Tuesday, September 25, 2012

Nilai-nilai Pendidikan Ajaran Samin



Nilai-nilai Pendidikan dalam Ajaran R. Kohar
 (Samin Surosentiko)
oleh :
As'ad Syamsul Arifin
asad_arifin@rocketmail.com


Latar Belakang
   “Selama ini orang Samin dianggap bodoh. Itu karena kebiasaan pendahulu kami, yang semenjak 1914 tak mau sekolah  dari orang Belanda yang kala itu menjajah bangsa ini,” kata salah seorang tokoh adat Samin Blora, Jawa Tengah, Winarno, saat menjadi pembicara dalam Sarasehan Selasa Legen, Senin (16/4) di auditorium kampus Sekaran.
 (Zustiyantoro, 2012).
            Kutipan diatas sekilas bisa diartikan bahwa orang Samin besifat acuh terhadap pendidikan. Namun, pengertian pendidikan disini perlu diperjelas bahwa pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal (sekolah). Pendidikan formal selama ini memang selalu dijadikan acuan utama untuk menilai seseorang itu berpendidikan atau tidak. Seseorang dikatakan berpendidikan jika berpredikat lulusan sebuah universitas dengan sederetan gelarnnya atau minimal pernah merasakan duduk di bangku sekolah dan mendapat pelajaran dari guru sekolahnya.
             Jika berpijak pada tujuan pendidikan menurut Plato (428-437 SM) yaitu untuk membuat manusia menjadi lebih baik, atau tujuan pendidikan yang diuraikan oleh Driyarkara (2006: 414) bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Maka masyarakat Samin bukanlah masyarakat yang tidak berpendidikan, mereka secara secara turun-temurun mewarisi ajaran dari nenek moyang mereka dalam menjalani kehidupan. Pendidikan memang bukan hanya bisa diperoleh dari bangku sekolah tapi pendidikan bisa diperoleh dari serangkain pengalaman, lingkungan, teman sebaya, serta kearifan-kearifan lokal yang berupa ajaran moral dll.
            Dalam konsep ajaran Samin (Saminisme) ajaran moral menjadi pijakan utama. Di era global ini nilai-nilai pendidikan pada masyarakat Samin kiranya penting untuk dipelajari sebagai bahan untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan secara teknologis. Menghadapi globalisasi manusia tidak hanya membutuhkan bekal ilmu teknologi ilmu dan pengetahuan yang luas tapi juga harus dibekali sikap yang manusiawi dan moralis. R. Kohar yang merupakan tokoh intelektual dibalik keberadaan masyarakat Samin dengan beberapa pemikiranya bisa jadi sebuah alternatif pilihan ditengah gempuran pemikir-pemikir pendidikan asing.

Riwayat R. Kohar
Masyarakat Samin adalah para pengikut R. Kohar (Samin Soerontiko) yang juga lazim disebut dengan istilah sedulur sikep, dimana dia mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Masyarakat Samin tersebar di kawasanutara Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi. Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin yang dianggap sebagai identitas yang lebihbernafas kerakyatan. Kemudian, setelah menularkan ajarannya namanya ditambah menjadi Samin Surasentiko, tetapi anak-didiknya lebih suka memanggilnya Kyai Samin Surasentiko atau Ki Samin (Hutomo, 1996: 13-14).

