Thursday, September 27, 2012

Perjalanan Seni Rupa Ponorogo 2009-2011

Andry Deblenk
_Ponorogo Pos

Bila kita kaji tetek bengek tentang kesenirupaan Ponorogo, tentunya kita tak dapat menghindar dari nama Sanggar Shor Zambou. Sanggar tersebut merupakan sebuah sanggar seni rupa, berdomisili di Ponorogo, yang memang mengkhususkan gerakan (awalnya) pada disiplin seni lukis. Semenjak berdiri (sekitar 30 tahun silam) komunitas yang berdiri dengan niatan berkesenian murni ini nampak survive. Sebuah ukuran yang “ora dlomok” bagi paguyuban seni rupa yang mendiami sebuah kawasan “terpinggirkan” dari ranah seni rupa nasional.
Adalah Abdul Karim Maspoor, penggagas, penggiat, sekaligus navigator yang dengan “semangat 45” telah berproses dan bergerilya dalam pergerakan seni lukis hingga sampailah pada tataran “survive” bagi kelangsungan hidup Shor Zambou hingga detik ini. Nibo nangi (jawa: jatuh bangun) dalam konteks berkesenian merupakan perjuangan eksistensialis Maspoor dan kawan-kawan (Sudiro, Mucharis, H. Choiri), ketika dalam tataran “dahulu” seni lukis masih terlampau urban bagi sebagian besar masyarakat Ponorogo. Beragam kegiatan intens dilakukan baik dalam kadar serius (pameran-pameran) maupun sebatas janggolan santai sembari berproses secara terbuka (melukis langsung di sekitaran perempatan Tonatan, Ponorogo). Sebuah proses yang tak remeh temeh bukan?…

Pada periode awal berdiri hingga tahun 2007an, gerakan visual mayoritas para punggawa Shor Zambou masih terimbas seni rupa modern dengan menempatkan realisme dan naturalisme sebagai ungkapan yang “dirasa” artistik. Tema-tema sosial, alam, dan kebudayaan lokal seakan menjelma menjadi belantara yang menarik dieksplorasi, baik secara teknis maupun gagasan. Meskipun tak melulu, ada beberapa perupa yang sengaja menekan objek non realis dalam perspektif pemikiran maupun pengungkapan. Tengok karya-karya Pak Tato dan Trio Widodo, dimana mereka serius bermain di ladang teknik dan ide sebagai jelmaan kegelisahan yang tervisualkan secara simbolik..

Beberapa pameran (berskala regional dan nasional) telah diikuti sanggar ini, baik pameran bersama maupun pameran kelompok kecil. Persinggahan estetik pernah dilaksanakan di berbagai kota, diantaranya di Jakarta, Surabaya, Malang, Banyuwangi, Madiun, Ngawi, maupun di Tulungagung. Selain itu, pada event rutin perayaan grebeg suro, sudah menjadi tradisi mutlak bagi Shor Zambou untuk menampakkan kristalisasi ide maupun buah karya visual mereka kepada khalayak umum sebagai kekayaan khasanah kebudayaan negeri ini.

Dari perjalanan “lumayan” panjang inilah yang akhirnya menempatkan Shor Zambou menjadi sanggar terkemuka di kawasan Jawa Timur. Terbukti beberapa undangan pameran-pameran (luar kota) rutin menyambangi kediaman Abdul Karim Maspoor, di jalan Sultan Agung, Ponorogo. Sebuah tempat tinggal sekaligus kesekretariatan Sanggar Shor Zambou.

Seni Rupa Ponorogo 2009-sekarang

Pada awal 2009, Sanggar Shor Zambou menahbiskan diri sekaligus memproklamirkan keberadaanya dalam wilayah lebih luas. Hok’a Hok’e Ponoragan dipilih menjadi tema besar tatkala mereka “uji nyali” menapakkan kakinya di Jogjakarta, sebuah kota yang menjadi ikon seni rupa Indonesia bahkan Asia Tenggara. Jogjakarta merupakan lautan mimpi bagi ribuan perupa nasional maupun internasional. Shor Zambou sadar bahwasanya Jogja adalah magnet. Tak gampang pula, mengingat Jogja adalah “Kawah Candradimuka sekaligus Padang Kurusetra” bagi pertarungan Visual. Toh, pada akhirnya, Shor Zambou tak gentar untuk mencicipi hegemoni seni rupa Jogja.

