Tuesday, September 25, 2012

BUNG KARNO DAN PENDIDIKAN


Dulu Diperkenalkan, Sekarang Dicari : 
Nation and Character Building Bung Karno
 Doni Trio Saputra
Hukum Kewarganegaraan, UM

Masyarakat saat ini lebih mengenal nama Nazriel Ilham (Ariel) daripada nama Ir. Soekarno. Pemberitaan amoral Ariel sering kali menghiasi (top news) dimedia elektronik maupun cetak, banyak diberitakan bahwasanya penggemar-penggemar Ariel siap datang memberi dukungan moril dan setia untuk menunggunya berkumpul kembali di sekeliling mereka. Padahal jelas-jelas tindakan yang dilakuakannya itu salah. Sebuah gejolak yang terlukis dalam negeri ini. Krisis kepercayaan diri terhadap bangsanya, tindak amoral yang telah dipertotonkan dalam media pemberitaan harian dari tindak kriminal sampai penipuan, di manamereka adalah seorang yang berpendidikan atau bisa dikatakan para intelektual. Mereka yang menikmati pendidikan di bangku sekolahmempunyai perilaku yang tidak lebih baik dari orang yang tidak menikmati pendidikan. Memang tidak semua orang yang berpendidikan seperti itu, akan tetapi yang menjadi pertanyaan kita kembali adalah lebih banyak yang seperti itu atau lebih sedikit?
 Dalam lukisan kehidupan jiwa zaman edan seperti sekarang ini yang lebih memprihatinkan lagi para pemuka agama mempunyai peran ganda selain sebagai pemuka  ajaran agama tak jarang yang menjadi seorang selebritis bahkan merangkak sebagai seorang politisi yang fotonya ada dipinggir-pinggir jalan entah sebagai iklan sebuah produk maupun dipajang sebagai media berkampanye. Kita tahu tidak sedikit dari mereka ketika berkampanye menawarkan janji-janji surga akan tetapi ketika diamanati sebuah jabatan lupa pada visi dan misi bernegara dengan kedok balutan jubahnya. Tidak hanya sampai situ saja, tidak sedikit diantara mereka menjual ayat-ayat Tuhan hanya untuk kepuasan perut semata.
Sebagaimana pendapat Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University. Menurut Lickona (1992:12-22), sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh ciri seperti : (1) meningkatnya kekerasan pada kalangan remaja; (2) membudayanya ketidak jujuran; (3) sikap fanatik terhadap kelompok; (4) rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru; (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk; (6) penggunaan bahasa yang memburuk; (7) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan alkohol, narkoba, dan seks bebas; (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara; (9) menurunya etos kerja dan; (10) adanya saling curiga dan kurangnya rasa peduli terhadap sesama. Apakah bangsa kita menempatkan posisinya diluar ciri yang sudah disebutkan tadi? Tentu tidak.
 Ada sebuah kalimat yang menarik yang bisa kita perhatikan ”Jika ingin melihat Indonesia pada 10 tahun mendatang maka lihatlah keadaan pemuda saat ini, dan jika ingin melihat Indonesia pada 20 tahun mendatang maka lihatlah keadaan anak-anak kecil saat ini”.  Maka tidak dapat dipungkiri, mau tidak mau saat ini kita semua yang merasa sebagai orang tua, atau katakanlah orang yang lebih tua bertanggung jawab atas masa depan Indonesia di masa mendatang dengan lebih memperhatikan pemuda dan anak-anak di masa kini (Aisalwa: 2012). Untuk itu Bung Karno sebagai sosok negarawan, pendiri dan proklamator negeri ini tatkala memegang tampuk pimpinan negara pernah menekankan betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa (Nation and Character Building), sehingga tidak dipandang rendah oleh bangsa lain dalam percaturan politik dunia (Supadjar, 2009 diambil di kata pengantar membangun karakter bangsa, Soegeng Koesman).
Saat kekuatan barat masuk ke Indonesia, kebodohan dan mentalitas terbelakang masih berupaya dibentuk oleh penjajah. Mental dan watak manusia dibentuk oleh suatu kondisi material historis. Persenyawaan dengan keterbelakangan feodalisme dan kapitalisme-kolonial telah membuat bangsa ini bermental “terbelakang” yang dalam hal tertentu terkadang menjijikkan. Ada pengecutan, keraguan, pesimisme,dan rasa tidak percaya diri atau tidak percaya kebenaran. Bung Karno sendiri pernah mengatakan bahwa penjajah (imperialisme) telah membuat bangsa kita menjadi “bangsa tempe”.
Bung Karno mengatakan:
“Tempe adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedelai yang diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah. Itulah kami jadinya. Kami terus-menerus dikatakan sebagai negeri yang lunak seperti kapas. Kami menjadi seorang pengecut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun yang kami lakukan selalu salah. Kami menjadi rakyat seperti dodol dengan  hati yang kecil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami hanya menjadi bangsa yang hanya mendapat bisikan “Ya Tuhan”
Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, yang  masih mereka pegang teguh secara tidak sadar.
Ejekan yang terus menerus dipompa oleh pemerintah Hindia-Belanda tentang ketidakmampuan kami, menyebabkan kami yakin dengan hal tersebut. Dan keyakinan bahwa engkau bangsa yang hina lagi bodoh adalah senjata yang ada pada tangan penjajah.  Imperialisme adalah kumpulan kekuatan jahat yang tampak dan tidak tampak”.