            Samin Soerontiko adalah sebenarnya adalah keturunan salah satu bangsawan Majapahit yang karena alasan tertentu memutuskan meninggalkan  gemerlap dunia kebangsawanan (Wahono dkk, 2002). Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826 (Hutomo, 1996: 14-16).
Samin adalah tokoh dibalik terjadinya perlawanan (1905-1930) secara masiv terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan ini sebagai adalah reaksi dari tindakan pemerintah kolonial Belanda yang memaksa masyarakat untuk membayar pajak dan ikut dalam kerja rodi serta pengambilan paksa tanah desa untuk dijadikan sebagai lahan untuk tanaman Jati. Pemerintah kolonial Belanda tidak segan menghukum dan menyiksa bagi mereka yang menentang keinginan tersebu. Pada tanggal 8 November 1907, Samin Surentiko diangkat oleh pengikutnyasebagai Ratu Tanah Jawa atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu PanembahanSuryangalam (Hutomo, 1996: 21).
            Empat puluh hari sesudah pengukuhan Ratu Adil tersebut, Samin Surosentiko ditangkap olehRaden Pranolo, Ndoro Seten (Asisten Wedana) di Randublatung, Blora. Samin ditahan dibekas tobong pembakaran batu gamping. Sesudah itu dia dibawa ke Rembang untuk prosesinterogasi. Kemudian dia bersama delapan pengikutnya yakni Kartogolo, Renodikromo,Soerjani, Soredjo, Singo tirto dibuang ke luar Jawa. Samin Surosentiko meninggal di Padangpada tahun 1914.Setelah Samin ditangkap serta meninggal di Padang, perlawanan wong Sikep tidak kemudianberhenti. Murid, pengikut maupun kerabat dekatnya meneruskan perlawanan tersebut dibeberapa daerah sekaligus menyebarkan ajaran Samin atau ajaran Agama Adam (Purwanto, 2009: 3).
            Wongsorejo, salah seorang pengikut Samin menyebarkan Agama Adam di distrik Jiwan, Madiun. Wongsorejo mengajak penduduk Madiun untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Demikianhalnya Surohidin, menantu Samin, dan Engkrak yang menyebarkan Agama Adam di daerah Grobogan. Di Kajen, Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendhang Janur, dan menghimbau orang-orang desa untuk tidak membayar pajak. Sementara itu, Samat , seorang pemimpin pergerakan Samin di Pati, mengajarkan bahwa Ratu Adil akan datang apabila tanah yang digadai oleh pemerintah Hindia Belanda dikembalikan kepada orang Jawa. Hingga padatahun 1930, penyebaran Agama Adam relatif berhenti disebabkan karena ketiadaan pemimpin yang tangguh (Purwanto, 2009: 4).
             Sementara itu pada masa pendudukan Jepang dilaporkan bahwa orang - orang Samin yang berdiam didesa-desa Bapangnn Djegor Nglaren dan Tambak semua berjumlah 1300 orang.  sejak kedatangan balatentara Dai Nipon masyarakat Samin kembali menjadi masyarakat biasa, misalnya membayar pajak, ronda serta menuruti perintah polisi (Soeara Asia, 14 November 1942). Hal ini mungkin karena pengaruh propaganda Jepang yang datang dengan mengaku sebagai saudara tua yang akan membebaskan dari belenggu penjajahan Belanda.
            Berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang cenderung bersifat feodal dengan stratisfikasi masyarakatnya yang ketat, masayarakat Samin cenderung bersifat egaliter. Dibuktikan dengan hanya digunakanya bahasa Jawa Ngoko sebagai bahasa sehari-hari yang dicampur dengan kata-kata lokal, selain itu masyarakat Samin juga selalu menganggap orang lain sesama Samin sebagai sedulur atau saudara (Dekker, 1970: 26-27).

Nilai-nilai pendidikan
Pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang dikemabangkan atas dasar pandangan hidup bangsa yang berfungsi sebagai filsafat pendidikanya; suatu cita-cita atau tujuan menjadi motif; cara suatu bangsa berfikir atau berkelakuan, yang dilangsungkan turun-temurun dari generasi ke generasi (suwarno, 2009: 19). Ajaran Samin terutama 20 Anger-anger pratikel dapat dijadikan acuan untuk membentuk karakter masyarakat yang rukun, adil, damai, dan punya solidaritas yang tingggi sebagai sebuah kesatuan. Dalam tradisi lisan masyarakat Samin, secara sederhana terdapat tiga hukum (angger-angger) yangharus diikuti: angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), serta angger-angger lakonana (hukum perihal apa yang perlu dijalankan).
Beberapa nilai-nilai pendidikan yang cukup penting dalam pemikiran R. Kohar atau Samin Surosentiko antara lain:
1.      Nilai anti korupsi
            Korupsi oleh sebagian kalangan sering juga disebut sebagai salah satu budaya negatif bangsa Indonesia. Korupsi bisa ditemukan dihampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Dirasa sangat penting untuk segera dilakukan upaya pemutusan mata rantai korupsi di Indonesia, salah satunya lewat jalur pendidikan. Pengetahuan dan nilai anti korupsi diharapkan bisa ditanamkan dan dipahami sejak dini.
            Pada komunitas masyarakat samin, terdapat sebuah ajaran yang termaktub angger-angger prakitel(hukum tindak-tanduk) yang cukup relevan jika dijadikan acuan yakni "Aja kutil jumput, bedhog colong" (Jangan suka mengambil/mencuri barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya). "Napa malih bedhog colong, napa malih milik barang, nemu barang teng dalan mawon kula simpangi" (Apalagi mencuri, apalagi mengambil barang, menjumpai barang tercecer di jalan itu pun saya jauhi). Nilai pertama yang pertama mengajarkan untuk tidak mengambil milik orang lain secara aktif. Adapun yang kedua menunjukkan sikap pasif, artinya ada peluang di depannya, namun tidak mau mengambilnya (Aziz, 2010).      
2.      Pendidikan Berbasis Lingkungan
            Masyarakat Samin bisa digolongkan pada masyarakat agraris tradisional yang sangat mengandal alam untuk menopang hidupnya. Sawah, ladang dan hutan adalah unsur utama yang dijadikan sandaran hidup, selain itu aktifitas ekonomi mereka juga sangat tergantung pada tiga unsur tersebut. Oleh karenyanya, masyarakat Samin sangat menjaga kelestarian lingkungan, selain untuk menopang hidup mereka sekarang juga untuk kehidupan anak-cucu mereka kelak.
            Praktek-praktek kehutanan masyarakat Samin dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa mengambil kayu bakar, kayu perkakas untuk membuat serta memperbaiki rumah, menggembalakan sapi dan ternak, lahan tegalan untuk tanaman palawija, semuanya dilakukan dalam kawasan hutan. Hutan menjadi milik bersama dan siapa saja boleh memanfaatkannya selama belum dibuka atau dirubah keberfungsiannya menjadi lahan pertanian. Di karesidenan Rembang, pola perladangan dikembangkan bersama-sama dengan pola pertanian irigasi. Meskipun sawah irigasi sebagian besar masih tergantung pada air hujan, namun luas areal pertanian terus bertambah, yang diikuti dengan pembukaan hutan. Hutan yang telah diolah menjadi lahan pertanian, hanya dapat diwariskan dan tidak dapat dijual (Purwanto, 2009).
            Pendidikan berbasis lingkungan sudah layaknya kita terapkan mengingat kondidi alam di Indoesia yang semakin memprihatikan, keterbatasan ruang terbuka hijau berakibat banjir, hutan yang luasnya semakin berkurang berakibat hampir punahnya beberapa fauna asli Indonesia. Misalnya dengan cara, jika biasanya pada pendidikan dasar contoh penjumlahan menggunakan analogi mobil, rumah, pensil dll maka diganti dengan dengan pohon, badak, harimau dll. Lewat cara demikian guru bukan hanya mengajarkan penjumlahan tetapi juga mengajarkan agar senantiasa menjaga kelestarian lingkungan
3.      Pendidikan moral
            Sesuai dengan aliran esensialisme pendidikan yang dipelopori oleh  Johan Amos Cornenius bahwa pendidikan berasal dari sebuah filsafat idealisme dan realisme, yaitu pendidikan harus mendatangkan nilai-nilai kestabilan hidup (Suwarno, 2009: 55-56). Ajaran Samin terutama dua puluh anger-anger pratikel dapat dijadikan acuan untuk membentuk karakter masyarakat yang rukun, adil, damai, dan punya solidaritas yang tinggi sebagai sebuah kesatuan. Ajaran masyarakat  Samin juga sangat kental dengan nuansa hukum karma becik ketitik, olo ketoro, sopo goroh bakal gronoh, sopo salah seleh (yang baik dan yang jelek akan kelihatan, siapa yang berdusta akan nista, siapa yang bersalah akan kalah) ini bisa membentuk karakter masyarakat yang senantiasa berbuat baik kepada sesamanya karena ada kepercayaan, apabila berbuat baik akan mendapat balasan yang baik. Demikian sebaliknya, apabila berbuat jahat atau jelek akan mendapat balasan yang jahat atau jelek pula (Arifin, 2011).
            Ajaran Samin lain yang mengandung pendidikan moral terdapat pada angger pangucap, yang  berbunyi: “Pangucap saka lima bundhelané ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.” Maksud dari hukum ini, orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh, dan sembilan. Angka-angka tersebut di sini adalah angka-angka simbolik belaka. Makna umumnya adalah kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain (Purwanto, 2009). Tidak menjaga ucapan bisa mengakibatkan hidup manusia di dunia ini tidak sempurna. Maka orang harus berbicara secara baik dengan orang lain.
            Pendidikan moral juga terkandung dalam angger-angger lelakona, yang berbunyi: “Lakonana sabar trokal. Sabaré diéling-éling. Trokalé dilakoni.. Maksudnya, Wong Sikep senantiasa diharapkan ingat pada kesabaran dan serta kesabaran itu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi segala permasalahan, prinsip kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan masalah menjadi acuan utama. Di lain sisi, selalu menempatkan segala bentuk kebahagiaan maupun kesedihan sebagai bagéan (sesuatu yang kodrati harus diterima). Secara umum, prinsip ini dapat dihubungkan dengan filsafat Jawawong sabar bakal subur (orang yang sabar kelak akan makmur/bahagia) ataupun nrimo ing pandum (menerima dengan iklas pemberian Tuhan) (Purwanto, 2009).

4.      Pendidikan kebersamaan dan persamaan
            Samin Surosentiko sadar bahwa untuk menjalin hidup kebersamaan di masyarakat, setiap orang harus sama-sama bertindak jujur, sama-sama bersikap adil, sama-sama saling menolong dan sebagainya seperti yang terdapat dalam angger-angger pratikel. Samin selalu berpegang pada prinsip sinten mawon kulo aku sedulur. Prinsip inilah yang pada akhirnya melahirkan rasa persaudaraan yang kuat di kalangan pengikutnya. Ungkapan dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké memberikan kesan bahwa kehidupan selalu diselimuti rasa kebersamaan dan persaudaraan.
            Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semagat kebersamaan dan persamaan ini sangat penting menginggat Indonesia terdiri dari beragam Suku, Agama, Ras, Adat. Jika semagangat kebersamaan dan persamaan tidak digalakan bukan tidak mungkin negara ini akan tercerai berai. Semangat kedaerahan dalam rangka agar tidak terjadi ketercerabutan dari akar budaya boleh-boleh saja, asal jangan memaksakan bahwa suku atau budaya ini lebih superior dibanding suku atau budaya lainya. Dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia semua suku harus mempunyai hak dan kedudukan yang sama agar tercapai persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang solid.
Kerangka berfikir
Ajaran Samin
Nilai pendidikan
Aplikasinya
Angger-angger (pratikel-pengucap, lelakana)
-          Moral
-          Mengajarkan agar senantisa berbuat jujur, tidak mencuri, berbohong, dan menyakiti orang lain.
Cara Hidup
-          Pendidikan lingkungan
-          Mengajarkan uapaya untuk melestarikan lingkungan, misalnya menggunakan analogi pohon dan hewan-hewan langka dalam penjumlahan, disertai dengan penjelsan pentingnya pohon dan hewan tersebut.
angger-angger prakitel
-          Pendidikan anti korupsi
-          Menhajarkan untuk senantisas jujur dalam bertindak dan tidak mngambil yang bukan menjadi haknya.
Sisitem kekerabatan (kehidupan)
-          Pendidikan persaudaraan dan persamaan
-          Mengajarkan agar terciptnya persatuan sebagai bangsa Indonesia, mengajarkan bahwa semua suku punya hak yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penutup
            Kosep pendidikan nasioalah tidak harus berdasarkan pada konsep pemikiran dari luar negeri (yang dianggap lebih baik). Kearifan-kearifan lokal yang terdapat dihampir semua daerah di Indonesia bisa dijadikan acuan untuk menjadi landasan awal konsep pendidikan. Ajaran Samin Surosentiko misalnya, memang secara langsung tidak tersangkut dengan muatan pendidikan, namun jika kita menginterpretasikanya ternyata sangat erat terutama pendidikan moral. Ajaran Samin hanya satu contoh dan masih banyak contoh lainya, misalnya dari ajaran orang Baduy, Tengger, Minangkabau dll.
            Dalam mencari konsep pendidikan hendaknya lebih mengacu pada tokoh-tokoh atau gagasan dari dalam negeri. Bukan bermaksud merendahaka kualitas pendidikan dari luar negeri tetapi kelebihan utama konsep dan pemeikiran dari dalam negeri adalah sudah sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan alam masyarakat. Konsep itu lahir dengan latar belakang permasalahan yang ada dari masyarakat indonesia sendiri.
Daftar rujukan.
Arifin, A.S 2011. Saminisme : Kearifan Lokal dan Nilai-nilai pendidikanya. Majalah Komunikasi UM.
Aziz, F. Spirit Anti Korupsi ala Saminisme. (online) KOMPAS.com%20-%20Spirit.antikorupsi.ala.saminisme.htm diakses tanggal 20 April 2012
Dekker, N.1970. Masyarakat Samin : Suatu Tinjauan singkat Sosio-Kulturil. Lemabaga penerbitan IKIP Malang.
Hutomo, S.  1985. Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya dalam majalah Basis,  No.1 dan 2 Januari-Februari 1985, Yogyakarta.
Purwanto, A.B. 2009. Samin dan Kehutanan Jawa Abad ke-19. Jurnal Sosiologi Reflektif Edisi Oktober 2009, Jurusan Sosiologi, UIN Kalijaga, Yogyakarta.
Sastroatmojo, S. 2003. “ Masyarakat Samin : Siapakah mereka?”. Narasi : Jogjakarta.
Sudiarja, A Dkk (Peny). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Suwarno. W.2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Arruzmedia
Soeara Asia 14 November 1942. Orang Samin dan Balatentara Pemerintahan Nippon (Online) http://niod.x-cago.com/maleise_kranten/article.do?code=Niod084&date=19421114&id=084-19421114-003007&words=samindiakses pada 20 April 2012.
Wahono, dkk. (2002). Mempertahankan Nilai dari Gesekan Zaman di Kabupaten Kudus dan Pati, Jawa Tengah. Dalam Budi Baik Siregar dan Wahono (Ed). Kembali ke Akar : Kembali ke Konsep Otonomi Masyarakat Asli. Jakarta : FPPM.hlm 117.
Zulistiyantoro, D. 2012. Sedulur Samin dan kearifan lokal. (online)http://unnes.ac.id/berita/sedulur-samin-dan-kearifan-lokal/diakses pada 20   April 2012.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►