Seni rupa Ponorogo dalam alur pergerakan visual mulai merambah pada trend plural. Selepas pameran Hok’a Hok’e Ponoragan, bahasa visual para penggiatnya mulai menunjukkan heterogenitas. Kala itu, para perupa seolah “tersadar” untuk menunjukkan eksistensi diri, meskipun dalam tataran kondisi yang “dapat dikatakan” masih berproses menuju kemapanan. Walhasil, jenis karya rupa tak “pragmatis” berkutat pada seni lukis yang mengusung aliran realisme semata, namun mulai bermigrasi menuju hal-hal eksperimental yakni perubahan-perubahan signifikan baik teknik, media, visual, konsepsi, maupun bahasa ungkap. Hal ini dapat dilihat pada karya-karya kelompok air sebagai kelompok kecil dalam Shor Zambou (dalam pameran Ponorogo is me, Ledakan Budaya, dan pentas seni ambeng) yang mengamini genre karya rupa lain selain seni lukis yaitu: seni instalasi, seni lingkungan, seni cetak, serta performance art.

Pada pameran Reyog Nation, Sitikultur(a), dan Wajah Eksotis, trans visual para perupa Shor Zambou terlihat mulai mencolok. Ada dugaan keberanjakan karya-karya mereka besar dipicu oleh gerakan seni rupa kontemporer Asia terhadap pola pikir dan sudut pandang perupa nasional yang berefek domino kepada pergerakan visual para perupa Ponorogo. Meskipun keberadaan seni rupa kontemporer sendiri masih diperdebatkan dalam berbagai forum.

Sejak kemunculannya pada dekade 70an dan terus berkembang pada 80an, sebagian kalangan dan kritikus seni berpendapat bahwa seni rupa kontemporer merupakan kritik, bahkan pemberontakan terhadap keberadaan seni rupa sebelumnya, yakni seni rupa modern. Sebaliknya mereka yang masih sangat kuat memegang teguh modernisme, seni rupa kontemporer sering dianggap kontaminasi (Iwan Saidi,2008).

Mengingat masih rumitnya pemaknaan tentang kontemporer itu sendiri, semua diserahkan sepenuhnya kepada para pelaku seni (perupa, kritikus, penghayat) pribadi. Entah memaknai kontemporer sebagai jaman baru selepas seni rupa modern (postmodern), atau memaknai kontemporer sebagai “bahaya” kontaminasi terhadap ketersisteman seni rupa modern.

Namun pada hakikatnya, seni perlu karya seni. Setiap karya seni itu bernilai dan tak pernah salah, senyampang setiap seniman mampu mempertanggungjawabkan ide maupun konsep dari apa yang divisualkannya. Seperti pelakunya, karya seni akan memilih takdirnya sendiri. Baik, buruk, istimewa, cemerlang, laku, ataupun dicemoohnya karya, semua tergantung kepada penghayat seni. Pelaku seni berkedudukan seimbang dengan penghayat seni, sebab menurut Sony Kartika, penghayat dalam menanggapi setiap karya seni akan terlibat proses imajinasi. Itulah mengapa penghayat juga dikatakan sebagai “seniman” penghayat (2004).

Terkait diatas, hal yang layak diapresiasi positif adalah adanya niatan yang memantik pergerakan dalam tujuan “membumikan” seni supa di Ponorogo, tentunya dalam sisi edukasi dan apresiasi yang berimbas kepada ketersengseman para penggiat dan penghayat baru. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk iklim berkesenirupaan kreatif, inofatif, dan kompetitif.
***

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►