Friday, September 28, 2012

PENDIDIKAN PLURALISME-MULTIKULTURAL ALA GUS DUR


Pluralisme-multikultural dalam Bingkai Pendidikan
Ala KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Widya Noventari
Hukum dan Kewarganegaraan, UM

Pendidikan merupakan proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Tingkat keberhasilan suatu pendidikan dapat dilihat dari wawasan dan pola fikir masyarakat yang berbasis pengetahuan lokal dan global. Dalam pembentukan pola fikir masyarakat tidak akan terlepas dari kondisi dan lingkungan masyarakat tersebut berada. Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan dimana keberagaman tersebut tidak dapat dihindari dan dipungkiri lagi. Sehingga fenomena sosial-budaya seperti wacana pluralis-multikultural penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Kehidupan masyarakat yang plural dan beragam merupakan sebuah realita yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Tatanan masyarakat yang semakin komplek tidak jarang akan membuka peluang terjadinya gesekan sosial baik dalam sekala besar maupun kecil. Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah konflik SARA yang semakin tinggi khususnya dalam bidang keagamaan. Banyak tempat peribadahan yang dihancurkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dengan embel-embel menegakkan agama tertentu, di dalam islam mereka menyebutnya sebagai jihat.
Pendidikan merupakan proses yang sangat vital dalam pembentukan karakter sebuah masyarakat dan kemajuan yang mengiringinya. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa tidak akan bisa menjadi besar. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki tingkat pendidikan dan manusia yang berkualitas sehingga mampu menjawab semua tantangan jaman yang semakin mengglobal.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya, seperti dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Apabila kebudayaan adalah salah satu landasan kuat dalam pengembangan kurikulum, maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula memerhatikan keragaman kebudayaan yang ada ( Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008: 195). hal senada juga diuangkapkan oleh Gus Dur mengenai bagaimana pentingnya sebuah kesadaran akan pentingnya menghargai sesama (toleransi) dalam membentuk tatanan masyarakat Indonesia yang bermartabad dan sadar akan Kebudayaan Bangsa.


Latar Belakang Pendidikan Gus Dur
gus durAbdurrahman Wahid dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur begitu panggilan akrabnya dibesarkan dilingkungan pesantren. Pertama kali belar, Gus Dur kecil belajar mengaji dan membaca Al-Qur’an pada kakeknya, K.H. Hasyim Asy’ari. Pada usia 5 tahun Gus Dur kecil telah lancer membaca Al-Qur’an. Selama tinggal di Jakarta selain menempuh pendidikan formal Gus Dur juga menginguti les privat bahasa belanda, guru les Gus Dur adalah Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur disekolahkan di Jogjakarta oleh orangtuanya. Pada tahun 1953 Gus Dur masuk di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, dan menjadi santri di pesantren Krapyak. Meskipun sekolah ini dikelola oleh Gereja Katolik Roma, tetapi menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah inipulah Gus Dur belajar bahasa Inggris. Karena merasa tekekang di pesantren, akirnya Gus Dur dinggal di rumah Haji Junaidin, seorang pimpinan lokal Muhamadiyah dan orang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutin Gus Dur adalah mengaji, sekolah, dan berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dengan anggota Muhammadiyah lainya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’ (besteasyseo, 2009).
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur (besteasyseo, 2009).
Gus dur dibekali  dengan ketajaman pikiran dan ingatan yang sangat kuat. Sehingga dikenal salah satu dari sikap utamanya adalah keingintahuan dan, kalau saja keingintahuan ini selallllu terjaga, ia dapat memfokuskan diri dan berusaha keras untuk waktu yang lama. Akan tetapi, jika tidak demikian halnya, ia akan cepat bosan walaupun keseriusan tugas yang diberikan kepadanya menuntut usaha yang lebih keras (Barton, 2002: 458). Gus Dur yang dibekali dengan kecerdasan dan daya ingat  yang luar biasa bukanlah seorang yang memiliki prestasi di bidang pendidikan.
Gus Dur pernah juga tinggal kelas karena tidak lulus dalam ujian di SMEP. Pendidikanya di Perguruan Tinggi Al-Azharpun gagal kemudian pindah ke UniversitasBaghdad, Irak. Gus Dur memang seseorang yang sulit untuk mendisiplinkan diri, apalagi berurusan dengan sekolah formal yang Gus Dur anggap sangat membosankan. Gus Dur memang mudah untuk menyerap semua pelajaran, namu cepat bosan dan sering menggampang-gampangkan pelajaran yang dia terima. Barangkali Gus Dur lebih tepat disebut sebagai otodidak yang baik.

Tokoh Inspirasi Gus Dur
            Gus Dur tidak akan terlepas dari sosok yang memegang teguh syariat dan ajaran agamanya islam. Karena Gus Dur dilahirkan di tradisi besar dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Kakek dari pihak ayahnya adalah KH.Hasyim Asy’ari dan kakek dari ibunya adalah Kiai Bisri Syansuri, keduanya adalah pendiri NU, sekaligus ulama berpengaruh. Ayahnya KH. Wahid Hasyim menteri agama di masa pemerintahan Soekarno. Baik ayah maupun kakeknya adalah tokoh gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah belanda seteah akir perang Dunia II. Karena itu, kedua orang ini  secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional (Irawan dkk, 2008: 116).
            Komitmen untuk menjunjung tinggi semangat pluralisme dan pembelaan terhadap hak-hak orang lain sudah tertananam dalam diri Gus Dur ini sejak kecil dan terus berkembang seiring dengan perjalanan karir Intelektual. Adalah Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) yang member tauladan untuk tumbuh di lingkungan orang-orang dari beragam kalangan (irawan dkk, 2008: 123). Wahid Hasyim adalah orang yang sangat mudah bergaul dengan semua kalangan, ketika tinggal di Jakarta, Wahid Hasyim kerap dikunjungi para aktivis mahasiswa dari berbagai latar belakang. Para kader muda ini memiliki semangat dan geloran tinggi untuk menggali informasi dan pengetahuan dengan Wahid Hasyim karena beliau adalah seseorang yang mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit. Gus Dur kecil sering membantu menyuguhkan teh dan biskuit untuk tamu-tamu ayahnya itu.
            Dalam berbagai kesempatan Wahid Hasyim sering mengajak Gus Dur menghadiri pertemuan-pertemuan. Dengan demikian, Gus Dur menyaksikan dunia ayahnya yang penuh dengan orang-orang dari berbagai macam latar belakang. Sebelum seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, Gus Dur dan ayahnya yang terlebih dahulu berangkat dan tinggal di Jakarta. Mereka tinggal di daerah menteng, Jakarta Pusat. Kawasan itu didiami oleh pengusaha-pengusaha terkemuka, professional dan politikus. Wahid Hasyim dan putra tertuanya itu secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin nasional Mohammad Hatta pada setiap Jumatan. Begitu pula sebaliknya, banyak tokoh yang dengan mudahnya menyambangi Wahid Hasyim. Gus Dur masih ingat pada massa itu ia sering membukakan pintu sekitar pukul delapan malam. Seorang laki-laki asing berpakaian petani warna hitam dating berkunjung untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian bercakap-cakap selama berjam-jam. Atas pemintaan tamu asing itu, Gus Dur memanggilnya paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian dia tahu bahwa orang itu adalah Tan Malaka, seorang tokoh komunis yang terkenal hingga ke negeri Cina. Walaupun Wahid Hasyim secara aktif memimpin organisasi Islam terbesarar di Indonesia, ia tetap menjaga hubungan baik dengan Tan Malaka dan tokoh-tokoh komunis lainya. Meski Wahid Hasyim berlatar belakang Islam tradisional, tapi lingkungan pergaulanya sangat luas ( Irawan dkk, 2008: 124-125).
            Tidak berhenti dengan mengajak anak-anaknya ke dalam interaksi sosial yang sangat beragam, Wahid Hasyim juga menyediakan berbagai macam buku, majah, Koran dalam jumlah yang besar. Diberikanya kebebasan kepada anak-anaknya itu membaca dan mempelajari apapun yang mereka sukai, setelah itu wahid Hasyim selalu meminta kepada anak-anaknya untuk mengungkapkan dan membicarakan ide-ide baru yang mereka temuka. Wahid Hasyim prihatin melihat betapa sempinya cakrawala berpikir para santri di pesantren-pesantren tradisional. Karena itulah Wahid Hasim menginginkan anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala berfikir yang luas.

Nilai-nilai Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Pendidikan era Orde Baru dapat dijadikan pijakan dan bahan refleksi bersama, dimana kurikulum atau sistem yang digunakan terlalu sentralistik. Sistem Sentralistik atau pola penyeragaman kurikulum sesungguhnya merupakan bentuk pengekangan dan pembekuan kreativitaspeserta didik. Kurikulum yang terlalu sentralistik kurang mendukung dalam kedewasaan perilaku sosial dan kultural peserta didik. Kondisi inilah yang sekarang terjadi, bisa dilihat disperitas pendidikan, sikap dan pola pikir peserta didik yang individualis dan pragmatis, jual-beli kunci jawaban ujian nasional,dan lain sebagainya. Kedewasaan pola prilaku sosial ini sangat penting dalam membangun pemahaman dan kesadaran yang menghargai pluralitas dan multikultural. Mengingat pentingnya pendidikan multikultural yang berbasis pada pluralisme dan toleransi, sehingga pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan keislamanya diharapkan mampu menjadi warna baru bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Penyeragaman yang ada di dalamnya, praktis, juga dimaksudkan untuk membatasi ruang demokrasi rakyat (Soyomukti, 2012:  9). Dapat dilihat pula sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia dalam jangka waktu yang yang cukup panjang tampaknya lebih menekankan pada aspek keseragaman dan sentralistik. Penyeragaman ini hampir mencakup keseluruhan aspek, mulai seragam sekolah, kurikulum, metode, hingga buku ajar. Pola ini membawa implikasi pada timbulnya eksklusivitas, tidak toleran, dan menganggap mereka yang berbeda sebagai lawan, bukan sebagai mitra dialog setara yang harus dihormati dan dihargai (Sauqi & ngainun, 2008: 40).
Bentuk keseragaman ini dapat kita cermati, misalnya dalam pelajran bahasa Indonesia. Materi yang diajarkan nyaris sama persis di seluruh Indonesia. Kita hampir pasti ingat bagaimana kalimat-kalimat yang digunakan sebagai bahan bacaan saat kita duduk di masa-masa awal sekolah. Kalimat yang sama dan terus diulang-ulang. Misalnya; Ini Budi, Budi pergi ke sekolah, ani adik budi, dan sebagainya. Tidak ada perbedaan kalimat sama sekali, Misalnya, Ini Bonar, Nicholas pergi ke sekolah, Agung saudara Putu, dan sebagainya. Contoh-contoh ini sudah menandakan penyeragaman dan penyempitan wawasan anak didik tentang lingkungan sosial mereka yang sesungguhnya sangat plural (Sauqi & ngainun, 2008: 40). Hal yang telah diuraikan terlihat memang sangat sederhana namun memiliki implikasi yang cukup besar dan ini ditanamkan di dunia pendidikan mulai dari sekolah dasar dimana bakat dan bibit-bibit potensial untuk berkembang sangat tinggi.
Hal yang senadapun diuraikan oleh Ma’arif (2008: 114) paradigm pendidikan yang berwawasan multikultural sbenarnya berangkat dari suatu kesadaran, bahwa setiap manusia potensi-potensi yang berbeda (heterogenitas). Dengan menyadari setiap manusia memiliki perbedaan potensi (kemampuan) maka proses pendidikan wajib dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Sehingga dengan penyeragaman tersebut tidak akan bisa mengembangkan kreativitas anak didik.
Disamping itu nilai-nilai pluralisme yang diperjuangkan Gus Dur pun sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yaitu: “Inna kholaknaakum min zakarin wa unsa, wajaalnakum syu-‘ubaw waqobailaa lit’aarafu” (sesungguhnya kami dijadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan bergolongan-golongan supaya kamu saling mengenal). Selain itu, nilai pluralisme juga sejalan dengan ajaran ahlussunnah waljama’ah: tasamuh, yang berarti toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan yang bersifat khilafah maupun masalah kemasyarakatan dan kebudayaan (Kholisoh, 2012: 148).
Betapa pentingnya pendidikan multikultural dan pluralisme ini juga terlihat dari lunturnya rasa menghargai perbedaan orang lain. Dalam sebuah diskusi kelompok atau persentasi di forum kelas misalnya apabila tidak memiliki kesadaran akan menghargai pendapat orang lain dan menganggap perbedaan sebagai lawan maka bukan sebuah solusi yang didapat tetapi debat kusir yang tidak tentu arah dan landasan yang rasional yang sering terjadi. Gus Dur mengajak untuk terus membuka cakrawala berfikir dimana kita akan dapatkannya dari banyak membaca buku, mendiskusikan ide yang kita temukan, dan menulisnya dalam sebuah karya tulis.

Pluralisme-Multikultural Dalam Pendidikan Islam Ala Gus Dur
Berdasarkan uraian diatas, hal mendasar yang seharusnya disadari bersama adalah bahwa pendidikan yang seragam dan tidak menghargai terhadap pluralitas justru banyak membawa implikasi yang negatif. Penyeragaman tidak saja akan mematika kreativitas, tetapi lebih jauh juga dapat melahirkan sikap dan cara pandang yang tidak toleran. Oleh karena itu, membangun pendidikan yang berparadigma pluralis-multikultural merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi. Dengan paradigma semacam ini, pendidikan diharapkan dapat melahirkan anak didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan (Sauqi & ngainun, 2008: 48-49).
Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan islam pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar dari pendidikan ini adalah toleransi, yaitu menghargai segala perbedaan sebagai realitas yang harus diposisikan sebagaimana mestinya, bukan dipaksakan untuk masuk dalam konsepsi tertentu (Sauqi & ngainun, 2008: 52).
Penggunaan istilah pluralisme-multikultural yang dirangkai dengan kata pendidikan islam dimaksudkan untuk membangun sebuah paradigm sekaligus konstruksi teoritis dan aplikatif yang menghargai keragaman agama dan budaya (Sauqi & ngainun, 2008: 52). Perlu adanya penguatan terhadap pandangan pluralise-multikultural ini khususnya jika bersinggungan dengan agama dan budaya. Yang sangat menghawatirkan saat ini adalah masuknya paradigma agama di  perguruan tinggi. sehingga sering didapati beberapa mahasiwa tergabung dalam kelompok islam radikal dimana kelompok tersebut berkeinginan mendirikan Negara Islam di Indonesia dan menentang atau anti Pancasila yang dalam kenyataaanya adalah ideologi, dasar, dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan ideologi dan Negara, Gus Dur juga menulis tentang Negara sekuler dalam tulisnaya yang berjudul “Sekuler Tidak Sekuler”. Dalam tulisan ini Gus Dur secara kritis mempertanyakan status Negara Indonesia dalam kaitanya dengan kekuasaan agama di satu sisi dan kekuasaan Negara di sisi lain. Hal ini berawal dari pernyataan anggota parlemen bahwa Negara Indonesia adalah “Negara Sekuler”, karena Negara Indonesia bukan Negara agama, dan karena kekuasaan agama dibedakan dari kekuasaan Negara (Kholisoh, 2012: 128).
Dengan demikian jelas, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslim. Ia pun hanya dipikirkan sejumlah orang saja, yang terlalu memandang Islam dari sudut  institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan itu, adakah mereka masih layak disebut kaum muslim atau bukan? Padahal mereka adalah mayoritas penganut agama tersebut? (Wahid, 2007: 6).
Untuk itu, Gus Dur menyarankan adanya diskusi atau dialog yang akan membicarakan permasalah tersebut. Terkait dengan kewenangan Negara, kewenangan agama, dan sekulerisme di pihak lain. Sehingga melalui dialog tersebut akan ditemukan titik terang dan kesepahaman di semua pihak.
Sikap Gus Dur yang begitu yakin akan pentingnya Pancasila sebagai asas tunggal, telah dibuktikan dengan keberhasilanya dalam menyosialisasikan Pancasila sebagai dasar Negara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, terutama agama islam. Hal ini dikemukanakanm oleh Muhaimin Iskandar dalam (Kholisoh, 2012: 133) :
“Gus Dur itu termasuk orang yang telah berhasil menyosialisasikan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan Islam. Saya saja itu sebagai orang asli pesantren yang sempat cukup fanatic tapi kemudian berkumpul dengan orang luar dan tercerahkan pada tahap awal juga percaya bahwa islam itu tidak ada sambunganya dengan Pancasila. Saya belum berani menyatakan bahwa Islam dan Pancasila itu menyambung. Tapi, Gus Dur berani.”
Disinilah dapat dilihat bagaimana Gus Dur benar-benar  memperjuangkan pentingnya asas tunggal Pancasila dan pluralisme agama. Pluralisme agama yang dimaksudkan oleh Gus Dur adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua agama, karena setiap agama mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan aturan-aturan yang dimilikinya. Pluralisme yang dipahami Gus Dur iu adalah tumbuhnya kehidupan yang harmonis diantara keberagaman atau pluralisme yang ada, termasuk pluralisme agama, sehingga  dapat hidup berdampingan dan saling mengenal satu sama lain. Hal ini diibaratkan kebun bunga yang terdiri atas beraneka ragam bunga. Keindahan bunga justru muncul dari tumbuhnya beraneka warna dan bentuknya, tanpa harus merubah bunga yang satu seperti yang lainnya. Hal ini justru akan merusak keindahan taman tersebut (Kholisoh, 2012: 152).
Untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang harmonis diantara keberagaman atau pluralisme yang ada dan hidup berdampingan satu sama lain seperti pemikiran dari Gus Dur maka perlu adanya pemupukan nilai-nilai Pancasila di dalam diri setiap masyarakat Indonesia, melalui Pendidkan Pancasila yang sekarang semakin memudar.

Penutup
Pluralisme dan multikultural bangsa Indonesia merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri lagi. Keberagaman etnis, ras, suku, antar golongan dan agama inilah yang  menjadikan aset berharga yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Gus Dur merupakan sosok yang patut diteladani sebagai seorang intelektual islam yang memiliki cakrawala berfikir yang sangat luas dan memberikan kontribusi dalam perkembangan keilmuan di Indonesia melalui pemikiran berilian yang dituangkan dalam tulisan-tulisan.
Melalui pemikiran Gus Dur yang sangat menghargai keberagaman atau pluralisme, patut kita teladani dan diaplikasikan di dalam dunia pendidikan sehingga akan menciptakan suasana pendidikan yang demokrasi, menghargai perbedaan, menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan menutup kemungkinan terjadinya disintegrasi di dunia pendidikan. Selain itu tekat Gus Dur memperjuangkan Pancasila sebagai asa tunggal bangsa mampu mengispirasi kita untuk menegakkan kembali Pendidikan Pancasila yang sekarang tengah mengalami depancasial atau pengaburan nilai-nilai Pancasila.









Daftar Rujukan

Besteasyseo. 2009. Sejarah Lengkap Gus Dur  Perjalanan Pendidikan Gus Dur Guru Bangsa.(online) http://besteasyseo.blogspot.com/2009/12/sejarah-lengkap-gus-dur-perjalanan.html. Diakses tanggal 29 Agustus 2012.
Kholisoh, N. 2012. Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur dalam Proses Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya.
Irawan N.M.A, Dkk. 2008. Negeri Para Pemberani. Depok: Koekoesan.
Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Naim, N & Sauqi, A. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Soyomukti, N. 2010. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Jogjakarta: Arus Media.
Wahid, A.R. 2010. Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta: Kompas.




0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►