Apa yang dikatakan Bung Karno tersebut adalah imbas penjajahan ekonomi terhadap mental bangsa kita. Jika pada era feodalisme kerajaan rakyat dipaksa patuh kepada raja-raja, saat kolonialisme datang rakyat juga diperlakukan sama, tentunya dengan eksploitasi dan penghisapan pada tenaga rakyat yang lebih telanjang dan tidak kenal malu (Soyomukti,2008).
Apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa ini selama satu dasawarsa di era Reformasi, nampak jelas adanya indikasi bahwa bangsa ini  telah kehilangan stamina dan jati diri sebagai bangsa timur yang memiliki falsafah hidup yang adiluhung, yaitu Pancasila. Yang membuat bangsa kita menjadi “melempem” sebuah bangsa yang bisa dibilang loyo (kendor), tidak punya daya juang melawan bangsa asing, bahkan cenderung menjadi kaum komprador. Akibatnya kondisi negeri ini semakin carut-marut. Sekarang ini pendidikan karakter gencar ditanamkan kembali pada wajah pendidikan kita, bukan dijadikan sebagai kurikulum yang kaku melainkan menjadi sebagai kebutuhan dari setiap peserta didik per kepala  untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu dengan mengutamakan perkembangan proses peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Nation Building Soekarno
Orang yang paling berpengaruh terhadap sejarah kemerdekaan Indonesia adalah Ir. Soekarno, terhitung dari hari kelahirannya ke-111 sejak 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Sekiranya kita patut refleksikan perjuangan dan kegigihan beliau dapat membebaskan kita dari belenggu kolonialisme. Setelah 67 tahun Indonesia merdeka berkat jasa-jasa beliau, kemudian bagaimana reaksi beliau ketika masih diberikan kesempatan bernafas sampai sekarang melihat buah dari perjuanganya, apa beliau bangga atau sebaliknya?(SN, 2012). 
Memahami ajaran nasionalisme Bung Karno bukanlah hanya mewarisi semangat cinta tanah air semata. Jiwa nasionalisme bukan hanya muncul ketika Timnas Indonesia bertanding melawan Timnas Malaysia, atau bahkan ketika salah satu budaya lokal kita terusik oleh Malaysia saja. Mewarisi semangat nasionalis Bung Karno adalah semangat anti penjajah, keadilan ekonomi kemudian menjaga kesatuan dan persatuan itu harus dijaga sebagaimana itu menyebabkan Indonesia menjadi negara yang besar yang mampu mewarisi kebesaran nenek moyang kita. Dalam diri Soekarno dapat dijadikan titik bijak dalam menyiasati berbagai permasalahan bangasa saat ini. Sumbangan atau warisan sejak Soekarno kecil sampai menutup usia pada 69 Tahun, perlu digali kembali. Ajaran pokok yang masih terekam jelas di benak kalangan tua sampai generasi muda adalah semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Hampir seluruh hidup Bung Karno ini dipersembahkan untuk negara Indonesia ini. 
Keutuhan wilayah nusantara yang merupakan warisan nenek moyang berusaha dipecah belah oleh bangsa asing yang telah menjajah nusantara. Politik yang pecah-belah membuat kekuatan bangsa tercerai berai dan kekuatanya berkurang, bahkan dibuat agar saling serang supaya kekuatannya makin melemah.
Pusat perhatian Soekarno sebenarnya bermuara untuk mempersatukan bangsa indonesia melawan imperialisme. Dalam usaha ulet untuk mempersatukan semua suku dan lapisan-lapisan masyarakat Indonesia.
Dalam satu kesatuan Indonesia, Soekarno telah memberikan sumbangan yang paling bernilai. Jika Soekarno berkata dasar terbentuknya adalah keinginan untuk bersatu, atau demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi bukanlah suatu demokrasi, atau jika ia berkata bahwa imperialisme adalah tingkat terakhir dari kapitalisme yang runtuh, maka dari itu ia melahirkan pandangan-pandangan merupakan bagian dari keyakinanya. Jika Soekarno berbicara tentang persatuan bangsa ia memiliki pandangan sendiri “ Yang menjadi persoalan ialah bagaimana membina kerukunan, membina persatuan,membina bangsa antar semua dan dari semua. Untuk mencapai hal ini, maka di samping tiap-tiap suku memberikan sumbanganya yang positif, tiap-tiap suku juga harus menerima sumbangan positif dari suku-suku lain. Pendeknya semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar Indonesia” ini adalah suara khas Soekarno.
