Tuesday, September 25, 2012

DEMOKRASI ALA GUS DUR

Mengurai Pemikiran dan Keteladanan Komunikasi Politik Gus Dur
Dalam Proses Demokrasi Di Indonesia

Widya Noventari
Hukum Kewarganegaraan UM


Identitas Buku                 
Judul                                  :   Demokrasi  Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses Demokrasi di Indonesia
Penulis                               :  Dr. Nur Kholisoh, M.Si
Penerbit                              :  Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta
Tahun terbit                       :  2012
Tebal Buku                        :  xxii + 256 halaman

Buku ini berasal dari disertasi doktoral Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul: Dramatistic Pentad: Retoriks Politik Gus Dur dalam Proses Demokrasi di Indonesia. Dr. Nur Kholisoh, M.Si melihat ketokohan Gus Dur sebagai seorang komunikator politik, patut dijadikan kajian yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu komunikasi politik.
Rekam jejak perjalanan Gus Dur dalam dunia perpolitikan Indonesia juga tidak  terlepas dari keterlibatan beliau dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri pada tanggal 31 Januari 1926. NU merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Dibawah kepemimpinan Gus Dur, NU mengalami fase baru yaitu gerakan ‘transformatorik’: di satu sisi hendak mencairkan kebekuan kultur, visi, dan orientasi internal NU, dan di sisi lain berupaya membangun kesadaran rakyat (terutama warga nahdliyin sendiri) untuk secara relatif lepas dari intervensi negara.
Pada tingkat internal NU terjadi benturan-benturan kepentingan antar tokoh-tokoh dari fraksi-fraksi yang ada tidak dapat dihindari lagi, sedangkan ditingkat eksternal , hubungan NU dengan pemerintahan Orde Baru yang otoriter menjadi persoalan tersendiri bagi Gus Dur dan NU (Kholisoh, 2012: 8). Hegemoni dan dominasi negara di masa Orde Baru menyebabkan termarjinalisasinya rakyat pada umumnya sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kemandirian organisasi dan masyarakat sipil karena peran negara yang sangat dominan pada masa itu. Hal ini yang dikatakan oleh Gus Dur perlu adanya pengembangan gerakan politik kultur yang didasarkan pada suatu kesadaran  bahwa, tidak akan pernah terjadi pelaksanaan sistem politik yang kondusif demokratis selama rakyat tidak memiliki kesadaran hak-hak politiknya secara baik dan benar. Artinya, kesadaran kritis rakyat merupakan modal utama dalam upaya menciptakan demokratisasi dalam pelaksanaan sistem politik.
Perlu dibangunya kesadaran masyarakat akan kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dengan latar belakang bhineka budaya, etnis, suku dan agama. Kebhinekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut dapat menjadi kekuatan yang luar biasa jika dikembangkan dalam sistem negara yang demokratis (Kholisoh, 2012: 8).


Gus Dur: Sang Komunikator Politik
Aktifitas Gus Dur dalam upaya menegakkan demokrasi di Indonesia, dilakukan dengan menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal, yaitu keseimbangan antara perkataan dan perbuatan, sebagaimana dikemukakan oleh salah satu keponakannya yang kini menjabat sebagai salah satu Menteri di Kabinet Indonesia bersatu jilid II, Muhamin Iskandar; “Menariknya Gus Dur itu kan, bukan hanya sekedar tulisan atau gagasan, tetapi dia melakukan komunikasi dengan melakukan gerakan”.
Gus Dur dibekali oleh ketajaman pikiran dan ingatan yang sangat luas, salah satu dari sifat utamanya adalah keingintahuan, serta tingginya rasa humor Gus Dur. Oleh karenanya beliau akan menjadi teman yang menyenangkan dan oleh karena itulah beliau memiliki banyak teman (Barton, 2002: 458). Hal yang senada juga dipaparkan oleh Nur Kholisoh bahwasanya keluwesan Gus Dur dalam bergaul, membuatnya  mudah menjalin hubungan dengan berbagai komunitas sosial. Tidak mengherankan kalau kemudian banyak orang yang berasal dari berbagai macam komunitas dapat menerima dan mendukung ide-ide demokrasi yang diperjuangkannya. Gus Dur adalah komunikator yang ulung dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang lain, bahkan orang yang berbeda agama, sosial, dan budaya denganya. Pandangan ini disampaikan oleh Slamet Effendi Yusuf berikut ini:

