Tuesday, September 25, 2012

PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN H.O.S. TJOKROAMINOTO


KETELADANAN ATAS KEHIDUPAN SOSIAL:
PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN H.O.S. TJOKROAMINOTO

Daya Negri Wijaya
Jurusan Sejarah FIS UM
Dayawijaya15@yahoo.com


HOS Tjokroaminoto dikenal sebagai seorang ulama, politikus, ekonom islam yang sangat berpengaruh di abad 20. Ahmad (2010) berpandangan bahwa pemikirannya tersebut tidak terlepas dari Islam sebagai basis ideologi dan berdasar pada dua prinsip yaitu Kedermawanan Islami dan Persaudaraan Islam. Pada konsepsi ini diperlihatkan kearifan Islam dalam menjawab berbagai masalah sosial ekonomi. Gagasan untuk saling tolong-menolong dan bersatu membangun perekonomian yang mengacu pada dasar-dasar syariat Islam, menjadi sebuah ide segar yang mampu menjawab banyak masalah sosial maupun ekonomi. Manifestasi dari pemikirannya tersebut tergambar jelas saat bergabung bersama Sarekat Dagang Islam dan berkembang menjadi Sarekat Islam yang dipimpinnya.
Peran Tjokroaminoto selama menjadi anggota SDI (Sarekat Dagang Islam), yang akhirnya beliau rubah menjadi SI (Sarekat Islam) pada 1912, menjadi sebuah gambaran nyata bagaimana Tjokroaminoto adalah seorang pemerhati, ilmuwan, sekaligus seorang praktisi ekonomi. Ketika Tjokroaminoto melihat adanya potensi intelektual dalam badan SDI kala itu, dan di sisi lain banyak kesenjangan dan penderitaan rakyat luas yang notabene bukan kaum pedagang, maka tergeraklah ide Tjokroaminoto untuk memperluas cakupan bidang garapan SDI agar membawa kemaslahatan bagi ummat. SI kemudian berkembang pesat dan menjadi satu saka guru kebangkitan nasional kala itu. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong diantara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.
Permasalahan sosial yang dihadapi zaman dimana Tjokroaminoto hidup adalah diskriminasi ilmu pengetahuan. Sama halnya dengan era dewasa ini, bahwa perguruan tinggi milik negara memberikan biaya sekolah yang berbeda untuk masyarakatnya dan masyarakat asing. Contoh kasus pada salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, biaya perkuliahan untuk mahasiswa Indonesia berkisar antara 1-3 juta rupiah per semester tetapi untuk mahasiswa asing berkisar sekitar 10 juta rupiah / 1000 dollar per semester. Scherer (1985) meyakinkan bahwa diskirimasi pengetahuan telah terjadi dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia terutama di era pergerakan nasional. Dimana lembaga pendidikan yang dibentuk pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan perbedaan tentang biaya sekolah untuk anak-anak eropa dan pribumi. Lebih lanjut Scherer (1985:44) menambahkan bahwa biaya sekolah anak-anak pribumi dua kali lipat dari anak-anak eropa sebesar 15 gulden perbulan sehingga hanya anak-anak pribumi yang ningrat dan kaya raya sajalah yang mampu sekolah di lembaga pendidikan pemerintah. Masalah utama masyarakat adalah buta huruf dan buta angka sehingga membuat Tjokroaminoto nantinya tergerak untuk menyinari dunia pendidikan Indonesia dengan pancaran pendidikan Islam.    
Begitu banyak kajian atau penelitian tingkat kampus hingga tingkat umum yang mengkaji seluk beluk tentang HOS Tjokroaminoto pada bidang Islam, Ekonomi Islam, Politik Islam, dan Sosialisme Islam tetapi tidak banyak yang mengkaji pemikiran Tjokroaminoto tentang pendidikan padahal Tjokroaminoto berupaya mengentaskan kemiskinan dengan pendidikan islam melalui pendidikan dan pengajaran tjokroaminoto yang didirikan oleh afdelling-afdelling (cabang-cabang) Syarikat Islam.
Penelitian Pohan (2010) yang mengkaji tentang  Nasionalisme & Sosialisme Islam dalam Pandangan Politik HOS Tjokroaminoto hanya berfokus pada bagaimana pemikiran politik HOS Tjokroaminoto dalam kaitannya dengan kebangkitan nasional menjadi pencerah dan pelopor persatuan di tengah perjuangan yang masih bersifat primordial atau kedaerahan di masa pra kemerdekaan. Tjokroaminoto yang pertama kali mempelopori terbentuknya organisasi pergerakan modern yang berskala nasional yaitu Sarekat Islam. Ia pula-lah guru bagi tokoh-tokoh besar bangsa ini sekaliber Soekarno, Tan Malaka, Kartoesowiryo, Hamka, Alimin dan Moesso. Penelitian menjadi menarik untuk dilanjutkan bahwa bagaimana seorang Tjokroaminoto menanamkan nilai-nilai kehidupan bagi tokoh-tokoh besar nantinya serta apa yang melandasi pemikiran politik seorang Tjokroaminoto.
Tidak berbeda jauh dengan penelitian diatas, penelitian tingkat master Sumarno (1992) mengkaji tentang negara dan demokrasi dalam pandangan HOS Tjokroaminoto. Sumarno berkesimpulan bahwa Tjokroaminoto adalah seorang yang nasionalis yang bersumber pada patriotisme dengan semangat cinta tanah air yang didasari atas ukhuwah islamiyah atau pan-islamisme yang tidak terbatas pada wilayah atau batas negara tertentu. Hal ini menyadarkan khalayak umum jika nasionalisme memiliki banyak makna dan tergantung bagaimana latar belakang pengetahuan dalam memaknai nasionalisme tersebut. Lebih lanjut, Elson juga (2009:18) mengungkapkan bahwa HOS Tjokroaminoto memaknai nasionalisme dalam cakupan simbol islam sebagai pengikat solidaritas masyarakat Indonesia saat itu. Atas konsepsi Islam inilah kemudian Tjokro dan sang istri mendidik para pendiri bangsa di rumah sederhananya di Surabaya. Bahkan, Soebagijo (1985:15) mengungkapkan bahwa Tjokroaminoto menulis berbagai karangan bukan hanya tentang keislaman tetapi juga semangat nasionalisme dan cinta tanah air melalui media Sareka Islam yakni Oetoesan Hindia.
Berangkat dari sejarah spekulatif bahwa dengan belajar sejarah yang mengkaji masa lalu untuk menemukan pola-pola yang umum maka dengan pola tersebut digunakan untuk memprediksi apa yang terjadi ke depannya. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan pendidikan dan sosial bangsa ini melalui gagasan seorang muslim taat bernama Tjokroaminoto. Hal itu membuat tulisan ini berfokus pada bagaimana latar belakang pemikiran pendidikan Tjokroaminoto, bagaimana pemikiran pendidikan Tjokroaminoto, bagaimana pemikirannya menginspirasi tokoh bangsa nantinya, dan apa yang dapat diungkapkan sebagai sarana solutif bagi permasalahan bangsa ini jika mengkaji gagasan dari Tjokroaminoto.
Latar Belakang Pemikiran Pendidikan HOS Tjokroaminoto
            Ketika Tjokroaminoto lahir di Desa Bakur, Madiun, Jawa Timur, 16 Agustus 1882, masyarakat Indonesia adalah masyarakat jajahan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah ini tidak bertanggung jawab pada rakyat tetapi hanya sebagai badan penyelenggara yang bekerja di bawah dan atas tanggung jawab pemerintah Belanda. Di tanah air ini hanya diadakan wali negara yang menyerahkan segala tugas dan kewajibannya pada Department van Algemeen Bestuur. Di daerah-daerah terdapat gouverneur yang menngepalai provincie, resident yang mengepalai residentie, dan assistent resident yang mengepalai afdelling. Semua kepala daerah tersebut orang Belanda dan orang bumiputera hanya menjadi bupati yang diawasi oleh controleur yang notabene orang Belanda (Muljono & Kutoyo, 1985:5).