Untuk terbentuk suatu bangsa perlu usaha bersama dari golongan islam maupun komunis, golongan demokrasi sosialis maupun nasionalis, betapapun besarnya perbedaan-perbedaan yang berlangsung lama di antara mereka, kemungkinan kerjasama yang demikian ini dari konsepsinya “Nasionalis, Islamisme, dan Imperialisme” yang dimuat tiga kali berturut-turut dalam Indonesia Moeda tahun 1926/1927 usaha menciptakan persatuan bangsa telah disusun sintesis ideologi dalam menjalankan upaya-upaya terdapat beberapa langkah yang jelas. Ketika Soekarno memutuskan “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” ia pada dasarnya memaksudkannya sebagai strategi. Menghadapi kekuasaan kolonial belanda adalah sesuatu yang wajar dan sederhana jika kaum komunis dan golongan islam harus menyusun barisan kekuatan dan bekerja sama di bawah panji-panji nasionalisme. Dari pemikiran usaha kerja sama ini, Soekarno tersentuh oleh harapan bisa dipersatukan menjadi berbagai aliran keyakinan yang berbeda-beda, sehingga tercipta keterpaduan yang dapat diterima dengan jalan saling memberi karena tidak lagi ada pilihan (John D Legge, 1987: 390-401 diambil dari artikel Peter Kasenda “Persatuan-Soekarno”).
Menurut Ruth McVey sebenarnya pembahasan Soekarno mengenai “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, ditunjukkan kepada rekan-rekan sesama pemimpin di dalam gerakan kemerdekaan. Dalam hal ini Soekarno tidak berbicara kepada masyarakat desa yang frustasi maupun kaum proletar radikal yang sempat melancarkan pemberontakan PKI. Soekarno juga tidak berbicara kepada santri pembela islam, atau pada orang-orang biasa yang tinggal di dalam kota atau dekat kota yang kemudian nantinya bergabung pada Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam pencarian sebuah orentasi di dunia yang sedang mengalami modernisasi. Soekarano melihat kelompok-kelompok tersebut memang ada, tetapi ia hanya memandang mereka sebagi pengikut atau calon pengikut kelompok elit metropolitan yang menjadi sasaranya.
Esai Soekarno hanya ditunjukkan kepada orang-orang segenerasi yang terlibat dalam kancah perpolitikan-muda, berkomitmen terhadap perjuangan menuju kemerdekaan, dan sudah memikirkan identitas diri mereka dalam kapitalis nasional bukan regional. Dalam kelompok kecil itulah Soekarno melihat dengan jeli sumber pemimpin negara masa depan, dia juga melihat kelemahan dan pemborosan energi akibat perselisihan terus menerus, yakni ketika perbedaan personal maupun ideologi berbenturan sehingga berakibat fatal.
Persatuan para pemimpin politik dianggap sebagai sesuatu yang vital bagi perjuangan kemerdekaan, sebagaimana yang diperlihatkan pemerintah Hindia-Belanda, dalam mengalami persatuan tersebut. Namun bagi Soekarno dan orang-orang segenerasinya, persatuan tersebut lebih dari sekedar kunci menuju efektifitas politik. Di mata mereka, perasaan frustasi akibat konflik tiada henti di kalangan mereka sendiri, ditambah konsep politik tradisional dan ide-ide yang dipinjam dari sosialisme memberikan tafsiran tersendiri bagi kita “persatuan”. Kata persatuan memiliki nilai yang hampir-hampir magis, hanya melalui persatuanlah kekuatan politik bisa tercapai-tetapi begitu rakyat bersatu, tidak ada yang tidak mereka atasi. Yang dimaksud dengan “rakyat” adalah seluruh masyarakat Indonesia, suatu perwujudan spiritual dari seluruh bangsa (Kasenda,2012).
Boleh saja orang beranggapan bahwa nasionalisme,islam, dan maxisme-sosialisme-komunisme tak bisa disatukan. Mungkin orang yang memegang anggapan seperti itu tidak menguak secara lebih jauh potensi dari masing-masing ideologi untuk dapat bersatu. Oleh karena itu,perlu sekali untuk mengetahui bagaimana masing-masing elemen ideologi (dalam Nasakom) sesuai dengan pandangan Bung Karno. Jika nasionalisme dipandang secara sempit, sebagaimana chauvinisme ataupun rasialisme kebangsaan, dia memang tidak akan dapat disambungkan dengan ideologi lainya-seperti marxisme dan islamisme yang tidak mengenal suku dan ras bangsa (pan-islamisme dan internasionalisme dalam sosialisme). Karena itulah untuk memahami Nasakom, orang harus mengerti dari mana dulu dan pada sisi mana masing-masing ideologi (baik Nasionalisme,Islamisme, maupun Komunisme) secara baik dan benar. Untuk meyakini Nasakom orang tidak bisa menjadi Nasionalis sempit, Islam sempit, atau Marxisme salah kaprah.
Intinya, Nasakom akan mudah diterima oleh mereka yang berpikiran luas dan lapang, orang yang berpengetahuan luas dan selalu menganalisis berdasarkan pengetahuan terhadap perkembangan atau susunan ekonomi dunia, serta memahami kontradiksi-kontradiksi yang berkembang di negaranya yang berpengaruh pada negaranya sendiri, dan dengan menganalisis corak produksi dan pemikiran masyarakat sendiri. Bung Karno, sebagai penggagas Nasakom, memang mengetahui susunan ekonomi dunia, sekaligus memahami perkembangan masyarakatnya sendiri. Dan melihat ideologi-ideologi yang berkembang di masyarakatnya itu sebagai jawaban atau reaksi untuk melawan penjajah asing (Soyomukti, 2008).
Perlu kita ingat juga bahwa Bung Karno menuliskan “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” pada tahun 1926. Pada waktu itu, Bung Karno memang belum banyak mempelajari berbagai macam pemikiran Islam secara mendalam. Fase ini adalah fase dimana ia banyak mengelaborasi pemikiran kebangsaan, yang kemudian menjelang awal tahun 1930-an, ia melontarkan tulisan-tulisan dan ucapan-ucapan bernada marxis atau pemikiran untuk membela rakyat miskin.
Bung Karno yang sangat benci Imperialisme. Karena imperialisme menurut Soekarno adalah “Nafsu menimbulkan jajahan-jajahan yang diambil rezekinya.” Sehingga mengakibatkan timbulnya ”kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil” dengan bahasa lain marhaen hendak mencangkup kaum tani dan melarat lain yang tidak termaktup dalam pengertian ploretar. Karena kaum proletar hanya terdiri dari kaum buruh yang menjual tenaganya pada pemilik modal. Kesimpulannya konsep marhaen merupakan terjemahan dari pengertian proletar yang disesuaikan dengan situasi yang berlaku di Indonesia.  Dapat dikatakan bahwa konsep yang diajukan ini merupakan penilaian yang jujur terhadap sifat masyarakat Indonesia.  Dari kata “Marhaen” itulah muncul sebuah konsep “Marhaenisme” yang bagi Soekarno merupakan suatu paham yang meliputi secara praktis setiap orang yang berkehendak untuk mengadakan perubahan hidup kaum Marhaen. Dengan konsep itu ia tidak hanya berlaku di atas kepentingan salah satu kelompok saja, tetapi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Soekarno hendak memasukan sebanyak mungkin dengan maksud di bawah pengertian Marhaenisme. Sikap seperti itulah yang dianggap oleh Berhnard Dahm sebagai Common Denominator yang baru (Kasenda,2010).
Marhaenisme adalah Marxisme versi Bung Karno, karena sifat dan tindakannya yang radikal menyebabkan ia masuk penjara. Penjara tetap tidak mampu mengumpulkan militansi dan perlawananya terhadap kolonialisme Belanda. Kemudian ia dibuang di Ende, lalu di Bengkulu. Fase pembuangan inilah yang memberinya ruang dan waktu untuk mendalami islam, melalui surat-surat yang dikirimkannya ke Hassan, seorang aktifis muhammadiyah dan persatuan Islam yang ada di Bandung. Artinya, memasuki era tahun 1940-an, dalam hidupnya telah mengalami berbagai macam pemikiran yang terdiri dari berbagai Ideologi besar: Nasionalisme, Marxisme-sosialisme-komunisme, dan Islam. Ketika fase-fase itu menggumpal menjadi kesatuan, yang bercampur yang bercampur-aduk memenuhi baik ruang bawah sadar maupun kesadaranya. Tak heran jika kemudian ia menyadari bahwa obsesi terbesarnya adalah “persatuan”.
Pemikiranya tentang Pancasila adalah pengejawatahan tentang obsesi persatuan. Dalam pidato kelahiran Pancasila 1 juni 1945, upaya untuk menyatukan berbagai macam keyakinan dan pandangan diuraikan secara panjang. Berbagai macam keyakinan dan pandangan hidup yang ada di Indonesia, juga dikaitkan dengan pandanganya dalam memahami universalisme kemanusiaan, yang mengarah pada suatu kebutuhan normatif dalam hubungan manusia-manusia Indonesia yang dinamakan dengan “Gotong Royong” .
Pancasila dianggap banyak kalangan sebagai muara dari pemikiran Bung Karno yang terdiri dari elemen pemikiran dan sifat luhur yang pernah berkembang di Indonesia dan pemikiran-pemikiran universal dari sejarah yang berpihak pada kemanusiaan dan keadilan. Apa yang ada di Indonesia sebagai warisan masa lalu seperti agama dan sifat kegotong-royongan diambil dan digabungkan dari pemikiran Barat modern yang tidak bertentangan dengan karakter orang Indonesia (Soyomukti,2008).

Character Building Bung Karno
Tema-tema wayang seperti Mahabharata dan Ramayana dimanfaatkan dalang dan kaum nasionalis untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi mereka sendiri dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh setiap orang Jawa. Kusno, nama kecil Soekarno, sejak dini sudah diperbolehkan menonton pertunjukan wayang yang berlangsung semalaman. Soekarno kecil dididik malam demi malam di depan layar. Sebagaimana ia ditumbuhkan dalam gagasan Ratu Adil, hasyrat untuk kemerdekaan dihidupkan terus oleh wayang. Ia menyaksikan Bharata Yudha yang mengisahkan perjuangan kaum Pandawa melawan kaum Kurawa. Kedua belah pihak berebut kerajaan Ngastina yang dikuasai kaum Kurawa yang merupakan hak kaum Pandawa.
Sosok Bima merupakan sosok yang saleh dari tradisi Jawa. Orang kedua dari Pandawa bersaudara ini ditampilkan sebagai seorang yang tak kenal ampun dan tak kenal kompromi. Tetapi ia tetap bersedia berkompromi dengan orang-orang di dalam barisannya sendiri yang bersedia tunduk kepada tatanan yang sama. Besar kemungkinan bahwa tokoh Bima dengan sikap yang tak kenal kompromi terhadap seperjuanganya mengesankan Kusno muda dibandingkan dengan tokoh-tokoh wayang lainya. Di samping Bima sebagai panutan Soekarno. Raden Sukemi menginginkan putranya menjadi seorang Ksatria yang akan mengabdi pada tanah air. Ia mengubah nama Kusno menjadi Soekarno. Soekarno berasal dari Karna adalah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang sakti.
Ketika Soekarno memasuki sekolah Eropa, ia menjadi korban prasangka sosial. Ia selalu membela kehormatan bangsanya setiap kali terjadi pertengkaran, di sini dilukiskan dalam dunia pewayangan mengenai hubungan antara penguasa dan dikuasai telah menjadi jelas dengan cara menyakiti hati Soekarno. Soekarno sudah mulai percaya dalam janji yang terkandung dalam dunia pewayangan dan mulai sadar bahwa kemenangan berada dalam pihaknya jika ia cukup kuat untuk mengejar cita-cita tanpa ragu-ragu.
Setelah tamat sekolah dasar, Soekarno memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya di Surabaya dan menumpang di rumah HOS Tjokroaminoto. Soekarno diterima oleh Tjokroaminoto yang wakui itu masih belum kehilangan respectsedikitpun dari penduduk seluruh pulau Jawa terhadap dirinya. Tjokroaminoto bukan pendekar yang menghantam tatanan yang berlaku. Ia masuk penjara atas dakwaan melakukan sumpah palsu. Bukan karena ia melawan pemerintah kolonial. Ia sama sekali bukan seorang Ksatria dalam cerita wayang yang tidak ragu-ragu mempertaruhkan nyawanya karena tahu kemenangan berada di pihaknya. Tapi ia menempatkan diri di tengah orang-orang yang menantikan Messias walaupun massa memandangnya sebagai pengemban gagasan Ratu Adil. Sebaliknya ia mengatakan Ratu Adil akan muncul dalam wujud sosialisme.
Ketika Soekarno menjadi mahasiswa di Bandung, dia berkenalan dengan dua pandangan yang berbeda secara mendasar satu sama lain mengenai sikap terhadap rezim kolonial, sikap pasif yang diambil Tjokroaminoto yang menantikan kemenangan sosialisme dan sikap militan pada diri Tjipto Mangunkusumo, gurunya di Bandung. Walaupun hidup bertahun-tahun dalam pembuangan, Tjipto Mangunkusumo berulang-ulang berseru kepada pengikut-pengikutnya agar punya keberanian mempertahankan keyakinan mereka berjuang untuk tanah air kaum Pandawa.
Soekarno menemukan kembali bahasa para Ksatria ketika ia masih kecil. Serta lebih meyakinkan baginya daripada harapan yang meragukan menjadi kenyataan dari kepercayaan terhadap Ratu Adil di sekitar Tjokroaminoto. Perbedaaan apapun terhadap guru-guru Soekarno, Tjokroaminoto dan Tjipto Mangunkusumo sama-sama menghendaki adanya suatu front persatuan di pihak kaum Pandawa (Kasenda, 2011).   
Kita bisa melihat karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkanya. Tetapi, elit borjuis Indonesia lagi-lagi tidak kuat dan kreatif, maka secara nyata selalu kalah dengan borjuis-kapitalis asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya, sementara masyarakat semi-renaisans Indonesia mendorong untuk berfikir setengah feodal dan setengah liberal. Atau pada kenyataanya Indonesia terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi semangat, karakter, dan budayanya feodal. Maka tidak aneh jika sebagian besar budaya masyarakatnya juga terbelah, di satu sisi liberal, di sisi lain feodal. Kita bisa menjumpai banyak pribadi yang dalam kesehariannya liberal (minum-minuman, melakukan seks bebas, dan lain-lain), tetapi pada saat yang sama ia juga menjalani ibadah agama dengan rutin. Dan tidak ada yang mengingatkan keterpecahbelahan pribadi atau filsafat itu. Pribadi orang-orang Indonesia itu, terutama masyarakat Jawa adalah cuek pada mana yang benar dan mana yang salah: semua yang baik benar maupun salah dijalani. Manifestasi kongkritnya dalam watak bisa kita lihat dalam elit dan masyarakat kita, yaitu ketidakkonsistenan dalam bertindak, kompromis, suka konsensus bukan berdasarkan strategi dan tindak objektif untuk kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan sendiri dan golongan (Soyomukti,2008).
Bangsa ini harus menjunjung tinggi budayanya sendiri, tidak perlu sok modern, sok keren dan latah serta tergila-gila pada budaya manca negara yang ternyata sangat destruktif serta untuk menghancurkan generasi muda bangsa. Budayawan sebagai bagian dari generasi penerus bangsa harus bangkit dan berani bangkit di depan, jangan hanya petetang-peteteng dengan gaya nyentrik saja tanpa berusaha melestariakan dan mengangkat budaya sendiri ke tingkat dunia. Hentikan budaya mencela dan mencerca budaya sendiri. Bangkitlah dengan ide-ide baru yang bernuansa timur. Kembalilah dengan budaya bangsa yang adiluhung. Kembali pada kehidupan yang bertata krama. Jangan menganggap budaya sebagai hal yang kuno kan ketinggalan zaman. Apa salahnya jika kita saling menghargai, saling menghormati, bersikap sopan santun terhadap sesama. Apa salahnya berbicara dengan sopan santun tanpa saling otot dan adu mulut? Kunokah? Ketinggalan zamankah?
Semua ini merupakan tantangan bagi rakyat negeri ini. Khususnya kaum elite yang tidak tahu diri dan sok merasa paling tahu segalanya. Belajarlah pada negara-negara yang terlebih dahulu merdeka dan berdaulat, bagaimana perjalanan kehidupan negara itu sampai mencapai keberhasilan. Inilah yang perlu dipelajari bukan untuk meniru budayanya yang tidak cocok dengan budaya sendiri. Pelajarilah negara Jepang yang tampil sebagai negara modern yang tetap mempertahankan budayanya sendiri. Apakah Jepang ketinggalan zaman? Tirulah etos kerja dan kesungguhan bangsa Jepang dalam berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya (Koesman, 2009: 207-208).
Bung Karno selalu mengedepankan budaya-budaya lokal sebagai upaya dalam membangun warga negara yang nasionalis, yang mencintai tanah airnya, yang mencintai tumpah darahnya, yang mencintai keanekaragaman budayanya dan mampu menjaga serta melestarikanya. Dalam kesenian itulah banyak pesan-pesan moril yang disampaikan pada warga negaranya, keanekaragaman itulah sebagai sebuah pilar kekuatan dalam membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Sebuah bangsa yang percaya diri atas bangsanya sehingga tidak bergantung pada bangsa orang lain dan menjadikan bangsa yang memiliki harga diri. Karena Bung Karno mengajarkan pada kita selaku bagian dari bangsa indonesia yang membela harkat dan martabat sebagai suatu negara harus membela mati-matian. Harga diri tidak diukur dari besarnya kekayaan, harga diri lebih besar nilainya dari pada miliaran rupiah, harga diri harus diperjuangkan mati-matian, karena hidup tanpa harga diri adalah hidup yang nista. Harga diri sebagai benteng pertahanan diri. Hidup tanpa harga diri akan berakibat fatal: hidup seseorang menjadi tidak memiliki nilai dan makna karena citra dirinya rendah dan terhina(Koesman, 2009: 218).
Imperialisme juga membonsai bangsa ini dengan cara menjadikan ketergantunganya kepada mereka. Karena itu salah satu elemen yang tidak boleh terlupakan saat membicarakan nation and character building ala Bung Karno adalah ajaran “Tri Sakti” Bung Karno. Untuk menjadi bangsa yang sakti dan besar, maka kita harus mengikuti tiga prinsip: mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Sebuah harga diri sebuah bangsa bisa dipandang tinggi oleh bangsa lain karena memiliki nilai pandang lebih, karena memiliki etos kerja yang bagus dan mampu berpikiran produktif. Nasionalisme dan radikalisme Bung Karno muncul karena tidak terputus dari semangat zaman sebelumnya. Tidak ada yang namanya diskontiunitas sejarah sebagaimana dipahami takdir. Sejarah tetaplah suatu hal yang berkait dan dialektis.
Tidak mungkin kita membangun wawasan kebangsaan yang baik kalau dalam diri kita belum ada usaha untuk mengembangkan etos kerja yang tinggi serta semangat pengabdian yang tulus. Bagaimana kita bisa membangun dan merangkai saling kepercayaan kalau diri kita sendiri tidak dipercayai oleh orang lain? Disiplin, dedikasi, dan integritas pribadi pada masing-masing pribadi yang tergabung dalam usaha membangkitkan kembali wawasan kebangsaan menjadi prasyarat mendasar. Untuk itu usaha membangkitkan kembali wawasan kebangsaan harus dimulai dari kita. Tanpa adanya kesesuaian antar kata dan perbuatan akan menjadikan kita seperti badut-badut di tengah jalan yanag mengumpulkan recehan.
Mari kita mulai belajar untuk bicara dan berfikir yang bersahaja. Gaya bicara yang terlalu berlebihan, hiperbola, harus segera disingkirkan. Mulai memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pertimbangan akal sehat sehingga tidak mengkaburkan antara need dan want . Pola hidup konsumtif yang mudah dikendalikan oleh hipnotis iklan akibat kurangnya kemampuan membedakan kemampuan membedakan needdan want, sehingga mudah menjadi seseorang yang berdimensi tunggal, one dimentional  yang seolah-olah dengan memakai iklan tersebut gengsi kita akan naik.
Barangkali kalau masyarakat sasaran sudah dapat bangkit dari ketidak percayaan diri itulah akan muncul suatu harapan. Sebuah harapan di seberang jembatan emas sana agak ada masyarakat yang adil dan makmur,  suatu bangsa yang merdeka secara politik, berdikari secara ekonomi serta berpribadian yang tinggi. Bila anak-anak muda dulu menggambarkan jembatan emas itu adalah sebuah kemerdekaan, maka kita harus menyadarkan mereka bahwa  jembatan itu adalah kerja keras dan kerja sama yang dilandasi  oleh kejujuran dan ketulusan untuk kemajuan dan kemakmuran bersama.
Bila masyarakat sudah memperoleh kepercayaan diri dan harapan itulah peluang untuk berdiskusi tentang wawasan kebangsaaan secara riil dan kritis bisa terjadi. Harapan lembaga untuk mengembangkan wawasan kebangsaan yang tidak membumi dapat terealisasi melalui proses pemberdayaan civil society yang tidak menjadi masa kritis (critical mass) yang mengontrol roda pemerintahan menjadi clean and good governance.
Dalam tatanan budaya diperlukan proses pencerahan terus menerus akan makna nasionalisme dan reaktualisasinya. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, oraganisasi kita, masyarakat kita dan nantinya akan bermuara pada bangsa kita. Perubahan struktural dan kultural tidak mungkin terjadi tanpa adanya agen yang secara intens, teroganisir dan terus menerus memperjuangkanya secara konsisten. Konsisten antara visi dan misi kebangsaan dengan prilaku yang dijalankan  (Hariyono, 2010).





Penutup

Sejarah telah menulis dan yang akan dikenang bangsanya, apa yang dilakukan oleh salah seorang proklamator bangsa ini telah “selesai” ketika dia wafat, 111 tahun yang lalu terhitung sejak 6 juni 1901, ketika ia secara fisik meninggalkan negeri yang amat dicintai ini. Akan tetapi buah dari pemikirannya masih relevan jika diterapkan pada jiwa zaman edan saat ini. Nama Bung Karno masih dikenang bukan hanya dari masyarakatnya sendiri melainkan dunia masih membicarakanya, bahkan di Eropa Timur pun, nama Soekarno sangat populer dan harum. Kebangkitan negara-negara Amerika Latin pada awal melinium ini menurut pengakuan para pemimpin mereka juga karena diilhami keberanian Soekarno menolak kapitalisme yang menghisap habis darah negara-negara kaya sumber daya alam tapi lemah dalam dana dan teknologi. Diawali Chaves dan Moralles kemudian diikuti presiden Paraguay Logo mengaku sebagai penganut ajaran Soekarno. Di dalam negeri ajaran Soekarno diterapkan ketika presiden Megawati Soekarno Putri menjabat, bukan hanya sebagai anak biologis Bung Karno akan tetapi sebagai anak ideologisnya dalam melaksanakan setiap kebijakanya meskipun terkadang hasilnya jauh dari memuaskan.

“Jikalau kita mempelajari dan mengagumi sriwijaya dan mataram dan majapahit dan banten dan melayu dan singasari, tetapi kita tidak menangkap dan meneruskan api yang bernyala-nyala dan berkorbar di dalam jiwa-sriwijaya, jiwa-mataram, jiwa-majapahit ,jiwa-banten, jiwa-melayu itu, maka kita pun hanya mewariskan abu saja, mewariskan barang yang mati, mewariskan barang yang tiada harga”.

Maka untuk itu jangan hanya mengidolakan Bung Karno secara fisiknya saja dan bangga terhadap pencapaian Bung Karno di masa lalu akan tetapi kita harus meneruskan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran dari Bung Karno agar kita tidak hanya menggelar karpet merah dan mempersilahkan kursi paling atas untuk bangsa asing. Sedangkan masyarakat kita dikirim ke luar negeri sebagai pembantu di negara asing.







Daftar Pustaka

Buku :

Kasenda, Peter. 2010. Soekarno Muda . Jakarta: Kompas.

Koesman, Soegeng. 2009. Membangun Karakter Bangsa.Yogyakarta: Lokus.

Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pedagogia.

Soyomukti, Nurani.2008. Soekarno & Nasakom. Yogyakarta: Garasi.

Soyomukti, Nurani. 2010. Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 Internet:

Iasalwa. 2012. Menciptakan Karakter Anak. (Online). (http://aisalwa.wordpress.com/2012/03/12/menciptakan-karakter-anak/),  diakses 22 Mei 2012.

Kasenda, Peter. 2012. Persatuan-Soekarno. (Online). (http://peterkasenda.wordpress.com/2012/05/28/persatuan-soekarno/), diakses 29 Juli 2012.

Kasenda, Peter. 2011. Soekarno, Wayang, dan Ratu Adil. (Online)(http://peterkasenda.wordpress.com/2011/02/19/soekarno-wayang-ratu-adil/), diakses 30 Juli 2012.

Kasenda, Peter. 2011. Studi tentang Soekarno: Sebuah Catatan. (Online).(http://peterkasenda.wordpress.com/2011/02/12/studi-tentang-soekarno-sebuah-catatan/),  diakses 28 Juli 2012

Artikel:

Budiono, Bambang. 2012. Bangkitlah Indonesia. Surabaya: Indiependen.

Budiono, Bambang. 2012. Pemikiran Bung Karno Masih Relevan. Surabaya: Indiependen.

Hariyono. 2010. Eksistensi dan Nasionalisme. Pada 28 Juni 2010, dialog di Jalan Sultan Agung, Malang.

Rohi, Peter A. 2012. Harus Kembali pada Ajaran Soekarno. Surabaya: Indiependen.

SN, Taufiqurrahman. 2012. Hilangnya Ajaran Soekarno. Surabaya: Indiependen.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: BUNG KARNO DAN PENDIDIKAN Template by Bamz | Publish on Bamz Templates