Thursday, November 29, 2012

Bagian 23: Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

(bagian XXIII kupasan kedua dari paragraf lima dan enam dari esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi
Sastra-indonesia.com

Saya tidak tahu, wallahualam bissawab.Setelah diperjalankan dari Lamongan ke Jombang, Kediri, lalu berhenti di dataran bumi Reog Ponorogo, saya lanjutkan kini. Kenapa disebut ‘diperjalankan?’ Lantaran langkah kaki ini kehendaknya damai di tanah kelahiran, tapi air hayati menghempaskannya. Kurang lebih sebelum 5 April 2012, saya seakan menghadapi canangan nasib, namun setelahnya diringkus takdir besar berbeda. Mungkin ini ‘terapi’ tersingkapnya Kun Fayakun walau sekelumit. Di dalam periode tersebut, perangainya bisa dilihat bagian XX (4 Juni 2012), XXI (25 Juli 2012), XXII (14 Agustus 2012) serta sekarang.

Sisi lain, saya yang pengelana kurang pantas mengurai paparan penalaran, apalagi dengan buku tebal. Setelah diraba, sejenis terjadi sebab-akibat alam semesta. Tulisan senada bisa ditengok di sini http://sastra-indonesia.com/2009/06/bahasa-kausalitas-yang-rahmatan-lil-alamin/ Hukum kausalitas menaungi sepantulan dari kebuntuan para kritikus sastra yang tahu kejahiliaan dibiarkan, setanggul air tak mengalir merubah warnanya hingga pembusukan. Dan kegiatan inikah segerak menjebol tanggul angkuh guna dialirkan airnya, demi peroleh tenaga pelestarian nilai yang mempat? Maka terpancanglah pembangkit tenaga alamiah.

Atau seyogyanya kritikus pendukung Sutardji jua menghardik kesalahfatalan terjadi pada teksnya, tapi lantaran bungkam, sunnatullah diperjalankan. Saya tiba-tiba menulis kritik panjang lebar tak lebih sepantulan energi dari kritikus malas mengkritisi, sungkan menegur SCB jadi kebodohan kian tampak parah depan mata. Ini perihal ketersumbatan; banjir besar atau ribuan semut hitam kata-kata atas kehendak keseimbangan. Seombak memecahkan keheningan malam atau gerhana bulan dua kali teralami dalam tahun ini saksinya.

Saya yang bercita-cita jadi pelukis, karena cat mahal dan oleh pilihan sudah dimatangkan di tahun 1999, lantas meyakinkan diri menghadapkan jemari memegang pena menyetiai menulis. "Apakah saya penulis, penyair atau sastrawan?" Itu tidak penting, dan tak perlu membuat plakat depan rumah atau belakang nama semisal dokter gigi. Setidaknya saya tak sebarkan gosip, tekslah yang bicara. Umpama saudara tak paham, sekali lagi saya maklumi, karena membedakan ‘kata kerja’ dan ‘kata benda’ tak mampu, dalam kasus SCB menyoal Kun Fayakun yang diselewengkan?

Lansung saja, baca ulang kutipan saya; paragraf Aguk Irawan Mn bagian sebelum ini. Lalu masuk petuah Al-Ghazali: "Barang siapa yang hendak berbicara tafsir Al-Qur'an dan takwil hadits, pertama-tama wajib menguasai bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu i'rab, dan ilmu sharaf, karena ilmu bahasa merupakan tangga dan jembatan bagi semua ilmu. Barang siapa tidak menguasai ilmu bahasa, maka tidak akan berhasil memperoleh ilmu. Barang siapa hendak meningkatkan prestasinya, pertama-tama, hendaklah membentangkan jembatan, baru kemudian melintasinya. Ilmu bahasa adalah jembatan paling utama dan lintasan paling pokok. Pencari ilmu mesti mengetahui segenap hukum bahasa."

"Pemulaan ilmu bahasa adalah pengetahuan perangkatnya yaitu: kosakata atau muffradat (vocabulary), susunan kata kerja dan lainnya. Orang yang belajar bahasa Arab harus mempelajari syair-syair Arab. Syair-syair Arab yang pertama kali harus dipelajarinya adalah syair-syair jahiliah, karena syair-syair jahiliah itu akan membantu menghapus keraguan pada suatu makna kata." (Al-Risalah Al-Laduniyah, penerjemah M. Yaniyullah, terbitan Hikmah, cetakan II, Juli 2003).

Kutipan di atas sedikit banyak pembaca bisa merujuk bagian XVI yang memuat uraian alat baca (nahwu shorof) mengenai Kun Fayakun. Dan jumputan kedua saya tambahkan tulisan Imam Al-Ghazali di buku yang sama berikut ini:

"Ilmu itu zatnya sendiri sudah mulia tanpa harus memandang obyeknya. Termasuk ilmu sihir, zatnya sendiri mulia sekalipun batil. Hal ini dikarenakan ilmu itu merupakan kebalikan dari kebodohan. Kebodohan pasti disebabkan oleh terhalang /terdinding. Keterhalangan disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat kepada ketiadaan. Kebatilan dan ketersesatan berada pada posisi ini. Jika kebodohan masuk ke dalam hukum ketiadaan, maka ilmu masuk ke dalam hukum keberadaan. Tentunya keberadaan (ada) lebih baik dari ketiadaan. Hidayah, hak, dan cahaya, semuanya masuk pada level keberadaan."

Pengarang Kitab Ihya' 'Ulumuddin memperkuat landasannya berdasar Al-Qur'an, Surah al-Fathir (35), ayat 19. Setahu saya, banyak disertasi menganalisa ajaran Islam yang menghindari pengambilan ayat-ayat kitab suci, karena hal itu saklek tak terbantah. Lalu para guru besar menyarankan mencari rujukan lain, guna menyegarkan khasana dialektika. Namun rasanya saya curiga, mereka tak berani mengambil resiko di jalan ijtihat. Lebih parah menghindari lantaran kurang menguasai, terlebih akrab petuah para intelektual dari Barat sejenis. Padahal Al-Furqan kitab sucinya yang wajib dipercaya dalam meneliti soal kehidupan yang dilakoni, demi menggapai kejayaan akhirat.

"Keterhalangan disebabkan oleh diam, sedang diam itu lebih dekat kepada ketiadaan." Ingat SCB mengganti makna kata ‘Kun’ yang seharusnya ‘Jadilah’ dipandang sebagai ‘Jadi’ atau kata benda, lalu diulang-ulang demi meyakinkan ke pembaca bahwa jalurnya sudah tepat. Namun ternyata malah menyeru ke laluan kegelapan, lepas dari prosesi kerja. Mematung kayak puisi konkret atau sajak jahiliah pra-Islam di tanah suci Makkah yang ditempel di dinding Ka'bah. "...syair-syair jahiliah itu akan membantu menghapus keraguan pada suatu makna kata."Ingat pula perkataan paragrap kedua IK, esai yang saya kupas ini dan di ‘Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998’ "Puisi adalah alibi kata-kata." Maka inilah jawaban paragraf IK 5 dan 6. Saya berharap pembaca tak malas berbolak-balik mecernanya, demi peroleh keadaan sebenarnya!
***

Sebelum jauh saya tulis catatan perjalanan terlebih dulu. Saya diperjalankan kembali oleh laku hidup, dari Ponorogo ke Cabean, Jogjakarta, lalu malam kini berada di Watucongol, Muntilan, Magelang. Lintasan kali ini seakan menghimpun bulir-bulir renungan sepuluh tahunan lalu, yang berlalu tak terasa. Atau begitulah hayat diobang-ambing angin kesadaran, terkadang bayu keterlepasan atas hawa sejuk melenakan pun lain. Semua serentak menghimpun satuan waktu setali-temali luput terkadang menjerat langkah, naik-turun seair laut bergelombang. Dan yang terpahat sekarang, memberi pekerti di hari kemudian.

Terpetik ungkapan Al Imam Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Al Hamdaany dalam kitabnya "As Sab'iyyaatu fil Mawaa'idhil Barriyyat" yakni ‘Kuda diciptakan dari angin.’ Saya tidak sedang berkuda dalam setiap perjalanan, namun teringat itu, dan tertera petuah Al-Ghazali pada buku yang saya rujuk dimuka, yaitu ‘Badan bukanlah tempat ruh dan tempat hati, badan hanyalah alat ruh dan perangkat hati serta tunggangan jiwa.’ Ya, ruh serta hati saya sedang menunggangi tubuh dan diperjalankan searah hawa keganjilan. Takdir entah tiada tahu pasti ketika sudah berada di atas uap dari api tungku menyala-nyala. Air hayati dipanasi menaikkan uap menempel di kaca cermin berupa bintik-bintik bening tak terkira, nikmat patut disyukuri meski dalam gugusan suwong.

Begitu menggetarkan Al-Ghazali terus mewedaran ujarannya, ‘Kebodohan itu masuk dari kemestian jasmani, dan ilmu itu masuk dari kemestian jiwa.’ Yang berada atau diantara tulisan ini sejenis reaksi kimiawi jiwa memenuhi bebidang kajian, atau saya dalam pergumulan perasaan penalaran lembut. Mengolah bahan pertimbangan batin sebelum menempati ruang penentu, putusan dari kematangan sesudah dilakoni syarat-syarat untuk peroleh pengetahuan. Ialah perluasan kesadaran denyar cahaya, sepijar jantung gerakkan tubuh, sedang hati manaungi seawan mengembarai titian rindu. Pada gilirannya menjatuhkan bebulir hujan sejukkan pelataran, kemuncul kuncup kembang rindu bermekaran. Serbuk-serbuk menerangi seperasaan pertama, meski berkali-kali tiba waktunya. Ini mengingatkan Mbah Shalih:

Di antara murid Sunan Ampel, hanya Mbah Shalih punya peristiwa misteri; mengalami mati sembilan kali, sehingga kuburannya pun sembilan. Menurut riwayat, Mbah Shalih salah satu murid Sunan Ampel merangkap tukang sapu masjid. Pekerjaannya memuaskan Sunan Ampel dan semua orang, menyapu lantai masjid sangat bersih hingga yang sujud tanpa sajadah tak merasa ada debunya. Setelah Mbah Shalih wafat dan dimakamkan di muka masjid, baru terasa oleh Sunan Ampel serta orang banyak, yaitu tiada seorang pun mampu menyapu lantai masjid sebersih sapuannya. Lebih-lebih para santri tak bisa rutin menyapu, akibatnya keadaan masjid sering kotor. Melihat demikian, berucaplah Sunan Ampel, "Seandainya Mbah Shalih masih hidup, tentulah masjid ini menjadi bersih." Tiba-tiba di pengimaman nampak Mbah Shalih sedang menyapu, lantai masjid pun bersih kembali, semua orang keheranan melihat Mbah Shalih hidup kembali. Beberapa bulan kemudian wafat lagi, dan dimakamkan di sebelah timur berdampingan makamnya yang pertama. Sepeninggalnya kedua, keadaan masjid kotor lagi. Atas kekaromahan Sunan Ampel mengucapkan kata-kata sebagaimana dahulu, dengan ijin Allah Swt. Mbah Shalih hidup kedua kalinya. Demikian kejadiannya beberapa kali wafat dan hidup kembali. Sesudah kuburan Mbah Shalih genap delapan, Sunan Ampel tiba kewafatannya. Sepeninggal Sunan Ampel, Mbah Shalih pun wafat sehingga kuburannya sebanyak sembilan, kuburan akhir berada di ujung timur. (Kisah Wali Songo, disusun oleh Baidhowi Syamsuri, 1995 penerbit Apollo Surabaya).

Dalam karangan saya 'Kitab Para Malaikat'tertuang berikut, "Ia tak pernah menjatuhkan vonis kematian kedua kali, kecuali kau naik banding, serupa mati surinya pemegang sapu lidi di makam Ampel (II: I)." (Hukum-hukum Pecinta II: I - CXIII, terbitan PUstaka puJAngga, 2007). Membersihkan bidang perasaan, menyapu debu perjalanan demi khusyuknya pertemuan. Maka uraian lanjut saya menunggu kedatangannya, kehadiran inspirasi nan dinanti. Bekal tertanam kini, semoga menyeruak segetaran nasib menuruti peta sudah tertera jauh, sebelum saya hidup di bumi.
***

"Abu Mas'ud 'Uqbah bin Amrin al Anshari al Badri r.a. mengatakan; Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya, salah satu ucapan kenabian yang pertama yang diketahui oleh umat manusia adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu." (H.R. Bukhari). Hadits Riwayat dalam "Kitab Syarah Hadits Arba'in" karangan Al Imam Yahya bin Syaraf Al Nawawi, tersebut diperkuat Q.S. Fushshilat: 40, yakni bentuk larangan atau ancaman dipermanis, istilah Jawa-nya 'dibombong', semacam 'dipangku' dalam perkara akrasa Jawa berarti 'mematikan' pada kalimat "...apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah sekehendakmu."

Maaf, bagian ini tergambar kurang terkait langsung kajian, karena mengungkap catatan perjalanan, tetapi Insyaallah terpaut seirama gerak, lantaran teks saya tuangkan tak lebih cermin hati bergetar oleh cobaan menimpa. Dengan melayarkan jemari menjatuhkan pilihan demi mengisi reruang jiwa beserta nikmat tak terkira dari-Nya yang memberi wewaktu luas bersuntuk meskipun dalam kepayahan batin tengah didera musibah mengepung bak gulungan ombak menggelombang. Semogalah sampai ke pantai keyakinan; dambaan laku dari peneliti yang diombang-ambingkan hidup dalam percepatan imbang, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (Q.S. Al Qamar: 49).

Dari ayat tersebut, Al Nawawi mengurutkan ke hadits Nabi diriwayatkan Ibnu Abbas r.a., "Ketahuilah bahwa seandainya sekelompok orang bersepakat untuk memberikan manfaat kepadamu, maka tentu mereka tidak akan dapat memberikan kepadamu  manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Sebaliknya, manakala sekelompok orang bersepakat untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak akan dapat mecelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Pena untuk menulis, takdir telah diangkat dan lembaran-lembaran buku catatan takdir pun telah habis."
***

Setelah diiperjalankan dari Gunung Pring (Watucongol, Muntilan, Magelang), ke Cabean (Yogyakarta), ke Ngelipar (Gunung Kidul), diantar lima veteran ke Ponorogo, lalu ke Menturo (Jombang, ke makam ibunda Emha Ainun Nadjib; Hj. Chalimah yang meninggal pada tanggal 1 September 2012), kemudian ke Langitan (Tuban), ke Makam Sunan Drajad (Lamongan), menuju Pasuruan serta Ponorogo lagi, kini saya lanjutkan.
***

Mungkin lebih sebulanan tak teruskan di atas, selain dinding tebal menjulang persoalan menghadang juga berkali-kali menempa. Tepatnya sesuaikan hawa prosesi tulisan, guna tetap pada kesatuan, atau 'bendelan' dapat ditarik pengertian di hari kemudian. Anggap gaya seolah tak terkait ini pertemuan kebetulan saya ketengahkan, saudara membaca tentu berbeda esainya IK bertitel "Sastra Indonesia dan Saya, Sebuah Perjumpaan, Untuk Leo Kleden, Mengenang 23 Juni 1979." Sebenarnya saya tidak perlu repot menyoroti, hanya jika ada anggapan ceriwis atau bolehlah menebalkan keyakinan ke muka. Toh saya tak mengharuskan diterima, mungkin hanya 'maaf' yang terucap, jika saudara sayang tidak meneruskannya.

Ini kali agak malas, namun rindu berkata-kata. Boleh jadi raginya kumparan gugusan pandang terlewat, dan saya asyik mencengkeramai diri mengenai kebenaran teryakini, pun perihal patut digaris bawahi. Tulisan atau hidangan ini sisi lain terapi, jika ditengok beban menimpa, sejalan tulisan menyehatkan badan-jiwa. Setidaknya dengan kualitas yang ada bisa menjurus perampokan, tapi Alhamdulillah diri ini terhanyut ketampanan para pemikir, keuletan peletak dasar penalaran dari perwujudan wahyu sampai sihir. Sehingga disibukkan suara-suara kedalaman, lalu menganggap ringan hidup hanya untuk mencari keselamatan.

Kini 15 Dulkaidah 1945, Senen Pon menurut kalender Jawa, saya balik di Perumahan Patihan berbentuk aula menghadap ke utara, di depan terhampar lapangan selalu sunyi. Sebelah barat dan timur masing-masing tak ada lima puluh langkah bangunan masjid, keduanya tidak terlalu besar jika dibanding masjid-masjid di wilayah Pantura. Saya sedang tak banyak baca buku tetapi menyerapi bacaan telah lalu, serupa melilitkan benang-benang jiwa menghitung hati berkaca diri. Sesekali menghela nafas panjang kini berkeadaan pelahan, sepelan merasakan timbagan hampir mendekati seimbang.

Dalam ruangan luas, sebelah barat berderet buku-buku cetakan karya Bapak Sutejo, calon doktor penemu teori Etnosufistik pada disertasinya "Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto." Di atas deretan buku, lukisan karya Andry Deblenk dan Sugeng Ariyadi. Kadang ditemani kicauan beburung prenjak juga beburung lain bebas tidak terkurung sangkar bikinan manusia. Sebelah selatan letak saya tempati terbentang pesawahan menghijau meski musim kemarau, terbersitlah karena bagusnya pengairan di Ponorogo. Mungkin hanya di sini bisa tenangkan diri, setidaknya tak balik ke Tegalsari pun di Pesantren Joresan, lantaran jika lama di sana batin ini tertekan kenangan terdekat di hati.

Teman-teman lukis pun kawan-kawan penulis kerap datang di sebelah waktu sepi, seperti pagi ini serta pagi-pagi terlewat, pula malam-malam tanpa bayangan, sunyi mencekam, saya tenggelam dalam renungan laksana patung sendirian. Nyanyian bebacaanlah menghibur, ruh orang-orang dahulu mampir menyambangi,datang beraroma harum sejelas kedekatan diri keakraban pribadi mengenalnya. Lantas menjelma harmoni menemani tapak hidup mengudar pengertian senggang, serasa wewarna anyar kejadian peleburan di atas karakter pelbagai rupa drajat keadaannya.

Melodi ini rasanya berbekas pembacaan "Balada di Bukit Pasir Prahara" minggu lalu di kampus. Kini saatnya mengedarkan ingatan pada bebagian lalu, pula catatan ini demi menggenapi kisah. Jikalau ada mengira ini tegur sapa dangkal, maka meski terlambat; ‘Selamat datang wahai pengembara yang perluas kemungkinan terhampar rahmat-Nya bagi penempuh jalan kesunyian.’

Di bagian XVI saya sebut Kun Fayakunterdapat di penghujung Surat Yaasiin ayat 82, penghujung Surat An-Nahl ayat 40: "Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia." Dan "Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia."

Setelah menelusuri, ternyata ada di beberapa ayat pada surat lainnya dalam al-Qur'an,
Al Baqarah: 117 : "Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia."
Al An'aam: 73 : "Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui."
Al Mu'min: 68 : "Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia."
Maryam: 35 : "Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia."
Ali 'Imran: 47 : "Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia."
Ali 'Imran: 59 : "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah", maka jadilah dia."

Bayangkan, atau kata lain saya tak paham kaidah berbahasa, namun siapa tahu malah jadi masukan berharga di tempat berbeda? Dan bayangkan kata ‘Jadi’ kepunyaan SCB sebagai kata konjungsi (kata penggabung) dalam paragrafnya:

“Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hal 20).

“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11 Januari 2003, ‘Isyarat’ hal 22).

Pada beberapa kejadian, peristiwa dalam suatu nuansa, aura atau kurung letak tertentu, kata ‘jadi’ dalam kebahasaan Indonesia tidak berarti atau tidak otomatis bermakna ‘ada, wujud,’ tetapi kehadirannya sekadar ‘kata penghubung.’ Sisi lain wewarna perlambang dari kata-kata sama, namun berbeda makna serta berlainan fungsinya, yang tertemukan kadang kuatkan kalimat, menyamarkan pula mendangkalkan peristiwa diboyongnya. Di sini, tantangan sastrawan menyuntuki rupa terkandung sedalam bahasa yang dipunyai.

Maaf, saya agak geli lantaran seolah-olah guru bahasa, namun tak apa. Misalkan dalam kalimat ada kata ‘jadi’ yang tidak bernilai ‘ada, atau wujud’: “Sebab SCB berpendapat 'puisi adalah alibi kata-kata', jadi puisinya asal-asalan." Demikian contoh kata ‘jadi’ yang tidak dimaksudkan ‘wujud atau ada,’ namun sekadar ‘kata sambung.’ (Bunyi “puisi adalah alibi kata-kata” terdapat dalam esainya SCB, “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998,” pada Catatan Kebudayaan, Horison, XXXII/5/1998, dan buku “Isyarat,” kumpulan esai Sutadji Calzoum Bachri, IndonesiaTera, hal 14).

Sebelum rambahi soal, saya turunkan bayangan di papan kemungkinan. Di beberapa perkara kata ‘jadi’ yang tidak hanya bermakna ‘wujud atau ada,’ hampir setara kata konjungsi ‘maka,’ yang dipakai menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat, pun antar kalimat. Seperti: “Karena kedinginan, jadi memakai jaket,” dan “Sebab kehujanan, maka badannya menggigil." Ini bisa dikembangkan setampan penalaran pelakunya. Apakah termasuk sudah baku? Mengenai baku atau tak, diterima langsung pun tidak, saya serahkan ke pembaca. Setidaknya di sini menduduki perkara membuka perihal sudah berlaku yang masih dicurigai. Misal hanya mengikuti aturan saja, padahal lainnya berlari lincah pula melesat ke ujung setara dan lebih.

Kelenturan kata ‘jadi’ juga kekakuannya menampilkan tekanan kokoh, dibanding kata ‘maka’ yang sepintas melahirkan perangai hampir sama antara kalimat yang disambungnya atau sedikit imbang. Sedangkan kata ‘jadi’ menyerupai penghakiman terhadap peluang yang diketengahkan sebelumnya. Hukum ini berlaku lantaran kata ‘jadi’ sanggup memoles parasnya membentuk ‘kata’ tidak melempem, umpama ‘menjadi’ berbeda ‘makanya,’ itu pun dapat diserap ke tubuh ‘jadi,’ menjelma kata ‘jadinya.’

‘Kejadian’ ini. Nah, kata ‘kejadian’ pula berangkat dari kata ‘jadi,’ sedang kata kunjungsi ‘maka’ tidak sanggup menampilkan perihal demikian mewah. Kejadian tengah terunggah ini setidaknya sudah mewarnai juga mewabah di masyarakat, dan kerja penyair menggeluti nada irama menggelinjak pada ruh pencipaan karyanya. Tinggal menyadarinya luas, atau berpatokan nasib pada aturan senyatanya berselisih paham antara karya ilmiah atau tak, misalkan.

Bandingkan kata ‘makanya, olehnya, dengannya’ dengan ‘jadinya,’ yang seakan sudah meringkus peristiwa yang sedurungnya disampaikan. Inilah kelebihan sekaligus kekurangan kata ‘jadi.’ Mungkin, Sutardji termasuk penyair cerdas, namun kelewat batas menggulirkan perkara yang mencoba merombak kata ‘kun’ dari Kun Fayakun, dan ‘kun’ dimaknai ‘jadi.’ Padahal dalam kebahasaan Arab, kata ‘jadi’ ialah ‘kana’ bukan ‘kun.’ Soal ini saya kira ahli bahasa pendukungnya bisa jawab lebih lapang, andai saya keliru.

Apakah para pakar bahasa sudah merambahi kata ‘jadi’ yang disampaikan Sutardji? Saya tidak yakin, sebab hadirnya buku tipis saya yang sebelumnya dianggap ringan. Maka diri ini mensyukuri karena bisa berhadapan langsung meluas ke jangkauan yang tak sempat mereka pikir. Ini bola bekel memantul terbentur dinding karang, yang pasti keropos oleh desakan ombak berulang. Di waktu keheningan saya lihat bola tersebut bekerja, meski saya nyenyak tertidur pulas bersama tarian gelombang pemikiran yang selalu mengukir tahap kebenaran juga mengeroposkan jari-jari mitos kesusastraan yang ada.

Secara umum kata ‘maka’ sering digunakan bersamaan kata ‘jika,’ contoh "Jika ia datang, maka saya senang." Bandingkan, "Jika ia datang, jadi saya senang," dan "Jika ia datang, saya jadi senang." Tidakkah kata ‘jadi’ di sana begitu elok dapat ditaruh sebelum-sesudah kata ‘saya.’ Ini akan fatal kalau diganti, "Jika ia datang, saya maka senang," yang tampak lucu bin wagu!

Almarhum kritikus Umar Junus, lahir di Silungkang, Sumatera Barat, Indonesia 2 Mei 1934, meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal dan bulan sama kelahiran saya ‘8 Maret,’ namun di tahun 2010 kemarin. Junus menulis Sutardji (bukunya "Dari Peristiwa Ke Imajinasi, Wajah Sastra dan Budaya Indonesia," bagian 16: "Puisi Yang Mantra Di Indonesia: Suatu Interpretasi," Penerbit Gramedia, Cetakan 2, April 1985), mementingkan unsur bunyi daripada arti dalam puisi-puisi SCB, pun tak sempat mendedah keteledoran fatal pidato kebudayaan Mastera 2006 dan DKR 2000. Mungkin kata-kata “Jadi, lantas jadilah!”dan “Jadi maka jadilah!” Sutardji, dianggap memiliki kekuatan bunyi yang menyamai kata kerja dalam kata ‘jadi,’ maka alam susastra masih terselimuti pekabutan mitos paling pekat.

Junus seperti Dami, banyak mengusung referensi dari luar demi mendukung ‘keserampangan’ Sutadji, dengan abai atau menekan kekurangan manusiawi pada diri penyair diandalkan. Lewat menaikkan pamor menjulang kekaryaan SCB; seakan kehadirannya sangat berjasa untuk kemajuan sastra Tanah Air. Sekali lagi tengok siapa saja, apa pula bunyi jadi patokan, lalu bandingkan paham para tokoh lain yang terbukti telah menggerakkan nalar peradaban!

'Jika tak mementingkan arti, tapi bunyi,'maka contoh kata sambung atau penghubung, atau apa saja dapat saudara gandeng menerus, bolak-balik jempalitan tanpa harus repot mencari maknanya dari proton sampai neutron segala. Lewat kaca mata sederhana, para pendukung kekacauan itu semakin kacau. Dan kita tak peroleh apa-apa selain ketakjuban nalar tak berfaedah, sebab kerja daripada puisi sangatlah berbeda daripada bom atom misalnya!

Usah jauh mengkritisi kebesaran Chairil, Sutadji, tengok ‘kengawurannya’ jika ingin kedewasaan sejarah sastra Indonesia. Mengedepankan boroknya 'tinimbang' pamor bikinan pesona seolah-olah. Atau rasa-rasanya melebihi kupasan firman-firman-Nya, sehingga orang-orang seperti saya tidak hadir bersemangat beringas. Dan saudara layak mendapatkan jika masih berkutat pada kata-kata tanpa manfaat sesama, kecuali pentas sulapan depan mereka yang haus hiburan malam dengan tepuk tangan panjang.

Katanya, "mantra itu -sesuatu yang utuh, yang tak dapat dipahami melalui unsur pembentuknya,” dan – “sesuatu yang tak komunikatif dengan manusia, sehingga bersifat esoteris dan misterius, karena ditujukan kepada sesuatu yang gaib, merayunya, kemudian memerintahkannya untuk melayani kehendak yang mengucapkan mantra."Sayang, Junus tak banyak menebar contoh menerangkan, sambil membanding puisi-puisi Sutardji yang menurut saya terbesar sulapan. Bagaimana kita mempelajari 'yang tak dapat dipahami melalui unsur pembentuknya?' Tentu dengan misal dan saya telah nyatakan seperti perusakan Ka'bah di bagian lalu. Lantas dengan apa, para kritikus yang kini bertengger di singasana kekuasaan membetulkan dari kerusakan dalam memaknai Kun Fayakun, yang dilakukan sastrawan jempolannya?

Karena mereka menerangkan 'kemegahan' yang dikritisi, pantas pula pertahankan yang saya ajukan! Sehingga tak seperti ungkapan Junus sendiri, ‘indah kata dari rupa,’ atau indah berita dari kenyataannya. Sekali lagi saya suka penyair pula kritikus yang pandai menghipnotis dari dugaan ke realitas, dan yang kesadarannya terlambat jatuhlah kecewa. Di sini saya mensyukuri keterlambatan mengenal kritik sastra Indonesia. Karenanya berkewaspadaan bertingkat tidak langsung menelan mentah yang diterangkan para pendahulu tanpa curiga. Padahal kekritisan ialah suatu pertahanan dalam sebuah bangsa sedang krisis!

Jadi atau maka (sambil mengingat perkara sebelumnya) kita hanya mengenal ‘politik belah bamboo,’ mikul dhuwur, mendhem jero.’ Yang silap diabaikan, yang terlihat menguntungkan diperkarakan ke sidang pembaca. Lalu kapan terjadi pertaubatan besar-besar, kekacauan melebar, lebih tragis bungkam?!

Sesaat menopang puisi-mantra Sutadji, Junus sampai menuangkan kalimat, "Komunikasi bahasa pada bentuknya yang paling hakiki dilakukan dengan menggunakan bunyi bahasa." Bagi saya juga peneliti lawas, mantra tak lebih doa. Saya tidak memungkiri perwujudannya sejenis ‘komunikasi satu arah.’ Karena bagaimana pun doa tidak sekadar kata-kata, tapi adanya ruh hakikat yang disampikan ke hadirat Yang Kuasa. Kekuatannya tidak mementingkan bunyi yang tersampaikan saja, tetapi makna terkandung di kedalamannya.

Saya teringat ceramah Gus Najib -Denanyar, Kyai Ghofur pesantren Sunan Drajad, serta para kyai lain yang kisahkan dirinya bertemu kyai sepuh, lalu peroleh amalan berbahasa Arab (dari Al-Qur'an). Atau menceritakan kyai kampung dikala mengimami di mushola, yang dalam pembacaan doa-doa dalam sholat tidak fasih, namun Kyai Ghofur dan Gus Najib sangat segan kepadanya. Sebab bukan bunyi diutamakan (pengucapan bahasa Arabnya lebih kental logat Jawa), tetapi makna yang diresapi kyai sepuh sampai ke tulang sumsumnya keyakinan. Bukan bunyi bahasa yang hakiki, kesadaran terdalam dari suatu yang diucap itu menjadi penggerak dinaya mantra, doa.

Ada cerita lain terdengar dari guru saya sewaktu di bangku Ibtidaiyah; satu keluarga kota masuk kampung terpencil menikmati hari libur melepaskan penat melonggarkan benang-benang kesibukan di kepala. Keluarga itu tersesat oleh jalannya berlika-liku naik-turun gunung, bertanyalah mereka pada penduduk setempat akan jalan ke kota. Sebelum diberitahu, pemilik pondokan mempersilahkan tamunya nyeruput wedang, camilan serta makanan, sebagai tanda bahagia ada orang kota mampir ke rumahnya.

Kala menikmati suasana melegakan, orang kota melihat-lihat rumah bambu sederhana yang disinggahi. Pandangannya tertuju pada burung di dalam sangkar yang kicauannya merdu hingga terpikat. Orang kota dengan ringan ucap ingin membelinya, tapi tuan rumahnya keberatan. Singkat cerita si pemiliknya belum berkenan, entah oleh harga ditawar atau menanti kesepakatan anggota keluarga lain yang masih di ladang. Tetapi memperbolehkan memilikinya jikalau benar-benar suka, dengan syarat di hari minggu depannya. Lantas balik rombongan itu, sambil membayang minggu depan mempunyai burung yang diimpikan.

Pada hari ditentukan, orang kota beserta keluarganya ke kampung nan pernah diampiri. Sambil menyetir mobil, hati-pikirannya berbunga-bunga, karena kan menambah koleksi burung menghiasi rumahnya, yakni burung bagus bulu-bulunya dan indah kicauannya. Jalan dilewati kanan-kiri menghijau, menambah sedap senandung batinnya sumringah, sementara tuan rumah persiapkan masakan terlezat untuk tamunya. Antara yang datang pun menanti sama terjerat gulungan masa betapa mewah. Kabut turun pelahan laksanan kesopanan gadis sedari titian panjang sehabis mandi di sendang. Kembang bermekaran menebari pesona, halus disapa kerlingan mata, penciuman santun sebelum memetiknya.

Sampailah perjumpaan dinanti. Tuan rumah persilahkan tamunya menikmati hidangan yang disuguhkan. Selepas itu orang kota bertanya mengenai burung di minggu kemarin yang diimpi jadi kepunyaannya. Semenjak datang sampai habis makanan, dirinya tidak tenang, karena burung pernah dilihatnya sering berkicau. Dalam pikirannya, burung tersebut ditaruh di belakang rumah atau sudah dipersiapkan untuk dibawanya pulang. Namun apakah yang terjadi?

Dengan tenang si pemilik burung bercerita kalau makanan yang dihidangkan barusan ialah burung kemarin yang ditanyakan. Kagetlah orang kota seakan-akan tidak percaya kejadian teralami. Ia kecewa berat, menyesali ‘kebodohan’ (keluguan) orang desa yang ditemui, sehingga mukanya murung berat menerima realitas yang menimpanya. Orang kampung mengira orang kota kembali karena masakan yang pernah disediakan minggu kemarin, lantaran waktu itu jua memasak daging burung. Sementara orang kota datang sebab terpikat kicauan serta paras ayu bulu-bulu melekat pada burungnya.

Saat cerita di atas dihubungkan kritikus DJ (Dami dan Junus). Yang satu menekankan penelitian ke suara, satunya bentuk puisi SCB. Junus lebih condong bahwa terpenting dari puisi-mantra ialah bunyi bahasa, dan Dami ke perwujudannya, jadi mendekatkan kajiannya ke bentuk puisi konkret. Keduanya sama tak peroleh apa-apa yakni kecewa! Saya teringat tulisan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang bertitel ‘Islam Kaset dan Kebisingannya,’Tempo, 20 Februari 1982. Atau putar saja rekaman kicauan burung tanpa harus memeliharanya!

Lebih jauh huruf-huruf Abjad, Latin, Sansekerta, Hijaiyah, Ibrani, Yunani, Rusia, Kanji, Jepang, Jawa &st… mengalami perpecahan atau mengaliri anak-anak sungai berbeda. Berasal dari akar kepahaman atas nenek moyangnya yang menghiasi dinding-dinding goa tempatnya dulu sembunyi dari binatang buas. Di lembaran lontar, pahatan-ukiran kayu, relief di bebatuan, dan tersebar di ingatan manusia senantiasa mengalami prosesi kebermaknaan pada kulit (coraknya) juga isi (artinya). Oleh merawat kesadaran bersama demi mencapai komunikasi seimbang sampai menanggulangi selisih pendapat, paham yang bisa berujung tajamnya tombak peperangan.

Tenunan pemaknaan lebih diutamakan daripada bunyi, seumpama bebangsa tersebar di seluruh dunia ialah spesies beburung berkicau, maka keselarasannya di dalam belantara pemahaman. Demikian bahasa mantra menempati bilik sunyi di ruang kebahasaan itu, yang kehadirannya dapat dimaknai bagi benar-benar memperdalam menyinauhi. Maka hanya peneliti tanggung melihat bentuk pula bunyiannya saja? Analogi ini menjawab kritikus DJ yang tak merunut ke muasal mata air aksara-akrasa dikajinya. Yang di sana kehadiran maknanya bisa dimengerti secara sadar sebagai kelanjutan perjalanan panjang anak-anak manusia, bukan sejenis beralibi sebangsanya!