Pada masa itu banyak terjadi diskriminasi antara orang Belanda, Cina, dan pribumi dalam segala aspek kehidupan. Bangsa kita saat itu disebut sebagai inlanders atau pribumi yang memiliki kedudukan sangat rendah sekali. Hal ini kecuali pribumi yang memiliki darah biru yang sedikit berada pada posisi yang baik. Sikap diskriminatif bahkan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Muljono & Kutoyo (1985:12) mengungkapkan bahwa terjadi pembedaan antara pribumi dan Belanda dalam hal karcis kereta api, ada beberapa karcis berwarna, karcis putih untuk golongan orang Belanda dan Cina dan karcis hijau untuk golongan pribumi yang ditambahkan tulisan voor inlandersyang berarti orang pribumi. Sikap diskriminatif ini juga terjadi dalam tempat pemandian yang biasa didatangi orang Belanda dan orang asing lainnya terdapat tulisan verboden voor inlanders yang berarti dilarang masuk bagi orang pribumi. Sikap diskriminatif ini juga terdapat dalam aspek pendidikan formal, bagi orang pribumi yang ingin masuk sekolah Belanda seperti HBS atau ELC harus memenuhi syarat yang berat yakni penghasilan orang tua dia atas 150 gulden dan bahasa yang dipakai adalah Bahasa Belanda. Hal ini berbeda dengan Tjokroaminoto yang masih  seorang keturunan bangsawan yang bergelar Raden Mas & berhasil mengecap ilmu pengetahuan di OSVIA (sekolah untuk calon pegawai bumiputera) (Soebagiyo, 1985:1)
Tjokroaminoto kemudian menjadi anggota Volksraad bersama Abdulmuis sehingga membuat anak-anaknya berhak bersekolah di Europese Lagere School, tetapi anaknya yakni Harsono juga mendapat diskriminasi dari murid yang berasal dari keturunan Belanda & guru ELS pada murid pribumi, mereka sering menghardik dengan sebutan Inlander (Soebagijo, 1985:5). Dalam menanamkan rasa superioritas pada anak-anak Belanda dan sebaliknya pada anak-anak pribumi, pemerintah melakukan dalam berbagai cara, salah satunya ialah dengan cara pendidikan serta pelajaran.
Muljono & Kutoyo (1985:16) mengungkapkan bahwa dalam bidang perekonomian, orang-orang mempunyai kedudukan yang makin kokoh sehingga pemerintah Hindia Belanda yang pada masa itu memerlukan banyak sekali uang, menyewakan tanah-tanah yang luas pada orang-orang yang nantinya disebut sebagai cukong tanah ini. Hal ini diperparah para bangsawan pribumipun ikut menyewakan tanah mereka yang berakibat banyak dari mereka yang jatuh miskin. Dengan demikian semakin sengsaralah rakyat bumiputera saat itu. Jangankan untuk mengenyam pendidikan formal yang layak, untuk sekedar menghirup udara kebebasan saja tidak puas.
Keadaan yang kacau balau ditambah dengan kesengsaraan rakyat ini membuat Tjokroaminoto begitu terinspirasi oleh tokoh wayang terutama terinspirasi oleh tokoh hanoman (Soebagijo, 1985:11) sebagai lambang perjuangannya membela bangsa dalam menghadapi penjajah atau penindasan belanda. Sebab dalam kisah ramayana, tokoh Hanoman melawan Dasamuka dan si angkara murkalah yang kalah. Dalam kasus ini Hanoman menjadi lambang rakyat tertindas sedangkan Dasamuka adalah kaum penjajah. Selain itu, Tjokroaminoto juga terinspirasi oleh Ahmadiyah Lahore (Soebagijo, 1985:25) yakni sebuah kelompok yang berusaha menyesuaikan ayat dengan keadaan sosial-budaya sebuah masyarakat karena itu kemudian dia menyalin kitab tafsir Maulana Ali dalam bahasa indonesia sehingga menurutnya lebih mudah dipahami oleh khalayak umum.
Pada awal abad ke-20 terjadi peristiwa penting dalam dunia Islam yang sedikit banyak juga berpengaruh pada pikiran Tjokroaminoto yakni gagasan ukhuwah islamiyah atau pan-islamisme. Hal inilah yang kemudian menginspirasinya dalam menemukan cara bagaimana menyejahterakan umat yakni dengan menggalang persatuan umat islam di seluruh daerah Nusantara. Dia kemudian menjadi ketua Sarekat Islam yang berdiri karena berlatar belakang hegemoni dari kaum Cina atas perekonomian Jawa. Islam jugalah yang kemudian menjadi ideologi penting dalam hidupnya termasuk nantinya dia menanamkan nafas islam dalam sekolah-sekolah SI yang dibangunnya.
Tjokroaminoto juga terinspirasi oleh seorang tokoh timur tengah pada dasawarsa kedua abad ke-20 yakni Mustafa Kemal Pasha. Isawati (2012:99) mendeskripsikan bahwa Mustafa kemal dapat merubah Turki yang sakit menjadi Turki yang modern melalui Kemalisme atau filsafat kemal yang menganjurkan bahwa kebahagiaan terletak dalam kemerdekaan hidup dan suatu bangsa tidak akan bahagia jika tidak merdeka. Seperti halnya Mustafa Kemal, Tjokroaminoto dalam membangun umatnya juga memakai tangan besi. Dia cenderung menggunakan segala cara untuk memenuhi ambisinya termasuk ketika menjungkalkan Samanhoedi (Tempo, 2011:77).
Pemikiran Pendidikan HOS Tjokroaminoto
Begitu nampak dalam perjalanan hidupnya bahwa Islam dipeluknya sebagai pedoman utama dalam berucap dan bertindak. Hal inipun diajarkannya pada anak dan pengikutnya bahwa hanya Islamlah yang dapat membawa kebahagiaan umat dan umat untuk menjadi seorang muslim yang seutuhnya maka harus dididik secara islami. Tempo (2011:28) menjelaskan bahwa pada tahun 1930-an banyak berdiri sekolah Tjokroaminoto yang dibangun cabang-cabang PSII di semua wilayah. Silabus dan kurikulumnya didasari oleh buku Tjokro yakni Moeslim Nationaal Onderwijs. Sekolah ini mengajarkan soal arti kemerdekaan, budi pekerti, ilmu umum, dan ilmu keislaman. Menurutnya asas-asas Islam sejalan dengan sosialisme dan demokrasi maka kaum muslimin harus dididik menjadi muslim sejati untuk mencapai cita-cita kemerdekaan umat.
Setidaknya terdapat 5 pemikiran utama Tjokroaminoto dalam mendidik umatnya yang semuanya berlandaskan pada nafas islami. Tjokroaminoto bukan hanya mengajarkan gagasannya secara lisan tetapi juga memperlihatkannya dalam kehidupannya (perilakunya). Inilah yang membuat anak kandung serta anak kosnya begitu kagum padanya. Sesuatu yang paling sulit dilakukan adalah menyamakan antara ucapan dan perilaku, memang manusia tiada yang sempurna tetapi Tjokroaminoto berusaha untuk mencapainya.
Gagasan pertamanya adalah menanamkan benih kemerdekaan dan benih demokrasi yang telah menjadi tanda kebesaran dan tanda perbedaan Umat Islam besar pada zaman dahulu. Tjokroaminoto memberikan pelajaran baik pada anaknya dan anak kosnya tentang arti kemerdekaan dan demokrasi yakni membela kebenaran dan berpihak pada rakyat serta hanya takut pada Allah SWT. Suatu ketika pernah anaknya yang baru lulus sekolah memberikan ijazah kelulusannya pada sang ayah tetapi bukan bangga atau senang, Tjokroaminoto kemudian dengan tegas malah merobeknya berkali-kali dan menegaskan pada anaknya bahwa lebih baik untuk menjadi abdi rakyat dengan membangun cabang SI. Anak kos Tjokroaminotopun pernah merasakan arti demokrasi yakni ketika Tjokroaminoto sedang berdiskusi dengan teman-temannya, mereka sering berbeda pendapat dalam memutuskan sesuatu sehingga kemudian diambil jalan tengahnya. Para anak kosnya ini biasanya hanya duduk mendengarkan dan mengamati saja. Tjokroaminoto memahami pentingnya rapat umum dan keberanian bicara buat menggalang massa. Di meja makan rumah Gang Peneleh, ilmu pergerakan modern ditularkan pada Alimin, Moeso, Sukarno, dan Kartosoewirjo.
Buah pikirannya yang kedua dengan menanamkan benih keberanian yang luhur, benih keikhlasan hati, kesetiaan dan kecintaan kepada yang benar (haq), yang telah menjadi tiap tabiat masyarakat Islam pada zaman dahulu. Tempo (2011:56) dengan gamblang memberi penjelasan bahwa Tjokroaminoto pernah akan dibunuh mertuanya dan rela menanggalkan pekerjaan serta gelar ningratnya karena ia merasa mertuanya ini begitu menghamba pada penjajah dan pikirannya sangat kolot. Nasib bangsa begitu buruk hal ini tidak kurang diakibatkan karena peran penjajah yang menyedot ribuan gulden setiap tahunnya. Maka tak salah jika kemudian sebutan mesiah dari tanah jawa atau Heru-Tjokro disematkan padanya.
Hasil gagasannya yang ketiga dan keempat ialah menanamkan benih peri kebatinan yang halus, keutamaan budi pekerti dan kebaikan perangai, dan kehidupan yang saleh, yang dulu telah menyebabkan orang Arab penduduk laut pasir itu menjadi bangsa tuan yang halus adat lembaganya dan menjadi penanam dan penyebar keadaban dan kesopanan. Tjokroaminoto dengan segala tulisannya menggambarkan bagaimana seseorang harus berperilaku setidaknya setiap muslim harus menjadi muslim yang seutuhnya yang merasuk hingga rasa dan jiwanya. Hal ini tergambar jelasn pada silabus dan kurikulum yang terjabarkan pada sekolah Tjokroaminoto di setiap cabang SI.
Gagasannya yang terakhir ialah menanamkan rasa kecintaan terhadap tanah tumpah darah dengan jalan mempelajari kultur dan adat istiadat bangsa sendiri. Tjokroaminoto seringkali dalam satu atau dua minggu sekali mengadakan latihan wayang orang bertempat tempat seni Panti Harsoyo bersama anak-anaknya & anak-anak pondokannya (Soebagijo, 1985:11). Tjokro gemar bermain gamelan dan menari dan Istrinya suka bermain piano, hal ini menular pada anaknya. Salah seorang anaknya Harsono bukan hanya meneladani kegemaran orang tuanya tersebut tetapi meneladani semangat patriotisme, cinta tanah air, dan sifat kesederhanaan, dan gemar membantu sesamanya. Harsono menyaksikan dengan mata kepala sendiri, meskipun orang tuanya menempati gedung yang luas namun sebagian dari ruangannya disediakan untuk menampung anak muda pelajar sedangkan kehidupan sendiri sehari-hari selalu tidak pernah berlebih-lebihan, serba apa adanya (Soebagijo, 1985:12). Harsono sering diajak dalam perjalanan ke desa-desa untuk menghadiri pertemuan-pertemuan Sarekat Islam. Awalnya Harsono tidak mengerti apa yang dilakukan ayahnya tetapi lama kelamaan ia mengerti apa yang dilakukan ayahnya tersebut dan secara otomatis tidak terasa timbul pula rasa kesadaran dalam batinnya; kesadaran cinta tanah air, kesadaran sebagai seorang muslim, kesadaran mengabdikan diri pada negara dan bangsa. Kesadaran untuk berkorban pada agama yang diyakini. Kesan terdalam Harsono pada ayahnya ketika ayahnya dalam memberikan nasihat pada anak-anaknya tidak menggunakan kata-kata tetapi lebih diutamakan pada contoh serta perbuatan yang baik.
Selain itu bagi Tjokroaminoto pendidikan Islam dilakukan pertama kali dengan mengaji untuk mendalami agama islam, bukan hanya sekedar membaca disertai ilmu tajwidnya tetapi juga memaknai setiap ayat dalam kehidupan sehari-hari. Tjokroaminoto juga seringkali mengawasi kemajuan putera-puterinya dalam mengaji dan menunggu mereka hingga selesai mengaji (Soebagijo, 1985:6).  
Tokoh-Tokoh yang Terinspirasi
Rumah Tjokroaminoto di Gang Peneleh Surabaya menjadi saksi bisu beberapa anak muda yang sedang menuntut ilmu dari seorang pemimpin SI. Banyak yang sekedar menyinggahi untuk berdialog tetapi ada juga yang tinggal bersamanya. Rambe (2008) mengungkapkan muridnya antara lain adalah Soekarno, Kartosuwiryo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Hamka, Alimin, dan Moeso. Dalam perkembangan nantinya mereka ini yang akan meneruskan perjuangan dalam membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan dengan cara dan ideologi yang berbeda-beda. Soekarno dengan kampiun nasionalis, Semaoen dan Moeso memilih komunis serta Kartosuwiryo menjadi pemimpin umum fundamentalis islam.
 Sikap Tjokroaminoto yang memberikan keteladanan bagi murid-muridnya inilah yang banyak menjadi inspirasi bagi muridnya. Tjokroaminoto cenderung sering membawa serta salah satu murid kesayangannya yakni Soekarno ketika dia sedang berpidato di depan umat Sarekat Islam yang sangat besar jumlahnya. Daras (2011:29) menggambarkan bagaimana seorang Soekarno sering belajar berpidato di depan kaca di dalam kamar yang pengap dan gelap. Di salah satu kamar kost milik Tjokroaminoto tersebut Soekarno berpidato secara berapi-api. Bagi orang yang pernah melihat gaya berpidato Tjokroaminoto selalu mengungkapkan bahwa gaya serta cara berpidato Soekarno mirip dengan Tjokroaminoto. Tinggi rendahnya suara, cara mengatur kalimat, dan menyusun kata, sangat menarik dan gampang dipahami oleh segenap pendengarnya, tidak peduli apakah dia orang awam, terpelajar, sarjana, tukang becak atau pedagang (Soebagijo, 1985:8). Selain itu beberapa murid Tjokroaminoto ternyata juga memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berpidato yang mempengaruhi massanya seperti Semaoen dan Moeso. Prasetyo (2008:198) menggambarkan bagaimana seorang Semaeon yang baru berusia 18 tahun dapat mempengaruhi Sarekat Pekerja untuk melakukan pemogokan melalui pidatonya dan Poeze (2011:14) mengungkapkan bahwa Moeso dikenal sebagai pembicara ulung walaupun tindak-tanduknya tidak formal.
Soebagijo (1985:10) menjelaskan sikap andap asor (rendah hati) Bung Karno diteladani dari Tjokro selain pemimpin umat yang tergabung dalam sarekat islam, singa mimbar, ahli pidato, orator ulung, juga dikenal sebagai seorang yang rendah hati, berendah hati, suka menolong, gemar berkorban untuk sesama. Soekarno merupakan anak emas Tjokro di rumah Gang Peneleh hampir setiap malam usai makan di saat banyak anak kos seusianya menonton televisi, dia duduk bersimpuh di dekat kaki Tjokro dan mendengarkan semua hal yang dilakukan Tjokro yang berakhir Tjokro memberikan banyak bukunya pada Soekarno (hal ini pula yang dilakukan oleh Semaoen walaupun akhirnya ia mengkritik tindakan sang mentor). Soekarno akhirnya memahami mengapa Tjokro mendirikan Sarekat Islam dan mengapa salah satu tamunya yakni Alimin bersusah payah menyatukan kaum buruh dan tani dalam perkumpulan-perkumpulan. Tjokro dengan sabar dan tekun menerangkan pentingnya aktivitas politik dan mencurahkan seluruh pengetahuannya tentang berbagai macam ideologi. Soekarno kemudian mengikuti jejak Tjokro dengan banyak menulis dengan nama samaran Bima di Oetoesan Hindia sehingga nantinya Soekarno berjuang melawan penjajah melalui gagasan dan tindakan.
Walaupun beberapa anak kosnya tidak begitu terpengaruh dengan pemikirannya yang condong pada sosialisme-islam dan terbukti mereka menemukan jalan pemikirannya sendiri, Soekarno dengan nasionalismenya dan Semaoen dengan sosialisme-komunisme tetapi kiranya hanya SM Kartosoewirjo yang memiliki kesamaan pemikiran. Kedunya hasil didikan sekolah Belanda sekuler dan pengetahuan islam mereka sama-sama didapat dari buku-buku berbahasa asing yang sebenarnya kurang ideal sebagai sumber belajar agama. Dalam perkembangan sejarah Indonesia, Kartosoewirjo inilah yang menjadi pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia rupanya terinspirasi oleh Tjokro, bukan hanya dia tahu segala aktivitas Tjokro karena ia menjadi sekretarisnya tetapi juga dia memiliki kesamaan ide seperti yang dijelaskan diatas. Dalam mengumpulkan Massa, Kartosoewirjo menirukan Tjokro dengan cara rajin mengadakan rapat umum untuk memantapkan gerakannya. Selain itu, sama halnya dengan Tjokro ia juga memadukan Islam dengan mistik (tasawuf bercampur kebatinan). Kartosoewirjo tahu betul Tjokro dielu-elukan massa karena dianggap sebagai juru selamat dalam ramalan jayabaya. Nantinya Kartosoewirjo menggunakan kharisma Tjokro dan mitos-mitos daerah untuk melegitimasikan dirinya sebagai imam yang memimpin rakyat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Penutup
Sebagaimana disampaikan Dala Mukti (2010) yang mengutip Amanat Alm HOS Tjokroaminoto kepada murid murid sekolah Jogjakarta, 24 Agustus 1925: “…..Anak-anakku semuanya, kalau kamu sudah dapat pendidikan Islam dan kalau kamu sudah sama dewasa, ditakdirkan Allah SWT yang maha luhur, kamu dijadikan orang tani, tentu kamu bisa mengerjakan pertanian secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi saudagar, jadilah saudagar secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi prajurit, jadilah prajurit menurut Islam; dan kalau kamu ditakdirkan menjadi senopati, jadilah senopati secara perintah Islam. Hingga dunia diatur sesuai dengan azas-azas Islam………..” dapatlah disimpulkan sebagai penutup tulisan ini bahwa Tjokroaminoto percaya jika seseorang dididik secara islami yang mengedepankan bukan hanya kepandaian akal tetapi juga kepekaan hati maka mereka tentu akan bahagia serta sejahtera dalam menjalani kehidupan ini.






















DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, H. 2010. Ekonomi dalam Pandangan H.O.S. Tjokroaminoto. Diakses tanggal 12 Juni 2012 dari http://harisahmad.blogspot.com/2010/05/ekonomi-dalam-pandangan-hos.html
Daras, R. 2011. Bung Karno Vs Kartosuwiryo: Membongkar Sumber Dana DI/TII. Depok: Imania
Elson, RE. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Isawati. 2012. Sejarah Timur Tengah 1 (Sejarah Asia Barat): Dari Peradaban Kuno Hingga Krisis Teluk. Yogyakarta: Ombak
Mukti, D. 2010. Tjokroaminoto dan Pendidikan: Moeslim Nationaal Onderwijs. Diakses tanggal 17 Juni 2012 dari http://tjokroaminoto.wordpress.com/
Muljana, S. 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid I. Yogyakarta: LKiS
Muljono & S. Kutoyo. 1983. Haji Saman Hudi. Jakarta: Depdikbud
Poeze, HA. 2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Pohan,RI. 2010. Pemikiran Politik H.O.S Tjokroaminoto Tentang Nasionalisme dan Sosialisme Yang Berdasarkan Islam. Skripsi Tidak Diterbitkan. Medan: FISIP USU
Prasetyo, E. 2008. Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!: Soekarno, Semaoen, & Moh. Natsir. Yogyakarta: Resist Book
Rambe, S. 2008. Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia
Scherer, SP. 1985. Keselarasan & Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: PT Sinar Harapan
Soebagijo. 1985. Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah. Jakarta: Gunung Agung
Soyomukti, N. 2009. Dari Surabaya Menuju Bahasa Persatuan. Harian Kompas Jatim, 23 Oktober 2009
Sumarno. 1992. Perjuangan bernegara demokrasi H.O.S. Tjokroaminto : Telaah historis pemikirannya dalam Pergerakan Nasional Sarekat Islam 1912-1934. Tesis Tidak Diterbitkan. Depok: FIB-UI
Tempo. 2011. Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►