“Ya, komunikator ulung. Jadi kalau you bilang komunikator politik yang ulung, Gus Dur seperti itu. Termasuk, bagaimana beliau menjalin hubungan dengan berbagai komunitas sosial dari berbagai kalangan, sedemikian rupa. Dan kemudian beliau itu dijadikan sumber inspirasi dari berbagai tokoh. Jadi, kayak temen-temen Konghucu, boleh dikatakan, andaikata umat Islam mengizinkan mungkin ini (Gus Dur) akan jadi nabinya orang Konghucu. Kan, pernah minta izin, untuk mendirikan patung Gus Dur di vihara, saking agungnya orang ini. Orang-orang Katolik merasa terlindungi, orang-orang apa…orang-orang…pejuang-pejuang kemerdekaan, kaum minoritas, pejuang hak-hak demokrasi meras terlindungi”

Di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana Gus Dur meramu setiap perkataannya sebagai seorang komukator politik agar mudah diterima oleh seluruh golongan dan lapisan masyarakat, salah satunya yaitu menambahkan bumbu humor dalam setiap pesan politiknya. Kebiasaan Gus Dur menyampaikan pesan politik melalui ‘guyonan’ atau humor menunjukkan kecerdasannya dalam memahami emosi orang yang diajaknya bicara. Menurut Gus Dur pesan politik yang berat sekalipun, kalau disampaikan dengan humor, akan lebih mudah dipahami dan diterima, meski pun itu merupakan teguran atau sindiran bagi orang yang diajaknya bicara. Salah satu contoh bagaimana Gus Dur mengeksplorasi humornya, adalah seperti yang dikemukakan oleh Magnis-Suseno dalam (Kholisoh, 2012: 95-96) berikut:

Dalam suatu pertemuan Gus Dur menceritakan ada tiga orang tokoh agama, yaitu seorang kiai, pastor dan pendeta. Ketiga tokoh agam atersebut bermaksud masuk surga karena mereka merasa sudah banyak ber buat baik selama hidupnya termasuk mengajak umat manusia untuk berbuat baik. Sesampainya mereka di pintu surga, mereka bertemu dengan malaikat penjaga surga yang menahan merekan untuk masuk ke surga. Sebelum masuk surge, malaikat penjaga pintu surge meminta kepada ketiga tokoh agama tersebut untuk mengisi beberapa form, yaitu formulir yang berisi beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh ketiga tokoh agama tadi. Nah… ketika mereke (ketiga tokoh agama tersebut) sedang sibuk mengisi formulir yang diberikan oleh malaikat penjaga pintu surga, tiba-tiba dating seorang laki-laki dengan agak bau-bau alkohol. Setiba dia di depan pintu surga, lalu malaikat penjaga pintu surge langsung mempersilahkan laki-laki yang agak berbau alkohol tadi untuk masuk ke surga tanpa bertanya terlebih dahulu apalagi mengisi form. Tentu saja… hal ini membuat ketiga tokoh agama yang sejak tadi sudah menunggu dengan mengisi form pertanyaan menjadi heran dan langsu bertanya kepada malaikat penjaga pintu surga, kenapa laki-laki yang baru dating dengan sedikit babuk itu kok bias langsung masuk surge tanpa ditanya sedikit pun, sementara memreka yang terlebih dahulu dating belum boleh masuk ke surge sebelum mengisi form. Lalu apa jawaban malaikat? Kalian tahu, ketika berceramah dan memberikan nasehat di mesjid atau gereja, para jamaah banyak yang tertidur karena mendengar nasehat dari kalian itu. Sedangkan laki-laki tadi, ketika dia mengendarai kendaraan umum dan mengantarkan para penumpang, justru para penumpang khususk berdo’a untuk keselamatan mereka.

Menurut Magnis-Suseno dalam (Kholisoh, 2012: 90), ketika berbicara dengan Gus Dur, pembicaraan yang serius justru  disampaikan dengan cara yang sangat santai bahkan terkesan seperti gosip. Bagi orang awam yang tidak mengenal Gus Dur dan kultur Jawa, hal ini akan terlihat aneh, karena mereka berpikir pembicaraan itu hanya main-main saja. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan yang baik untuk memahami pembicaraan Gus Dur.
Tulisan Gus Dur berjudul ”Melawan melalui lelucon“ yang dirmuat dalam Tempo, 19 desember 1981 disebutkan bahwa Gus Dur mampu menyampaikan pesan politiknya yang terkesan berat, terkadang dilakukang dan ‘goyunan’ atau humor yang ringan sehingga lebih mudah dipahami dan diterima.  Menurut Gus Dur, lelucon sebagai wahana ekspresi memiliki kegunaan tersendiri. Minimal mampu mencairkan suasana dan sebagai pemersatu bahasa rakyat  dan mengidentifikasi masalah-masalah yang diresahkan. Selain itu, lelucon juga mampu menggalang kesatuan dan persatuan minimal mengidentifikasi ‘lawan bersama’, serta untuk kritik terhadap keadaaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri.
Humor bagi Gus Dur merupakan pelengkap hidup yang melengkapi kepribadianya. Dalam setiap pembicaraan masalah-masalah apapun selalu terdengat joke-joke segarnya. Sikap Gus Dur yang humoris ternyata mampu mencairkan situasi yang tegang, mempermudah sesuatu yang ruwet, meringankan hal yang berat, dan mempermudah sesuatu yang pelik dan ‘njlimet’. Cita rasa humor yang tinggi ini menjadikan Gus Dur selalu tampil santai dan sederhana. Kalimat “gitu aja kok repot”, seolah sudah menjadi “trade mark” Gus Dur. Menariknya lagi, Gus Dur mampu membawa siapapun lawan bicaranya ke dalam suasana humor, baik kawan maupun lawan.
Pada sekitar tahun 2006 televisi menyuguhkan acara yang menarik yakni sebuah acara kritikan dan sindiran terhadap pemerintah dengan gaya ‘guyonan’, salah satunya adalah acara Republik Benar Benar Mabok (BBM), Republik BBM ini diciptakan untuk menyampaikan kritik dengan cara cair dan penuh humor (Koespradono, 2008:120). Ide cerita dan proses kreatif Republik BBM dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa yang diberitakan di surat kabar. Konsep acara Republik BBM adalah ngobrol-ngobrol ala warung kopi, sehingga topik apa saja bias disajikan isu pembicaraan. Maka dari konsep ini, melalui tayang ingin mampu menjadi sarana penyampaian pesan-pesan positif yang diharapkan mampu membangun rasa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.

Gus Dur dan Demokrasi
Dalam buku Demokrasi  Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses Demokrasi Di Indonesia ini diulas tuntas tentang demokrasi yang dipahami sebagai pembebasan, keadilan dan persamaan yang merupakan nilai-nilai pluralisme, yaitu kebhinekaan suku, agama, dan ras yang menjadi bagian dari realitas kehidupan bangsa Indonesia yang selalu diperjuangkan oleh Gus Dur.
Secara lengkap dan jelas dalam buku ini diuraikan bagimana bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki kebhinekaan etnis, agama, dan budaya telah melahirkan persentuhan beragama budaya dan adat istiadat antara kelompok masyarakat. Kebhinekaan yang telah berlangsung sejak lama ini, seringkali memicu terjadinya konflik. seperti kekerasan yang mengatasnamakan agama, menjamurnya aliran kepercayaan yang menyimpang, perang suku, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena kebhinekaan yang ada hanya sekedar menjadi indifference (ketidakpedulian) satu sama lain. Kebhinekaan hanya membentuk masyarakat yang hidup bersama-sama tetapi sesungguhnya berada dalam ‘dunianya’ masing-masing tanpa ada upaya untuk berperan aktif dalam membangun kebersamaan yang dilandasi oleh sikap saling menghormati dan menghargai.
Belum terhapus dalam ingatan kasus Bom Bali yang menewaskan ratusan orang yang tidak berdosa baik dalam maupun luar negeri, munculnya berbagai gerakan sparati seperti; Gerakan Aceh Merdeka (GAM); Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan ancaman NKRI, maraknya ajaran agama yang dianggap menyimpang serta kekerasa yang berlatar belakang RASA. Inilah sebagian contoh kasus yang terjadi akibat merosotnya nila-nilai demokrasi di negara ini.
Merosotnya semangat kebangsaan dan mengedepankan semangat agama, etnis, dan daerah telah menimbulkan solidaritas sempit dalam bentuk keagamaan. Jika tahun-tahun awal pasca kemeerdekaan semua warga negara  larut dalam kesadaran berbangsa yang tinggi, saat ini kesadaran beragama justru mengambil bentuknya yang sangat sectarian. Para penganut berbagai agama justru hanya merasa terikat pada kemajuan agama masing-masing. Kecurigaan antara para pemeluk berbagai agama juga terasa sangat besar (Musa, 2010: 107).
Untuk itu, perlu ditumbuhkan kesadaran akan adanya kebhinekaan sebagai kekuatan yang dapat memersatukan keseluruhan komponen bangsa. Hal inilah  yang mendasari perjuangan Gus Dur dalam menyampaikan ide-idenya tentang pluralisme. Pluralism dan multikultural yang diajarkan oleh Gus Dur tidak hanya menjadi inspirasi bagi bangsa ini, tetapi bangsa-bangsa lain di dunia. Ide-ide dan gagasan tentang pluralisme, kadangkala juga disampaikan melalui humor yang menarik, sebagaimana dikemukakan oleh Magnis-Suseno dalam (Kholisoh, 2012: 98-99):

“Dia juga punya satu lelucon lain, yaitu juga mengenai pluralism, yaitu tentang seorang pendeta. Tapi, sebenarnya dia bis apilih siapa saja, bias juga pastor. Jadi, ada pendeta mengetuk pintu surga, mau masuk surga, lalu dibukakan oleh malaikat. Malaikat bertanya, mau kemana pak? Lalu dia (pendeta tadi) mengatakan mau ke surga. Malaikat kemudian bilang, o ya…, masuk-masuk…lalu pendeta itu masuk ke surge dan mendapatkan kamar nomor 5 (di surga ada banyak kamar). Kemudian dating lagi orang-orang, ada kiai, orang biasa, orang budha juga datang. Semua boleh masuk, tetapi mereka masuk ruang bersama yang ada di surga. Jam dua belas siang, mereka mengajak mereka ke kamar makan sekalian makan siang karena di surge waktunya makan siang. Lalu ada yang bertanya kepada malaikat, apakakah pendeta yang ada dikamar nomor 5 tidak mendapat makan? Malaikat menjawab, o… kita ini kan di surge, tentu dia dapat makan. Tetapi, coba kalau dia membuka pintu dan melilah kalian, dia pasti sedih karena dia mengira dialah satu-satunya orang yang masuk ke surge. Nah, Gus Dur bercerita seperti itu. Ini bagus, jadii lelucon seperti itu membuat orang reflektif, tidak usah dijelaskan”.

Pluralitas bangsa Indonesia harus berjalan seiring dengan demokrasi yang didalamnya terdapat nilai kebersamaan dan kebebasan. Dengan demokrasi, masing-masing komunitas dapat mengembangkan kreatifitas dan belajar untuk menyamakan pandangan serta sikap dewasa dalam berbeda pendapat. Karena itu, dalan pandangan Gus Dus perlu dilakukan upaya saling memahami dalam konteks kedewasaan demokrasi, bukan sikap harus saling menyamakan atau menyeragamkan (Musa, 2010:112).

Mengapa Gus Dus Dikagumi?
Dalam buku ini, penjelasan yang sangat terperinci digambarkan oleh Nur Kholisoh mengenai bagaimana seorang Gus Dur yang  mampu menyampaikan pesan-pesan politiknya dengan cerdas sehingga mudah dipahami dan diterima oleh khalayak dengan ciri khas yang sering menggunakan humor dalam berkomunikasi. Hal ini menunjukkan kemampuan Gus Dur dalam memahami kondisi psikologis masyarakat awam yang tidak suka dengan bahasa yang rumit dan nasehat yang terlalu kaku.  Hal ini juga menunjukkan kebiasaan Gus Dur dalam menyampaikan pesan politik melalui ‘guyonan ‘ dan humor menunjukkan kecerdasan dalam memahami emosi orang yang diajaknya bicara. Humor merupakan bagian dari karakter kearifan yang khas dari sosok seorang Gus Dur dalam berkomunikasi yang  hampir tidak dimiliki oleh para pemimpin kita sekarang ini.
Berbagai alasan rasional untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Gus Dus Dikagumi?”. Gur Dur merupakan sosok yang mampu memahami dan mengerti dari karakter bangsa sendiri, Gus Dur juga mempersilahkan atau mengamikan dirinya untuk menyerap semua aspirasi dan menampung keragaman adat istiadat yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Dr. Ali Masykur Musa, apa yang diberikannya terhadap masyarakat Papua, misalnya, adalah contoh dari kemampuanya dalam memahami karakter budaya itu. Demikian juga yang dilakukannya terhadap masyarakat Aceh. Ia tidak hanya menyerukan ‘peperangan di Aceh dihentikan, tetapi juga membangun kesepahaman dengan GAM atas dasar aspirasi orang Aceh sendiri.
Lihatlah bagaimana Gus Dur dengan santainya keluar menuju beranda Istana Negara hanya mengenakan kaos dan celana pendek, lalu melambaikan tangan kepada rakyat yang mendukungnya tanpa takut imejnya sebagai tokoh bangsa akan jatuh. Lihat juga bagaimana Gus Dur dengan enteng menjawab setiap pertanyaan menyangkut permasalahn yang dihadapi oleh rakyat. Gus Dur melakukan itu semua tanpa khawatir citra dirinya akan merosot. Rakyat melihat apa yang dilakukan Gus Dur lebih pada spontanitas tindakan seorang manusia yang selalu mengikuti kata hatinya (Musa, 2010: 131).
Perilaku Gus Durs yang spontan dan tidak dibuat-buat itulah yang mendorong warga masyarakat Tionghoa “jatuh hati” dan menobatkanya sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”. Menurut Liues Sungkharisma  dalam (Musa, 2010: 131) tokoh masyarakat Tionghoa yang dikenal dekat dengan Gus Dur, jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden ia telah menunjukkan perhatian yang bersar terhadap warga Tionghoa. Bangsa ini, kata liues, sesungguhnya membutuhkan pemimpin yang bias bertindak seperti Gus Dur. Cepat, lugas, spontan, jujur dan tidak dibuat-buat. Seorang pemimpin yang mendasarkan tindakanya pada hati nurani, tidak pada pertimbangan politik kekuasaan.
Dalam kelompok diskusi Forum Studi Kebangsaan Indonesia (FSKI) oleh mahasiswa FIS UM dengan Bapak Emanuel Gotamsil yang sampai sekarang aktif dalam Paguyuban Pemberdayaan Suwadaya Masyarakat (PPSM) dan Gatara (LSM Gus Dur dan sering menyebut dirinya sebagai Gusdurian) yang mengusung tema “Gus Dur dan Pluralisme” dapat diambil beberapa nilai penting yang menjadikan masukan dan perenungan bagi mahasiwa dan masyarakat pada umumnya, yaitu:
·         Gus Dur sebagi tokoh yang sangat paham terhadap bangsanya, rasa kemanusiaanya yang sangat menusiawi mampu menjadikannya sosok seorang pemimpin yang rendah hati dan tampil apa adanya,
·         Mencoba untuk membuka diri atas perbedaan yang ada,
·         Kesadaran kritis harus terus dibangun mengingat kegemaran Gus Dur yang haus ilmu dan selalu belajar dari berbagai macam perbedaan yang ada sehingga mampu penjadi pilar yang mewarnai kebhinekaan bangsa.
·         Untuk menciptakan masyarakat Bhineka Tunggal Eka, negeri yang Gemah Ripah Lokjinawi semua dimulai dari diri sendiri dan hal ini harus terus dilestarikan.



Penutup
Yang menonjol dari buku ini adalah data dari setiap peristiwa politik sebagai panggung retorika itu ada, baik dari wacana maupun ketika retorika ini ditulis. Dan yang menjadi lebih menarik dari buku  ini yaitu ulasan dengan bahasa yang jelas dan lugas langsung memberikan pencerahan kepada para pembaca ketika perubahan yang terjadi dalam suatu komunikasi politik, baik yang mengarah pada identifikasi maupun divisi, tidak terlepas dari substansi yang dimiliki oleh para pelaku komunikasi. Sebagai seorang pemimpin pada masanya Gus Dur memberikan gambaran bagaimana kita sebagai bangsa yang majemuk dan plural menghargai berbagai lapisan etnis, suku, dan agama. Namun bangsa Indonesia merasa kesulitan untuk mempertahankan nilai-nilai persatuan atas kemajemukan yang ada. Karena ketidak mauan dan ketidakmampuan untuk belajar dari sebuah kegagalan selama ini. Faktor lainya karena keresahan pemerintah untuk terus menguras Sumber Daya Alam (SDA) untuk kepentingan sekelompok orang atau pribadi secara tidak bermoral.

Pustaka Pembanding

Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKIS.
Kholisoh, Nur. 2012. Demokrasi  Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur Dalam Proses Demokrasi Di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Pohon cahaya.
Koespradono, Gantyo. 2008. Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif. Jakarta: PT Bentang Pustaka.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rossdakarya.
Musa, Ali Masykur. 2010. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.



[1] Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Angkatan 2010

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: DEMOKRASI ALA GUS DUR Template by Bamz | Publish on Bamz Templates