Perkara penelusuran sampai satuan huruf di antaranya bisa dibaca ulang bagian XVI pada karya Ibnu ‘Arabi, atau lihat kekaryaan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, al-Hallaj. Pula karya-karya para mufassir, pensyarah, penakwil, ahli bidang perbintangan sampai rajah. Di sinilah nafas-nafas permenungan, penghayatan bertemu keseimbangan antara mereka, yang memunculkan hukum tertentu bagi syarat lakunya. Di samping pengujian dari pelbagai penganalisaan, yang membentuk kaidah umum untuk generasi setelahnya.

26 Oktober 2012, Jum'at Sukra Masehi,
10 Besar 1945, Jemuwah Pon Jawa,
10 Dzul Hijjah 1433 Hijriah,
Ponorogo – Lamongan, Tanah Jawa.

Sunday, November 18, 2012

Mendiagnosa Kritik Sastra Mutakhir

Hasnan Bachtiar *
Sastra-indonesia.com

“Don, adone djongkong, djongkong ijo godonge senthe. Ati-ati riko nompo omong, omong manis mesti katute.”

Potongan syair manis di atas didapat dari “kumpulan” lagu-lagu Osing yang bertajuk “Podho Nginang.” Penulis hanya terlupa siapa pengarang “asli” syair tersebut. Terjemahanan bebasnya kurang lebih, “Adonan kue djongkong, kue djongkong hijau itu terbalut daun senthe. Hati-hati kita semua menerima perkataan, perkataan manis pastilah membuai.” Perlu diketahui bahwa, artikulasi sastrawi ini memiliki makna yang terpaut erat dengan persoalan politik, verifikasi ilmiah dan kejujuran intelektual. Karena itulah, sepanjang tulisan ini secara lugas akan membahas tentang persoalan sastra dan kejujuran intelektual.

Tulisan ini merupakan kritik. Kritik yang dimaksud, adalah kritik sastra sekaligus kritik pemikiran dan filsafat. Fokus pembicaraan yang diajukan, menyangkut teks yang bertajuk, “Sastra Versi Iklan Kecap Indonesia” (2012) yang ditulis oleh kritikus Nurel Javissyarqi. Meskipun demikian, untuk kelengkapan bahan kritik, disertakan pula pemikiran-pemikiran dari Dami N. Toda, A. Teeuw, Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri, sebagai wacana utama.

Konsepsi kritik ini memanfaatkan analisis multidisipliner, khususnya ilmu-ilmu dalam disiplin humaniora. Untuk mempermudah analisis, maka penulis mencoba menjadikan segala bentuk teks dan pemikiran sebagai bagian dari wacana (discourse). Kendati demikian, tulisan ini murni interpretasi terhadap teks-teks kritik dan sastra, maupun pemikiran yang terhampar di hadapan penulis. Karena itu sejak awal, menghendaki segala permakluman atas perbedaan-perbedaan pandangan menyangkut gagasan yang diajukan. Persoalan pokok yang menjadi tema utama adalah, “Apa itu kritik sastra mutakhir?”

Apa itu kritik sastra mutakhir? 

Sesungguhnya tidak ada yang paling “mutakhir” dalam gagasan kemutakhiran yang ditawarkan. Bahkan secara filsafati, ide “mutakhir” adalah cacat yang tampak di permukaan. Inilah pijakan awal tatkala membincang setiap pembakuan ide tertentu.

Pelbagai istilah operasional dalam pemikiran, hanyalah alat yang membantu manusia untuk mempermudah dalam menganalisis. Meskipun dalam pelbagai aspek, kerapkali menggunakan konsepsi filsafati tersebut dengan cara yang berbeda. Mungkin benar, salah satu penyebabnya adalah keberbedaan penafsiran (multi-interpretif) di antara para penulis. Belum lagi bahwa, konstruksi sosial dan kebudayaan turut menambah bobot keberbedaan tersebut. Secara lebih jauh dalam psikoanalisa, dimensi biologis yang paling natural dari manusia (id), emosi-hasrat yang paling pribadi (ego) dan penghayatan individual akan kehidupan (super ego), membentuk adanya kepastian pluralisme daya dalam interaksi di antara subyek-subyek. Ini pembicaraan horisontal.

Sementara dalam ruang vertikal, yang materiil dan yang ideal (manusia dan alam), dilengkapi oleh struktur hidup yang disebut dengan istilah “waktu”. Dalam buku Essai sur les données immédiates de la conscience yang ditulis oleh Henry Bergson, telah dipertimbangkan hadirnya ide durée yang dalam bahasa Indonesia, kurang lebih bermakna “lamanya” atau waktu yang psikis. Secara eksistensial, waktu ini yang ambigu ini memang ada dan hadir. Persoalannya, dapatkah istilah “mutakhir” yang memiliki kata dasar “akhir” yang bermakna purna, ter-kini, terikat oleh waktu yang paling sekarang, benar-benar menjumpai eksistensinya yang hakiki?

Sebelum para ilmuwan eksistensialis seperti Heidegger, Jaspers dan Kierkegaard terlibat dalam diskusi dalam mimbar akademik, Gabriel Marcel dalam karangannya yang berjudul Position et approches concrètes du mystère ontologique (1933) telah menegaskan adanya keunikan persoalan kehadiran ini. Kira-kira mirip seperti Bergson, hanya manusia yang insyaf dan menyadari-lah yang memahami waktu kaitannya dengan ketidakmungkinan yang paling pasti untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan kekinian dan kedisinian.

Sampai di sini, berarti ada dua gagasan menyangkut waktu. Pertama, waktu mengada sebagai dirinya sendiri (being in itself), sedangkan yang kedua, waktu hadir dalam benak kesadaran kemanusiaan atau menjadi hal yang fenomenal (terra in cognita). Kedua hal ini menjadi pembicaraan khas dalam metafisika. Seperti misalnya, perbedaan istilah science dan knowledge dalam bahasa Inggris, atau ilmu dan pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Bila dihubungkan dengan hakikat “kebenaran” sebagai suatu hal yang senantiasa dicari, maka science (ilmu) itu mengada, sementara knowledge (pengetahuan) menyaratkan adanya dimensi kesadaran agar hadir di tengah-tengah cogito manusia. Bila yang pertama sudah dalam kodratnya sebagai hal yang metafisis, sedangkan yang kedua, memiliki potensi tergambar dalam ruang metafisika tatkala manusia mencoba mencandra apa yang dimaksud dengan “kebenaran” yang hendak diketahui.

Persoalan ini terangkum secara jernih dalam catatan Husserl sebagai tokoh fenomenologi dan Sartre sebagai pemikir eksistensialis. Mengikuti struktur filosofis dalam buku Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie (1913) yang ditulis oleh Husserl, maka “waktu” itu sendirilah selaksa mentari yang bersinar menyinari semesta yang penuh harap akan terang dunia. Hakikat tentang waktu akan sampai kepada manusia, bila manusia berlapang dada untuk mengetuk dan membuka pintu “ego transendental”, sehingga ketidakmungkinan mengisi ruang-ruang kemungkinan dalam ruang batin intelegensia. Tampillah kemudian apa yang dimaksud dengan visualisasi tentang waktu (Vergegenwärtigung). Membenarkan kesadaran akan waktu dengan cara yang berbeda, Sartre dalam L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943) berpendapat bahwa, sesungguhnya penyebutan akan kebenaran waktu itu sama halnya dengan mengatakan keberadaan diri kita sendiri. Waktu itu hadir, hanya untuk “diidamkan” bahwa hal itu benar-benar hadir dalam diri (waktu) itu sendiri. Karena kehadirannya diinginkan, maka “atas ketidakmampuan manusia” sebenarnya itulah “tindakan kreatif” oleh setiap penulis sendiri (être pour soi). Inilah kesenyapan metafisika, yang senantiasa menjadi misteri.

Sementara dari sini, belum ada satu pun yang sedemikian gegabah mengatakan bahwa metafisika benar-benar diketahui, dikuasi atau sebaliknya, metafisika dihancurkan sejak dalam hakikatnya. Nietzsche berpendapat bahwa atas segala kekurangan manusia inilah, semestinya kita menaruh hormat atas fenomena nihilisme. Bukan berarti semua kebebasan diperkenankan, namun secara arogan menisbatkan diri sebagai satu-satunya pemangku kebenaran, bukanlah contoh yang dapat dipercaya, bahkan itu berarti, mempertontonkan keruntuhan gagasan yang sejak awal salah. Sekali lagi, apapun itu, pembakuan bukanlah hal yang dapat diterima. Dengan mengapresiasi gagasan ini, Michel Foucault dan Derrida secara konsisten menerapkan dalam karya-karya filsafatnya.

Kendati demikian, kerap kali ditemukan beberapa kesalahan pembacaan di antara para ilmuwan yang gagal memahami nihilisme dan dekadensi Nietzsche, kuasa, seni dan dekadensi Foucault, serta metafisika, logosentrisme dan dekonstruksi Derrida. Resiko bahwa semua manusia niscaya tidak sempurna, dekaden, selalu ingin berkuasa, tidak sepenuhnya menangkap metafisika, meninggikan bahasa lisan, memanfaatkan bahasa tulis dan sebaliknya, secara misterius, manusia sekaligus memiliki kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk bersikap kritis, termasuk kepada dirinya sendiri. Semoga pembaca memiliki toleransi yang tinggi dan menyadari sepenuhnya bahwa setiap pembakuan, justru menunjukkan cela diri.

Dalam konteks filosofis ini, kritikus yang mempromosikan beberapa nama-nama asing dalam khazanah kritik sastra Indonesia, tentu memiliki haknya untuk mendapatkan toleransi tersebut. Hanya masalahnya, secara tidak sadar mungkin, ketika memperkenalkan nama Roland Barthes misalnya, ia sengaja melupakan segala gagasan cemerlang Barthes. Salah satu yang paling menonjol adalah penemuan tentang Le degré zéro de l’écriture (1953). Peneliti mitos ini hendak mengumumkan langkah yang arif untuk melepas segala tendensi ideologis ketika memulai menulis suatu karya. Tentu saja ini hal yang mustahil. Bahkan, seorang filsuf sosial Jerman, Karl Mannheim dalam “Ideologische und soziologische Interpretation der geistigen Gebilde” (Jahrbuch für Soziologie, 1i, 1926) menganggap tidak pernah ada netralitas. Semua pengarang tentu saja utopis ketika menulis pengetahuan tertentu, tidak terkecuali Barthes dan Teeuw. Kendati demikian, sangat perlu dimaklumi sekiranya ada promosi kearifan oleh Barthes yang disampaikan secara kurang arif oleh komentatornya,

“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman.” (Kumpulan esai A. Teeuw, “Membaca dan Menilai Sastra,” 1983).

Belum lagi bahwa Roland Barthes pernah mengajukan ide “kematian pengarang”. Dalam karya L’empire des signes (1970) dengan penuh kehati-hatian, Barthes mengingatkan kepada setiap penafsir bahwa, tidak ada tafsir yang paling baku di mana pun. Seolah ingin mengungkap bahwa, kita ini adalah manusia-manusia yang papa, bukan Tuhan. Sayangnya, penetapan adanya “teori mutakhir” yang seolah meninggikan gagasan Barthesian, justru tersaji secara diluar dugaan. Kata-kata, “Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal… Akibatnya, …sering ketinggalan zaman” menunjukkan betapa kita harus memaklumi adanya alpa terhadap gagasan yang merasa tinggi, sekaligus mencoba merendahkan yang lain.

Implikasi diskursif ini tentu saja menghampiri beberapa pemikiran sastra lainnya. Aliran dekonstruksionisme sastra mantra Sutardjian kiranya perlu dipertimbangkan lagi bila hendak disebut sebagai sastra mutakhir. Arif Budi Wuriyanto (2012) dalam salah satu sesi kuliahnya menyampaikan bahwa, Sutardji dengan mantranya, mengidamkan gerak kembali kepada semesta, kembali kepada alam dan asal-muasal kelahirannya, sebelum makhluk. Tandasnya, itulah bentuk syukur yang diekspresikan melalui lantunan sajak-sajak yang tidak berpola, murni dan bebas. Dengan demikian, segala kekayaan dalam karya “O Amuk Kapak” (1981) adalah kesadaran akan kepapaan yang sangat manusiawi. Dengan kata lain, itulah cara Sutardji memahami diri dan Tuhannya dengan sangat religius. Hanya saja, sekali lagi, ketika pembakuan terjadi atau ada praktik kategorisasi terhadap gagasan tertentu, termasuk pengukuhan “dekonstruksionisme” berarti, ia tak lebih dari sekedar penyelewengan sastra mantra Sutardji itu sendiri. Anehnya, barangkali hal ini terjadi juga dalam teks kritik, “Isyarat: Kumpulan Esai” (2007) yang “selesai” ditulis oleh Sutardji. Ada kondisi di mana Sutardji sebagai penyair dan kritikus sastra. Dalam kompleksitas ini, Ignas Kleden sebagai kritikus Sutardjian, belum secara detil mengamati peluang-peluang cela atas gagasannya sendiri.

Kiranya tidak terlalu salah bila penulis menyebut bahwa, ke-“mutakhir”-an hanyalah angan-angan belaka. Keputusan ini menuntut para kritikus untuk memeriksa pemikiran-pemikiran sastra di sepanjang sejarah bangsa ini. Persoalannya, pembacaan akan dilakukan terhadap substansi pemikiran (epistemé) yang paling pelik sejak zaman dahulu, ataukah keragaman pemikiran berdasarkan waktu yang paling menginjak kesekarangan? Misalnya saja, apakah pemikiran sastra W.S. Rendra sudah cukup mutakhir, ataukah sebagai karya sastra yang usang?

Di titik inilah kiranya, kita justru harus mengapresiasi kerja keras A. Teeuw, Sutardji dan Ignas Kleden. Pasalnya, dengan menghadapi tantangan-tantangan pemikiran yang sangat segar, akan melatih setiap kritikus untuk lebih bersungguh dalam membaca sekaligus mengasah kearifan yang dimiliki. Di lain pihak, Nurel Javissyarqi yang terus-menerus berkarya dan konsisten dengan pendiriannya, dalam posisinya sebagai kritikus telah mengajarkan ketajaman kritik. Dalam buku “Trilogi Kesadaran” (2006), Nurel sudah sedemikian gencar melancarkan kritik-kritik yang berbobot terhadap konservatisme pemikiran sastra. Dogmatisme, baik dalam sastra klasik (sastra daerah), maupun sastra kontemporer, bukanlah hal yang perlu untuk dibanggakan. Begitu pula pada bentuk konservatisme lainnya seperti nativisme, estetisme, narsisme, dekonstruksionisme dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, penulis mengajukan bahwa gagasan “kritik sastra mutakhir” itu bermasalah. Karena itu, kendati manusia tidak pernah lepas dari masalah, seorang kritikus yang baik tidak akan mudah terpukau oleh komentar atau kritik yang manis begitu saja (omong manis mesti katute). Sebaliknya, ia juga akan bersikap dewasa ketika menghadapi kritik tajam, karena jiwanya yang kokoh. Tulisan ini hanyalah sekedar diagnosa (verifikasi ilmiah) terhadap pemikiran sastra dan kritik sastra, yang berusaha dengan segenap hati untuk jujur secara intelektual, tanpa “katut” (turut, semena-mena) pada istilah-istilah yang membuai seperti “mutakhir” dan lain sebagainya. Dengan demikian, silahkan membaca karya sastra apa pun, dari mana pun, termasuk Serat-Serat Ronggowarsito atau puisi-puisi Eropa kontemporer tanpa rasa sungkan dan khawatir.[]

*) Hasnan Bachtiar, Peneliti filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/11/mendiagnosa-kritik-sastra-mutakhir/

Saturday, November 17, 2012


MARX, NIETZSCHE, & IDEA OF HISTORY

Daya NegriWijaya
University of Sunderland, UK


Professional historian will agree that history is difficult to define. The word “history” is in fact used to mean different things; not only past events, but also the methods that are used to discover what they were and what has been written about them (Sturley, 1969, p.1). It is believed that history is a future in medieval European era because history is used to teach people in order to have basic understanding of their religion. Mankind compete to have many merits from god and tend to obey the rule of church as the hand of god before the judgment day to heaven and hell. In this era, religion determined all aspect of life not only the throne of kingdom but also the man’s way of thinking, such as the church believed that the world was flat and people tended to obey this rule, if they disobeyed the rule, they placed to the hell. The dogma of church had determined human consciousness. People ignored their life and felt useless. It made crowded and the church used this circumstances for their importance just like indulgences practices. The sense of humanity appeared because of this chaos. There were some great men introduced this idea to the world, both of them were Karl Marx and Friedrich Nietzsche. They believed that human was the centre of everything and their attempt of it, called modernity (Childs, 2000, P.16).
Modern man believed that history was the human activities of past, just like Marx, he learned history to have the archetypal of the past event and predict the future. Hence, Nietzsche argued that people tend to remember and forget in the best time. He believed that people should take good things of history and did not repeat their mistakes to be better in the future. However, R.G. Collingwood (1989) & P. Gardiner (ed. 1959) have studied the idea of history from the time of Herodotus till present day but it was a little information about Marx’s perspective and Nietzsche’s idea remain unstudied. The lack of such information represents a gap in our knowledge of history idea. Although both of two men are not historian but it is so interesting to elaborate both of their Marx’s & Nietzsche’s views of history especially in term of meaning, approach, and goal of history.

This study tends to use history of ideas approach that is revealed the emergence and the end of ideas in changes (Gordon, n.d). Furthermore, the founding father of history of ideas, Arthur O. Lovejoy (1940) introduced history of ideas as unit-ideas which was explaining the stable mind and the task of historian was to explore the emergence and the end of ideas historically. The unit ideas of Lovejoy’s concept was concerned were of many varieties. In one listing he mentioned: “types of categories, thoughts concerning particular aspects of common experience, implicit or explicit presuppositions, sacred formulas and catchwords, specific philosophic theorems, or the larger hypotheses, generalizations or methodological assumptions of various sciences” (Mandelbaum, 1983, p.199). But, the unit-ideas had a critic from Quentin Skinner (1969) who argued the history of ideas should be emphasizing on cultural context in text that was the medium of ideas which was elaborated comprehensively. The author will conceive all of approaches to have a good understanding of history ideas in Marx & Nietzsche perspectives.
Karl Marx who the famous thinker from modern age was a brilliant thought of economy, politics, philosophy, and history. He proved that history was not a rival of philosophy or political science but it’s a house in which they dwell. It was the cement that holds together all the studies relating to the nature and achievement of man (Sturley, 1969, p.7). He was inspired by GWF Hegel, who was well known with the idiom of professor from the other professors, in term of dialectical and speculative history. But, he did not follow Hegel’s perspective of dialectics because in his observations, there were a lot of social beings especially capitalism and economical activities influence the consciousness of man. He was really against capitalism and tended to give solution to make prosperous society in term of communism through speculative history. He read a lot of books and learned that how the past composed the present and the future of society. He found the archetypal development of society from the ancient time which had a character of communalism to at present day with capitalism and his finding was sovereignty of economy explained the mode of production of material life influenced the process of social, political, and intellectual life. It means it is not consciousness of men that determines their existence, but their social existence that determines their consciousness (Elley, 2003, p.63). It can be argued that Marx’s thought of history is changes and the main change is economy especially forces of production and its relations. Furthermore, Singer (2000, p.57) pointed that Marx saw history as the progress of the real nature of human beings satisfying their wants and exerting their control over nature by their productive activities.
Deeply, there are two cores theory of Marx on dialectical materialism and historical materialism. Furthermore, Sturley (1969, p.28) explained that dialectical materialism was the concept, which was derived from Hegel, explaining every idea or thesis having a clash with another idea or antithesis and out of the conflict between them a new synthesis will arise, so on. Marx criticized Hegel’s idea that it is not ideas or spirit but also the production of the means to support life which provides the key to an understanding of history. For Marxist the main motor of change under capitalism was class conflict. Such conflict was considered to be structural and endemic, a permanent and irreducible feature of social life under capitalism, based in the unavoidable antagonism of mutually incompatible, collectively organized class interests (Eley, 2003, p.66). Marx also described the stages in development of society which was influenced by forces of production or economic activity, called historical materialism; the fifth stages consisted of (1) primitive, communal society; (2) slave-owning society; (3) feudal society; (4) capitalist society; and (5) socialist, leading to a communist society, which would complete the cycle and the dialectical process (Sturley, 1969, p.29). Eley (2003, p.65) explained that in the scheme of history, human society advanced from lower to higher stages of development, demonstrating ever-greater complexity in the form of organization of economic life and making possible the eventual replacement of material scarcity by material abundance. The primary context for this thinking was the urban-industrial transformation of European society directly observed by Marx.
It can be clearly seen that the goal of history in Marx’s perspective is socialism, when the productive forces the state will be adequate to provide a good life for everyone, society will be classless, there will be no exploitation of man by man and their needs will prevail. Hence, Singer (2000, p.56) stated that Marx’s idea of the goal of world history was different from Hegel’s view. He replaced the liberation of mind by the liberation of real human beings. The development of mind through various forms of consciousness to final self-knowledge was replaced by the development of human productive forces. The way is to have a good history which can predict the future; it needs an approach to learn history effectively. Eley (2003, p.65) described two majors of Marx’s thought in approaches to history: its progressivism theory of history based on ascending base and superstructure model of social causality; and its ascription of meaningful historical change to the conflicting interests and collective agency of social classes and its sense of itself as a science of society.
First, economical structure of society was in conditioning everything else, including the possible forms of politics and law, institutional development, and of social consciousness and belief. The commonest expression for this determining relationship was the architectural language of base and superstructure (Eley, 2003, p.66). The base & superstructure is an analogy explaining particular between determinations of x (superstructure) by y (society’s relations of production). Base is not society’s most basic element but Marx refers to the totality of the relations of production, the economic structure, as society’s foundation and superstructure is everything relate to society such as class formation, ideological structure, cultural structure, law, and politics. The clearly explanation of the relationship can be described in French Revolution which marked the victory of bourgeois over the feudal. Bourgeois revolutions as the political recognition of prior changes in society’s relations of production: the new bourgeois society which rests on entirely different foundation (from feudalism to capitalism) and on a new mode of production, had to seize power for itself; it had to snatch this power from the hands those who represented the foundering society, hence Revolution (Rigby, 1987, p.180). However, Marx was not a historian but he was really success to influence modern historiography and he proposed economic history as an approach to understand the past.  Economic history is one province of history concerned with the material underpinnings of human existence: how people make their livings, how food and goods are produced and distributed, and the sorts of societies, ways of life and institutions that different regime of production and consumption support or encourage (Hudson, 2003, p.223). Hudson (2003, p.225) also described that in Marxian approach to history adopts this position, as do some forms of modernization theory. Marxian studies of social, cultural, legal or other aspects of life in the past inevitably involve relating the nature of their subject and change in their subject over time, to the nature of the economy and shifts in the economic base of society. John Foster in his work of “class struggle in the industrial revolution” used the Marxian base/superstructure model to compare the nature of class consciousness in three English towns in the nineteenth century. He argued the economic stability of a more mature capitalism resting on the gains from imperialism.
Second, empiricism believing that knowledge coming from experience or historical phenomenon and concluded or called inductive mode was genuinely affecting Marx’s thought. It is true that for Marxist, Marxism is scientific studies of society. Sturley (1969, p.29) reported that they claim it because the laws of development of society can be discovered and applied to foretell its future course. In early twentieth century, it influenced the new forms of historical inquiry, called social history (Eley, 2003, p.67) or even Eric Hobsbawm as one of Marxist historian stated that Marxist history and social history should be seen as synonymous because it is Marxism that provides the best foundation for history of society (Lloyd, 1988, p.286). Commonly, social history refers to history of society or history of ordinary people and their strategies of coping with life. The scope of social history today developed over theme such as labour history, oral history, and feminist history (McLennan, 1981, p.112). In brief, Llyod (1988, p.287) pointed out that Marx’s approach to social history especially structural historical transformation contained three main elements. The first was a mechanism of transformation such as contradiction between the forces and relations of production. The second was a model of all the levels of society-economic structure, superstructure, and forms of consciousness. Moreover, this model posits the analytical primacy of the mode of material production. The third element was an underdeveloped conception of the relationship between conscious human action and objective structural history. The good sample of Marxist social history described in EP Thompson work of The Making of English Working Class. He wrote that he understood historical phenomenon by class which happened a lot human relationship and life (Howard, 2012).
The other man having the unique ideas of history is Friedrich Nietzsche. Nietzsche was a German Philosopher and he had an impact in Germany from 1890 to 1990 especially NAZI, Hitler, as a leader of NAZI, borrowed characters of Supermen to motivate his people to beat the other. The characters above consisted of ambition to hold the power; never satisfied; want to be better than the other; and be able to create values from his self to take an optimistic life. Just like Marx or Darwin, the social background of his life was so genuinely determined by religion. Anything in life is non-sense without god in heart and this condition make him so sad. Furthermore, Stern (1978, p.49) revealed that he began his philosophy by taking issue with the cultural situation of the German Empire of 1871 that showed people had a concern with the past, supported by a powerful tradition of historical research. However, the goal history, generally, to make people happiness but Nietzsche saw that there were a lot people who had pessimistic thinking in life over his observation to society. It made him believed that abuse of history has occurred.
In brief, nihilism and aphorism are two important concept to understand Nietzsche’s thought and philosophy. Nihilism is the term of emptying the world and especially human existence of meaning, purpose, comprehensible truth, or essential value then reconstructing the new values of art not moral values. Nihilism is one concept; people know refer to Nietzsche, to make Nietzsche brave to criticize human condition and give a solution for degradation of human condition. Also, aphorism is the term to realize his condition and his thinking. It make people consider that the truth come from experience and empirical experiments. The truth will guide people to have a happy live. Hence, Tanner (2000, p.2) pointed out that Nietzsche’s thought was his reaction to the world and his society. So, his view of history was reaction to his daily and his important work on it is “nutzen und nachtel der historie fur das leben” (on the use and abuse of history for life). People can understand why he stated that learning history encouraged people to accept and refuse life.
Nietzche (2000) believed that history is all knowledge of man in the past based on his observation of people’s thinking. Hence, for him happiness was a central of human destination. He argued that both historical and unhistorical understanding was important because they led us to remember and forget something in the right time. Furthermore, He explained the way to have happiness through the ability to forget or, to express the matter in a more scholarly fashion, through the capacity, for as long as the happiness lasts, to sense things unhistorical. Anyone who cannot set himself down on the crest of the moment, forgetting everything from the past, who is not capable of standing on a single point, like a goddess of victory, without dizziness and fear, will never know what happiness is, and, even worse, he will never do anything to make other people happy. And peopleknow how to forget at the right time just as well as we remember at the right time, that we feel with powerful instinct the time when we must perceive historically and when unhistorical. This is the specific principle which the reader is invited to consider: that for the health of a single individual, a people, and a culture the unhistorical and the historical are equally essential.
Nietzsche (2010) offered three concept of history to understand the man’s view: historical man, unhistorical man, and super historical man. Firstly, unhistorical, thoroughly anti-historical-is the birthing womb not only of an unjust deed but even more of every just deed. No artist would achieve his picture, no field marshal his victory, and no people its freedom, without previously having desired and striven for them in that sort of unhistorical condition. So he is also always without knowledge. He forgets most things in order to do one thing; he is unjust towards what lies behind him and knows only one right, the right of what is to come into being now. So every active person loves his deed infinitely more than it deserves to be loved, and the best deeds happen in such a excess of love that they would certainly have to be unworthy of this love, even if their worth were otherwise incalculably great. Nietzsche (2010) who was inspired by Darwin described the concept using an analogy of the difference between human and beast:
“.....One day the man demands of the beast: “Why do you not talk to me about your happiness and only gaze at me?” The beast wants to answer, too, and say: “That comes about because I always immediately forget what I wanted to say.” But by then the beast has already forgotten this reply and remains silent, so that the man keeps on wondering about it. But he also wonders about himself, that he is not able to learn to forget and that he always hangs onto the past. No matter how far or how fast he may run, the chain runs with him. It is something amazing: the moment, in one sudden motion there, in one sudden motion gone, before nothing, afterwards nothing, nevertheless comes back again as a ghost and disturbs the tranquillity of a later moment. A leaf is continuously released from the roll of time, falls out, flutters away—and suddenly flutters back again into the man’s lap. For the man says, “I remember,” and envies the beast, which immediately forgets and sees each moment really perish, sink back in cloud and night, and vanish forever. In this way the beast lives unhistorical...”
It can be concluded that the main difference of the both is man remember the past and beast is not. It is really different with the historical man who believes the past can determine present and future.
Historical people believe that the meaning of existence will come increasingly to light in the course of its own process. Therefore, they look backwards only to understand the present by considering the previous process and to learn to desire the future more keenly. In spite of all their history, they do not understand at all how unhistorically they think and act and also how their concern with history stands, not in service to pure knowledge, but to living. Finally, super historical man isa person who assumes such a stance could feel no more temptation to continue living and to participate in history, since he would have recognized the single condition of every event, that blindness and injustice in the soul of the man of action. He himself would have been cured from now on of still taking history excessively seriously. But, he would have learned, for every person and for every experience, among the Greeks or Turks, from a moment of the first or of the nineteenth century, to answer for himself the questions how and why people lived. Anyone who asks his acquaintances whether they would like to live through the last ten or twenty years over again will easily perceive which of them has been previously educated for that super historical point of view (Nietzsche, 2010).
Richardson (n.d.) stated that however history was learned to be a wise man but most people felt suffered because misuse of history and history belongs to the great men. Being unhistorical or historical man is not important and the important one is to have happiness. People do not need moral values because it determined people to suffer in the night. People need reconstruction of values, called nihilism, and the new values to make people happy is an art.
It is not like Marx who believe that people can understand history based on materialism and basically people make their own history, Nietzsche tended to offer historical philosophizing which is the method of examining the beliefs and ideas of a given society, primarily the beliefs and ideas of its great men (Stern, 1978, p.52). Nietzsche presented his work of historical philosophizing under the title of “history of an error” explaining how the real world finally became a fable in six stages:
1.      The real world attainable for the wise man, the pious man, the virtuous man—he lives in it, he is it. (Most ancient form of the idea, relatively clever, simple, convincing. Paraphrase of the proposition: ‘I, Plato, amthe truth.’)
2.      The real world unattainable for now, but promised to the wise man, the pious man, the virtuous man (‘to the sinner who repents’). (Progress of the idea: it becomes more cunning, more insidious, and more incomprehensible—it becomes a woman, it becomes Christian…)
3.      The real world unattainable, improvable, unprofitable, but the mere thought of it a consolation, an obligation, an imperative. (This is the old sun in the background, but seen through mist and scepticism; the idea becomes sublime, pale, Nordic.)
4.      The real world—unattainable? At any rate unattained. And since unattained also unknown. Hence no consolation, redemption, and obligation either: what could something unknown oblige us to do? (Break of day. First yawn of reason. Cock-crow of positivism.)
5.      The ‘real world’—an idea with no further use, no longer even an obligation—an idea become useless, superfluous, therefore a refuted idea: let us do away with it! (Broad daylight; breakfast; return of bon sense and cheerfulness; Plato’s shameful blush; din from all free spirits.)
6.      The real world—we have done away with it: what world was left? The apparent one, perhaps? … But no! With the real world we have also done away with the apparent one!
Even though Marx and Nietzsche is both German philosopher in modern era, they are strikingly different ideas of history in many ways. For example the meaning of history of each idea is different. Marx claims that history is social class changing, whereas Nietzsche believes that history is all knowledge of man in the past. Another difference is in their ideas of the aims of history. Marx has a decision that learning of history can predict the future of society because their activity and thought are determined by forces of production and its relations time by time, but Nietzsche has a unique idea that people should remember and forget history in the right time to have a happy live. Another difference is in their approach of history. Marx uses economic and social history to understand the past while Nietzsche observes the past with historical philosophizing.



References

1.      Child, P., ‘Modernism’ (London: Routlegde, 2000).
2.      Cortez, DNH., ‘Nietzsche, Genealogy, History’ available at http://noehernandezcortez. files.wordpress.com/2011/04/nietzsche-genealogy-history.pdf  (2011)
3.      Collingwood, RG., ‘The Idea of History’ (Oxford: Oxford University Press, 1989).
4.      Eley, G., ‘Marxist Historiography’, In Berger, S., et, al (ed.)., ‘Writing History: Theory & Practice” (London: Arnold, 2003).
5.      Gardiner, P. (ed.)., ‘Theories of History’ (New York: The Free Press, 1959).
6.      Gordon, PE., ‘What Is Intellectual History? A Frankly Partisan Introduction to A Frequently Misunderstood Field’, Available at http://history.fas.harvard.edu/people /faculty/documents/pgordon-whatisintellhist.pdf (n.d.).
7.      Howard, S., ‘Marxist Historians & Historiography’ (Lecture) University of Sunderland, Sunderland, 29 October 2012
8.      Hudson, P., ‘Economic History’, In Berger, S., et, al (ed.)., ‘Writing History: Theory & Practice” (London: Arnold, 2003).
9.      Lloyd, C., ‘Explanation in Social History’ (Oxford: Basil Blackwell Ltd, 1988)
10.  Lovejoy, AO., ‘Reflections on The History of Ideas’, Avalaible at http://www.jstor. org/ArthurLovejoy/Reflectionsonthehistoryofideas (1940).
11.  Mandelbaum, M., ‘On Lovejoy’s Historiography’, In King, P. (ed.)., ‘The History of Ideas: An Introduction Method’ (Worcester: Billing & Son Ltd, 1983).
12.  Mclennan, G., ‘Marxism & The Methodologies of History’ (London: Verso, 1981).
13.  Morris, S., ‘What Did Nietzsche Think That It Was Possible To Learn From The Past’ available at http://www.stewartmorris.com/essays/05runciman1.pdf(n.d.).
14.  Nietzsche, F., ‘On The Use And Abuse of History For Life” available at http://records. viu.ca/~johnstoi/nietzsche/history.html (n.d.) translated by I. Johnston (2010). 
15.  Richardson, J., ‘Nietzsche’s Problem of the Past’ available at http://philosophy.fas. nyu.edu/docs/IO /1174/problem_past.pdf (n.d.)
16.  Rigby, SH., ‘Marxism & History: A Critical Introduction’ (Manchester: Manchester University Press, 1987).
17.  Sinclair, M., ‘Nietzsche and The Problem of History’ available at http://www.richmond-philosophy.net/rjp/back_issues/rjp8_sinclair.pdf(2004)
18.  Singer, P., ‘Marx: Very Short Introduction’, (Oxford: Oxford University Press, 2000).
19.  Skinner, Q., ‘Meaning and Understanding in the History of Ideas’, Available at http: //www.cua.uam.mx/biblio/articulostodos/MeaningandUnder.pdf (1969).
20.  Stern, JP., ‘Nietzsche’, (London: Fontana Press, 1978)
21.  Sturley, DM., ‘The Study of History’ (London: Longmans, 1969).
22.  Tanner, M., ‘Nietzsche: Very Short Introduction’, (Oxford: Oxford University Press, 2000).
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: November 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates