sudah diperbudaknya sehingga melupakan sunnah-sunnah yang beliau sampaikan.

“Allahumma shalli ala Muhammad!”

Lengkingan teriakan itu menyadarkankan diriku dari banjir tangis yang kualami sejak berdiri tadi. Mataku menyapu ke seluruh sudut langgar yang penuh sesah oleh tetes air mata. Harapan atas Syafaatnyalah yang kemudian menyeret keinginan agar besok di akhirat terselamatkan dari ancaman api neraka.

Suara pembacaan shalawat dari dalam langgar semakin merendah kemudian sepi tak terdengar apa-apa lagi dari dalam langgar. Mata kami dan para jamaah yang lembab air mata dengan serta-merta kamiusap dengan surban yang terlilit di leher. Kemudian Pak Mustain memimpin berdoa untuk mengakhiri acara.

Betapa kagetnya ketika kami keluar dari dalam langgar. Kami melihat rumah-rumah di sekeliling langgar hilang tak berbekas. Sekarang yang tampak hanyalah pemandangan bak lautan di perkampungan.
“Apa yang telah terjadi?”

Para jamaah saling memandang ingin bertanya kepada yang lainnya. Namun mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Usai kami sadar bahwa telah terjadi bencana banjir besar kami kemudian bersujud di atas sajadah kebesaran dan kekuasaan Allah yang telah menyelamatkan kami dari amukan banjir.

“Allahu Akbar! Subhanallah!” ungkapan takjub atas kejadian yang baru kami alami. Dasyatnya air bengawan solo yang menerjang perkampungan dan merobohkan serta menghanyutkan bangunan rumah, langgar kecil ini terhindar dari bahaya banjir.

“Ya, Allah terima kasih atas kemurahanMu yang telah menyelamatkan kami dari ancaman banjir,” Pak Mustain mengangkat tangan bersyukur kepada Allah lalu kamiikuti juga diikuti para jamaah yang lainnya.

Kemudian kami dan para jamaah berputar mengelilingi desa kami yang terendam banjir dengan untaian shalawat nabi. Sedikit demi sedikit warga kampung mengikuti kami menyenandungkan shalawat nabi melintasi genangan air yang mencapai dada orang dewasa. Setapak demi setapak kami melangkah dengan memohon kepada Allah agar diampuni segala dosa yang telah kami perbuat dan dihindarkan kami dari malapetaka ini.

Kilat menyambar di angkasa dengan gelegar irama menakutkan kemudian mengundang mendung memayungi kampung perlahan berhenti. Air menyurut hingga selutut dan pada akhirnya permukaan jalan yang kami lewati tampak di bawah jernih air yang semakin menipis. Untaian shalawat nabi tiada berhenti terucap dari mulut-mulut yang lemah ini. Kini kampung kami benar-benar terbebas dari mara bahaya yang melumat semua milik kami. Kami beserta jamaah yang lain kemudian pulang dengan meneteng berkat dari acara mauludan di langgar.

Keesokan harinya matahari pagi muncul dengan sinarnya yang kemilau. Dia memantulkan untaian shalawat yang terucap semalam suntuk. Memancarkan nur Muhammad di segala penjuru kampung. Warga kampung kini mulai berbenah untuk merajut hidup yang tersisa di dunia dengan iringan shalawat sebagai bekal hidup di akhirat kelak. ***

*) Penulis beralamat di Wanar Pucuk Lamongan

Friday, December 23, 2011

Sekularisme Religius sebagai Kritik

–Sekularisme sebagai Kritik–
Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kawan, perdebatan tentang apa yang disebut sekular dan sekularisasi—ada yang menulis sekuler dan sekularisasi—memang belum memperlihatkan tanda-tanda melelahkan. Padahal kurang apa kerasnya polemik yang pernah terjadi antara kelompok Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok Natsir-Hamka–Siradjudin Abbas—A.Hasan tentang soal ini. Kedua polemik ini memiliki pengikut, dengan corak dan gayanya masing-masing.

Bung Karno begitu lantang menyerukan model sekularisasi radikal yang dilakukan Turki, Bung Hatta mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang diusulkan para pemimpin Islam Indonesia, yang membuat sebagian besar aktivis Islam waktu itu marah.

Gagasan Bung Karno tentang pemisahan agama dan negara, sebagaimana yang terjadi di Turki, tampaknya disalah-pahami oleh lawan-lawan debatnya. Bung Karno ingin menegaskan, dan itu kita ketahui kemudian ketika ia berdebat dengan salah satu tokoh HMI, bahwa tidak ada negara Islam. Gagasan ini kelak kita temukan dalam pemikiran Amin Rais, Cak Nur dan Roem.

Perdebatan tentang dua pandangan itu makin hari makin banyak pengikut, dan masing-masing tampak mempertajam, memperkuat basis dukungan dengan sekian banyak ungkapan turunan, hingga lahirlah pemisahan antara sekularisme dan sekulrisasi dari tangan Cak Nur, dan kemudian berlanjut dengan adanya “kompromi” atau “jalan tengah”, yang sekarang kita kenal dengan istilah “sekularisme religius”.

“Sekularisme religius” adalah hasil kompromi politik yang memanas. Kita tak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan istilah ini, tapi sebagian besar tulisan kaum intelektual kita mengutip W.E. Shepard tentang Islam dan ideologi di International Journal for Middle Eastern Studies (1987). Yudi Latif pun mengutip pendapat tokoh ini, dan tampaknya intelektual muda jebolan pesantren Gontor ini berusaha mengkampanyekan gagasan sekularisme religious.

Di Lampung, kamu tampaknya berusaha ambil bagian dalam tema yang sensitif ini. Dalam tulisannya yang terakhir, setelah lebih dari setahun berhenti menulis, menunjukkan kalau kamu begitu terpesona oleh gagasan seniormu itu, terutama tentang frase “sekularisme religius” tersebut. Kenapa tidak sekalian menggunakan istilah “sekularisme Islam?”

Tampaknya, baik Yudi maupun kamu tak mau terjebak pada istilah yang justru bakal memperuncing situasi. Walau kalian berdua lebih fokus dengan Islam sebagai sebuah agama mayoritas di sini, namun kalian masih malu-malu kalau harus menyebut “sekularisme Islam”. Dengan “sekularisme religius”, kalian mengandaikan bahwa gagasan itu tak hanya berlaku bagi agama Islam, tapi semua agama. Lagi pula istilah religius di situ tidak dimaksudkan sebagai agama formal.

Kau, Damanhuri, tampak tak yakin kalau orang Amerika Serikat kebanyakan sekular, tapi justru sebaliknya. Dari mana kau peroleh data ini, kawan? Bukankah menurut Norris dan Inglehart dalam bukumu yang pernah aku pinjam, kecenderungan yang terjadi di dunia menunjukkan dua hal: Pertama, masyarakat-masyarakat yang kaya seperti Amerika, menjadi makin sekular, tetapi dunia secara keseluruhan makin religius. Ini akibat pertumbuhan penduduk yang jomplang, di mana yang miskin bertambah banyak dan religius, sementara pertumbuhan penduduk di negara kaya justru stagnan.

Kau juga menyebut sekularisasi sebagai paket dari luar yang didesakkan kaum kolonial. Bukankah Islam itu juga paket dari luar yang didesakkan para pendakwah dan kaum sufi dari Parsi atau pedagang dari Gujarat? Ini sama dengan pendapat salah satu lembaga kursus bahasa Arab yang mengatakan bahwa bahasa Arab itu bukan bahasa asing, karena Indonesia mayoritas Islam. Bahasa Agama Islam adalah bahasa Arab, jadi orang muslim di belahan dunia mana pun memandang bahasa Arab sebagai bahasa ibunya, sekalipun orang muslim tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa tersebut.

Harus diakui, produk negosiasi antara aktivis yang mendesakkan Islam dengan aktivis sekular melahirkan produk berupa falsafah, semboyan dan undang-undang yang tidak tegas. Tak heran jika ada anggapan bahwa Indonesia bukan negara sekular, bukan negara agama, bukan sosialisme, bukan pluralisme, bukan ini bukan itu, dan sebagainya. Mesti dimaklumi jika sampai sekarang elite politik kita—walau tidak hanya elite politik saja tapi para penulis—masih terus menerus merapalkan retorika “Indonesia bukan negara sekular dan bukan negara agama”, sebab Pancasila dan UUD 1945 hasil kompromi dua golongan yang berbeda, dan hasilnya tak mungkin tegas, bulat dan padu.

Yang perlu diselidiki kini, adalah: kemungkinan adanya kesalahan dalam pemahaman kita tentang sekularisasi. Kita selalu menyamakan sekularisme dengan anti-agama, menolak Tuhan, dan memisahkan agama dari politik. Padahal tidak pernah ada sebuah negara yang betul-betul sekular, yang betul-betul menolak agama dan Tuhan. Nietzsche yang kita anggap sebagai menegasikan Tuhan karena mengatakan “Tuhan telah mati” justru dipahami banyak orang sebagai yang sangat religius.

Dengan demikian, makna sekular sama sekali tidak terkait dengan penolakan agama dan anti-Tuhan. Kalau bukan itu, lalu apa? Saya lebih tertarik meletakkan sekularisasi sebagai sebuah kritik atas dominasi agama. Jika betul dominasi agama di segala bidang ada bahayanya, maka apa yang dilakukan oleh kaum sekular selama ini justru bisa diterima. Harus diakui, hanya kaum sekular yang paling kritis terhadap agama, gejala-gejala keagamaan, ketimbang yang menghujat sekularisme dengan dasar keyakinan agamanya yang paling benar.

Kritik sekular kini terasa relevan, minimal membuat kita kaum beragama tidak mudah merasa paling suci, paling benar dan menganggap yang di luar kita kotor dan profan. Apa yang dikritik Comte, Marx, Weber, Nietzsche, Said, dll., tentang agama, menunjukkan kritik sekular yang tidak lagi membawa-bawa agama ke segala ruang dan waktu, karena agama lebih terkait dengan penghayatan pribadi.

Kalau betul paham sekular akan menggerogoti agama, berarti kita tak percaya bahwa agama itu suci, dilindungi, dan pemberian Tuhan yang tak mungkin akan runtuh oleh setajam apa pun kritik yang dilontarkan oleh umat manusia.

Ungkapan “sekular religius” lebih baik dipahamai sebagai kritik religius. Maksud para pencetusnya adalah bagaimana dua hal yang selama ini terkesan berlawanan, seperti istilah sekularisasi dan islamisasi, ternyata tidak. Keduanya justru paket yang bisa bernegoisiasi, membangun sinergi (ungkapan terakhir banyak digunakan aktivis LSM dan para politikus).

Yang penting dan relevan memang pertanyaan bagaimana proses sekularisasi itu mampu bernegosiasi dengan identitas keagamaan masa kini, dan orang-orang beragama tidak lagi alergi mendengar kata sekularisme. Kalau ini bisa terjadi—dan memang mesti terjadi—sudah saatnya kita meletakkan sekularisme sebagai sebuah kritik diri, bukan sebuah paham atau aliran yang beroposisi dengan Langit Suci.

__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: December 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates