Tuesday, September 25, 2012

PENDIDIKAN BER-ETIKA DAN BERKARAKTER PANCASILA


Pendidikan watak dalam pandangan Slamet Iman Santoso
Vivi sylvia purborini

Abstrak
Pendidikan sebagai bagian dari kemajuan bangsa dan kemandirian bangsa. Penguraian sistem pendidikan dan perbandingannya antara zaman dahulu dan sekarang menjadi bahan pertimbangan tersendiri. Nilai-nilai kearifan Pancasila dan Psikologis sebagai bagian dari proses pembentukan watak atau kepribadian dalam jiwa manusia, menjadi penentu untuk menghadapi kehidupan nyata dalam masyarakat. Pendidikan yang teliti, rapi, serta sistematis menjadi salah satu acuannya. Pengertian dan pengejawantahan pendidikan secara sempurna yang dapat dijawab oleh masyarkat sebagai salah satu landasannya. Dan hubungan guru-orangtua-murid serta kebijakan pemerintah menjadi bagian penting dalam proses pendidikan.

Latar Belakang
Slamet menguraikan bahwa sistem yang diusulkannya itu bisa memuat berbagai analisis berkaitan dengan pelaksanaan atau proses pendidikan Indonesia sampai tuntas. Hal itu mencakup keseluruhan soal personalia, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, kurikulum, anggaran pendidikan. Semua aspek tersebut harus disesuaikan dengan jenis jenjang pendidikannya. "Dengan adanya standar minimum akan mengatur dengan jelas di SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi. Kriterianya yang dipakai jelas dan fleksibel, sehingga memungkinkan untuk usul, kritik dan koreksi," jelas mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1968-1973.
Salah satu jasanya di dunia pendidikan yang hingga kini masih dipakai oleh pemerintah adalah program penerimaan mahasiswa masuk Perguruan Tinggi Negeri. Program pembentukan UMPTN dibentuk ketika Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 1979-1980. Ketika itu terjadi boomingbesar-besaran lulusan SMA. Sebanyak 4000 ribu orang yang ingin masuk UI. Padahal kapasitasnya ketika itu baru 800-900 orang. Melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu paket untuk menjaring calon mahasiswa tersebut. Maka sejak 1979 sampai sekarang bergulirlah nama-nama Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan sekarang dikenal dengan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya,tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Sekolah adalah tempat pendidikan yang penting. Santoso (1981: 8) Fungsi sekolah adalah mendidik anak-anak supaya menjadi pintar. Selain dari fungsi ini, maka dengan sendirinya fungsi kedua tampil ke muka, ialah fungsi saringan. Fungsi saringan ini sangat penting dan bekerja menurut hukum alam yang disebut oleh Darwin the survival of the fittest. Fungsi kedua ini pun salah satu fungsi yang menyebabkan tersusunnya sekolah-sekolah yang beraneka warna dan fungsi ini pulalah yang diperangi oleh masyarakat dengan beraneka cara.
Pendidikan dari segi intelektual bisa terstruktur dalam kurikulum sistem pendidikan nasional, namun sistem pendidikan nasional sekarnag ini mencakup secara keseluruhan, belum adanya spesifikasi antara jenjang pendidikan yang satu dengan lainnya. Kepandaian siswa tidak bisa diukur hanya dari segi intelektualnya saja, namun juga dari segi moril atau watak. Anak didik yang dapat memahami dan memperluas kerangka berfikirnya dengan tidak sekadar memahami kehidupan sosial, melainkan juga harus memahami dan memiliki kemapuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Kemampuan siswa dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam pengorganisasian masyarakat, serta bertindak dengan intelektual dan karakter moril. Pandai secara teoritis belum tentu pandai pula dalam menemukan problem solving dari suatu masalah, seperti yang diungkapkan Prof. Slamet Iman Santoso“Ciri orang pandai, bisa menyederhanakan hal yang ruwet, sebaliknya, orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana” Santoso ( 1993: 37). Pendidikan pada masa sekarang masih kurang adanya penyeimbangan intelektual dan karakter.
Oleh sebab itu dalam uraian ini akan berusaha mengkaji tentang pendidikan watak sebagai bagian dari proses pembelajaran siswa, serta menguraiakan guru yang mendidik berdasarkan 4Pilar termasuk didalamnya Pancasila. Pada masa sekarang pancasila kembali menjadi bahan diskusi yang hangat, terkait dengan nilai-nilai dari sila pancasila dari belum adanya pengejawantahan secara penuh pada kondisi realitas sosial masyarakat.
PENDIDIKAN MENURUT ANALISIS SLAMET IMAN SANTOSO
Pendidikan merupakan bagian penting dalam menentukan kemandirian bangsa, namun dari pendidikan juga lah nasib masa depan bangsa dipertaruhkan. Konsep perbandingan pendidikan pada masa lalu dan sekarang berbeda, dan hasilnya pun juga berbeda. Hal ini bukan berarti pemerintah berkewajiban meniru secara keseluruhan tentang konsep pendidikan pada zaman dulu, melainkan seyogyanya pemerintah mengambil nilai-nilai positif dari konsep pendidikan di masa lalu. Ketika ditanya mengenai arti secara sempurna dari pendidikan, baik dari elemen pendidikan dalam pemerintahaan dan pendidik masih belum bisa secara sempurna menjawabnya. Slamet Iman Santoso (1979) berpendapat bahwa pendidikan merupakan suatu proses sosial dan melingkupi seluruh kehidupan manusia. Sementara, dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 juga tercantum tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan definisi di atas, pendidikan akan membantu kita dalam memperbaiki diri dan menggali potensi yang kita miliki.  Dengan mengetahui arti pendidikan, kita dapat lebih merasakan bahwa pendidikan itu sangat diperlukan untuk menjadikan kita manusia yang lebih baik dan berguna bagi bangsa dan negara.
Dalam tulisannya Santoso (1987: 98) mengajukan suatu definisi mengenai pendidikan, pendidikan adalah usaha “Etis’ dari manusia, untuk manusia dan untuk masyarakat manusia, demikian, sehingga dapat membatas hakikat individu, dengan tujuan, supaya tiap manusia bisa secara terhormat ikut serta dalam pengembangan manusia dan masyarakatnya terus-menerus mencapai martabat kehidupan yang lebih tinggi.”
Melalui pendidikan siswa dapat mengembangkan bakat dan kemampuan, baik yang masih seusia anak, maupun yang sudah dewasa. Sehingga ketika bakat dan kemampuan dapat dikembangkan sejak awal maka prestasi yang optimum dapat tercapai. Pengembangan prestasi ini yang menjadikan bertumpuknya pengalaman dan mendasari pola manusia yang selanjutnya hidup bersama dengan masyarakat. Pendidikan sebagai salah satu sisi cerminan tolak ukur dari bangsa yang semakin maju sesuai dengan peradaban zaman, ataukah justru sebaliknya. Bahasa sebagai bahan dasar dalam memperoleh ilmu dari pendidikan, akan memunculkan stigma positif ataupun negatif dalam pola kerjasama dan hubungan antar bangsa di seluruh dunia. Penggunaan bahasa menjadi alat utama dalam pendidikan semua arah. Karena dari bahasa dapat diperoleh semua pengetahuan, nilai etika, sopan-santun, ketelitian, pemahaman, pengertian, dan sebagainya. Pengembanagn semua kemampuan siswa adalah dalam batas hakekat siswa tersebut.
Pendidikan berlaku untuk kehidupan manusia dan merupakan proses bertahan hidup, sepanjang masa dalam segala sendi kehidupan. Namun proses pendidikan sebenarnya adalah tugas moral yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Sebab di dalam realitas sosial masyarakatlah terdapat pertaruhan moral yang tinggi, ketika moral bersinggungan dengan kemajuan zaman, maka implikasinya adalah masyarakat yang mampu mempertahankan moral nasional bangsa ataukah sebaliknya. Masyarakat yang tinggi moralnya, secara pasti dan terus-menerus akan bertahan, berkembang dan maju. Sebaliknya, masyarakat dengan moral yang rendah, akan hancur berantakan. Dalam penjabaran keseluruhan ini, terletak tugas guru, murid, orang tua dalam peletakan dasar pertama dan dasar utama dari serangkaian pola kehidupan yang panjang dan konsep pendidikan sepanjang hayat.
Dalam rangka pelaksanaan pendidikan, berdasarkan analisis Prof . Slamet Iman Santoso (1987: 84) yang diambil dari pengalamannya selama belajar dari tahun 1912 sampai dengan 1934. Mengungkapkan pokok-pokok pelaksanaan proses pendidikan, sebagai berikut:
1.      Proses pendidikan pemikiran yang teliti, tepat dan jelas. Proses ini dilaksanakan bersinambungan dari sekolah dasar, sekolah menengah dan tingkat pendidikan tinggi. Kemudian dalam penulisan suatu tesis untuk promosi.
2.      Latihan pelaksanaan hasil penikiran dalam realitas kehidupan, yang biasanya disebut dnegan istilah “pratikum”. Misalnya, dalam laboratorium, di lapangan (field work), memepelajari peristiwa tertentu (case study) dan sebagainya.
3.      Latihan pengamatan, untuk menemukan lapangan baru, di mana pengetahuan tersebut di atas dapat pula dipergunakan.
PENDIDIKAN WATAK
Pendidikan merupakan usaha yang didasari etika, baik mengenai etika kepribadian (personal ethics), maupun etika sosial (social ethics). Hanya pendidika yang berpegang teguh pada etika kepribadian dan etika sosiallah yang dapat menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Untuk dapat bertahan dalam pergaulan internasional, terutama dalam pendidikan harus menghasilkan kepribadian yang matang dan stabil. Penempatan orang dalam istilah the right man in the right place dan menghilangkan praktek menempatkan the right man in the wrong place, atau the wrong man in the right place atau the wrong man in the wrong place.
Konsep pemikiran yang dikemukakan oleh Slamet Iman Santoso (1979) yaitu:
1.      Tiap manusia dapat dipandang memiliki sejumlah bakat: bakat menyanyi, melukis, menguasai ilmu pasti, dan sebagainya.
2.      Tiap manusia perlu sampai pada taraf dapat melakukan pekerjaan tertentu, setidaknya untuk memeroleh nafkah hidupnya (produktif)
3.      Tiap manusia yang hidup harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di dunia ini, maupun dunia sosial, pergaulan, dan lain-lain. Dalam menyesuaikan diri ini akan terbukti bahwa hasilnya ditentukan oleh kejujuran, kepandaian, dan keteraturan (moral, inteligensi, dan disiplin).

Dasar utama  dalam pengejawantahan konsep pemikiran tersebut adalah “sekurang-kurangnya hubungan antara guru-ibu-anak harus terlaksana secara teratur dan terus-menerus”. Lebih ideal lagi jika bapak dapat pula ikut serta dalam hubungan ini. Hubungan tersebut sevebarnya hubunagn alamiah( a natural relationship)dalam rangka “memanusiakan” anak, mendewasakan anak. Dasar ini merupakan dasar “humanisasi”. Kita hanya bisa mendidik manusia dalam suasana “saling mengerti dan saling menghargai”. Hanya atas dasar ini, maka pendidikan bisa diarahkan pada manusia dengan kualitas dan integritas tinggi. Hanya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggilah, bisa menyusun masyarakat stabil, dinamis, dan progresif.
Penyusunan kepribadian sebagai pokok yang paling dasar perlu dilakukan, sehingga manusia bisa ikut serta dalam masyarakat secara produktif, tidak menjadi bebanmasyarakat, dan tidak menyebabkan kerugian atau heboh dalam masyarakatnya.
Pokok yang paling dasr harus dibangun dalam hati anubari pelajar dan mahasiswa menurut Slamet Iman Santoso (1987: 58) sebagai berikut.
1.      Pintar, terampil, dan rapi
2.      Jujur terhadap pribadi sendiri, dan terhadap orang lain.
3.      Memiliki disiplin pribadi, bisa mengatur diri sendiri, tidak perlu diatur oleh orang lain. (Selpf discipline and internalized discipline).
4.      Mempunyai rasa kehormatan diri. (persnal honour).
5.      Mengetahui kemampuan dan batas kemampuan pribadi. Kalau mau mencarasalah satu hal, tidak membutuhkan backing.
Namun hasil pemikiran yang sedemikian rupa, jika tidak ada kerjasama yang baik dengan policy makers atau pembuat kebijakan sistem pendidikan(kurikulum) maka akan sia-sia saja.”Kesatuan dan khormatan keluarga bekerja sama erat dengan lembaga-lembaga pendidikan atas dasar humanisasi”.
Pembangunan karakter atau watak dalam pribadi manusia dimulai sejak lahir, sehingga diperlukan pola pendampingan orang tua dalam mengikuti proses pembentukan karakter. Pendampingan ini menurut Slamet cukup sampai usia 15 Tahun. Gejala-gejala yang sekarang muncul adalah anak muda yang kehilangan jati diri dan terjebak dalam lingkungan free sex, kriminalitas, pemabukan, dan sebagainya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tidak adanya pokok kepribadian yang menjadi pegangan dasar anak dalam berbaur dengan kemajuan zaman. Namun disisi lain ada masalah-masalah yang menjadi penghambat orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak. Misalnya adanya tekanan ekonomi, sibuk dengan pekerjaannnya, dan adanya kelompok kepentingan serta penekan yang di dalam visi-misinya selalu menekankan pada pembangunan. Tetapi pembangunan disini dalam ranah gal yang menyangkut pemerinthan serta materiil, tidak ada konsep ‘pembangunan keluarga’. Terjadi dilema moral di masa sekarang ketika disalah satu sisi mencoba membuat kurikulum yang berbasiskan ‘pendidikan karakter’ yang pernah menjadi salah satu pokok pemikiran Prof. Slamet Santoso, dan beliau juga pernah mengirimkan sebuah memoar pada tahun 1977 yang berjudul “Usul-usul untuk GBHN Mengenai Pendidikan” kepada Dr. Edi Swasono. Namun di sisi lain kenyataan yang ada dalam realitas sosial sekarnag yang ada adalah tidak adanya kerjasama yang baik antara, pemerintah, siswa, guru, dan orang tua. Terbukti dengan pola pendidikan dengan tidak adanya transparansi, serta orang tua dipanggil  ke sekolah ketika siswa ada terkena masalah dan ketika pengambilan hasil evaluasi belajar saja. Selama proses pembelajaran, orang tua kurang berkoordinasi dan berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait dengan perkembangan belajar anak. Karena kemampuan tiap-tiap anak berbeda, dan mempunyai bakat-minat yang berbeda pula, yang seharusnya dapat diketahui sejak awal sehingga proses pembelajarnpun sesuai dengan jiwa, watak, dan kehidupan anak untuk mendapat prestasi yang optimal.
Sarana untuk mendidik Budi Pekerti dari lima dasar psikologi yang diterangkan diatas adalah mengembalikan perlakuan manusia berdasarkan pendekatan humanisasi, meengembalikan kesatuan dan kehormatan keluarga. Dan menjalin hubungan gierarki berdasarkan keterbukaan, toleransi, dan kehangatan hubungan.


KEPRIBADIAN BERBASIS PANCASILA
Nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam sila-sila pancasila menjadi dasar dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara. Namun seiring berkembangnya zaman seolah nilai-nilai ini menjadi tergeser. Jika zaman dulu sikap-sikap heroik para pahlawan bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia menjadi salah satu wujud sikap patriotisme dan cinta tanah air. Namun di era-reformasi seperti sekarang, perwujudan cinta tanah air, nasionalisme, pratriotisme, kearifan budi pekerti yang semuanya terkandung dalam pancasila lambat laun mulai bergeser. Dan ketika diberi pertanyaan tentang perwujudan nyatanya, jawabannya menjadi jawaban yang sulit.
Pendidikan yang teliti dan berkesinambungan pada zaman kolonial menjadi sebuah sistem standardisasi pendidikan. Orang-orang selalu dituntut memiliki kualitas dan integritas tinggi untuk dapat untuk dalam pekerjaan. Pada tahap sekolah dasar anak sudah diperkenalkan ilmu bum, mulai dari bagian yang didiaminya misalkan pulau jawa, anak diberi pengetahuan mengenai ilmu bumi beserta hasil buminya, menggambar peta sendiri dimulai bertahap dari pulau-pulau yang ada di Indonesia dan negara-negara di dunia. Kemudian dari gambaran tersebut dipetakan tentang hasil bumi, kondisi realitas sosial, dan ditingkatan selanjutnya diajarkan tentang sejarahnya. Dari bentuk pembelajaran yang bertahap serta berkesinambunagn inilah Prof. Slamet Iman Santoso (1987: 201) mendiskripsikannya sebagai bentuk “patriotisme kekanak-kanakan” . Menurut beliau pendidikan yang teliti dan berkesinambungan, telah menanamkan beberapa hal dalam hati sanubari kita. Pertama, kesadaran tentang kemampuan dan harga diri. Kedua, rasa senasibyang mendasari kesatuan. Ketiga, kesadaran tentang memiliki tanah air yang realistis dan langsungm setingkat dengan slogan zaman sekarang, sandang, pangan, dan papan.
Pada zaman dulu ketika nilai-nilai kearifan ini masih dijunjung tinggi. Masyarakat ketika itu  kebanyakan terdiri dari orang-orang jujur, orang-ornag yang mengikuti disiplin. Bahkan masyarakat yang kurang mampu pun bersikap seperti itu. Memang dulujuga adayang namanya maling, copet,, tapi tidak terlalu dominan. Seperti salah satu pengalaman Prof. Slamet Iman Santoso. Ketika masih kuliah dan tinggal dekat stasiun Jatinegara, Jakarta. Setiap hari pergi kemana-mana harus naik sepeda. Kalau masuk rumah, sepedanya tinggal di pendopo, dan tidak dikunci. Tapi juga tidak hilang. Bahkan kalau malam pun sepedanya tinggal di sana, dan tidak hilang juga.
Jika dikaitkan dengan hubungan guru-murid-orang tua sebagai dasar pembangunan manusia sebagai manusia yang mempunyai watak dan rasa kehormatan. Rasa kehormatan diri pada pribadi masing-masing, menjadi rasa “kehormatan kolektif”, yaitu nasionalisme murni tanpa pamrih. Dan kemudian melahirkan “national builders”, seperti Ki Hadjar Dewatara, Soeryopranoto, Bung Hatta, Bung Karno, dan sebagainya. Hubungan erat antara manusia ini, mendasari tumbuhnya martabat manusia. Sifat dasarnya adalah “humanisasi”, sedangkan sifat dasar pendidikan adalah “pendidikan individual”.
Ketika sekarang ada yang bertanya kenapa antara zaman dulu dan sekarang berbeda, jawabannya adalah ketika zaman dulu biarpun masih zaman kolonial, sudah melaksanakan Pancasila, dan sekarang kembali mulai lagi hanya sekadar membicarakan Pancasila kembali.
KESIMPULAN
Urutan pendidikan dimulai dari dasar yang realistis, langsung bisa dialami sehari demi sehari. Dalam kehidupan anak, soal wajar dan bisa dialami, mempunayi peranan penting. Kemudain melangkah ke tingkat “mengerjakan sendiri”, menggambar tanah air. Dari tingkat konkret dan realistis,lambat laun menuju ke arah abstrak konseptual dan imaginatif. Jika ditambah soal abstrak dan konseptual bisa dimulai dengan sejarah. Sejarah tidak bisa dialami secara langsung. Sejarah bagaimanapun pentingnya, tetap merupakan sesuatu yang sebagian besarnya berada di luar pengalaman sehari-hari, sebab peristiwanyaterjadi di zaman yang lampau. Sedangkan ilmu bumi tetap aktual, ada di bawah telapak kita tiap detik.


DAFTAR RUJUKAN
Tempo. 1993. Memoar Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Santoso, Iman S. 1987. Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji Masagung
Santoso, Iman S. 1981. Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: UI Press
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Ahmadi,A. 1987. Pendidikan dari Masa ke Masa.   Bandung: CV Armico dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Marijan, M. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Prenada Media Group
Slamet, Iman S. 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Sinar Hudaya
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jakarta: Ar-Ruzz Media

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►