Friday, June 29, 2012

MANUSIA KELELAWAR RESEP KEPENULISAN YATI SETIAWAN*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Masih ada yang tersisa di balik pelepasan Budi Darma sebagai guru besar Unesa tanggal 8 Desember 2007 lalu. Di balik cerita para penulis macam Lang Fang, Yati Setiawan, Mashuri, Audex, Kurnia Fabiola, dan Budi Darma sendiri. Yati Setiawan, seorang ibu rumah tangga yang berkarya banyak bercerita tentang pengalaman kepenulisannya. Sebuah perjalanan yang menarik untuk dipelajari. Yati Setiawan sendiri adalah isteri dosen Unesa yang juga menulis: Wawan Setiawan.
Apa yang menarik dari pengakuan dalam seminar itu. Berikut yang dapat penulis refleksikan (a) bahwa dia banyak belajar menulis dari suaminya, (b) komunitas rumah penulis untuk share dan berbagi (filosofi komunitas penulis), (c) pentingnya motivasi yang kuat, (d) dia tidak paham sastra dan teori menulis, pokoknya menulis, (e) penulis itu seperti kelelawar, dan (f) pentingnya komunikasi dengan media melalui redaktur budayanya. Sebuah kejujuran –yang barangkali—menarik jika kita mau nyantrik pada pengalaman Yati Setiawan. Seorang ibu rumah tangga yang membanggakan.

Sebagaimana sering saya ungkapkan dalam berbagai kesempatan, menulis itu memang dapat dipelajari dari berbagai segi (a) bisa dari teks langsung sehingga kita terapkan jurus ATM (Amati, Tirukan, dan Modifikasikan) atau N3 (Niteni, Nirokne, dan Nambahi), (b) bisa dari akuan jujur proses kreatif para tokoh, dan (c) bisa berangkat dari seperangkat teori menulis sebagai penuntun. Mana yang paling efektif, tergantung pada karakter kita sebagai calon penulis.

Saya sendiri lebih menyukai langsung berjalan. Langsung praktik. Karena menulis itu seperti analog sisi kehidupan kita lainnya (a) menulis itu seperti naik sepeda, (b) menulis itu seperti berjalan, (c) menulis itu seperti merangkai bunga, dan (d) menulis itu seperti berkata. Dan seterusnya. Jika anak kecil yang baru berjalan diajari tentang teori berjalan dan berbicara, maka saya tidak dapat membayangkan apa yang terjadi. Tentu, jika Anda memiliki kesadaran hati untuk menulis maka akan memilih alternatif pertama dan kedua. Berangkat dari contoh langsung atau dari pengalaman yang menggerakkan dari penulis yang lain.

Apa yang menarik yang perlu direfleksikan dari pengalaman kreatif Yati Setiawan? Pertama, pengaruh suami yang penulis. Jika analog berikut kita terima, tentu sebenarnya saya punya saran lain: mungkin bukan suami beneran saja tetapi juga “suami bayangan”, boleh. Artinya suami yang bersifat imajinatif. Bukankah tidak banyak wanita yang beruntung dapat suami seorang penulis (karena itu, sebenarnya isteri adalah termasuk isteri yang beruntung). Kejujurannya yang luar biasa menimbulkan gelak tawa di ruang pelepasan guru besar Budi Darma. Dan memang, menulis butuh kejujuran.

Dengan kata lain, sebenarnya penting disadari dalam menumbuhkan kepenulisan “orang tercinta” adalah penggerak utama. Dan inilah pengalaman Yati. Orang tercinta boleh jadi memang tidak mengajari langsung seperti Wawan Setiawan, tetapi –bisa jadi— konteks tertentu hanya memancing imajinasi, ide, dan menyuntikkan gairah saja. Untuk terakhir ini, banyak terjadi: WS Rendra, Hamsad Rangkuti, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, HU Mardiluhung, dan lain sebagainya. Persoalannya adalah bagaimana merawat pengalaman ini agar produktif? Jika mencintai orang lain maka salah satu hal menariknya adalah menyukai apa yang mereka sukai. Artinya, jika menulis adalah hal inspiratif dari kekasih, wah alangkah indahnya jika dapat bertemu di wilayah yang terbebas dari polisi asusila, aparat hukum, dan aturan agama. Sebuah wilayah cinta yang tidak terbatas karena memang cinta tidak terbatas. Sekat perkawinan, misalnya, hanyalah formalitas, rasa dan hati bisa tamasya seluas negeri pertiwi yang kita impi.

Sebuah pergulatan guru-murid yang mewaktu. Tak beruang, tak berselang. Tak bersekat, tak berkiblat. Alir dalam pergulatan “cinta bermakna”. Cinta yang menceritakan. Dalam logika kepenulisan potret Yati-Wawan Setiawan adalah idaman. Di sinilah sebuah wilayah pengembaraan luas seperti dua rajawali melihat dunia dari segala sisi dan segi.

Kedua, komunitas keluarga sebagai penulis memang sebuah keberuntungan besar. Keluarga Yati, sebagaimana banyak dikatakan orang adalah keluarga menulis. Meskipun sejak kecil praktis tidak ada orang yang berniat memutuskan diri menjadi penulis. Seringkali, menulis sebagai cita-cita alternatif setelah terpaksa. Setelah bidang-bidang lainnya tidak tergapai. Sayang, ideologi kita belum sampai pada ruh hidup ini. Untuk ini, komunikasi menulis di keluarga sungguh merupakan idaman penting. Anak-anak Yati Setiawan (dua orang), keduanya sampai sekarang aktif menulis di majalah muda Nova. Dan dia sendiri tulisannya banyak dimuat di majalah wanita seperti Kartini, Pertiw, Femina, dan Nova. Juga, di koran Surya, Surabaya Post dan Jawa Pos. Mengapa komunitas penting?

Pengalaman Yati adalah sebuah cermin menarik. Mereka saling dapat mengritik dan menilai, memberi masukan demi perbaikan sebuah tulisan. Dalam proses penulisan awal, Yati Setiawan, banyak didorong oleh kesabaran Wawan Setiawan yang tekun mengedit aspek kebahasaan karena memang pengalaman hidup Yati tidak memiliki pengalaman ini. Sebagaimana dituangkan dalam proses kreatifnya, Ketika Saya Memulai Menulis (makalah presentasi dalam seminar nasional tanggal 8 Desember 2007), Yati, begitu dekat dan berhutang pada suami dan anak-anaknya.

Ketiga, pentingnya motivasi yang kuat. Motivasi adalah pangkal. Tempat bermula dari segala asal. Motivasi kuat dengan sendirinya melahirkan etos kuat. Meski Yati tidak mencertikan motivasi dengan berbagai ragamnya, tentu maknawinya adalah rambah ke dalam macamnya. Motivasi internal meletup dari diri penulis, menggelora setiap kala. Sedangkan motivasi eksternal, tentu komunitas keluarga adalah panglimanya. Di samping idola Yati yang menggerakkan segala laku kepenulisan. Motivasi eksternal ini jika dieksplorasi bisa beragam macam: populeritas, honor, pengakuan, kekaguman, dan sebagainya. Untuk ini jika Anda memanfaatkan motivasi yang kuat bukan mustahil kenikmatan kepenulisan pada kalanya akan menghampiri Anda.

Keempat, ketidaktahuannya tentang teori menulis. Pokoknya menulis. Di sinilah beda praktisi dan teoritisi. Wilayah kepenulisan adalah dunia nyata sedangkan teori kepenulisan adalah dunia awang-awang tempat ruang mitologis yang banyak dibincang tetapi hilang pijak. Bersepakat dalam akuan ini, tentu, saran pentingnya adalah jika pengin menulis menulislah. Tuangkan saja. Di situlah pengalaman empirik akan jadi tongkat penuntun daripada bergayung pada perahu teori tetapi terdampar di karang kepenulisan yang terjal.

Di sisi lain, hal menarik yang dapat dipelajari dari penulis ini adalah sebuah perjalanan “manusia kelelawar”. Memang, penulis tidak jarang juga yang kemudian tidak bisa tidur di waktu malam (semacam imsomnia), kemudian dalam keadaan inilah motivasi menulis mengalir, termasuk laku lainnya yang mengiringinya: membaca. Penulis memang sering tidak bisa tidur, dan karena itu, sering melampiaskan dendamnya dengan membaca dan menulis. Sebuah wilayah keterasingan yang menarik manakala mau dan mampu mengoptimalkannya sebagai sarana penting pemupukan tumbuhan bernama tulisan.

Manusia kelelawar? Metaforik kelelawar ia akan “liar” dan kembara di waktu malam, istirah di siang yang terang. Banyak penulis memang yang gerak alir kepenulisannya terjadi di waktu lengang (malam). Tetapi, di sebagian penulis lain justru terjadi sebaliknya. Jangan lupa, makna ajarnya adalah keunikan adalah warna melekat di masing-masing penulis.

Pada sisi lain, ternyata, di balik pengakuan proses kreatif Yati Setiawan ada pengalaman unik tentang kedekatannya dengan redaktur media. Dengan demikian, meskipun seringkali redaktur mengaku tidak terpengaruh dengan nama dan orang paling tidak, hukum kemanusiaan tetap berjalan. Kalau memang layak, kenapa tidak. Dan, bisa jadi, satu hal yang menarik bisa jadi dapat didahulukan untuk kepentingan tertentu. Jika Anda pengin menulis maka mengenal media termasuk redakturnya bukanlah hal haram untuk dilakukan.

Hal itu dapat melahirkan dua keuntungan penting (a) lahirnya jaringan informasi dan karya, dan (b) lahirnya motivasi karena dekat pusat informasi. Persoalannya adalah bagaimana memanfaatkannya untuk pengembangan kepenulisan? Hal ini sangat berpulang dan bergantung pada kita sendiri. Yang menjadi masalah bagaimana cara membangunnya? Dalam berbagai even seringkali redaktur ini “turun gunung”, maka untuk menumbuhkannya karena itu pentingnya kita juga hadir dalam even-even sosial kepenulisan sebagai “kawah candradimuka”. Sebagai upaya membangun ghirah dan motivasi menulis dalam perjalanan yang mewaktu. Pergulatan ini mengingatkan pada pengalaman Hilman, Gola Gong, dan Arswendo Atmowiloto.

Apa yang dapat kita lakukan? Semuanya tergantung kekuatan lahir batin kita, karena semuanya memungkinkan untuk mendorong lahirnya motivasi menulis di satu sisi dan pada sisi lain akan melahirkan hal lain yang bersifat gerak. Merawat karakter manusia kelelawar tentunya akan menjadi pijar yang menggetarkan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Mengenang BS

Henri Nurcahyo*
http://www.jawapos.com/

Kalangan seniman lebih mengenalnya dengan akronim BS meski mereka juga tahu nama lengkapnya, Bambang Sujiyono. Akronim ini bukan karena latah sejak Susilo Bambang Yudhoyono disingkat SBY, namun jauh sebelum ”SBY” muncul. BS dikenal sebagai sosok yang lebih suka berada di belakang layar. Dalam berbagai aktivitas kesenian maupun kelembagaan kesenian di Jawa Timur, nama BS ada di belakangnya. Karena itu, wajar ketika berita BS meninggal dunia Jumat malam (18/12), masih banyak juga yang bertanya, ”BS itu siapa?”
Pertanyaan itu pula yang muncul dari kalangan staf dan perawat Graha Amerta RSUD dr Soetomo yang merasa heran ketika sejumlah pejabat tinggi, termasuk (waktu itu) Gubernur Imam Utomo menjenguk BS yang opname di situ. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa dalam beberapa bulan terakhir, pendiri Bengkel Muda Surabaya (BMS) itu keluar masuk rumah sakit, hingga akhirnya hanya ”menghabiskan sisa hidupnya” di ranjang di rumahnya, Jl Garuda 25 Rewwin, Waru, Sidoarjo.

Menurut keterangan keluarga, dokter sudah ”menyerah” menangani kanker pankreas yang diderita mantan anggota DPRD Jatim (1997-1999) itu. Dan, itu berarti, penyakit ikutan pasti menyerang bagian-bagian tubuh BS. Pankreas yang rusak, pasti tak bisa menghasilkan insulin yang sangat dibutuhkan untuk menetralkan gula dalam darah. Jika sudah demikian, dampak ikutannya, kadar gulanya pasti tinggi dan akan berakibat menyerang ginjal, saraf, hingga jantung. Itu sebabnya, dokter menyerah karena hanya mukjizat Allah yang mampu menolongnya. Dan, Allah memilih tepat pukul 18.30, 1 Muharam 1431 H, memanggil BS menghadap ke hadirat-Nya.

BS memang tak pernah menjadi ketua BMS, DKS (Dewan Kesenian Surabaya) maupun DK Jatim, kecuali sebagai ketua Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah Jatim. Namun, dia lebih bangga mengatakan bahwa semua kepengurusan lembaga-lembaga tersebut selalu menurut skenario yang dimainkannya. Kecuali, ketika DK Jatim lahir pada 1998, BS sedikit ”kecolongan” karena tak ikut menentukan ketuanya.

Ketinggalan langkah ini segera disusul dengan gagasan cerdasnya membentuk Tim Penghargaan Seniman Jatim, yang kebetulan mengajak saya sebagai sekretarisnya. Atas jasa dan dedikasi serta perjuangannya yang tak kenal lelah tim ini mampu membuat gubernur Jatim harus memberikan penghargaan kepada para seniman secara rutin setiap tahun, sejak 1998 hingga 2009. Lebih-lebih di samping penghargaan, diberikan tali asih bagi ratusan seniman yang biasanya diberikan menjelang Lebaran.

Lelaki kelahiran Ponorogo, 13 Februari 1948, ini memang mencoba memadukan kesenian dan politik dalam aktivitasnya. Karena politiklah, kesenian dapat diperjuangkan sebagaimana mestinya. Dan, karena kesenianlah, politik menjadi santun dan dia berusaha menjadi politikus yang berhati nurani. Aktivitasnya di lingkungan DPW PPP Jatim dan PW Muhammadiyah Jatim, serta kedekatannya dengan kalangan pejabat tinggi di provinsi ini, sedikit banyak ikut membuat kesenian mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Apalagi, salah satu pendiri FKPPI Jatim ini pernah menjadi sekretaris pribadi Ketua DPRD Jatim (waktu itu) Blegoh Sumarto.

Harian Republika dan Kalam pernah menobatkannya dalam deretan ”Wong Jawa Timur Berpengaruh” (2005) dalam buku yang dimulai dari penulisan sosok Imam Utomo, dan BS di bagian paling akhir (sebagai bentuk kerendah-hatian).

Pada 1972 adalah titik tolak perjuangannya dalam kesenian dan juga politik. Ketika itu harga beras melonjak dan rakyat antre untuk membelinya. Putra purnawirawan tentara ini mengerahkan ratusan seniman dari komunitas BMS untuk berunjuk rasa dalam ”Pawai Solidaritas Keprihatinan Seniman Muda Surabaya”. Ternyata, langkah ini kurang disukai pengurus DKS, karena waktu itu BMS memang menjadi bagian dari DKS.

BS segera mengambil langkah strategis. Bengkel Muda Surabaya segera memisahkan diri dari DKS dan menjadi organisasi pemuda dan kesenian, yang didirikan pada 20 Desember 1972 (hari ini tepat 37 tahun). Dalam perjalanannya BMS memang tak bisa lepas dari (kendali) BS. Memang, tanpa BS, BMS hanya akan tinggal (huruf) M. Itu anekdot sekaligus realitas.

Bersama BS, BMS bukan sekadar organisasi kesenian biasa. Dalam posisinya yang selalu menyebutnya sendiri sebagai ”sesepuh BMS”, juara lomba deklamasi se-Jatim pada 1972 ini ibarat kepala suku yang sanggup menggerakkan berbagai unjuk rasa demi membela rakyat kecil yang selalu tertindas. Meski pernah ditahan setahun (1972) karena demo tersebut, bersama kalangan mahasiswa BS aktif dalam aksi menentang pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah), aksi Malari (1974), unjuk rasa koreksi nasional (1977), dan pada 1984 BS sempat ditahan lagi karena dituduh mendukung Amir Bikki.

Muatan idealisme yang kental itu pula hingga BS bersama BMS menggarap lakon Adu Domba, adaptasi naskah Noah Chomsky, yang intinya mencela kebengisan negara adidaya terhadap anak-anak yang teraniaya, perempuan, dan kaum tertindas di Chechnya, Pakistan, Afghanistan, Iraq, Bangladesh, Bosnia, dan Indonesia.

Aktivitasnya sebagai demonstran jalanan sebetulnya dimulai sejak menjadi siswa SMAN 3 Surabaya dan bergiat di Pelajar Islam Indonesia (PII). Pada masa itu sebetulnya BS sudah belajar ikut demo di bawah komando Muis Usman. Pada 1969 BS juga ikut demo memprotes kematian dua marinir Indonesia di Singapura.

Mantan juara judo kelas ringan tingkat mahasiswa (1970) ini pernah kuliah di UPN Veteran Surabaya dan Akademi Bank Indonesia Jogjakarta, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sempat menjadi PNS -hanya beberapa bulan di Dispenda (1981)-, mendirikan Dewan Maritim Jatim (dan sempat menjadi pemimpin redaksi tabloid Indo Maritim), penasihat ahli Bappeprov Jatim, dan lebih banyak sebagai man behind the screen, termasuk motor tim sukses Gubernur Jatim Soekarwo.

BS kini sudah tiada. Sejak sakit, dia berpesan agar tidak memberi tahu banyak orang. Dia tidak ingin orang lain repot karenanya. Maka, di kalangan seniman Surabaya, justru kondisi RM Yunani Prawiranegara yang lebih banyak dibincangkan. Sastrawan Jawa itu saat ini menjalani perawatan setelah operasi otak di RSUD dr Soetomo. Saya sendiri juga dipesan agar tidak memberi tahu orang lain bahwa BS sedang sakit keras.

Ketika seminggu lalu saya membesuk di rumahnya, saya tak sampai hati melihatnya. Kondisi tubuhnya nyaris hanya tinggal tulang dan kulit. Wajahnya sangat cekung. Terlihat seperti tak ada batas antara tidur dan jaga. Setiap saat seperti orang mendengkur, mulutnya selalu agak terbuka. Tapi, tidak lagi bisa berbicara, meski mungkin masih bisa mendengar percakapan.

Dengan harapan semoga tidak disalahkan, saya putuskan menuliskan berita sakitnya BS di blog brangwetan.wordpress, meski saya ”tidak berani” mengabarkan via Facebook, karena pesan ”jangan ramai-ramai” tadi. Saya hanya ingin orang yang membaca berita itu ikut mendoakan BS. Sembuhlah kalau memang bisa sembuh, dan semoga Allah memberinya jalan terbaik kalau harus memanggilnya.

BS akhirnya pergi dengan tenang. Wajahnya bersih. Dari mulutnya terucap lafas surat Al Ikhlas. Jumat malam itu langit cerah, makam pun mudah digali. Ratusan pelayat mengantarnya ke TPU Rewwin, tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan Mas Bambang. (*)

*) Praktisi budaya, salah seorang sahabat BS

DALUWANG: BUKTI TRADISI PERNASKAHAN DI JOMBANG

Agus Sulton
Radar Mojokerto, 13 Fab 2011

Tradisi tulis-menulis sebenarnya sudah dimulai sejak berabad lamanya sebagai bacaan, pedoman manusia, kristalisasi atau cerminan akan zamannya. Dan bahasa sebagi medium yang mampu memberikan impresif tersendiri dalam menyampaikan dan menapaki kesusastraan, baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulis. Hal ini dapat diperkuat dari banyaknya penemuan manuskrip-manuskrip (naskah kuno/buku kuno) yang masih tersimpan di masyarakat dan prasasti batu bertulis di kabupaten Jombang seperti, prasasti Geweng 855 Saka atau 933 Masehi. Peninggalan tersebut bertatahkan tulisan aksara Jawa Kawi dilihat dari bentuk huruf, bahasa, dan susunan yang digunakan.
Sepanjang perkembangan pola berfikir masyarakat, tradisi tulis terus mengalami kemajuan, yaitu dari batu bertulis beralih ke daun lontar. Semacam ini—tidak terlepas dari pandangan masyarakat Jawa yang selalu berusaha untuk menyelaraskan dirinya dengan kekuatan lingkungan. Dojosantosa (1985) mengakatan sebagai Hayuning Bawana (kedamaian dunia) dilakukan dengan cara memelihara dan memperbaiki adat tatacara yang hidup dalam masyarakat, berlandaskan pada kekuatan dan kekuasaan Tuhan seru sekalian alam. Dengan demikian, mayarakat Jawa pada saat itu sudah memahami perubahan untuk meningkatkan atau memperbaiki pola kehidupannya, ini bisa dibuktikan dari karya-karya kesusastraan yang dihasilkan. Kekuatan yang muncul dari hasil karyanya memancarkan kekuatan tersendiri—yang tidak bisa diciptakan oleh orang masa kini. Sebagaimana dimaklumi atas puncak sastra Jawa kuno kuat berada di Kediri, yang hasil-hasilnya berupa lontar berbentuk kakawin seperti Hariwangsa Gatutkaca Craya (Mpu Panuluh), Werthansancaya (Mpu Tanakung), Arjunawiwaha (Mpu Kanwa, tahun 1030 M), Baratayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Darmaja), Sumana Santaka (Mpu Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), dan sebagainya. Arjunawiwaha menceritakan tentang sosok Arjuna bertapa—mencari senjata untuk kepentingan perang melawan Kurawa. Sedangkan Gatutkaca Craya menggambarkan sosok Putra Arjuna, yaitu Abimanyu menikan dengan Siti Sundhari berkat bantuan Gatatkaca. Kresnayana bercerita masa kecil Kresna dan keluarganya.

Selain kerajaan Kediri, kerajaan Majapahit juga menghasilkan karya-karya agung seperti, Kutaramanama (Gajah Mada), Negarakertagama (Mpu Prapanca) banyak menceritakan tentang kerajaan Singasari pada masa Ken Arok sampai Hayam Wuruk, Arjunawiwaha (Mpu Tantular) menceritakan Patih Sumantri dan Arjuna Sasrabaha melawan Rahwana, Sutasoma (Mpu Tantular), Pararaton, Calon Arang, Sundayana, dan sebagainya.

Setelah lontar mengalami kemunduran, masyarakat mulai memakai kertas daluwang walaupun lontar tidak bisa ditinggalkan begitu saja, tetap dari sebagian masyarakat masih mempertahankan lontar sebagai media untuk menulis; baik menyalin manuskrip-manuskrip lama, menafsirkan aksara Arab ke bentuk tulisan pegon, dan karang mengarang. Daluwang merupakan kertas dari kulit pohon Waru yang dikelupas kemudian ditumbuk di atas balokan kayu. Untuk bahan pembuatan kertas daluwang di Jombang lebih dikenal dengan pohon Waru, Sunda (pohon Saeh), Madura (Dhalubang/Dhulubang), Banggai (pohon Linggowas), Sumba (pohon kembala), Tembuku (pohon Iwo), dan Kepulauan Seram (pohon Malak). Pohon ini di dunia disebut juga dengan Paper moerbeiboom, Japanischer papierbaum, Paper Mulberry , Murier a papier , dan Paper mulberry.

Kertas daluwang—itu sendiri juga mempunyai banyak sebutan berbeda-beda di setiap daerah. Di Ponorogo disebut dengan kertas Gedog, nama ini diambil atas anggapan masyarakat bahwa bunyi saat proses pembuatan di atas balokan kayu, sedangkan keseluruan Jawa menyebutnya sebagai kertas daluwang/dluwang, Nusantara pada umumnya menamai dengan kertas Fuya, dan di dataran Pasifik disebut dengan kertas Tape. Orang awam yang kurang begitu memahami sejarah tradisi tulis masa lampau, kertas daluwang disebut sebagai kertas kulit (kulit binatang) atau kertas kapas, sekilas kertas ini memang mirip lulang kulit, berserabut atau serat, dan susah untuk disobek.

Metode dalam pembuatan kertas daluwang ini lebih sederhana. Pertama, disiapkan pohon Waru yang berusia sekitar dua tahun, kemudian dipotong sesuai keinginan dan kulitnya dikelupas, selanjutnya kelupasan tersebut direndam dalam air kurang lebih satu jam. Kedua, hasil perendaman tersebut diletakkan di atas bantalan balokan kayu lalu dipukul memakai Pameupeuh (sejenis alat pemukul) sampai kulit tersebut mencapai lebar 1,5-2 dari lebar semula, lalu kedua bagian disatukan secara membujur untuk menghasilkan kertas yang diinginkan. Ketiga, mencuci kulit yang sudah dipukuli tersebut ke dalam air bersih, diperas dengan pelan, dilipat-lipat, selanjutnya digulung—dibungkus memakai daun pisang sekirat 3-5 hari agar bisa menghasilkan lendir. Keempat, mengambil kulit-kulit tersebut dari bungkusan untuk diletakkan di atas batang daun pisang sambil dijemur dan menghilangkah lendir yang berlebihan, sekiranya dirasa agak kering, selanjutnya bisa diangkat dari batang pohon pisang dipindahkan ke tali tampar pohon Waru yang sudah dibentangkan.

***

Produksi kertas daluwang mencapai kejayaan sekitar abad ke-18 M dan 19 M, ini dibuktikan dari beberapa manuskrip yang banyak ditemukan di masyarakat. Selama penulis melakukan penyelidikan di Jombang dan sekitarnya dari tahun 2008-sekarang, indikasinya dalam kolofon manuskrip tersebut mencantumkan candra-sengkala tidak jauh dari tahun 1800-an. Kebanyakan manuskrip-manuskrip itu ditulis menggunakan kertas daluwang, walapun ada sebagian yang ditulis memakai kertas watermark (cap: PC Hendrinksen, 1A, HS, VDL, seorang raja sedang duduk memegang tongkat), anggapan ini tergolong manuskrip tahun 1840-an.

Secara umum manuskrip daluwang yang ada di Jombang lebih dominan pada manuskrip keagamaan, seperti tauhid, pengobatan, tarekat, fiqih, Akhlaq, cerita para Nabi dan sebagainya. Di sisi lain kitab ”jenggotan” berbahasa Arab merupakan manuskrip yang paling sering dijumpai dan hampir kesemuanya memakai kertas Eropa, baik watermark atau kertas bergaris renggang. Dalam konteks manuskrip pesantren masa lalu, kertas daluwang merupakan alas tulis yang banyak dipakai untuk menyalin dan penulisan naskah keagamaan. Di samping itu, kertas daluwang mudah didapat dari para pengrajin kertas dengan harga ekonomis dan ukuran sesuai dengan selera permintaan, dari pada kertas Eropa—yang pada saat itu susah didapatkan begitujuga harganya cukup mahal.

Menurut sumber tradisional, tinta untuk menulis kertas daluwang—mereka buat sendiri secara natural, yaitu bleduk (getah) asem ranji dicampur dengan angus oncor atau arang, kemudian direbus sampai mengental. Ada juga jelaga berwarna hitam dicampur dengan kanji, arang, lada hitam atau beras ketan hitam, setelah itu dilarutkan dalam air untuk direbus, masyarakat menyebutnya sebagai tinta India.

Campuran dari beberapa bahan tersebut bertujuan untuk menghasilkan warna hitam pekat, tinta menempel secara permanen di atas kertas, dan menjadikan tinta dapat mengering dengan cepat. Sementara itu, untuk menghasilkan efek warna yang beragam mereka sering menggunakan kulit cabai, bunga, daun inai, dan sebagainya yang sudah ditumbuk dengan halus. Sedangkan alat untuk menulis, mereka selalu memakai lidi dari pohon aren yang dijepit menggunakan potongan bambu sesuai ukuran pena sekarang, batang bulu angsa, dan potongan bambu kecil yang sudah diruncingkan.

Alat dan bahan tulis tersebut dibuat secara sederhaha, ini tidak lepas dari situasi dan kondisi pada waktu itu—penuh keterbatasan. Secara tidak langsung, tradisi tulis semacam ini merupakan local genius yang dikembangkan didasarkan atas pola berfikir masyarakat yang terus memberi stimulasi haus akan ilmu pengetahuan pada masanya.

Dari beberapa informan di Jombang menjelaskan bahwa, tradisi tulis Jombang pernah mengalami masa gemilang sebelum tahun 1900, masyarakat pedesaan sering membacakan manuskrip daluwang pada saat ada salah seorang anggota keluarga punya hajatan seperti melahirkan (melekan jabang bayi), nikahan, bersih desa, dan sebagainya. Biasanya sesepuh desa dan sebagian kelompok tertentu nembang Serat Anbiya (aksara Pegon dan Jawa) dan cerita-cerita pewayangan sampai menjelang subuh tiba. Data ini diperkuat lagi dengan ditemukannya manuskrip Serat Anbiya—bahan daluwang di Ngoro Jombang, dan beberapa cerita rakyat yang sudah banyak berkembang di masyarakat. Pernyataan itu membuktikan, bahwa di Jombang secara tidak langsung pernah ada jejak tradisi penulisan namun sifatnya lebih sederhana. Penyalinan dan penulisan manuskrip dilakukan antara orang per orang atau pesan ke seorang juru tulis, tidak seperti apa yang terjadi di Tegalsari Ponorogo secara kolektif, intens, dan komprehensif.

Namun aspek lain, manuskrip daluwang yang bisa kita lihat sekarang—kondisinya sungguh memperihatinkan pemerintah tidak begitu peduli akan masalah ini, padahal tahun kemarin kita merasa orgasme-emosional setelah budaya lokal Nusantara dibikin geli oleh negara tetangga. Setidaknya kita sebagai masyarakat Indonesia sadar budaya wajib memperhatikan akan manuskrip-manuskrip warisan nenek moyang dan menggalinya dari berbagai prespektif yang bisa menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Manuskrip-manuskrip Melayu kuno sudah banyak digondol dan didigitalisasi secara ilegal oleh negara tetangga untuk mencari kekuatan sejarah tertua nenek moyang mereka sebagai hak prioritas terhadap negaranya. Kalau suatu saat naskah Melayu koleksi masyarakat sudah banyak yang melayang tidak jelas, apakah tim yang bergentayangan itu akan memburu manuskrip pegon dan aksara Jawa di sekitar kita?

Barongsai, Barong, Reog, Dst

Viddy AD Daery*
Seputar Indonesia, 9 Des 2007

PROTES sekelompok masyarakat Indonesia yang reaktif terhadap dugaan ”Reog dipulung Malaysia” berakhir antiklimaks dan memalukan karena Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta yang mewakili pemerintah negeri jiran itu menjawab bahwa tidak benar Malaysia mengambil alih Reog Ponorogo menjadi milik asli mereka.
Yang terjadi adalah sekelompok besar masyarakat Jawa—sebagian besar asal Ponorogo yang pernah disewa pemerintah penjajah Inggris 1870-an untuk membangun Malaysia sebagai kuli kontrak penggarap hutan menjadi perkebunan kopi dan karet, membawa juga kesenian reog dan wayang kulit, Marhabanan, Ludruk, Ketoprak dan, sebagainya.

Hanya saja,ludruk dan ketoprak kini sudah tidak lagi eksis di Malaysia. Malah, keputusan Pemerintah Malaysia yang terbaru seperti dikatakan Menteri Pariwisata/ Pelancongan Malaysia Tengku Adnan Mansur yang beristri artis Indonesia Enny Beatrice menyatakan bahwa semua kesenian Indonesia akan dihentikan ”penayangannya” oleh pemerintah Malaysia.

Hal itu tentu justru akan merugikan masyarakat Jawa di Malaysia, guru-guru seni Indonesia yang disewa Malaysia,dan para perajin seni yang banyak mendapat pesanan dari Malaysia, sedangkan pesanan dari pemerintah Indonesia sendiri sangat kurang kalau tidak nol besar.

Kesenian Dibawa dan Dikreasi Baru

Kasusnya adalah ada ”mukimin” alias imigran Jawa yang membawa kesenian reog ikut hijrah ke Malaysia. Seperti imigran Jawa dikontrak penjajah Belanda untuk hijrah ke Suriname (Amerika Selatan) sebagai kuli kontrak, mereka membawa kesenian ludruk, melahirkan ”Kabaret Captain Does”.

Selain itu,tahanan tentara sewaan Jawa semasa Perang Banten yang dibuang Belanda ke Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di dua tempat itu mereka membawa kesenian debus dan pencak silat. Ada juga imigran Jawa hijrah ke Pulau Christmas dan Pulau Cocos Keeling (di Samudera Indonesia, tetapi masuk wilayah Australia) sebagai kuli kontrak penambangan dolomit dan fosfat, juga hijrah ke New Caledonia (di Samudera Pasifik) sebagai kuli perkebunan tebu.

Mereka membawa wayang kulit.Tetapi, karena yang hijrah adalah para kuli,bukan pakar dalang, mereka ”memodifikasi” wayang kulit versi mereka,hasilnya agak penceng-pencengdan waguserta ceritanya agak sederhana dan ngawur. Kenapa para reaktifis Indonesia tidak memprotes Suriname, Sri Lanka,Afrika Selatan,Australia,New Caledonia, dan sebagainya?

Padahal, jelas-jelas Australia mencetak wayang-wayang versi Melayu-Jawa Samudera Indonesia itu di prangko-prangko filateli Australia.Juga, buku-buku panduan turisme Afrika Selatan selalu menonjolkan masyarakat Melayu-Banten-Jawa sebagai obyek wisata budaya yang mempunyai kesenian debus dan makanan rijstaffel atau nasi campur ala Belanda-Afsel.

Kasus Reog Ponorogo dikreasi imigran Ponorogo menjadi Tari Barong saya kira amat mirip dengan proses wayang kulit Jawa dikreasi menjadi wayang wagu di Pulau Christmas dan Pulau Cocos Keeling. Toh, wayang Indonesia juga mengkreasi wayang India. Untung India tidak pernah memprotes Indonesia di zaman Kerajaan Kediri atau zaman Majapahit dulu. Reog Ponorogo mungkin juga ”diilhami”seni Barongsai dari daratan China karena orang-orang China sudah banyak yang mengembara di Nusantara sejak zaman Singosari, ketika utusan Kubilai Khan disuruh mengancam raja-raja Singosari.

Jadi, benar pepatah ”tak ada yang baru di bumi ini.” Namun,yang perlu kita banggakan, meskipun kita juga bangsa peniru (pemulung juga), kita mampu mengkreasi baru dengan lebih indah dan lebih artistik dari aslinya. Konon, Borobudur meniru Angkor Wat di zaman Raja Campa Indrawarman (kini Kamboja dan Vietnam) yang bersahabat baik dengan raja-raja Mataram kuno.

Tetapi, banyak budayawan yang menilai bahwa Borobudur lebih indah dan lebih halus daripada Angkor Wat. Tentu bisa jadi, orang Campa menilai sebaliknya . Wayang Indonesia sangat luar biasa detail sunggingannya dibanding wayang India dan wayang Thailand, dua sumber yang menjadi inspirasi wayang Indonesia/ Jawa.

Juga kesenian yang diimpor dari Arab dan Turki di zaman pasca-Sunan dan abad sultan-sultan (sekitar abad 16 dan 17 M),misalnya Tari Zapin dan Teater Indra Bangsawan. Toh, Tari Zapin Melayu/Indonesia lebih rumit dan indah daripada zapin asli Arab yang sangat sederhana dan cuma meloncat-loncat.

Tari Zapin ini populer di seluruh wilayah kesultanan Melayu, mulai Jambi, Palembang, Riau, sampai Johor, Malaka, dan seluruh semenanjung Malaya. Maka, orang-orang Jambi, Palembang, dan Riau tidak pernah memprotes Malaysia, mungkin karena mereka lebih sadar keserumpunan ketimbang orang Jawa.

Psikologi Orang Kalah?

Mengapa orang-orang Jawa memprotes Malaysia mulai lagu Rasa Sayange sampai Reog Ponorogo, sementara mereka tidak takut diprotes Amerika waktu para artis Indonesia menyanyi lagu rap dan tari hip-hop serta break dance? Saya kira, penyebabnya, bangsa kita mengidap sindrom ”anti menggaruk kuduk sendiri” dan juga mengalami psikologi orang kalah.

Karena sekian lama dikhianati pemerintahnya sendiri,mereka mencari pelampiasan dengan memusuhi saudaranya yang dikiranya lebih yunior atau lebih lemah. Malaysia adalah murid Indonesia sejak zaman Kerajaan Malaka berguru kepada Majapahit di abad 15, sampai zaman merdeka, bahkan sampai zaman modern karena sampai 1970-an, antara lain di daerah Sabah, ada serombongan petani Indonesia di bawah koordinasi Cak Kadar, budayawan dari Surabaya, yang ditugasi pemerintah Indonesia untuk memberi pelajaran budi daya tanaman kelapa sawit kepada petani Sabah, Malaysia Timur.

Apa yang terjadi sekarang? Kelapa sawit Indonesia jeblok karena mismanagement sehingga dibeli dan dikelola perusahaan kelapa sawit Malaysia. Malaysia memang banyak mendapatkan devisa utama dari perdagangan global minyak bumi, kelapa sawit,dan turisme. Menurut budayawan M Sobary, para wartawan senior Malaysia pernah berguru ke kantor berita Antara Indonesia.

Hanya saja, perlu disayangkan karena kini Sobary menuduh Malaysia maling. Suatu tuduhan yang berbahaya sebelum dibuktikan di pengadilan. Apalagi, Sobary seorang budayawan yang mestinya amat berwawasan luas.Tapi siapa tahu, Sobary juga sedang mengidap psikologi pecundang.

Maka, kondisi sekarang dibalik, Indonesialah yang kini banyakberguruke Malaysia, dengan banyaknya mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia dan sangat banyak TKI mengais rezeki ringgit di negeri itu. Meski mereka sangat sering disiksa majikan-majikan etnis China dan India, toh tetap saja mereka ke sana mencari hidup karena Indonesia sendiri tidak bisa memberi harapan hidup karena kekayaan negara dirampok para pemimpin dan komplotannya.

Psikologi orang kalah inilah yang menjadikan sebagian rakyat Indonesia menjadi sensitif dan reaktif dengan proporsi yang kurang mendahulukan akal dan nalar. Memang amat disayangkan, Indonesia yang dipuji secara tepat oleh Koes Plus sebagai ”Kolam Susu” telah memberi manfaat kepada banyak bangsa mulai Arab, China, India, Barat, bahkan sesama rumpun Melayu, sejak zaman awal Masehi bahkan mungkin sebelum Masehi (seperti diceritakan dalam karya sastra Arab kuno ”Sindbad Si Pelaut”), sampai zaman modern kini.

Namun, rakyatnya justru dimiskinkan kezaliman para pemimpinnya sendiri, bagai peribahasa ”Anak ayam mati di lumbung padi”.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/barongsai-barong-reog-dst.html

Ketika Para Buruh Menulis Sastra

Bonari Nabonenar
Jawa Pos, 10 Juli 2005

Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, diundang menjadi pembicara pada acara workshop penulisan bagi buruh mingran Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan komunitas sastra BMI Caf? br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di Tiongkok itu.***

Belakangan ini dalam dunia sastra Indonesia muncul istilah yang tampaknya akan semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Fenomena itu ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dari “rahim” para pekerja wanita kita di luar negeri, yang diam-diam sudah lama “mengandung” benih-benih potensi yang luar biasa.

Terus terang, saya sempat dikagetkan oleh kehadiran Rini Widyawati, yang tahun lalu baru pulang dari Hongkong. Selama dua tahun Rini memang bertaruh jiwa dan raga menjadi domestic helper (pembantu rumah tangga) di negara bagian Tiongkok itu. Nah, ketika pulang ke kampung halaman itulah, Rini membawa oleh-oleh sebuah catatan harian yang, oleh beberapa kalangan, dinilai sangat nyastra. Tak lama kemudian, oleh-oleh itu telah terbit menjadi buku dengan judul: Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP-Books, Mei 2005). Rini boleh jadi termasuk salah satu TKW kita yang istimewa. Secara akademis, dia hanya sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar. Karena setelah itu, dia harus mencari penghidupan sendiri keluar dari kemiskinan keluarganya di desa. Untungnya, begitu sampai di kota (Malang), dia bertemu dengan seorang pengarang wanita hebat:Ratna Indraswari Ibrahim. Maka, sambil membantu membereskan pekerjaan rumah, Rini mendapat “pelajaran” secara khusus bagaimana “menulis sastra” dari Mbak Ratna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga Rini menginjak dewasa. Hingga Rini kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKW di Hongkong.

Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi editor di JP-Books) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Dari pengalaman menyunting buku Rini itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan cerpenis Lan Fang) dengan wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia yang beredar di Hongkong). Dia bernama Ida Permatasari yang lebih senang memakai nama Arsusi Ahmad Sama’in dalam tulisan-tulisannya (kebanyakan berupa cerpen). Perempuan asal Blitar itu yang sangat bersemangat memprovokasi perempuan buruh migran asal Indonesia di Hongkong untuk: menulis, menulis, dan menulis! Untuk mewadahi para penulis BMI itu, Ida lalu membentuk komunitas penulis BMId untuk saling asah dan asuh demi meningkatkan kualitas tulisan-tulisan mereka.

Kekaguman saya makin menjadi-jadi tatkala memasuki milis-group mereka. Banyak mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar memolesnya, pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman Sastra Indonesia.

Bagi para aktivis BMI, menulis ibarat pedang bermata banyak. Dengan memanfaatkan waktu luang dan waktu libur untuk menulis, mereka akan terhindar dari godaan-godaan yang bisa menjerumuskan ke jurang kenistaan panjang di perantauan.

Dengan menulis, para BMI juga bisa melakukan semacam terapi diri, menyalurkan “hawa buruk” berupa rasa rendah diri, frustrasi karena majikan terlalu cerewet, bahkan mungkin juga kasar, jahat, dan lain-lain, ke dalam tulisan. Apa saja bentuknya.

Dengan menulis, mereka juga bisa menyuarakan aspirasi, menentang secara cerdas tindakan-tindakan pihak lain: birokrasi, majikan, dan pemerintah, yang tidak adil terhadap mereka. Dalam kata lain, dengan menulis para BMI menolak untuk sekadar dicatat sebagai salah satu sumber devisa negara. Sebab dengan menulis mereka menjadi subjek yang berkuasa penuh atas apa yang hendak mereka goreskan.

Dengan menulis, para BMI yang oleh masyarakat awam dipandang golongan “hina”, babu, budak; melompat ke dalam “kasta” paling tinggi yang bisa dicapai seorang manusia.

Pertumbuhan dunia sastra di kalangan BMI itu diikuti oleh munculnya komunitas-komunitas sastra yang mewadahi mereka. Di Hongkong, menurut Ida, saat ini sedikitnya ada tiga komunitas BMI yang aktif di bidang penulisan. Yakni Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Caf?de Kosta yang dikomandani Ida Permatasari. Mereka telah membuktikan diri dengan bersaing secara bebas dengan penulis-penulis lain dari berbagai kalangan. Karya-karya mereka mulai bermunculan di media-media cetak, di dalam maupun luar negeri.

Selain Ida, beberapa penulis BMI juga sudah saatnya diperhitungkan namanya di jagat persilatan Sastra Indonesia. Sebut saja, misalnya, Lik Kismawati asal Surabaya, Wina Karnie dan Etik Juwita (Blitar), Tania Roos dan Mega Vristian (Malang), Hartanti (Ponorogo), Dian Litasari (Banyuwangi), Tarini Sorrita (Cirebon), Suci Hanggraini (Madiun), dan Atik Sugihati (Kediri). Karya mereka sudah bertebaran di banyak media.

Sekarang, apakah Anda tidak merasakan kejutan indah oleh berita ini: Seorang pramuwisma asal Cirebon yang kini bekerja di Hongkong telah menerbitkan buku kumpulan tulisan reflektifnya berjudul Big Question, Don’t Look Dawn at Domestic Helper. Tarini Sorrita, begitulah nama pena pramuwisma ini, langsung menulis dengan bahasa Inggris, dan atas bantuan temannya yang berkebangsaan Swiss, buku itu berhasil diterbitkan. Sayangnya tidak di Indonesia.

Pemerintah dan instansi terkait sudah selayaknya merasa bangga dengan kiprah para BMI itu. Jangan malah memandang mereka dengan mata curiga, karena dianggap: tidak selayaknya seorang babu mempunyai keahlian sebagai penulis. ***

*) Bonari Nabonenar, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, bersama Kuswinarto akan menjadi narasumber pada Workshop Penulisan bagi BMI-H (, 10 Juli 2005).

Drs. Sutikno: Bagian Kajian Kitab (Hidup) Ma’iyah

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Sedulur Maiyah! Kalau anda melewati pasar Cukir, sekitar 200 meter selatan makam Gus Dur, tepatnya di pertigaan PG Cukir yang dari arah Mojowarno, ada toko Sumber Waras, JL. Raya Kediri no: 10, bersebelahan pas dengan mushollah, itulah toko milik sedulur kita Drs. Sutikno, sarjana lulusan Fakultas Ekonomi STKIP Jombang tahun 2000. Lantas, apa yang menarik dari sosok Sutikno sehingga saya perlu menurunkan tulisan sebagai kitab kajian hidup bagi Jama’ah Ma’iyah?

Ia adalah orang yang ingin segera mempercepat proses pensiun dari jabatan PNS-nya di salah satu SMA tempat ia mengajar. Sistem kapitalisasi pendidikan, dan ditambah budaya ABS (Asal Bapak Senang), serta penerapan sistim pendidikan yang bertumpu pada kualitas ‘nilai’belaka tanpa kejujuran terhadap anak didik, apalagi secara perlahan mulai didengser oleh Atasan dengan berbagai trik-intrik, membuat DRS. Sutikno kian tidak betah meneruskan profesinya sebagai pengajar. Baginya, di kehidupan yang hanya sekali dan sementara ini, sudah cukup sulek dan rusuh untuk terus meladeni dunia profesional yang tetap ber-ulah seperti anak kecil, yakni berebut pengakuan atas eksistensi dirinya di hadapan orang lain. Menghindar artinya mengalah yang belum tentu kalah, sebab perlawanan pada sistem yang bebal, dungu kolektif di dunia pendidikan di Indonesia, hanyalah energi mubadzir yang menelantarkan urusan lain yang luas cakupan fisi dan misinya bagi umat, bangsa dan negara.

Tidak hanya itu, Drs. Sutikno (Pak Tik) adalah orang yang mulai merubah beberapa konsep disiplin keilmuaannya semasa sekolah. Konsep ‘mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya dengan hasil melimpah-ruah’ adalah sikap serakah, di mana konsep tersebut hanya membentuk karakter seseorang untuk membangun individu meski pun mencecap penderitaan orang lain. Ia berfikir terbalik, bahwa kesuksesan dirinya tidak akan berarti jika tidak mengangkat kesuksesan orang lain. Serta, memprioritaskan rizqi secara komulatif berdasarkan minkhaistu la yahtasib: rizqi bisa datang dari berbgai arah dan dari hal yang tak terduga.

Perubahan cara berfikir dan bersikap Pak Tik, terjadi sejak ia mengenal ilmu Maiyah. Ceritanya begini: Pada 24 Juni 2011 lalu, Saya dan Lek Mujib sedang mengisi acara sastra (membaca puisi) di forum Lawatan Budaya di Balai Desa Mojowarno. Acara tersebut dipandegani Mbah Catur (Kades Desa Mojowarno) yang sekomunitas dengan Lek Mujib dalam berkesenian. Kebetulan Saya dan Lek Mujib membantu terselenggaranya acara yang digagas selama 4 hari sejak tanggal 23-26 Juni 2011. Di sanalah Pak Tik selaku warga desa setempat menemui Saya, setelah mendengar kalau Saya dan Lek Mujib, ikut mengisi acara. Pak Tik bercerita banyak tentang dirinya yang sudah 11 tahun aktiv ke Pengajian Padhang mBulan. Bahkan, ia beserta keluarga dan karyawannya, mengutamakan hadir di setiap PB dan beberapa acara Maiyah di Jawa Timur. Demikianlah kemudian Pak Tik bercerita panjang lebar seputar perjalanan hidupnya sehubungan dengan Maiyah.

Sekiar tahun 2000-an, Pak Tik yang sarjana ekonomi, mengawali bisnis hortikultura dengan menanam cabe, setelah melihat tetangganya sukses menekuni bidang tersebut. Ia pun memakai uang sang istri (Ibu Qoyyimatun Ni’mah) senilai Rp. 35 juta sebagai modal. Sebagai orang yang berdisiplin keilmuan tinggi, Pak Tik tidak ingin beresiko gagal, sebab kegagalan bisnis bermodal uang istri, bisa berakibat pecahnya kepercayaan rumahtangga, keharmonisan keluarga. Pak Tik pun mempraktekkan proses penanaman cabe sesuai standart prosedur perkebunan. Mulai dari penggarapan lahan, pembibitan, pemupukan serta perawatan, dipenuhi secara maksimal. Namun nasib berkata lain, usaha penanaman cabe Pak Tik gagal total, alkhasil, dana senilai Rp. 35 juta, ludes, tak kembali sepeser pun. Padahal, tetangganya yang ditiru, yang lahannya bersebelahan, tetap aman dengan hasil melimpah. Saat itulah Pak Tik berfikir, bahwa usah bisa ditiru, namun rejeki serta keber-untungan belum tentu. Apa yang salah dari konsep wira usaha Pak Tik?

Di tengah kegalauan pasca-kegagalan inilah, Pak Tik datang ke Pengajian Padhang mBulan. Seperti diceritakan ke Saya, entah waktu itu Cak Nun sedang membahas tema apa, yang jelas pembicaraan Cak Nun (waktu itu) masih terngiang di telinga Pak Tik, “anggetmu GustiAllah iku buruhmu ta, gedibalmu, hingga Alloh kau tuntut-tuntut menuruti segala kesuksesanmu, keinginanmu, segala karepmu. Tuhan, bagaimanapun posisinya, tetaplah Juragan yang wajib disembah, sedang kita tetaplah kawulo yang menyembah. Tugas manusia hidup itu hanya sebatas usaha, usaha, dan berusaha, sedang urusan gaji kita berusaha, rizqi, itu murni urusan Alloh!” Sebetulnya tidak sekali ini, dan tidak seorang Sutikno saja yang mengalami hal tersebut. Ribuan Jama’ah dan beberapa orang tertentu sesungguhnya mengalami hal yang sama, yakni tiba-tiba kejudegan segumpal permasalahan yang berkecamuk dalam dadanya, seketika padhang byarr setelah mendapat jawaban dari Cak Nun. Meski bukan pertanyaan secara pribadi, tetapi secara umum permasalahan individu Jama’ah terjawab dengan sendirinya. Gejala inilah yang disebut Gravitasi Cinta, seperti ada ketajaman yang terhubung.

Sejak itu Pak Tik merintis usaha dari nol. Ia kulakan kunir, laos, segala rempah ke pegunungan Wonosalam, itupun hanya bermodal Rp.100 ribu. Ia berjanji tidak akan mengganggu keuangan istri lagi. Pun juga tidak akan serakah dengan menambah modal di atas Rp.100 ribu, kecuali sejumlah itu ia putar sedemikian rupa. Bagi Pak Tik, yang penting ngugemi ketaukhidan yang disampaikan Cak Nun. Alkhasil kejeblokan perekonomiannya berangsur pulih. Bersama istri, Pak Tik kemudian membuka toko di rumah mertuanya di Ponorogo. Untuk sekali itu, Pak Tik pernah telepon Cak Nang (Anang Anshorulloh) untuk meminta pendapat mengenai usaha dagang. Cak Nang menyarankan agar Pak Tik menjual apa saja yang berkenaan dengan kebutuhan pokok. Cak Nang juga memberi teori, bahwa usaha apapun kalau buget perputarannya tidak mencapai 1 juta/hari, sebaiknya jangan memakai karyawan, istiqomah ditangani sendiri. Dan yang penting, harus cermat dalam perhitungan, jangan sampai besar pasak daripada tiang. Sehari berpenghasilan Rp.100 ribu, tetapi berbelanja melebihi saratus ribu. Pasti jebol! Alhamdulillah, tokonya semakin mbabrah.

Kegelisahan pun melanda Pak Tik kembali. Kecukupan materi belum tentu menentramkan jiwa. Kehausannya pada wawasan yang lebih tinggi, membuat Pak Tik berfikir bahwa kebutuhan jasmani dan rokhani harus seimbang. Sementara, selama ia mengamati hidup, belum menemukan tokoh yang cocok dengan dirinya. Tokoh yang disewa Alloh untuk dititipi cahaya terangnya selain Emha Ainun Nadjib. Tokoh yang berfikir multidimensial, satu sisi alur fikirannya tiba-tiba mencuat radikal dalam menafsirkan ayat Alqur’an dengan kontekstual yang tidak mampu diungkapkan tokoh lain, sisi lain Emha juga sebagai sosok yang gigih menata dan membela penderitaan arus bawah. Sosok yang tidak serakah dengan jabatan, tidak tergiur dengan berbagai peluang tender proyek yang hanya menguntungkan diri semata. Sementara tokoh lain, malah bersikap terbalik, yang akhirnya semua orang menyaksikan betapa mereka mengalami penurunan derajat dihadapan rakyat sebelum ajal tiba. Welo-welo nyoto, ketok moto. Sebab inilah Pak Tik membayangkan seandainya minimal sebulan sekali bertemu Emha, untuk mencecap keradikalan pandangan hidup yang lebih baik.

Kegelisahan Pak Tik kian menderu saat ia bagai menelan buah simalakama. Di Jombang, Pak Tik perlu merawat kedua orangtuanya, di Ponorogo, juga berbakti pada mertua. Pada titik inilah Pak Tik menyerahkan penyelesaian atas dirinya pada Alloh. Ndilalah kersane Alloh, istrinya Pak Tik berkeinginan meneruskan sekolah sejenis AKPER khusus manula yang ternyata sekolahan semacam itu tidak ada di seluruh Indonesia, kecuali di Peterongan Jombang. Akhirnya istri Pak Tik meminta untuk pulang ke Jombang. Terpaksa toko di Ponorogo ia serahkan pada saudara. Dalam kurun ini, Pak Tik mengajar di salah satu sekolah SMA di Jombang, sementara Ibu Qoyyimatun Ni’mah membuka praktek kebidanan manula lengkap beserta apotik.

Keinginan menolong sesama dengan menarik ongkos murah dari pasien, membuat kalangan dokter di Jombang iri hati dan kemudian melaporkan praktik Ibu Qoyyimah agar ditutup. Bagi wanita karier yang menapaki kesuksesan, lantas divonis tutup, tentu merupakan tekanan mental tersendiri. Namun perlahan Pak Tik menyadarkan istrinya bahwa sekali lagi, rizqi itu bisa datang secara tak terduga.

Pak Tik yang kadung lincah berbisnis mulai melebarkan sayap ke berbagai perdagangan: makelar mobil, motor, hingga mengontrak dua toko di kawasan Cukir, satu stand sengaja diperuntukkan adiknya. Yang menarik dari konsep perdagangan Pak Tik adalah menerapkan ilmu Maiyah, tidak serakah, ongso-ongso terhadap laba. Bayangkan, sekitar 20 motor yang dibayar mengangsur oleh teman, tetangga, tidak seperti sistem deller. Pengeridit hanya melunasi uang pokok sesuai harga standart penjualan, tanpa bunga atau pun denda. Ketika saya diajak mampir ke rumahnya, tiga mobil di garansi ia peroleh dengan putaran uang tak terduga, tiba-tiba ada orang titip, meminjamkan, menambahi, menjualkan barang dll. Dari perputaran uang yang masuk, hingga nyantol membeli tanah. Semua dilakukan Pak Tik tanpa memplening uang terlebih dulu. Perdagangan yang mengalir, membaca arus. Meski sesekali menjadi Kiai Genthong, karakter Pak Tik dalam ilmu Maiyah cenderung berjuluk Kiai Talang. Ia hanya mengalirkan perputaran keuangan sebagai rahmat Alloh untuk hamba yang membutuhkan. Sedulur Maiyah, silahkan berbagi pengalaman dengan Drs. Sutikno. Add Frand FB: Sutikno (Tikno) HP: 088-192-810-64.

15 Agustus 2011
*) Penulis: Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra Jombang.

Realitas Magis Han Gagas

Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/

TERMIN realisme ini merujuk ke konteks sastra, secara naif diartikan sebagai narasi deskripsif yang mengungkap aspek kehidupan riil/nyata secara langsung, lugas dan cermat. Meski sesungguhnya kenyataan obyektif tidak bisa utuh ditampilkan dan dikenali lagi seperti apa adanya, karena yang ditampilkan di dalam teks itu kenyataan yang telah diseleksi serta digarisbawahi kepentingan subyektif pengarang. Karena itu lahir sastra bercorak realisme psikis, realisme subyektif (James Joyce, Frans Kafka), atau bahkan realisme magis (Edgar Allan Poe).
Sedang terma realisme magis merujuk ke narasi teks deskripsif yang nyata dan realistis tapi dengan logika yang magis non-riil atau surealis penuh keajaiban hantu atau alam jin siluman-dibedakan dengan keunikan teknologik dan alien yang bersipat sci-fic. Pada Han Gagas, cq Tembang Tolak Bala (Pustaka Sastra LKiS, Yogakarta, Mei 2011) itu bermakna alam gaib yang merasuki seseorang ketika ia kesambet sebab berani bermain di tempat angker. Dan karena yang angker itu ada di Ponorogo, maka nyaris seluruh sejarah serta masa lampau Ponorogo-mitos, cerita tutur sepihak, atau peristiwa aktual semacam pemberontakan PKI Madiun 1949 dan G30S/PKI 1965-bisa dialami si bersangkutan dalam hitungan 35 hari saja.

Semua dioplos dalam arus waktu mundur maju saat si tokoh kesambet, jiwanya melayang tubuhnya koma, sebab itu meskipun bercerita tentang pelarian Majapahit yang ingin mempertahankan Hindu dari dera dakwah Islam (Demak), tapi sebetulnya sedang mendadar misteri gemblak di balik kesaktian warok di tradisi Reog Ponorogo. Warok bukan lagi sekedar si pemimpin kelompok seni, tapi si jagoan yang mengamen mempertunjukkan kesaktiannya buat menghibur rakyat, yang memimpin ritual bersih desa, dan aktif menentang penjajah atau partisipasif berpihak pada ideologi tertentu,awal tragedi politisasi penyebab banyak awak Reog hilang di era G30S/PKI 1965.

Meski gineakologi Reog hanya dikaitkan ke: (1) ekspresi penghibur untuk Klana Sewandana, raja dari Bantar Angin, yang telah tujuh tahun menikah dan tak dikaruniai anak ditinggal istrinya, Putri Sangga Langit bertapa.Ketika Bujang Ganong, patihnya, merekonstruksi perkelahiannya dengan Singa Barong, si pejaga perbatasan Kediri dan Bantar Angin, di Wengker. Duel alot yang memaksa Klana Sewandana mengeluarkan pusaka Pecut Samandiman, membunuhnya, dan dengan menenteng kepala berujudkan singa itu melamar Putri Singa Langit, anak Erlangga, dengan diikuti merak peliharaan Singa Barong. Seperti disimbolkan dengan tarian si yang memakai topeng Barongan (kepala singa) dan burung merak (Dadhak Merak) bertengger di atas kepala singa Atau (2) merupakan protes alegoris pada Brawijaya, raja akhir Majapahit, yang mengabaikan ramalan: kehancuran Majapahit berawal dari kengototan menikahi Putri Campa, sehingga Islam masuk istana, dan terealisasi saat Raden Patah, murid Wali Sanga, menghancurkan Majapahit dari dalam. Semua telah diramalkan, hingga “bisa” ditolak dengan Brawijaya yang gagah perkasa itu tidak menikahi Putri Campa. Tetapi Brawijaya tak bisa diingatkan meski berulang disindir dengan protes alegoris: singa (Barongan) dikangkangi merak (Dhadhak Merak). Majapahit hancur, Brawijaya lari dan moksa di Gunung Lawu, sedangkan komunitas Hindu terakhir bertahan di bumi Wengker, antara Gunung Wilis dan Lawu.

Sementara pertentangan antar warok.Islami,punya kesaktian tanpa berpantang dengan wanita dan memilih alternatif homo seksual dengan gemblak-dan warok non-Islami,homoseks ber-gemblak dan beristri asesorik,bermula dari pelarian Majapahit membangun Prana Raga, dengan Ki Ageng Kutu di selatan, Ki Ageng Mirah di utara, Honggolono di barat, Ki Gentan di timur, dan Betara Katong di tengah. Pas komunitas terorganisasi terbentuk, Betara Katong imgim menjadikan Islam sebagai acuan nilai, sedang Ki Ageng Kutu tetap mengukuhi Hindu. Potensi perang terbuka ditengahi Ki Ageng Mirah dengan meminta Ki Ageng Kutu bersemedi menenangkan diri, pergi ke Gunung Lawu dan bersua Sunan Lawu (Brawijaya), lantas mendapat wangsit supaya berkonsultasi dengan Ki Ageng Mirah.

Pilihannya Ki Ageng Mirah ternyata Islam-secara faktual Islam dominan.Teks novel Han Gagas-wong Ponorogo asli-sebenarnya berkutetan pada ikon warok yang Islami dan usaha agar Reog menjadi Islami. Lewat prosesi si Hargo kehilangan adik yang mati tenggelam di sungai dan jadi guardian angel-nya, sampai ia kesambet dan hadir di masa Ki Ageng Mirah. Dari alam gaib itu ia kesambet lagi sehingga hadir di masa sang kakek, dijadikan anak temon dan sekaligus di-gemblak-ketika tersadar ia merasa sangat berdosa karena berzinah dengan kakeknya. Sekaligus jadi saksi ketika Teja Wulan melindung anak-anak dan istri para pelarian PKI dari Madiun tanpa mau membela kader PKI, dan pilihan humanistik itu jadi alasan musuhnya buat memfitnah sebagai PKI sehingga ditembak tentara di era 1965. Tapi mantra tembang Tolak Bala, lagu ana kidung rumeweksa ing wengi, warisan Ki Ageng Mirah, diturunkan padanya tanpa melalui ayahnya yang mati disantet.

Permusuhan sendiri berawal dari tarung gengsi berpapasan antara Wulung Geni dengan Honggo Dermo.Yang kalah mewariskan dendam ke Wiro Lodaya, anaknya, yang memfitnah Teja Wulan, anak Honggo Dermo sebagai antek PKI, sedang Marto Dirojo, anaknya Wiro Lodaya, menyantet ayah Hargo sampai mati, dan tidak sengaja mensodomi Hargo ketika bermalam usai belajar bersama. Hargo yang tidak berdaya menyenandungkan ilmu warisan Ki Ageng Mirah, dan Tembang Tolak itu membuat Marto Dirojo merasa bersalah dan di seumur hidup dihantui dosa. Anak tunggal Marto Dirojo, perempuan yang aktif bermain jathil reog malah kepincut Hargo. Merekapun menikah, punya anak kembar dan mengembang Reog Islami di sekitar Telaga Ngebel. Dan itu mungkin muara Reog Ponorogo: Islami, tanpa warok sakti dan gemblak,melulu satu ekspresi seni yang dikemas untuk jualan parawisata. ***

1 Oktober 2011
* BENI SETIA, pengarang

Membaca Novel TEMBANG TOLAK BALA(k)

Judul Novel Budaya: Tembang Tolak Bala
Penulis: Hans Gagas)
Peresensi: Arim Kamandaka *)
http://ponorogozone.com/

Sebuah novel kesejarahan, novel ini yang menceritakan secara lugas dan cerdas tentang Ponorogo. Meski jika orang-orang tua membaca novel ini lantas bertanya-tanya. Karena beberapa unggahan sejarah tidaklah benar dan tidak seperti apa yang didengar.
Untuk memahami novel ini memang perlu penikmatan ekstra, sebab novel ini bukan sekedar novel konvensional dengan alur yang meluncas-luncas. Nama tokoh utama Hargo, baru muncul pada halaman 112.

Batasan fakta dan fiksi menjadi sangat tipis, inilah novel Tembang Tolak Bala. Cerita dimulai ketika Hargo dan adik kembarnya berenang di sungai. Namun, tiba-tiba adik kembarnya terhisap arus sungai. Nahas, adik kembarnya itu tidak tertolong dan tidak ditemukan.

Semenjak peristiwa itu, Hargo seperti mengalami semacam tamasya fantasi. Tamasya yang berlangsung ketika dia koma di rumah sakit selama 35 hari yang membuat khawatir semua anggota keluarganya. Akan tetapi satu hal yang menarik, dalam tamasya fantasi itu Hargo mendapat sebuah kitab dari Eyang Tejowulan yang berisi tembang tolak bala. Anehnya kitab itu terbawa ke dunia nyata ketika Hargo sudah sadarkan diri.

Sekonyong-konyong ia telah tiba di sebuah zaman yang asing. Hargo mendapati dirinya berada di tengah keluarga Ki Ageng Mirah. Seorang kharismatik dan pemurah. Lantas Hargo terhisap kembali dalam sebuah pusaran hingga akhirnya ia sampai pada keluarga Tejowulan (di sini Hargo mulai berkenalan dengan dunia gemblak, bahkan sebagai pelaku). Semua terasa ganjil bagi Hargo. Sampai sini sudah sangat kentara jika Han Gagas menulis novel perdanya ini dalam semangat realisme magis.

Dalam novel ini menunjukkan dunia gemblak dari satu sisi. Sebab gemblak belum pasti pelaku sodomi. Novel ini juga tak luput dari kisah percintaan. Ada misalnya kisah kasih (tak sampai) antara Hargo dengan Mei, Juni dan kisah cinta antara Hargo dengan Juli yang meski berlatar dendam namun berakhir di pernikahan (dengan Juli yang anak sanggar, Hargo banyak berdiskusi perihal reog, warok dan gemblak, babad tanah Ponorogo dan Serat Darmogandhul). Ada pula hubungan beda etnis dan agama antara Hargo dengan Mei Ling yang Tionghoa. Meski berbeda mereka sangat dekat dan bahkan ketika pada akhirnya Mei diusir, Hargo dan Mei saling berkirim surat. Surat-surat mereka sangat menggetarkan.

Kejutan lain muncul manakala Hargo mendapati salah seorang guru laki-lakinya, Pak Marodirojo (warok) yang hendak sodomi menyetubuhinya. Hargo terbebas dari malapetaka itu diselamatkan tembang tolak bala yang tiba-tiba ia rapal. Ternyata, ia tahu guru itu tak lain adalah masih keturunan Wulunggeni, musuh bebuyutan nenek moyang Hargo, Honggodermo.

Singgah-singgah kala singgah (pulanglah segala yang buruk, pulanglah)
Pan suminggah durgakala sumingkir (Pulanglah segala yang jahat, menyingkirlah)
Sing hama sing awulu (segala hama penyakit, segala makhluk yang berbulu)
Sing suku sing asirah (segala makhluk berkaki, segala makhluk berkepala)
Sing atenggak kelawan kang sing abuntut (segala makhluk berleher dan berekor)
Padha sira suminggaha (kalian semua menyingkirlah)
Balia mring asalneki (Kembalilah ke asalmu)
….
Luputa bilahi kabeh (terhindar dari segala kenaasan)
Jin setan datan purun (jin setan tak akan mau)
Paneluhan tan ana wani (teluh tak ada yang berani)
Miwah panggawe ala (juga rencana yang buruk)
Gunane wong luput (santet dari orang terlepas)
Aniyat temahan tirta (juga niat buruk melalui perantaraan air)
Maling adoh tan ana miwah ing krami (pencuri menjauh, tak ada yang berani)
Guna duduk pan sirna (guna-guna pengasihan sirna)

Selain itu, yang menjadi kekuatan lain novel ini yakni adanya beberapa adegan pertarungan antar warok atau antar padepokan Reyog yang berlangsung seru dan mendebarkan . Intrik politik juga menambah hidup cerita. Legenda dan dongeng seputar sejarah Ponorogo memperkaya khazanah melalui novel ini. Misal tentang berdirinya Ponorogo yang bermula dari keruntuhan Majapahit, sejarah Reog, dongeng terbentuknya Telaga Ngebel dan sebagainya.

Novel Tembang Tolak Bala yang pasti menyajikan informasi yang lumayan perihal Ponorogo serta kekayaan khazanah budayanya. Jagad Warog Ponorogo ditelisik dengan tuntas lewat cara unik. Novel yang menarik dan sangat pantas dibaca”

Harapan, akan lebih banyak novelis yang menulis tentang Ponorogo. Karena sejatinya Ponorogo adalah sebuah kearifan lokal yang sisi putihnya pantas diteladani.

*) Arim Kamandaka, Penikmat sastra yang nikmat tinnggal di Ponorogo.

RONGOWARSITO: Dari Santri Bengal Jadi Pujangga Agung

Mulyadi SA
majalah Misteri, edisi 20 Sep-04 Nov 2008

Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini masih menimbulkan kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut:
P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)

R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burham adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar, seperti yang sekilas telah dipaparkan dalam Jelajah Misteri No.0450 lalu.

Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito merupakan seorang bangsawan berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
R.A. Mangkurat
R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
K.A. Wongsotruno
K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
R. Ng. Surodirjo I
R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burham.

Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro, yang juga seorang bangsawan keraton Solo.

Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.

Namun demikian sang kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah meramalkan kalau nanti cucu kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar setaraf dengan kakek buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang kakek kemudian menitipkan Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik pondok pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo.

Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal ini membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan berjudi sabung ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini, maka sering kali bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di arena judi sabung ayam.

Karena kenakalannya, setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama sekali. Oleh karena itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke Solo. Sang Kyai merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu keagamaan.

Wibawa Kyai Imam Bestari membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak titahnya. Namun, dia menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo, kakeknya pasti akan marah besar.

Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan Ki Tanujoyo pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke Solo. Dia memilih berguru ke Kediri.

Dikisahkan, dalam perjalanan menuju Kediri, Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo tersesat di sebuah hutan. Karena hingga tiga hari tiga malam tak menjumpai rumah penduduk, maka selama itu pula mereka tak makan dan tak minum. Karena kelaparan, Bagus Buhan yang biasa hidup enak dan serba kecukupan akhirnya pingsan.

Sementa itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari, sang Kyai memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo akan dilanda kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana kelaparan ini akan tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu mau diajak kembali ke Ponorogo.

Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih, Kyai Imam Bestari langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah Bengal itu ke Solo. Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para utusan itu tidak mendapatkan Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu belum juga sampai ke rumah kakeknya.

Setelah mendapatkan laporan itu, Kyai Imam Bestari bermunajat kepada Allah untuk meminta petunjukNya. Singkat cerita, Bagus Burhan memang berhasil diketemukan. Bocah ini pun tidak menolak ketika diajak kembali ke padepokan, karena ini memang harapannya agar tidak mendapatkan murka dari sang kakek.

Saat menetap kembali di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Perilaku Bagus Burhan ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka berboros-boros dengan bertaruh dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat mengecewakan Kyai Imam Bestari. Karena tak tak tahan melihat kelakukan santrinya, maka suatu hari sang Kyai memarahi Bagus Burhan dengan kata-kata yang sangat menusuk perasaan si anak muda.

Mendapatkan kemarahan hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan berniat segera hengkang dari pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti iini Ki Tanujoyo segera mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong keadaan, dengan cara membesarkan hati Raden Bagus Burhan.

“Raden ini bukan keturunan orang kebanyakan. Leluhur Raden adalah bangsawan keraton yang hebat. Untuk diketahui, itu semua bukan dicapai dengan hidup enak-enak. Akan tetapi, dicapai dengan cara laku prihatin, tirakat, mesu budi dan patiraga. Apakah Raden tidak ingin seperti mereka?””

Mendengar perkataan Ki Tanujoyo seperti itu, akhirnya bangkitlah semangat Raden Bagus. Dia pun mencoba tetap bertahan di pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo. Sampai suatu ketika, dirinya minta diantar ke kali Kedhung Batu untuk menjalani tirakat, sebagaimana yang pernah ditempuh oleh para leluhurnya.

Berkat kekerasan hati dan ketekunannya, maka setelah menjalani tirakat selama 40 hari 40 malam di kedung Watu, tanpa makan dan minum, kecuali sesisir pisang setiap harinya, akhirnya ada hasil yang dia peroleh. Dari tirakatnya ini Raden Bgus memperoleh wisik, yakni ditemui eyang buyutnya, R.Ng.Yosodipuro I. Dia diminta menengadahkan telinganya, dan gaib sang kakek buyutnya kemudian masuk kedalamnya.

Ada kisah lain yang tak kalah aneh. Konon, Ki Tanujoyo yang menemaninya dipinggir kali, sewaktu menyiapkan nasi untuk buka saat tirakat menginjak hari kw 40, orang tua ini melihat ada sinar masuk ke dalam kendilnya, yang ternyata berupa ikan untuk lauk sang Bagus berbuka puasa.

Semenjak usai menjalani tirakat ini, pribadi Raden Bagus Burhan pun berubah 180 derajat. Kebengalannya berubah menjadi sikap yang sangat patuh. Tak hanya itu, kalau pada awalnya dia santri yang bebal, akhirnya berubah menjadi santri yang cepat menerima pelajaran yang diberikan oleh Kyai Imam Bestari. Dia juga memiliki kelebihan dalam hal mengaji dan berdakwah, sehingga jauh lebih menonjol dibandingkan santri-santri lainnya. Karena kecerdasannya ini, Bagus Burhan memperoleh sebutan baru dari Kyai Imam Bestari, yakni Mas Ilham.

Misteri Kematian Sang Pujangga

Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias Bagus Burham memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik tersebut adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui sebelumnya oleh dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal menjemputnya sang pujangga telah menulis berita kematian tersebit dalam Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya dalam susunan kalimat asli:

“Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon.”

Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5 Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.

Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan. Ada yang menilai bahwa Ronggowarsito meninggal bukan secara alami, akan tetapi dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX yang mendapat desakan Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena melihat kelebihan dan kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan menghabisinya. Apalagi, ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah diculik Belanda hingga akhirnya tutup usia di Jakarta.

Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang raja juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak terjang Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat karya-karyanya. Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito akhirnya berjalan sempurna.

Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski kematian adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak menutup kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian tersebut, sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada Serat Sabda Jati sebagaimana dinukuli di atas.

Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait sebagaimana kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal ini jika mengingat dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito tidak terlalu nyata, mana tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis bersama-sama dengan orang lain, maupun yang merupakan terjemahan. Hal ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu itu belum ada perlindungan hak cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di keraton Solo kerajaan dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan perseteruan keluarga raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin mengail d iair keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.

Sumur Tua Bernuansa Mistis

Beberapa waktu yang lalu Misteri berziarah ke makam pujangga agung Tanah Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat sebuah sumur tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut dibangun.

Mungkin karena ketuaannya, Misteri memang merasakan kalau sumur ini telah dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih tersebut. Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.

Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk memperoleh atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah dengan prosesi ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno ke dalam sumur yang saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah tersebut.

Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran yang dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya. Contohnya, jika terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh jabatan tinggi. Contoh lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran buku, maka diyakini dia akan menjadi penulis atau pengarang terkenal yang buku-bukunya laris.

Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.

“Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan, sumur itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya Sekar Lara Gadung Melati,” demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri juru kunci yang sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila suaminya tidak sedangg ada di tempuh karena keperluan yang tak dapat ditinggalkan.

Ketika Misteri berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang hio bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang dari para peziarah yang belum sempat dibersihkan.

“Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak di hari Kamis malam Jum’at Kliwon,” tambahnya pula.

Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya yang sekarang sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa unik, di luar cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters (1799-1859), berikut isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini memang dipindahkan dari makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.

Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda kembar yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.

Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa wafatnya sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil dalam kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa Ronggowarsito, mungkin terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang dapat dimanfaatkan.

Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila kondisi bangsa sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di suatu saat nanti cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang pemimpin sejati, yang disenangi rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu Adil, yang akan mengentaskan kita dari keterpurukan keadaan.

Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830), pengikut sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang ditunggu-tunggu, yang akan mampu melepaskan mereka dari derita akibat ulah penjajah Belanda. Demikian pula ketika Jepang mencengkramkan kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.

Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi, harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini. Dengan adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap memiliki rasa optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di suatu waktu nanti keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan pulih, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.

Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. “Bayang-bayang hanya setinggi badan.” Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas kita mampu menanggungnya. Mungkin, kita memang masih harus bersabar!

Dijumput dari: http://www.majalah-misteri.net/rongowarsito-dari-santri-bengal-jadi-pujangga-agung-olehmulyadi-sa/

Saturday, June 16, 2012

Geliat dari Forum Lingkar Pena

Dwi Fitria
Jurnal Nasional, 31 Agu 2008

Bertopangkan nilai-nilai keagamaan, karya sastra tidak muncul sekadar seni dan hiburan.

DI tengah-tengah booming film-film horor yang marak membanjiri bioskop-bioskop di Tanah Air, muncul sebuah film fenomenal, Ayat-ayat Cinta (AAC) yang dibesut oleh sutradara Hanung Bramantyo. Film ini mengusung sesuatu yang berbeda dari tema horor yang banyak mewarnai film-film seangkatannya. AAC mengangkat tema islami. Kesuksesan film ini masih suatu anomali bagi banyak orang. Di luar semua itu, film itu sukses menyedot jutaan penonton.
Film itu sendiri diangkat dari novel laris karya Habiburahman El Shirazy, yang menjadi semakin laris setelah difilmkan. Per-Juni 2007 lalu, novel ini telah dicetak ulang hingga 24 kali. Kabar terakhir, novel Ayat-ayat Cinta telah terjual sebanyak 700 ribu kopi.

Novel ini berkisah tentang perjalanan cinta Fahri, seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, dengan pilihan pelik yang ia hadapi ketika keadaan membuatnya harus berpoligami.

Habiburahman El Shirazy sendiri tergabung dalam Forum Lingkar Pena, sebuah forum yang mewadahi penulis-penulis yang sebagian besar punya latar belakang Islam. Habiburahman bukanlah satu-satunya eksponen yang punya nama besar dalam komunitas ini. Helvy Tiana Rosa, motor penggerak Lingkar Pena, dan Asma Nadia yang kini menjadi ketua FLP, adalah dua nama lain yang juga telah meninggalkan jejak tersendiri dalam khasanah Sastra Indonesia.

Pada 2005 lalu, cerpen Helvy, Jaring-Jaring Merah dinobatkan sebagai cerpen terbaik dalam sepuluh tahun terakhir oleh majalah sastra Horison. Helvy baru saja menerbitkan sebuah kumpulan cerpen berjudul Bukavu. Sementara Asma Nadia, kerap menulis buku-buku fiksi seperti Istana Kedua, maupun nonfiksi semisal serial La Tahzan yang laris di kalangan pembaca terutama para pembaca remaja. Forum Lingkar Pena yang berlatar belakang Islam, mau tidak mau kerap membuat keduanya diasosiasikan dengan karya-karya sastra Islam.

Mengolah nilai Islam

Keduanya tidak menolak bahwa karya-karya mereka kental mengusung nilai-nilai islami. Tapi ini tidak berarti bahwa karya yang lahir dari kedua penulis bersaudara itu berisi dakwah per-se dan berusaha dengan vulgar menggurui pembacanya.

“Dakwah pada dasarnya adalah mengajak kepada kebaikan. Tetapi tidak berarti bahwa menulis karya dengan mengangkat nilai-nilai islami akan terjebak menceramahi atau menggurui,” ujar Asma. “Jika biasanya kawan-kawan sastrawan lain berangkat membuat karya sebagai satu bentuk ungkapan kegelisahan, begitu juga dengan kami. Kami juga berangkat dari kegelisahan yang sama.

Asma memiliki kepedulian terhadap masalah perempuan, hak asasi manusia, dan poligami. Kegelisahannya memandang realitas berhubungan dengan hal-hal ini mewarnai karya-karyanya. Yang membuat berbeda adalah, ia menggunakan kacamata Islam untuk memandang masalah ini dalam karya-karyanya.

“Islam adalah sebuah sistem yang integral. Jadi saat berbicara mengenai karya, sama seperti hal lain yang saya lakukan dalam hidup saya, karya haruslah mengandung nilai ibadah,” ujar Helvy. “Dakwah menurut Islam adalah sesuatu yang baik. Tapi sebagai penulis kita harus bisa membungkusnya dengan estetika sehingga tak serta-merta semata menjadi ceramah. Kuncinya ada pada bagaimana menyampaikan pesan tanpa berdakwah secara verbal. Dakwah itu harus dibungkus dengan estetika, teknik serta komposisi yang menarik,” ujar Helvy.

Baik Helvy maupun Asma sama-sama melihat nilai-nilai Islam sebagai nilai-nilai universal yang humanis. Ini bisa dilihat dari banyak pengarang di luar Islam yang baik secara sadar atau tak sadar mengangkat nilai-nilai Islam dalam karya-karya mereka.

“Sebetulnya harus dibedakan antara sastra Islam dan sastra islami, saya pernah menulis sebuah makalah tentang masalah ini, sastra Islam adalah sastra yang penulisnya memang beragama Islam, dan punya komitmen untuk menyebarkan nilai-nilai, versi ustad-ustadlah,” ujar Helvy.

Sementara sastra islami adalah sastra yang ditulis orang-orang non-Muslim, tapi amat terlihat bahwa nilai-nilai yang disampaikan oleh si pengarang bernuansa Islam. Helvy mengambil contoh Kahlil Gibran. “Ia bukan orang Islam, tapi karya-karyanya sangatlah islami,” ujar Helvy.

Hal ini bisa terjadi karena Islam mengandung muatan yang melintas batas-batas agama. “Berbicara Islam, sama juga artinya berbicara tentang peristiwa sosial, kemiskinan, juga hak asasi manusia,” kata Asma.

Tanggung jawab penulis

Baik Asma maupun Helvy, tidak terlalu ambil pusing soal label sastra Islam yang kerap dilekatkan kepada mereka. “Saya tidak pernah mempermasalahkan apakah karya saya dianggap karya islami atau Sufi, semua tergantung pada pandangan pembacanya,” kata Helvy.

Namun berbeda dengan banyak sastrawan lain yang menganggap bahwa ketika sebuah karya diterbitkan maka pengarangnya tak lagi berhak melakukan apa pun, Helvy mengambil sikap yang berseberangan.

“Pertanggungjawaban penulis tak berhenti sampai di situ. Amat penting bagi penulis untuk memahami bagaimana bukunya akan memberi makna kepada pembacanya. Misi saya adalah menulis buku yang bisa membawa pencerahan dan membuat pembacanya bergerak ke arah yang lebih baik, sehingga mereka menjadi makin baik setelah membacanya. Ada saja karya sastra yang entah mengapa berakibat buruk pada pembacanya, ada keinginan membunuh orang misalnya,” ujar Helvy.

Helvy mengambil contoh pembunuhan terhadap John Lennon. Mark David Chapman membunuh Lennon dengan menembaknya lima kali dari belakang pada 8 Desember 1980. Ketika ditangkap Chapman membawa-bawa buku The Catcher in The Rye karya J.D Salinger. Pembunuh Lennon ini menyatakan bahwa buku itu bisa menjelaskan perspektif dan motifnya melakukan pembunuhan.

“Seorang pengarang tidak bisa lepas tangan setelah buku dilempar ke pasar. Ia masih memiliki tanggung jawab sosial terhadap pembacanya,” kata Helvy.

Baik Asma maupun Helvy sama-sama mengatakan bahwa secara keseluruhan karya-karya mereka mendapatkan sambutan yang amat positif. Dan predikat sastra Islam yang kerap ditempelkan kepada karya-karya mereka tidak menyurutkan antusiasme pembaca.

“Respons yang diberikan kepada karya saya datang dari berbagai kalangan usia, juga berbagai kalangan masyarakat. Ada ibu-ibu berusia 55 tahun dan 65 tahun yang memberikan tanggapan kepada buku saya. Selain itu saya juga mendapatkan respons dari pembaca beragama lain,” ujar Asma Nadia.

Helvy memulai karier kepenulisannya di majalah Annida, dan ia tidak menampik bahwa sebagian besar pembacanya berasal dari kalangan Muslim, sebab memang pembaca beragama Islamlah yang menjadi sasaran konsumen majalah tersebut.

“Tapi ini tak berarti pembaca karya saya terbatas di kalangan Muslim saja. Ada karya-karya saya yang sudah diterjemahkan ke bahasa-bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Swedia. Mungkin ini berarti karya saya juga bisa diterima oleh kalangan di luar Islam,” kata Helvy.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/oase-budaya-geliat-dari-forum-lingkar.html

Forum Penyair Internasional: Puisi Tak Sekadar Kata-kata…

Harry Susilo
Oase Kompas, 1 Mei 2012

Have you ever wondered
As we pick up the dead, heavy
Weight of the ugly brutal past
That threatens to suffocate us
Pernahkah kau bertanya
Saat kita mengangkat mayat, beban
Kekejaman masa lalu yang suram dan brutal
Masa lalu yang mencekik kita

Penggalan puisi berjudul Mandela, Have you Ever Wondered? yang dibacakan penyair asal Afrika Selatan Vonani Bila membuat sebagian penonton di Gedung Cak Durasim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/4/2012) malam lalu, tertegun. Cukup singkat namun padat makna.

Vonani mencoba mengisahkan perjuangan Nelson Mandela agar persamaan ras diakui di Afrika Selatan meskipun harus dilalui lewat pengorbanan banyak orang. Politik apartheid (pembedaan kulit putih dan kulit hitam) di Afsel memang banyak merenggut nyawa manusia. “Puisi di negara kami lebih banyak bercerita tentang kondisi sosial politik masyarakat,” kata Vonani.

Tidak hanya Vonani yang mengumandangkan keluh kesahnya. Sebanyak 25 penyair lain dari Indonesia dan mancanegara membacakan karya puisinya masing-masing dalam acara puncak Forum Penyair Indonesia Internasional (FPII) 2012 yang bertema Whats Poetry malam itu.

Selain dari Indonesia, penyair yang berasal dari Jerman, India, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Selandia Baru, Afrika Selatan, Denmark, Belarusia, Macedonia, dan Zimbabwe, menyampaikan pesan berbeda terkait realitas sosial di negeri mereka.

Setiap penyair memiliki cara sendiri untuk membacakan karyanya. Penyair dari India, Sujata Bhatt, misalnya, membacakan puisi Like an Angel diiringi tarian kontemporer yang dibawakan Itumelang Makgope dari Afsel. Perpaduan kata-kata, musik, dan seni tari melebur menjadi sebuah harmoni.

Selain diiringi tarian, ada juga yang membacakan puisi seperti menyanyi, bercerita, ataupun datar tanpa ekspresi. “Dengan begitu, penonton dapat menginterpretasikan sendiri apa itu puisi,” ucap salah satu penyair asal Australia, Sarah Holland-Batt.

Salah seorang kurator FPII dari Jerman, Silke Behl, mengatakan, puisi juga dapat menjadi jembatan budaya untuk bisa membangun rasa saling pengertian di antara bangsa-bangsa dunia. “Kami mengunjungi empat kota, membaca bersama-sama, berdebat dan saling mendengarkan. Elemen lintas negara ini tidak akan berjumpa sebagai orang-orang yang saling asing. Kami bertemu dalam iklim saling percaya,” ujar Silke Behl.

Itulah kenapa setiap penyair membacakan puisi dalam bahasa lokal masing-masing yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia agar dapat dimengerti penonton. Memahami aksen, cara penyair membacakan puisi, makna kata-kata yang tertuang dalam puisi tersebut seolah membawa imajinasi kita membayangkan yang sedang terjadi di negeri mereka masing-masing.

Lewat FPII, para penyair lintas benua merenungkan kembali tema Whats Poetry? (Apa Itu Puisi?). “Itulah yang menjadi sebab pentingnya kita berkumpul dan berbicara, dari benua ke benua, melampaui segala pagar batas,” ujar Silke Behl yang merupakan salah seorang pendiri festival internasional Poetry on the Road di Bremen, Jerman, tersebut.

Malam itu, pembacaan puisi Whats Poetry ditutup pertunjukan seni dari Ayu Laksmi yang berkolaborasi dengan Cok Sawitri dan dilanjutkan dengan penampilan Sawung Jabo lewat lagu-lagunya yang menghentak dan penuh kritik sosial.

Antologi puisi ini juga dicetak dalam buku setebal 500 halaman. Penggagas FPII, Henky Kurniadi mengatakan, pergelaran FPII ini dikuratori Afrizal Malna dan Saut Situmorang dari Indonesia serta Silke Behl, Indra Wussow, dan Michael Agustin dari Jerman.

FPII digelar di empat kota, yakni Magelang (1-3 April), Pekalongan (4-6 April), Malang (7-9 Apri l), dan Surabaya (10-12 April). Terdapat 43 penyair yang terlibat dalam acara ini secara keseluruhan.

Lewat pergelaran FPII, para penyair seolah berdakwah menyuarakan kebenaran tanpa lelah. Puisi memang dapat menjadi media penyampai pesan, curahan hati, ataupun keluh kesah tentang kondisi sosial, politik, ekonomi bangsa, maupun masalah pribadi.

Persoalan bangsa yang terkontaminasi oleh korupsi pun dapat dengan mudah tertangkap lewat permainan kata-kata dalam puisi. Seperti puisi Vonani Bila lainnya berjudul The Pig.

I checked his shoes
Rough and wild
And the nails
Long and dirty
And the mouth
Big and grubby

I checked his eyes
Warped, wide awake though asleep
Thats how I notice a boar
Even in parliaement
Too voracius
He even kills the piglets

Aku periksa sepatunya
Kasar dan liar
Kuku-kukunya
Panjang dan dekil
Moncongnya besar dan kotor

Aku periksa matanya
Membelalak padahal tidur
Begitulah celeng
Bahkan di parlemen
Rakus sekali
Bahkan ia memangsa anak-anaknya sendiri…

Vonani dan puluhan penyair lainnya memang ingin berbagi dengan khalayak luas mengenai kekayaan khazanah budaya dunia dan realitas sosial yang beragam. Puisi memang tidak hanya permainan kata-kata tetapi juga harus dapat diterima oleh masyarakat. Ini puisi kami, mana puisi kalian…

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/05/forum-penyair-internasional-puisi-tak.html

Sertifikasi Seniman : Sebuah Surat Terbuka

Beni Setia
http://www.lampungpost.com/

SASTRINA yang baik, kamu bertanya dan sekali lagi bertanya: Apa makna dari sertifikasi seniman dari Negara bagi aku. Jawabannya sederhana sekali, aku tidak tahu dan tidak ingin ambil pusing. Kenapa? Karena, pertama, dalam hal sertifikasi itu ada subjek yang punya otoritas melakukan sertifikasi, serta ada si objek yang subordinan dan baru eksis setelah disertifikasi. Dan ketika gagasan sertifikasi itu dilontarkan, aku belum tahu: apa akan jadi yang menyertifikasi atau yang akan jadi yang disertifikasi. Jelas ada posisi serta keuntungan yang berbeda, dengan disertifikasi maka aku hanya jadi si yang menghabiskan waktu untuk menempuh prosesi administrasi ala birokrasi, meski yang terlihat ke permukaan mungkin semacam sakralisasi evaluasi daya kreatif dan bukti karya kreatif.
Kedua, kalau jadi si yang menyertifikasi bermakna aku akan jadi si setengah juri dan setengah legitimator, posisi diri terangkat dan sekaligus dapat honor—lebih enteng dari suntuk menulis, yang setelah menjadi si karya harus menunggu kecocokan selera estetik redaktur. Dengan kata lain, selama ini setiap pengarang selalu bergelut dengan kreativitas, dan setelah tuntas jadi karya harus diuji redaksi agar lolos kelayakan muat. Termin kelayakan muat serta mitos sertifikasi seniman itu rasanya tidak jauh berbeda, meski bargaining position-nya sangat berbeda. Sebab, kita menerima fenomena media massa dan mengakui adanya otoritas penilai kelayakan, adanya semacam kompetensi yang diakui serta dihargai—model jurnal K, koran T, dan komunitas TUK-S, misalnya, meski itu disangsikan SS.

Dan, ketiga, dalam gagasan sertifikasi dari W itu tiba-tiba kita bersitemu dengan fenomena: siapa yang punya kompetensi buat menilai, siapa yang punya otoritas buat memutuskan seorang seniman layak bersertifikat seniman—dan itu tak sekadar dengan indikator pentas di LN. Kenapa? Sebab satu momen muhibah seni tradisional ke LN, kelayakan pentas di LN itu bisa jadi (hanya) karena niat baik hubungan diplomatik di satu sisi, dan sekaligus karena ada aspek nan eksotik dari seni tersebut. Tak mungkin itu karena mencocoki selera estetika avant garde masa kini orang Belanda atau orang Rusia, misalnya. Meski ada motif rasa ingin tahu dan (sekaligus) adanya kesempatan buat mengetahui taraf pencapaian estetika seniman Indonesia. Hal yang menyebabkan banyak undangan untuk seni modern—yang rasanya identik dengan ekspresi seni Barat—, yang diekspresikan si orang Indonesia di LN.

Keempat, ada semacam undangan untuk masturbasi, pijakan untuk mengukuhkan superioritas pencapaian estetik bule atas orang kulit sawo matang Indonesia. Dengan kacamata post-kolonial, semua sipat minder dari manusia terjajah itu dieksplorasi dan sekaligus dieksploitasi, dan celakanya sebagian dari kita—bahkan orang pemerintah—menyepakati acuan rasis diskriminatif itu dengan ikut mengadopsi patokan bersidasar selera estetika Barat? Tapi apakah kita melakukan evaluasi dengan kacamata Barat ketika akan mengirim delegasi karawitan, ketika menjadikan seorang empu karawitan sebagai si tenaga pengajar kurikuler dan ekstrakurikuler di PT asing? Rasanya tidak, dan ide menggalakkan karawitan di LN akan bertumpu pada acuan menilai kelayakan kependidikan si empu karawitan yang dikirim ke LN—saya katakan empu kependidikan sebab si empu kreativitas karawitan terkadang tak berjiwa pendidik.

Dan, ketika ia tidak lulus sertifikasi seniman apa itu tanda ia tak berhak mengikuti prosesi sertifikasi? Jawabnya, Sastrina—ini aspek yang kelima—, referensi kompetensi dari setiap proses sertifikasi tak mungkin sama sehingga setiap referensi kompetensi seharusnya ditujukan untuk tujuan sertifikasi aspek seniman tertentu. Seni suara tidak sama karena ada yang bernyanyi dalam tradisi musik pop—kompetensi sertifikasinya sangat industrial—, dan ada si yang bernyanyi dalam tradisi musik opera atau seriosa—kompetensi sertifikasinya bersifat seni murni. Demikian juga dalam ihwal penciptaan di musik pop dan musik klasik atau jazz. Lalu ada yang bergerak dalam genre lukis, grafis, instalasi, dan seterusnya dalam kaidah seni rupa. Dan seterusnya. Selain—inilah yang terpenting—selera kurasi dan apresiasi kritis—yang disebutkan sebagai sertifikasi seniman oleh W itu—dari seseorang bisa berbeda dengan yang lainnya—dan kita belum bicara tentang ras dan nasionalitas.

Amat rumit, Sastrina. Dan keenam, jadi rumit ketika kebutuhan buat melakukan hal itu diucapkan oleh seorang pejabat yang meski bagaimana berwenangnya pun tetap tidak mempunyai forum dan acara tetap untuk menampilkan seniman yang telah lolos sertifikasi. Seorang kurator yang ditunjuk untuk satu acara, yang telah punya beking dana sponsor terkadang lebih diterima si seniman ketimbang yang hanya berteriak di tataran administrasi dengan iming-iming SK—tidak ada konsekuensi keuangannya, sekaligus tidak mengilhami kreativitas. Persis ketika SS mencemooh S, Binale S, dan seterusnya, yang membuat banyak orang terhibur aksi happening-nya, tapi si mereka akan lebih senang saat diundang dalam acara Forum Penyair Internasional di Jawa.

Terakhir, dengan kata lain, seniman itu mata duitan, dan dengan kriteria itu kita akan mahfum dengan (semacam) kebutuhan untuk menciptakan “proyek sertifikasi seniman”–padahal yang dibutuhkan si seniman itu bukan sertifikasi, melainkan iklim kreatif serta dorongan untuk berkreasi. Ya, semacam dana residensi atau tunjangan tahunan seperti yang dilakukan Malaysia. Begitu, Sastrina—salam kreatif selalu.

Beni Setia, pengarang /20 May 2012

KEPERCAYAAN RAKYAT MASIH PINGSAN *

Chavchay Syaifullah
http://www.leadership-park.com/

Apakah setiap kita menjadi naif, bila sebentar-sebentar bertanya: di mana peran negara ketika masyarakat kita saat ini masih saja jumpalitan seperti cacing tanah tersulut api mengatasi kesulitan hidupnya sendiri-sendiri?

Dalam perjalanan 65 tahun kemerdekaan RI ini, siapa pun akan mudah menemukan potret kemiskinan. Dan bila potret 1945 atau potret 1965, tergambar kemiskinan yang hampir merata dalam lanskap pembangunan yang masih minim sehingga terbetik kesusahan hidup rakyat terjadi dalam situasi negara yang memang masih miskin. Namun kini potret kemiskinan itu justru telah banyak berdampingan sangat dekat dengan potret kemewahan yang luar biasa.
Kita bisa dengan mudah menyaksikan pemandangan gedung-gedung perkantoran dan hotel-hotel yang megah berdiri di samping perumahan kumuh berdinding triplek. Juga ketika pemerintah secara resmi menyatakan Indonesia dalam situasi krisis ekonomi, jalan-jalan raya justru semakin disesaki mobil-mobil mewah. Pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, pusat maksiat berlabel salon dan panti pijat, pun justru tumbuh menjamur. Semua ini terjadi berbarengan dengan kabar-kabar kuno tentang busung lapar, kaki gajah, gizi buruk, penangkapan anak jalanan, dan sebagainya.

Belum lagi kini kita menyaksikan bagaimana rakyat harus jumpalitan seperti cacing tanah tersulut api mengatasi masalah-masalah yang muncul dari kebijakan negara yang konon terpaksa harus dijalankan. Lihatlah tarif dasar listrik yang mendadak naik setelah marak gosip rumah berdaya listrik 450 watt akan digratiskan. Lihatlah rumah-rumah yang hancur berantakan dibom tabung gas elpiji 3 kilo gram hasil sumbangan negara sebagai kebijakan pengalihan minyak tanah. Jerit tangis rakyat yang menyaksikan keluarganya hangus terbakar dengan tubuh hitam lebam seperti gorengan ikan lele dumbo, telah dihadapi dengan instruksi normatif Presiden agar rakyat selalu memastikan kompor dalam kondisi off sebelum meninggalkan dapur atau memastikan selang tidak bocor. Rakyat pun harus mengelus dada. Mau kembali ke minyak tanah sudah tidak ada di pasaran, mau beli tabung 14 kilo gram dan kompor gas yang layak jelas tidak mampu.

Maka dengan sangat terpaksa ibu-ibu kita pun rela menyimpan teror bom 3 kilo gram di sudut dapurnya. Dan bila suatu ketika meledak dan membakar para penghuni serta seluruh bagian rumah, itulah yang disebut nasib masing-masing, takdir sendiri-sendiri. Rakyat kembali mengelus dada.

Di tengah kemiskinan yang kisah-kisahnya terlalu lebar dibicarakan ini, kita juga menyaksikan kekerasan dalam bentuk dan modus yang rupa-rupa. Bila sampai dekade awal 1990-an kekerasan di tengah masyarakat yang marak terjadi bersifat individual dan atau sektoral, seperti pencopetan atau pun perkelahian antar geng-geng kecil yang ribut akibat soal remeh temeh, kini tidak lagi begitu.

Indonesia yang sudah berusia kakek-nenek ini, harus menyaksikan tayangan pembakaran ratusan mobil, ratusan rumah, ratusan toko. Menyaksikan tayangan pembantaian rasial dengan tombak-tombak yang ujungnya tertancap wujud asli kepala orang, lengkap dengan darah segarnya. Indonesia harus menyaksikan kekerasan purna dari organisasi-organisasi legal skup besar berlabel pembelaan agama dan atau kesatuan primordial. Organisasi-organisasi seperti ini terus bermunculan dan masih menjadi teror keamanan rakyat, sebab rakyat sudah tahu sama tahu bila organisasi-organisasi besar ini sudah membuat onar, aparat keamanan pun tidak cukup bisa mengendalikan keadaan.

Kekerasan yang tidak kalah mengerikan yaitu dalam proses pemilihan kepala daerah. 498 kabupaten/kota di Indonesia harus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Andai saja di setiap kabupaten/kota terdapat 2 pasangan calon bupati/walikota, terdapatlah 996 kekuatan yang potensial melahirkan kekerasan di tanah air ini. Hal ini semakin mengerikan sebab kekisruhan pilkada di mana pun telah menumpahkan darah segar, menghanguskan kantor-kantor pemerintah, serta kekerasan yang berlarut-larut. Kekerasan ini semakin besar sebab didukung oleh kekuatan modal yang besar. Hal ini mudah dipahami karena setiap calon bupati dan calon walikota dipastikan memiliki modal besar, ini karena antara lain masyarakat kita sudah apatis dengan idealisme politik dan memilih politik uang sebagai jawaban atas janji-janji yang tidak pernah ditepati. Ibu pertiwi mengelus dada.

Di tengah kemiskinan dan kekerasan yang harus disaksikan oleh Indonesia yang kini tengah duduk lelah di kursi goyang, korupsi semakin menjadi-jadi. Jumlah pelakunya terus bertambah. Modusnya semakin aneh-aneh saja. Rakyat kini umumnya sudah tidak bisa lagi berharap pada kerja Polisi, Kejaksaan, bahkan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingkat kepercayaan rakyat terhadap Presiden dalam hal pemberantasan korupsi semakin hari semakin pupus. Kalaupun ada aksi-aksi penangkapan koruptor, termasuk oleh KPK, rakyat sesekali hanya tertawa sambil menebak-nebak ini ada angin politik apalagi, ini ada rekayasa apalagi, ini ada pengalihan isu apalagi, atau ini ada dagelan apalagi.

Ya, kepercayaan rakyat sudah harus masuk ke ruang ICU. Sebab kondisi kepercayaan rakyat sudah gawat darurat dan butuh penanganan khusus. Namun sayang, dokter-dokter kepercayaan rakyat yang jujur dan berani sudah banyak yang wafat, ruang ICU pun sudah penuh. Kepercayaan rakyat akhirnya pingsan di ruang tunggu. Ibu pertiwi tak kuasa menahan gejolak darah di wajahnya. Ibu pertiwi memeluk erat kepercayaan rakyat sambil menahan air mata yang hampir saja tumpah serupa air bah.

Namun ketika luka kemiskinan, kekerasan, dan korupsi coba disembuhkan Indonesia, sayang bin sayang Indonesia harus melihat rakyatnya tidak memiliki daya saing yang tinggi. Indonesia kembali lelah dan duduk di kursi goyang. Ia kembali menyaksikan tayangan daya saing anak bangsa megap-megap dalam hempasan gelombang besar. Ia menyaksikan bagaimana dunia birokrasi tidak lagi memiliki daya saing yang baik, sehingga untuk meraih jabatan, kaum birokrat harus melahirkan fitnah dan jebakan. Ia menyaksikan dunia kampus tidak lagi memiliki daya saing, sehingga lahir di sana-sini karya-karya plagiat, hasil penelitian yang tidak valid, gelar-gelar akademis yang kosong melompong, juga mahasiswa-mahasiswi yang lebih senang pacaran ketimbang belajar.

Indonesia menyaksikan dunia politik tidak punya daya saing, sehingga melahirkan politikus-politikus yang gemar membunuh keluhuran cita-cita politik sebagai alat mewujudkan kesejahteraan umum. Politik telah berubah menjadi medan konspirasi, telah menjadi ajang caci maki, dan gawatnya politik telah dijadikan mesin untuk menghasilkan uang jumlah besar dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ia juga menyaksikan guru agama berdaya saing rendah, sehingga selalu melakukan agitasi terhadap kelompok yang lebih maju dengan dalil-dalil agama. Ia juga menyaksikan artis-artis berdaya saing rendah, sehingga kerap masuk ke dunia pelacuran kelas kakap yang melayani oknum pejabat bermental bejat, politikus yang haus seks bebas, dan pengusaha yang hobi pelacuran.

Di atas kursi goyangnya, Indonesia meneteskan air matanya. Ia biarkan air mata itu membasahi pipinya. Ia seperti tidak bisa lagi membendung kesedihan purba itu. Kini Indonesia merasakan luka daya saing anak bangsa seperti luka yang telah melahirkan luka kemiskinan, luka kekerasan, dan luka korupsi. Luka demi luka yang meneteskan darah dan air mata, membuat lautan tidak lagi biru, gunung tidak lagi tinggi, hutan tidak lagi gondrong, air bercampur racun, tempe bercampur formalin, rumah sakit jadi perusahaan orang sakit, seks bebas jadi rutinitas, bencana alam jadi siklus, kemewahan jadi tontonan, kekerasan jadi jalan keluar, kemiskinan jadi tontonan, dan seterusnya.

Di dalam kesedihan yang pilu, Indonesia tiba-tiba bangkit dari kursi goyangnya. Ia berjalan perlahan. Ia melihat kalender. Ia melihat warna merah di tanggal tujuh belas. Ia mulai sadar, usianya sudah 65 tahun. Ia mulai sadar usianya sudah cukup tua. Karenanya ia semakin mantap berpikir bahwa usia 65 tahun adalah usia yang asyik untuk berpikir dewasa, bertindak penuh wibawa, dan melangkah penuh kepastian.

Indonesia lantas berlari-lari anjing menghampiri daun jendela. Ia membuka jendela selebar-lebarnya. Halaman nusantara terbentang luas di matanya. Dengan suara lantang, Indonesia pun memanggil-manggil anak-anaknya. Ia memanggil-manggil kesetiakawanan sosial, ia memanggil-manggil pendidikan, ia memanggil-manggil kejujuran, ia memanggil-manggil keberanian, ia memanggil-manggil demokrasi, ia juga memanggil-manggil kemajuan.

Kepada anak-anaknya ia meminta untuk segera masing-masing membangun karakter. Karakter bukan ilmu dan pengetahuan, namun nilai dan jiwa. Nilai dan jiwa akan tumbuh antara lain dari lingkungan dan cita-cita. Indonesia meminta anaknya bernama kesetiakawanan sosial untuk segera membangun karakter dari lingkungan yang menjalin kepedulian satu sama lain, untuk cita-cita membangun peradaban yang berkemanusiaan dan berkeadilan.

Indonesia juga meminta kepada anaknya bernama pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan yang terjangkau bagi rakyat harus segera direalisasi. Lembaga-lembaga pendidikan yang diskriminatif harus segera dievaluasi, agar siswa-siswa sekolah unggulan kelak tidak berlaku elitis di tengah masyarakat, sementara siswa-siswa sekolah rendahan hanya bisa minderan karena terlalu sering terkena stigma.

Indonesia juga meminta anaknya bernama kejujuran untuk berjalan bareng dengan keberanian, sebab tidak ada kebenaran yang gratisan. Semuanya harus dimulai dari perjuangan yang jujur dan berani. Tanpa itu, demokrasi hanya tinggal urusan formal-formalan di atas kertas. Apapun sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial kalau dilakukan secara tidak jujur dan tidak berani, maka yang terjadi hanya kekacauan. Bukan kemajuan. Karena itu kepada anaknya bernama kemajuan, Indonesia sangat berharap agar bersabar dalam melangkah sambil menyesuaikan diri dengan kemanusiaan dan keadilan sosial. Kesempatan dan pintu masuk untuk maju, harus dimiliki oleh setiap bangsa Indonesia. Tidak boleh ada sekelompok kecil orang maju menari-nari di atas golongan besar yang tidak maju. Kesenjangan pasti bisa diatasi.

Indonesia menegaskan kepada anak-anaknya bahwa karakter bangsa harus segera dicipta, digerakkan, dan diajak berlari menuju cita-cita kebersamaan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Namun apa daya, hingga hari ini kepercayaan rakyat masih pingsan dalam pelukan ibu pertiwi di ruang tunggu di sebuah rumah sakit. Indonesia harus segera menjemputnya. Indonesia harus segera mengajaknya pulang untuk kembali bernyanyi dan menari. Tapi apakah kepercayaan rakyat masih bisa bernyanyi dan menari? Bisa! Tentu setelah disembuhkan dulu luka lamanya. Tapi, maaf, siapakah Indonesia itu? Hmmm…..kenapa kau masih bertanya terus soal ini? Kenapa kau masih bertanya terus tentang siapa Indonesia? Dengarlah baik-baik, Indonesia adalah kita semua. Indonesia adalah kita semua. Indonesia adalah kita semua.

Chavchay Syaifullah – Sastrawan & Wartawan, aktif di Yayasan Dayamuda Nusantara (Yadanu) dan Indonesia Institute for Democratic Development (IIDD), kini tinggal di Banten.

*) Materi ini dipresentasikan dalam Forum Media Massa bertajuk “Refleksi Kesetiakawanan Sosial dalam 65 Tahun Kemerdekaan RI”, di Kantor Kementerian Sosial, Jakarta, 16 Agustus 2010.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: June 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates