Saturday, January 21, 2012

SISWA DAN ASPEK PEMBELAJARAN DRAMA

Yusri Fajar
Seputar Indonesia 4 Feb 2007

Drama adalah karya sastra yang menggambarkan aktivitas kehidupan manusia yang dalam penceritaannya menekankan dialog, laku dan gerak. Meski drama adalah karya sastra yang bisa dibaca dan dianalisa secara tekstual karena menggunakan medium bahasa dalam penciptaannya, namun drama pada dasarnya ditulis untuk dipentaskan di atas panggung (stage). Oleh karena itu, dalam teks drama, selain terdapat unsur dialog sebagai penanda alur cerita, pembaca juga akan menemukan gambaran ekspresi dan laku (stage direction) yang ditulis pengarang untuk memberikan gambaran kepada para pembaca, calon aktor, dan juga sutradara tentang tingkah laku, ekspresi, gerak dan juga mimik tokoh-tokoh dalam drama.

Collie (1997) menyatakan bahwa memberi kesempatan kepada para siswa secara berkelompok untuk mementaskan teks drama akan membawa mereka pada sebuah pengalaman yang menarik dan menyenangkan karena pada dasarnya siswa senang dengan pementasan yang di dalamnya melibatkan unsur lampu panggung, kostum, tata rias, properti dan juga ilustrasi musik pengiring cerita. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pementasan teks drama maka apresiasi teks drama dapat dilakukan secara maksimal, baik secara kognitif (pengetahuan/nilai), afektik (sikap) dan psikomotorik (gerak). Perpaduan kajian teoritis dan praktis atas naskah drama diharapkan dapat mengantarkan siswa pada pengalaman dan keterlibatan secara langsung dalam atmosfer cerita. Pada konteks ini, siswa tidak lagi berhenti pada alam imaji saja, tetapi secara konkret akan melihat bagaimana cerita dalam drama dihadirkan di hadapan mereka.

Jika pengajaran drama, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, hanya mengedepankan analisa teks dan pembahasan teori tanpa memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menghayatinya melalui praktek pementasan (practical performance) akan menyebabkan pengajaran drama menjadi membosankan. Lebih dari itu, kurangnya variasi metode dan strategi dalam pengajaran drama dengan penekanan sisi afektif dan psikomotorik telah membawa pada sebuah generalisasi bahwa pengajaran drama terkesan disajikan seperti mata pelajaran atau mata kuliah prosa dan puisi yang memang penekanannya pada analisa teks dan teori, padahal drama, sebagai karya sastra, menuntut perlakuan berbeda dalam pengajarannya mengingat struktur teks drama yang dirancang sedemikian rupa untuk sebuah pementasan.

Berkaitan dengan domain tujuan pembelajaran drama yang mestinya mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, maka terdapat tiga tahap pengajaran drama yang bisa diaplikasikan oleh pengajar yaitu tahap penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi. Pada tahap penjelajahan pengajar harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu drama. Secara spesifik penjelajahan ini bisa menyangkut: perkenalan dengan drama, membaca dalam hati dan menonton pertunjukan drama. Pada tahap interpretasi, hasil bacaan atau tontonan mereka didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan menggali pendapat siswa terutama mengenai kesan siswa terhadap watak, tokoh, latar dan sebagainya. Dengan proses ini guru secara tidak langsung telah membimbing murid mengenal dan memahami jalan cerita drama tersebut secara aktif, tidak disuapi dengan informasi. Jadi, pengajar hanya memancing mereka dengan topik diskusi yang sederhana dari kehidupan sehari-hari.

Sementara pada tahap rekreasi pengajar melatih siswa membaca peran-perannya dan mencoba mementaskannya. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam kelas tatap muka dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur. Pada tahap ini pengajar dapat melakukan pembagian peran, membuat pagelaran dan melakukan evaluasi kemudian melakukan latihan ulangan dan mengadakan pagelaran kembali. Penekanan sikap dan gerak dalam tahap ini akan meningkatkan gairah siswa untuk menyelami peristiwa-peristiwa dalam teks drama secara langsung karena mereka terlibat sehingga teks drama tidak lagi menjadi suguhan yang semiotis dari segi kata-kata tapi sudah masuk pada tataran visualisasi yang dipanggungkan.

Pementasan naskah drama bila dikaji lebih jauh akan memberikan beberapa manfaat bagi siswa. Pertama, siswa akan belajar memahami heterogenitas budaya (multikulturalisme) yang tercermin dalam sebuah pementasan, baik yang berwujud ide, benda dan kebiasaan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa teks drama merupakan cerminan dari hasil budaya yang lahir dan berkembang dalam negara dan bangsa tertentu dengan etnis dan sukunya. Filosofi dan keunikan sebuah budaya akan telihat dari kostum, kebiasaan dan tradisi yang ditampilkan oleh aktor, dan dari properti dan dekorasi panggung. Teks drama yang dipentaskan selalu menghadirkan potret kebudayaan dan peradaban manusia yang pasti sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan perasaan aktor dan juga para penonton.

Kedua, siswa akan lebih memiliki rasa percaya diri terutama ketika berhadapan dengan publik. Beban psikologis untuk berbicara, beraktualisasi, dan bertindak di hadapan orang banyak dengan sendirinya akan terkikis melalui serangkaian proses bersama yang dijalani dalam bermain drama. Rasa canggung dan minder akan hilang secara perlahan ketika siswa berada di atas panggung, dan, melalui dorongan dan motivasi guru dan teman-temannya, mereka dilatih untuk tidak ragu-ragu lagi memerankan tokoh dalam naskah drama.

Ketiga, siswa akan mendapatkan kesempatan luas untuk bersosialisasi dan meningkatkan kemampuan dalam mengorganisasikan kerja tim. Hal ini tidak terlepas dari kompleksitas sumber daya yang dibutuhkan dalam pementasan mulai dari pemain, sutradara, penata rias, penata musik dan tim artistik panggung. Kerjasama dalam proses mengangkat teks tertulis dalam sebuah pertunjukan ini diharapkan akan memberi ruang bagi siswa untuk tidak hanya sekedar mengenal berbagai karakter anggota kelompok tetapi juga meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam manajemen, khususnya seni pertunjukan.

Bermain drama bagi siswa merupakan kesempatan berharga untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tekstual serta pengalaman praktis (pementasan). Tuntutan kompetensi siswa di era global yang tidak hanya terfokus pada aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik menjadikan pementasan drama sebagai salah satu media pembelajaran yang berguna dan bermakna dalam mengantarkan siswa dalam kehidupan nyata di masyarakat.

*) Pengajar di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang.

Friday, January 13, 2012

Manusia diberkahi untuk bebas? Keliru!

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XI kupasan keempat dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Mengenai Sartre bisa dilihat tulisan saya diterjemahkan Agus B. Harianto di http://pustakapujangga.com/2010/11/why-does-jean-paul-sartre-stay-exist/ Kini mengudar pahamnya “Man is condemned to be free” (Manusia dikutuk untuk bebas) yang saya benturkan “Man is blessed to be free” (Manusia diberkahi untuk bebas)?

Ini bukan mensejajarkan SCB! Hanya pengertian “puisi adalah alibi kata-kata” memang empuk disadap, selembek gudir tak banyak keluarkan tenaga, bisa dicuik pakai sendok atau langsung jemari. Sosok Sartre terpaksa menyadari ‘diri’ dilahirkan sebagai manusia sekondisional keterpaksaan Adam as. diturunkan ke bumi bersama Siti Hawa. Kutukan tersebut dipahami seinsan menjelajah mencari obat, dengan menyusuri semak berduri pertaubatan yang selalu diuji di segenap tingkap situasi nan melingkupi.

Orang-orang terkutuk sadar kedudukannya dalam menapaskan aura kesejatian, sedari lawatannya pada tangga keinsafan. Mereka paham ujung perjalanan, sebabnya mencari pelbagai kemungkinan dicoba di tingkatan tertentu dipegang kuat / dilepas demi rahmat memurnikan eksistensinya. Kegelisahannya liar menjajaki kasus menghadang, apakah absurditas Camus? Sehingga tercapilah sepakat mengeruk perolehan hayat, ‘imajinasi merupakan kesadaran’ dengan bukti kitab tebalnya “The Psychology of Imagination.” Yang menampilkan pencapaiannya membumi se-makluk terkutuk kudu disyukuri, menggapai yang menjadi takdirnya di muka bumi. Bukan ‘merayakan kutukan,’ mengumbar senang tanpa perolehan wajar; insan dikebebasan menentukan tafsiran di lembar kehidupan.

Ini (dapat dibilang) perekat paragraf IK yang pertama dan kedua. IK mengganti kata ‘bebasnya’ SCB dengan ‘terobos’, dapat diwakilkan sekutukan wajib dipelajari. Jauh dari perayaan atau bukan parade ugal-ugalan sampai bebas dari beban makna. Tapi mencanangkan terobosan, serupa kekaryaan Sartre menjlentrekkan imaji ke ambang batas. Keuletannya identivikasi imaji demi kesadaran hidup terikat realitas / tradisi, bukan asal bunyi yang kengawurannya dimaknai pencapaian? Sementara daya tarik kritikus dengan karya tak sudi dimaknai ialah fenomena lucu. Mana kala tafsiran karyanya (-SCB) dianggap kurang tepat, dibilang kritikus asal nyanyi? Ini aneh, jika tidak dibilang mau menangnya sendiri atas ajimat kata ‘bebas.’

Kutukan terus menggali tanah pekuburan warisan moyang, tidak menerbangkan bakat bersuka ria lepas kecurigaan diri lingkungan, namun juga memaklumatkan tekat menghabisi bentukan dangkal / pendangkalan dari fitroh. Belajar pahami tiap tapak bukan sekesan warna, tetapi mengudar gagasan ke tahap akli, tak hanya menafsir lokalitas, juga kembangkan daya pencapaian kala meleburkan jiwa-raga semateri penganalisaan menuju jenjang nyata. Pribadinya tidak berleha menikmati topangan pelabelan perkuat langkah. Tapi memaksimalkan indra penyerap serta menampung seluruh kemungkinan, pada gilirannya melahirkan wacana lebih menantang, bukan kesan di sebuah alam puitik. Dan penghargaan dihayati, tak mengalami kemerosotan dari hari lalu. Di lihat pamornya kepurnaan ataukah mengamini yang ada pengadaan semu!

Perolehan dari isyarat tak menghadiahi kesegaran, meski berharap gumpalan kegembiraan. Adalah patut disuarakan, “Tanpa usaha keras, kebahagiaan tidak akan meningkatkan drajad seperti perasaan puas memandulkan realitas.” Kala ‘diberkahi’ bebas, memanfaatkan jalan warisan, meski tampilkan ‘sidik jari’ lain yang hakikatnya beraneh-aneh demi membebaskan hasrat beralibi. Walau tampilannya beda sejatinya pengulangan, lebih parah ketumpulan tidak menguraikan gagasannya. Maka bukanlah konsep, tapi kesan dibalut kalimat mengkilat, yang terpesona lantaran tidak mencurigai suara-suara pendukungnya, seperti orang takjub patung besar di tengah kota yang melupa orang-orangan sawah.

Yang merasa ‘diberkahi’ mengira dinaungi keberuntungan dari coba-coba, mematenkan kesan, tiada keberanian menerobos sebentuk sungai kearifan demi sesama, tidak meningkatkan jenjang pemikiran. Ini bertolak dari gerak hayat yang selalu perbaharui cakrawala kesadaran berbudaya. Parahnya, kesan ditancapkan kuat generasi setelahnya berpesona tidak kalah ampuh, tapi tetap dari jiwa keragu-raguan tak mengaduk masa silam. Ditutupi, sebab pendahulunya juga mengaburkan jejak lewat keniscayaan semu (baca “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” SCB, lalu simak esainya Sihar Ramses Simatupang di Sinar Harapan, “Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah” 20 Agustus 2011 atau ini http://sastra-indonesia.com/2011/08/indonesia-puisi-dan-teks-sejarah/

Betapa menyebut kejadian Sumpah Pemuda, lagu Indonesia Raya, Pancasila, UUD 45, dengan menghapus nama-nama besar di sekitar peristiwanya; M. Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, W.R. Supratman serta para insan benar-benar andil dalam pergolakan. Mereka juga pengarang yang suara gagasannya membumi, daripada ungkapan menyepadani jejaknya terbaca untuk kemauan sempit agar dunia sastra bermartabat di hadapan masyarakat luas, namun mencabut batang pohon tanpa akarnya.

Melupa orang-orang penting sebab merasa profesi melekati dirinya lebih penting, terus terjun bebas sepulung ‘berkah’ yang sejatinya bukan apa-apa. Karena tidak menginsafi kejatuhannya se“manusia dikutuk untuk bebas;” mematangkan sekeliling realitas. Maka jadilah sulapan seakrobatik mencopet sejenis keahlian jemari. Padahal mereka juga saksi sejarah, tapi begitu rupa jadi meloloskan dirinya paling berjasa. Baca Bung Tomo membaca sajak di TIM yang direkam jejaknya oleh tempointeraktif, 03 September 1977 atau klik http://sastra-indonesia.com/2011/08/bung-tomo-bersajak/ Seyogyanya generasi setelah benih itu, akar kebangsaan disebar-dirawat, tidak dihapus meski berbalutan pesona. Senada unen-unen; “bangsa yang besar mampu menghargai jasa para pahlawannya,” tidak malah menjadi pahlawan kesiangan, lewat alibi-alibi memukau mereka yang terkena imbas media massa.
***

Sebagai penutup saya urai sedikit alibinya SCB dari Kredo Puisi-nya, bertautan “antara gerak dan pengertian.” Gerak ialah perpindahan tempat pergeseran letak, pun mengalami getaran melahirkan nafas pengertian. Pada benda mati sebatu beserta namanya, tiada peroleh sebutan, kalau tiada yang menyatakan. Pemberian titel merupakan gerak dari luar, pemikiran seorang / kelompok masyarakat. Batu dan namanya tak berpengertian, jika yang menyebut tidak meresapi manfaat menyatakan. Batu, pisau, tidak bermakna kalau sebelumnya tak memberi / mengetahui fungsinya. Hadirnya pengertian sebab telah tertanam kenangan pada benda dan namanya. Sebutan batu, pisau dan barangnya, tidak punya arti, kala tak mendapati gerakan / sebutan dari luar (insan menyatakan bersimpan kenangan).

Benda ditambahkan namanya tiada pengertian, tidak berfungsi di wilayah kebebasan kecuali ngawur. Bagaimana berpengertian, jikalau yang menyebut tak punya kenangan / pengalaman darinya? Seperti kata dan benda tidak / belum berfungsi, dia hadir dalam bentuk tak (belum) berpengertian. Seperti itu kosong serta bebas dimasuki juga dapat menghadirkan pengertian anyar. Saat balik maksud benda dan namanya berpengertian, maka keliru, tersebab makna hadir lantaran danau kenangan insan pada yang dinyatakan. Mari amati ungkapan SCB:

“Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.” 

“Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.”

“Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”

Kata (sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda serta namanya. Ini lumpah, hukum saklek menimpai benda juga namanya. Pengertian ada, kala menggapai fungsi nama dan barangnya, pula mengalami pergeseran yang menimbulkan makna. Sejauhnya SCB membebaskan kata dari makna, tetaplah terkenang hal sebelumnya yang tetap menghadirkan kata ‘memotong / menikam’ pada kata ‘pisau.’ Sekurangnya mendekatkan pengertian asal sedari fungsi barang yang dikatakan. Meski sebilah sabit dipajang di dinding ruang tamu yang keluar dari fungsinya, tetap sabit punya pengertian selain alat memenggal dahan. Pengertian hadir, dibarengi rekaman sedurungnya, meski berpindah fungsi hiasan, tetap arit (sabit) hadir berpengertian, dikarena insan (bersimpan kenangan) menyebut benda dengan namanya. Intinya tidak akan lahir pengertian, jikalau tidak memiliki kenangan atau sejarah. Tanpa kenangan, hanyalah sulapan!

Sebagai jawaban lain alibinya SCB, bisa simak ulang bagian III, dan penutup di buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” halaman 79 berlabel “Akhirnya.”

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html

ISLAM IN NETHERLAND: Prospect and Challenge

A. Syauqi Sumbawi
http://sastra-indonesia.com/

Sketsa Historis

Kontras dengan apa yang banyak dipikirkan masyarakat Barat, terdapat sejarah panjang tentang interaksi antara masyarakat Belanda dan Islam —yang merupakan bagian dari masyarakat kolonial di Hindia Belanda dan wilayah Karibia. Akan tetapi, hanya sebagian kecil dari komunitas Muslim di Belanda saat ini yang berasal dari migrasi post-kolonial. Sebagian besar Muslim di Belanda adalah tenaga kerja imigran dari Maroko dan Turki. Karena kurangnya tenaga kerja rendahan pada tahun 1960-an dan 1970-an, para imigran itu didatangkan ke Belanda oleh kalangan bisnis.
Gagasan di balik perekrutan tenaga kerja asing tersebut, bahwa mereka akan datang ke Belanda secara sementara dan kemudian kembali ke negeri asal dengan uang yang telah mereka terima. Oleh karena itu, tenaga kerja imigran (atau “tamu”) tidak hanya berhak untuk menjaga identitas agama dan budaya mereka, tetapi juga didorong untuk mempraktikkannya.

Sekitar tahun 1970-an, keadaan menunjukkan bahwa para tenaga kerja imigran dari Maroko dan Turki ingin tinggal di Belanda. Sejak saat itu, status “tenaga kerja sementara” tersebut berubah menjadi imigran permanen dan Islam menjadi bagian dari masyarakat Belanda. Di samping itu, populasi Muslim di Belanda mengalami perkembangan melalui kelahiran, penyatuan keluarga, perkawinan, kedatangan para pencari suaka dari negara lain, serta pada tingkat terbatas adalah sebagai akibat dari konversi agama masyarakat Belanda kepada Islam. Dengan adanya perkembangan tersebut, maka masalah-masalah seperti pelembagaan, integrasi para imigran dan persoalan kewarganegaraan kemudian mulai dibahas dalam kaitannya dengan Islam di Belanda.

Kalau tahun 1970-an dapat dilihat sebagai langkah pertama dalam perkembangan Islam di Belanda, maka tahun 1980-an merupakan langkah selanjutnya, di mana Islam diberi status yang sama sebagai salah satu agama minoritas di Belanda, di samping agama Katolik, Protestan dan atheisme dengan penganut mayoritas. Salah satu konsekuensi dari kebijakan ini adalah bahwa undang-undang yang ada harus diamandemen guna menjamin kesetaraan dan kebebasan keyakinan agama bagi Muslim di Belanda. Dalam hubungannya dengan Islam, pemerintah kemudian menciptakan sebuah “infrastruktur Muslim”, seperti pelayanan dakwah, sekolah Islam, dan penjaga spiritual Muslim di rumah sakit dan penjara, di mana semua pelayanan ini dibiayai oleh pemerintah. Dari semua itu, cara di mana pemerintah dan masyarakat Belanda menciptakan peluang dan hambatan bagi pengembangan lembaga-lembaga Islam hanya satu sisi dari proses pelembagaan yang terus berlangsung hingga saat ini. Di sisi lain adalah munculnya berbagai organisasi Muslim dan organisasi masjid, yang pada gilirannya mampu mendapatkan posisi kuat di tengah kehidupan sosial.

Sketsa Peluang atas Perkembangan Islam

Fakta bahwa Islam telah menempatkan dirinya dalam kehidupan beragama di Belanda juga dibuktikan oleh statistik. Sampai saat ini, Badan Statistik Belanda atau CBS (Centraal Bureau voor de Statistiek) mengasumsikan bahwa ada 1 juta penduduk Muslim di Belanda. Namun, CBS kemudian menyesuaikan jumlah Muslim pada kisaran 850.000 atau 5 % dari penduduk Belanda.

Seperti semua warga negara lainnya, Muslim Belanda tunduk pada Konstitusi Belanda. Dalam Konstitusi tersebut, prinsip-prinsip demokratis pemisahan gereja dan negara sangat menentukan peran-peran yang mungkin dimainkan oleh agama dalam masyarakat dan juga ruang-ruang yang ditawarkan kepada umat beragama untuk mempraktikkan keyakinan mereka. Terkait dengan hal tersebut, pemisahan gereja dan negara di Belanda didasarkan pada tiga pasal konstitusi, yaitu Pasal 1 (kesetaraan), Pasal 6 (kebebasan keyakinan agama) dan Pasal 23 (kebebasan pendidikan).

Pengaturan hubungan antara gereja dan negara di Belanda memiliki konsekuensi bagi negara dan kelompok-kelompok keagamaan. Untuk kelompok keagamaan—termasuk kelompok Muslim—, pengaturan tersebut berarti kebebasan yang besar dalam menentukan jalan mereka sendiri. Negara tidak dapat mengganggu substansi atau organisasi agama mereka. Kemudian menurut prinsip kekebasan keyakinan agama, Muslim Belanda bebas untuk mempraktikkan agama mereka, secara individu maupun kolektif, juga dalam domain publik. Selain itu, prinsip kesetaraan melindungui semua warga negara, termasuk Muslim, terhadap diskriminasi atas dasar keyakinan mereka, jenis kelamin, orientasi seksual, atau diskriminasi lainnya. Berikutnya, sesuai dengan prinsip kebebasan pendidikan, gerakan keagamaan bahkan dimungkinkan untuk mendirikan sekolah keagamaan mereka sendiri yang dibiayai oleh pemerintah.

Tentunya, semua kebebasan tersebut melibatkan kewajiban. Pemisahan gereja dan negara juga berarti bahwa kelompok keagamaan harus menghormati bahwa domain negara adalah di luar kewenangan mereka. Di samping itu, kebebasan beragama tidak hanya berarti bahwa orang bebas untuk menjalankan agama mereka sendiri, tetapi individu-individu juga bebas untuk merubah keyakinan atau meninggalkannya.

Sketsa Tantangan atas Perkembangan Islam

Meskipun prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara pemerintah, agama dan masyarakat didasarkan pada konstitusi, tetapi prinsip-prinsip tersebut tidak diatur secara kaku. Interpretasi atas prinsip-prinsip ini tergantung pada kondisi sosial yang berlangsung, serta debat publik dan diskusi politik. Maka, dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam di Belanda tidak sepenuhnya bebas dari berbagai permasalahan, tetapi terkait dengan sebuah perdebatan tentang dasar-dasar masyarakat.

Penyebab spesifik dari perdebatan di atas sering dipicu oleh kasus-kasus yang muncul. Misalnya, pada tahun 2001, terjadi penolakan terhadap seorang wanita yang mengenakan jilbab dalam pekerjaannya sebagai pegawai pengganti yang mengakibatkan perdebatan publik tentang cocok-tidaknya seorang pejabat publik untuk memakai simbol-simbol keagamaan. Perdebatan ini difokuskan pada pentingnya negara yang netral, yang timbul dari prinsip pemisahan gereja dan negara versus kebebasan keyakinan agama. Selain mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang berbeda, perdebatan tentang mengenakan pakaian keagamaan juga sering melibatkan perbedaan pendapat tentang makna atas simbol-simbol tersebut, serta mengacu pada kondisi minimal untuk interaksi sosial, di mana banyak klaim yang menyebutkan bahwa jilbab atau pakaian yang menyembunyikan wajah menjadikan komunikasi jauh lebih sulit.

Kasus lain dari pertentangan hak-hak konstitusional terjadi pada tahun 2001, ketika Imam masjid al-Nashr di Rotterdam dari Maroko, yaitu Khalid al-Moumni mengklaim bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit menular. Sebuah protes publik yang besar terjadi dengan tuduhan bahwa Imam tersebut telah melakukan diskriminasi. Meskipun banyak yang tersinggung dengan pernyataan tersebut, dan beberapa orang bahkan mengambil tindakan hukum, tetapi hakim memutuskan bahwa Imam tersebut hanya menyatakan kepercayaan agamanya dan karenanya tidak bersalah secara diskriminatif.

Kebebasan keyakinan agama dalam kaitannya dengan pemisahan gereja dan negara juga berada di bawah beberapa tekanan setelah munculnya gerakan yang disebut Islam radikal. Terutama setelah pembunuhan Theo Van Gogh —pembuat film Submission— pada tahun 2004 oleh seorang ekstrimis Muslim, sebagian kalangan mengusulkan kepada pemerintah untuk secara aktif mendukung Islam liberal dalam rangka membendung gelombang radikalisasi Muslim.

Selain masalah-masalah di atas, asosiasi implisit bahwa Muslim identik dengan kekerasan merupakan satu permasalahan klasik yang masih menjadi kekhawatiran. Namun, fakta yang terjadi berkaitan dengan peluncuran film anti-Islam “Fitna” oleh anggota Parlemen Belanda Geert Wilders, pada awal tahun 2008, menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap respon kemarahan yang dilakukan oleh komunitas Muslim tidak terjadi. Berlawanan dengan hal tersebut, sebagian besar komunitas Muslim Belanda secara eksplisit menjauhkan diri dari tindakan kekerasan serta melakukan aksi damai sebagai jawaban atas film tersebut yang selanjutnya melahirkan penilaian positif sebagian masyarakat Belanda terhadap komunitas Muslim. Hal ini tentu saja berbeda dengan respon terhadap kasus “Danish Cartoon” yang diwarnai dengan aksi kekerasan oleh komunitas Muslim, baik di Belanda maupun di seluruh dunia.

Dari kenyataan di atas, sikap toleransi dua arah merupakan salah satu faktor guna meminimalisir berbagai hambatan dan tantangan, terutama terhadap asumsi anti-integrasi dan intoleransi yang dilakukan oleh komunitas Muslim dalam kehidupan masyarakat Belanda, serta Eropa secara umum.

*) Ahmad Syauqi Sumbawi, Tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan, Jawa Timur.

Naskah Drama: Do’a Si Miskin

Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Musik Pagi.
Pagi hari tatkala ayam jantan masih berkokok dan embun-embun mulai berterbangan. Anak-anak mulai bangun dari tidurnya, dan menyanyikan sebuah lagi dari tempat tidurnya masing-masing.

Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan

berkemas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah
Mereka siap dan pergi ke sekolah.
1. Anak-Anak : (berteriak bersama) berangkat ke sekolah!
(bernyanyi) Oh ibu dan ayah selamat pagi
Ku pergi sekolah sampai kan nanti

Sesampainya di ruang kelas mereka berucap salam dengan sesama teman mereka

2. Renti : hai teman-teman, selamat pagi dan selamat belajar! Sebelum
bapak ibu guru datang, mari kita berlatih menyanyikan hymne
guru, bagaimana?
3. Teman-teman : setuju….

Teman-teman sekolah menyambut dengan suka ria ajakan untuk berlatih bernyanyi.

Mereka kemudian membuat formasi barisan koor hymne

4. Renti : dua, tiga, empat
5. Anak-Anak : (koor)
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Di tengah nyanyian hymne, satu persatu mereka meninggalkan Lita. Hanya Mega yang masih setia menemani

Musik mengalun sedih

6. Lita : Mega, kenapa teman-teman meninggalkan kita?
7. Mega : saya tidak tahu
8. Lita : saya heran, padahal kan tadi teman-teman bersemangat untuk
belajar bernyanyi
9. Mega : ya, mungkin mereka belum sarapan
10. Lita : maksudnya?
11. Mega : ya mereka tidak kuat menahan lapar, kemudian mereka pergi
untuk beli jajan sebagai pengganti sarapan
12. Lita : aneh!?
13. Mega : kamu tadi sudah sarapan?
14. Lita : tidak biasa
15. Mega : maksud kamu?
16. Lita : ya, saya tidak biasa sarapan sebelum berangkat ke sekolah
17. Mega : jadi kamu belum sarapan kan?
18. Lita : belum
19. Mega : kalau begitu ayo kita beli jajan seperti mereka
20. Lita : saya tidak punya uang
21. Mega : sudahlah, ayo! (menarik tangan Lita)

Menghilang pergi ke kantin diiringi musik sedih
Diam

Musik ceria mulai terdengar. Hanung dan teman temannya berkumpul menyanyi dan menari

22. Hanung : hai teman-teman, aku punya uang banyak sekali
23. Rozi : halaaah, paling-paling kamu bohong
24. Hanung : hai Rozi, sejak kapan kamu tidak percaya sama saya?
25. Rozi : sejak kamu belum mentraktir kita
26. Eko : iya Hanung, kalau kamu betul-betul banyak uang. Traktir kita lagi dong!
27. Hanung : ah kalian, selalu saja minta ditraktir
28. Supri : lha kalau kita yang mentraktir ya tidak pantas, yang banyak
uangnya kan Hanung
29. Hanung : okelah, let’s go (sambil merogo sakunya mencari uang, namun
tak menemukannya) sebentar, uang saya dimana ya? Oh ya saya
ingat, uang itu tadi saya simpan di saku tas (mengambil tas dan
mencari uangnya, namun ia tidak menemukan uangnya)
30. Hanung : uang saya dimana ya, kok tidak ada. Hai teman-teman, apa kalian
menemukan uang saya?
31. Eko : paling kamu lupa tidak membawanya
32. Hanung : tidak, saya ingat betul, tadi saya simpan di saku tas ini
33. Supri : paling-paling sudah kamu buat beli jajan.

Di sasat mereka kebingungan, tiba-tiba Renti masuk kelas

34. Renti : ada apa ini?
35. Hanung : hai Renti, kamu yang mengambil uang saya?
36. Renti : apa kamu bilang Hanung?
37. Hanung : kamu mengambil uang saya!
38. Renti : jangan sembarangan kamu menuduh orang
39. Hanung : saya tidak menuduh. Saya hanya tanya
40. Renti : Hanung, Itu artinya menuduh
41. Hanung : terserah kamu. Sekarang kembalikan uang saya
42. Renti : dengar Hanung. ibu bapak saya tidak pernah mengajari saya
menjadi pencuri. Ibu bapak saya mengutuk anak-anaknya berbuat
yang merugikan orang lain.
43. Eko : sudah diam! Jangan bertengkar
44. Supri : Hanung, bagaimana kalau kamu tanya pada Lita dan Mega. Pada
waktu kita keluar beli jajan, mereka kan masih di dalam kelas
45. Rozi : ya hanung, tanya saja mereka berdua
46. Hanung : kalau begitu mari kita cari mereka

Mereka pun beramai-ramai memanggil Lita dan Mega. Mereka memaksa Lita dan Mega ke ruang kelas dan mengadilinya.

47. Lita : ada apa ini, kenapa kalian berbuat kasar kepada kami?
48. Rozi : ya, ini pantas diperlakukan pada pencuri
49. Mega : apa kamu bilang?
50. Eko : Mega, jangan berlagak. Terus terang aja!
51. Mega : hai teman-teman, maksud kalian apa?
52. Hanung : Lita si anak miskin dan kamu Mega. Tidak biasanya kalian
berdua ke kantin membeli jajan.
53. Lita : terus kenapa kalian berbuat kasar pada kami? Apa tidak boleh
kami sesekali membeli jajan.
54. Hanung : hai si miskin, diam! Darimana kamu dapat uang?
55. Lita : dibelikan sama Mega

Teman-teman lain mulai merasa menemukan siapa pencurinya

56. Rozi : hai teman-teman, sudah jelas kan siapa yang mencuri uang
Hanung.
57. Eko : pencurinya adalah……
58. Hanung : stop tidak perlu kalian jawab
59. Eko : Pencurunya adalah…..
60. Supri : Stop, tidak perlu dijawab. Tidak perlu dikatakan. Semua disini
sudah mengetahui siapa pencurinya. Hanung tanya sekali lagi
pada Lita!
61. Hanung : Lita si anak miskin, dari mana kamu uang untuk beli jajan?
62. Mega : hai, apa maksud kalian, kalian menuduh kami mencuri uang
kalian?
63. Hanung : Diam Mega, aku tidak tanya kalian.
64. Hanung : Lita, jawab! Dengan uang siapa kamu beli jajan?
65. Lita : saya dibelikan Mega
66. Eko : kesimpulanya, pencurinya adalah…………
67. Supri : stop, sekali lagi tidak perlu dijawab. Kita semua sudah tahu
pencurinya.
68. Renti : Mega, kalian mengerti kan maksud teman-teman?
69. Mega : ya aku mengerti. Kalian menuduhku mencuri uang Hanung.
70. Hanung : (marah) mega aku tidak menuduhmu. Tapi ini kenyataan. Kamu
adalah pencurinya
71. Mega : (marah) Hanung, jangan sembarangan kamu bicara..
72. Eko : Mega, jangan berkelit.
73. Mega : oh jadi kalian bersepakat menuduh kami pencuri

Teman-teman lain ramai berteriak mengatakan Mega dan Lita yang mengambil uang Hanung.

74. Hanung : dengarkan mereka Mega… bukan saya saja yang mengatakan
kamu dan temanmu si miskin itu pencuri. Tapi semua teman yang
ada di sini bersepakat bahwa kalian yang mengambil uang saya
75. Mega : atas dasar apa kalian menuduh kami?
76. Supri : ketika teman-teman pergi jajan, kalian masih saja tinggal di kelas
77. Eko : dan hari ini kamu banyak uang, buktinya kamu beli jajan
78. Hanung : Mega akui saja perbuatan tercela itu.
79. Mega : Berapa uang kamu yang hilang?
80. Hanung : lima puluh ribu
81. Mega : silakan cari di tas saya atau tas Lita
82. Hanung : Teman-teman tolong geledah tas mereka berdua

Teman-teman Hanung mengeluarkan semua isi tas mereka berdua tapi mereka tak menemukannya.

83. Eko : tidak ada Nung!
84. Rozi : ya jelas tidak ada, uangnya sudah dibelikan jajan
85. Mega : saya membeli jajan tidak dengan uang sebesar itu. Saya hanya
mebeli satu bungkus kerupuk yang harganya lima ratus rupiah
dan dengan uang lima ratus rupiah. Kerupuk itu kami makan
berdua. Demi Tuhan tidak lebih dari itu. Tanyakan pada Bulek
penjual jajan itu kalau tidak percaya!
86. Lita : ya aku akui itu, memang aku tidak sering keluar kelas untuk beli
jajan seperti kalian. Aku akui, kalian memang benar memanggilku dengan sebutan si miskin karena kami benar-benar anak miskin. Lebih dari itu yang aku alami. Kami bukan saja miskin, tapi kami juga tidak punya ibu. Sungguh teman kami tak pernah melakukan perbuatan tercela itu (menangis mengingat ibunya)

Musik mengalun sedih, mengiringi nyanyian

87. Mega : (menyanyi) Oh ibu air matamu
Ku ingin bersimpuh padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga di telapak kakimu
88. Lita : maafkan saya ibu, sungguh aku tidak melakukan perbuatan yang
tidak terpuji itu. Sungguh ibu saya bukan pencurinya.

Tuhan kabulkanlah do’a si miskin yang sedang teraniayah ini.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang bukan haknya
Tuhan berikan kami petunjuk menuju jalan yang benar, jalan yang Engkau ridloi.
Tuhan, sungguh kabulkan do’a si miskin yang piatu yang kini
sedang teraniaya.

Nyanyian Mega terus mengalir mengiringi doa si yatim. Sedang Lita khusuk menagisi do’anya pada Tuhan.

Tiba-tiba Rozi dan Eko mengerang kesakitan. Mereka sakit perut. Mempertanyakan jajan yang mereka beli

89. Eko : aduuh sakit
90. Rozi : perutku juga sakit, aduuuh
91. Eko : mungkin roti yang kita beli tadi. Roti itu mungkin sudah jamuran.
92. Rozi : bukan hanya roti itu, tapi uang yang kita gunakan untuk membeli
93. Eko : maksudnya uang yang kita curi itu
94. Rozi : juga do’a Lita si miskin yang piatu itu.
95. Eko : aduuuh sakit
96. Rozi : perutku juga sakit, aduuuh

Tamat

Lamongan, 20 September 2004
Dijumput dari: http://ahmadzaini7576.blogspot.com/2010/11/doa-si-miskin.html

Sajak-Sajak Nurul Hadi Koclok

http://sastra-indonesia.com/
GELEGAR DI BALIK HALILINTAR

Bermandi hujan bersabun angin;
Terbelalak jiwaku digertak halilintar
Sampai terjaga oleh tanya gemetar…

Hai, hujan…
Hangat dan payau airmu segarkan aku,
Kenapa kau semprotkan kilat?

Dan kau, angin…
Hembusanmu gigilkan tulang kulitku
Lalu kenapa kau kirim halilintar,
Hingga parau gendang telingaku?

Begitu juga kau; kilat dan halilintar…
Di balik hujan dan angin,
Kalian sembunyi lalu loncat berakrobat;
Nyala kilatmu nuding hinaku
Gemuruh suaramu lumat manjaku

Apakah kalian cuma sekedar gejala alam?
Ataukah Tuhanmu perintahkan kalian?
Ada rahasia apa, gerangan?

Tanyaku tersapu deru di dada…
Jika tanyamu berdasar bening jiwa
Dan berakan niat menuju maksudKu…
Maka jawabku berporos cahaya kehendakKu;
Kutunjuk jiwamu tangkap pesanKu
Dan mampu bermain tanda tanda tersiratKu

Tapi jika tanyamu berakar sebaliknya,
Maka jawabku kau cerna dengan nalar buram
Dan jiwamu menyala dalam terangnya kegelapan

Hai… Tuhan!!
Andai rahasia ini bisa kucerna dengan akal biasa…

(jogja, maret 2010)



JOGJA ADEM PANAS

Musim hujan, jogja menyala
Terangi desa-desa mengepung Batavia
Burung-burung pemakan bangkai mencakar wajah penjajah
Berpesta bangkai mayat-mayat hidup yang berlagak penguasa

Para badut politik gemetar perutnya
Para begundal bersilat lidah
Hendak membinbing burung-burung terbang
Hendak mengajari ikan-ikan berenang

Tapi para burung dan ikan itu bersikap santun
Jika nampak lebih pintar daripada yang mengajari
Mereka akan distempel pipinya
Dengan cap; anti demokrasi dan teroris
Ya,itulah merk dagang import
Yang didiktekan bangsa asing
Kepada para agen pasar bebas;
Yang rela siap berkorban jilati pantat penjarah baru,
Demi pelipur lara sakit jiwa

Cacing-cacing di Jogja menggeliat
Terangsang menu busuk;
Napas mati rasa para penjarah nusantara

Tahun demi tahun berganti
Muslihat para kakek batavia semakin gila di Jogja
Hingga bayi-bayi begitu lahir pun tidak menangis
Tetapi justru tertawa pintar;
“oh,kakeku yang lucu-lucu…
Nih,cucumu terpaksa cepat lahir dari liang senggama…
Maka kakek harus cepat masuk liang lahat…”

(Jogja, Januari 2011)

Sajak-Sajak Ahmad Zaini

http://sastra-indonesia.com/
Rindu Matahari

Sekujur tubuh terasa
bagai ditusuk jarum,
sakit tak kunjung pergi
tinggalkan derita berkepanjangan.

Gigil membungkus embun
tak lepas membalut diri terbaring
didekap bulan sabit
menjelang siang. Tak tahu
mengapa matahari
belum tampakkan wajah
hangat belaiannya kurindu
sepanjang malam,
cerahnya kunanti sepanjang hari.

Angin gerah menggelitik sekujur tubuh,
lantas pergi ke mana ia sukai

Desember 2009



Aku Tak Diam

Sungguh aku tak mampu
membiarkan dirimu sendiri
di tempat tersunyi
aku akan mengentaskan dirimu
dari kepenatan dan kegelapan yang
membelenggumu

aku tak diam
ketika rintih pedih
menyeruak dari rahim kezaliman

aku tak diam
membiarkan air matamu
membanjiri kawah
menganga dalam kesombongan

bebatuan cadas lambat laun akan runtuh
mengubur kemunafikan ini
dan badai kesengsaraan akan sirna

Babat, 31 Oktober 2010



Meningintip Gamang

senja menelikung tajam jalan
membawa angan tuk mengarungi dirimu
desah ragu
ngiang telinga
seraut wajah hasrat menggundah

aku tahu engkau tak muncul
dalam realita hidup
mengintip gamang merangkul diri
pada bebukitan
aku menaik puncak
lalu berseru memanggili namamu

aduhai
liukan mencari jatidiri
menunggu kepastian
yang tak kunjung tiba.



Hapuslah Air Matamu

Hapuslah air matamu
jangan kau biarkan terkuras
menyesali nasib yang menimpa
hapuslah air matamu
jangan kau biarkan menetes
di lekuk pipimu
Tuhan menimpakan cobaan
sesuai dengan kemampuan
Tuhan tak akan memberikan cobaan
di atas kemampuan kita

awan panas
mengurung
biarlah menjadi butiran emas
yang gemerlap menghias kehidupanmu
kelak
biarkan lahar dingin
yang tertumpah menjadi
sungai susu
dan debunya menyambung kehidupanmu
nanti
hapulah air matamu
jangan kau biarkan mengaliri nasib
yang kau alami kini
sinar matahari tak akan putus asa
memberikan kehangatan
agar kita berkeringat mengejar
masa depan yang lebih sempurna
hapuslah air matamu saudaraku
di balik tebal debu
ada mutiara-mutiara yang
membahagiakanmu.

Polemik Sastrawan di Facebook

KASUS PUISI “IKAN PADANG” DEDDY ARSYA
Riyon Fidwar
http://minggu.hariansinggalang.co.id/

PENULIS, karya, dan pembaca merupakan hal yang selalu dibahas dan dicatat dalam perkembangan sastra dari priode ke priode. Tiga hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra. Pembicaraan tentang tiga hal inijuga tidak jarang juga pula menghadirkan polemikyang beruntun di kalanganpembaca aktif yang berperan sebagai pengamat sastra dan penulis sebagai pegiat sastra itu sendiri (Maira; 2011).

Polemik adalah perbedaan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa: polemik sastra adalah tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut perang pena; berpolemik (berbantah, berbahas) melalui media massa (dalam surat kabar, majalah dan sebagainya). Setelah diamati, adapun masalah sastra yang sering yang mewarnai polemic sastra antaralain adalah masalah posisi kritikus, mutu karya, serta tentang pengarang dalam eksistensinya sebagai pegiat sastra.

Dalam Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra) yang ditulis oleh Maira Eka Sari, S.S untuk memenuhi sarat mendapat gelar S1-nya. Dalam skripsi ini Maira Eka Sari, S.S mencoba untuk mendukomentasikan sastra dalam bentuk yang sangat unik sehingga menjadi lebih menarik untuk dibaca atau diteliti lebih lanjut. Skripsi Maira Eka Sari, S.S ini adalah salah satu skripsi yang membahas tentang karya sastra yang beredar di media massa, khususnya akun Facebook. Tindakan ini adalah sesuatu yang baru dalam studi sastra yang hanya membahas karya yang telah dicetak (buku sastra).

Skripsi ini bisa disebut sebagai salah satu sejarah sastra yang telah diaplikasikan dalam bentuk yang baru dalam sejarah sastra sebelumnya. Tindakan yang berani dan mengagumkan serta menghebohkan. Dengan sendirinya sastra tidak didefenisikan berdasarkan kriteria kualitaif. Yang dipakai sebagai kriteria di sini adalah sesuatu yang dibaca secara sukarela. Karya yang tidak merupakan alat melainkan tujuan dipandang sebagai sastra. Semua karya yang tidak dimanfaatkan keguaannya secara praktis melainkan untuk memuaskan kebutuhan budaya. Di antara karya sastra yang nyata diambil, sebagian besar fungsional, terutama Koran, di mana yang terutama dicari adalah informal, dokumentasi.

Dalam Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra), polemik dipicu oleh komentar keempat yang ditulis oleh Raudal Tanjung Banua. Komentar Raudal ini ternyata mendapat respos dari Romi Zarman dan beberapa sastrawan lainnya.

@Raudal Tanjung Banua
“ Deddy Arsya memang lain; puisinya enak dinikmati, tp juga berisi. Tidak sekedar mengigau dalam irama membunca-buncah. Bagiku, penyair Padang mutakhir paling kuat adalah Deddy Arsya……(baca selanjutnya).”
@Romi Zarman

“ Bila Deddy dikatakan sebagai penyair Padang mutakhir, saya setuju. Tp tentu ada alas an kuat yang mendukung lahirnya pandangan tersebut….. (baca selanjutnya).”

Dua komentar di atas merupakan awal dari polemik ideologi antara sastrawan rantau dan sastrawan kampong. Kasus ini merupakan kasus yang hangat dibicarakan oleh pegiat sastra, penikmat sastra, serta pegiat facebook. Dari polemik ini mengundang komentar dalam jumlah yang sangat besar, yaitu sebanyak 346 buah komentar. Sebuah perdebatan yang sangat runcing dan sengit di akun facebook. Polemik yang dilakoni oleh para sastrawan bukan hanya membicarakan tentang puisi “Ikan Padang” yang ditulis oleh Deddy Arsya, tetapi juga membicarakan bagaimana masalah-masalah yang ada dalam sastra, khususnya sastra mutakir Sumatera Barat.

Mengingat fakta sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari cara berpikir individual, bentuk-bentuk abstrak dan sekaligus struktur kolektif, pembahasannya cukup menyulitkan. Sulit kita membayangkan gejala dengan tiga dimensi, terutama ketika kita menyusun sejarahnya. Pada kenyataannya, selama berabad-abad, bahkan saat sampai sekarang, sejarah sastra ditulis berdasarkan studi manusia dan karya-karyanya, biografi spiritual dan komentar teks, karena konteks kolektif hanya dianggap sebagai semacam dekor, hiasan yang dibiarkan menjadi objek studi pakar sejarah politik.

Kesulitan-kesulitan tersebut tidak pernah berhasil diatasi. Bahkan jika representasi sempurna tidak mungkin, yang penting hendaknya para penulis biografi dan penulis komentar, ahlisejarah dan kritikus, para peneliti sastra, memiliki visi lengkap tentang fakta sastra, dari masa kini atau masa lalu.

Dari hasil pengatan, bahwa skripsi ini perlu dikembangkan lagi. Sebab penelitian tentang Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra), adalah penelitian yang sangat menantang dan unik untuk dipertahankan. Skripsi yang ditulis oleh Maira Eka Sari, S.S merupakan salah satu kegiatan mencatat perkembangan sejarah sastra di Indonesia.

07 January 2012

Kesenian yang Kurang Perhatian

Anton Kurniawan*
Lampung Post, 29 Juli 2006

Cahaya remang-remang dari lighting yang cukup sederhana, kursi, dan layar berwarna hitam tampak di ruangan berukuran sedang yang dipenuhi sekitar 50-an orang. Asap yang berasal dari rokok para penonton perlahan merayap memenuhi ruangan, menjelma kabut.

Di antara para penonton tampak beberapa penyair yang sudah amat dikenal dalam dunia kepenyairan di Lampung, bahkan di tingkat nasional, di antaranya Iswadi Pratama, Budi Hutasuhut, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, dan Eddy Samudera.

Di bawah pijar cahaya lampu, Paus Sastra Lampung, penyair yang sangat produktif dan tetap konsisten bersetubuh dengan imajinasinya untuk melahirkan karya-karya; puisi maupun cerpen, dengan bergairah membacakan sajak-sajaknya.
***

Itulah secuil deskripsi suasana acara yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung yang memasuki bulan kedua, dari 12 bulan yang direncanakan. Pada bulan pertama setelah digagasnya kegiatan tersebut, UKMBS Unila memfasilitasi pementasan teater dengan lakon “Petang di Taman” yang dipentaskan UPT KSS FKIP Unila dan pembacaan puisi yang menampilkan Udo Z. Karzi.

Sebagai awam yang berusaha mengenal sastra, saya menganggap ini sebuah peristiwa yang cukup luar biasa; para seniman berkumpul membincangkan kesenian di sebuah “bilik”–menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini didefinisikan sebagai “sebuah ruangan kecil yang bersekat”.

Sebuah ruangan kecil…. Pengertian ini yang sesungguhnya sangat menarik. Sebab, meskipun hanya sebuah ruangan kecil (yang bisa jadi salah satu ruangan dari sebuah rumah/bangunan), ia seperti memiliki daya magis penuh pesona. Sebuah ruangan yang sederhana tanpa hiasan, tanpa air conditioner, tapi mampu “memaksa” seniman datang, berkumpul membincangkan karya-karya dari seorang penyair atau menyaksikan sebuah pementasan teater.

Namun, memori otak saya mencatat sebuah pertanyaan, benarkah daya magis ruangan tersebut yang mampu “memaksa” para pencinta karya sastra untuk hadir, meskipun di malam-malam? Setelah tercenung sesaat, saya berkesimpulan bukan daya magis ruangan kecil bersekat itu yang mampu “memaksa” mereka datang, melainkan mereka yang mengikhlaskan waktu dan dan hatinya untuk memfasilitasi pergelaran tersebut.

Selain itu, mereka yang menggagas kegiatan tersebut demi menjaga silaturahmi antarseniman, sehingga di rumah ini (Lampung) gairah para penyair untuk tetap berkarya terus terjaga. Saya sangat yakin gagasan cerdas yang dituangkan dalam kegiatan tersebut penyebab mengapa para seniman dapat berkumpul di bilik itu.

Malam menanjak naik, meskipun belum larut. Di bawah remah-remah cahaya, Sang Paus Sastra baru saja usai membacakan sajak-sajaknya: “Bunga Hujan, Maret…”, “Sebaris Bulu di Pelipis Ibu”, “Ranting Menjadikan Aku Tetap Ada,” dan “Kenangan Pada Juni”. Selanjutnya acara beralih pada sesi diskusi membahas puisi-puisi yang telah dibacakan. Pada sesi ini, Jimmy Maruli tampil sebagai moderator dan Panji Utama sebagai pembahas. Di sini perbincangan seputar Isbedy dan puisinya membuat suasana benar-benar hangat, sehingga waktu seperti berjalan terlalu cepat. Malam terus bergerak. Bahkan, nyaris sampai di ujung larut, sehingga diskusi tersebut mesti ditutup.
***

Dalam perjalanan pulang, saya tak henti-henti mengagumi kecerdasan dan keikhlasan mereka yang bersusah-susah menggagas dan menggelar acara itu, tanpa bantuan dana dari mana pun (itulah yang saya ketahui setelah berbincang-bincang dengan beberapa kawan yang ikut terlibat kegiatan tersebut). Suatu hal yang mulai langka ditemui dalam era sekarang–menggelar acara tanpa meminta bantuan dana. Hanya mereka yang benar-benar langka yang mampu melaksanakannya.

Menurut saya (paling tidak hingga bulan kedua ini), penyelenggara melaksanakan acara tersebut dengan sukses; menggelar pertunjukan teater dan pembacaan puisi–yang katanya–akan digelar rutin setiap bulan selama satu tahun. Saya sempat berpikir bagaimana mungkin kegiatan semacam itu bisa digelar tanpa meminta bantuan dana? Namun, segala tanya itu segera pergi ketika saya teringat pada sejarah silam; bagaimana keberanian nenek moyang dengan peralatan seadanya menaklukkan ganasnya samudera, dengan keberanian dan strategi yang hebat Sultan Trenggono akhirnya memukul mundur pasukan Portugis, serta bagaimana dengan keberanian dan kekuatannya Ken Arok mampu mengubah sejarah setelah mengalahkan Tunggul Ametung.

Yang pasti, sebagai masyarakat Lampung yang mencoba mengenal karya sastra, saya bersyukur masih ada penghuni negeri atas angin yang benar-benar bersetia dengan kedudukannya dan bersedia menyediakan tempat bagi para seniman (dan mereka yang mencoba mencintai seni) untuk melepaskan kerisauannya; melalui pementasan teater dan pembacaan puisi.

Bukanlah hal yang mengagetkan jika di tanah ini untuk menggelar sebuah pertunjukan teater di sebuah tempat yang layak (Taman Budaya Lampung misalnya) kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (mencapai ratusan ribu rupiah).

Yang lebih merisaukan, dewan/badan/lembaga yang mengatur tentang hal tersebut, yang jelas-jelas menerima anggaran dari pemerintah daerah untuk membantu mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan kesenian tak mampu memberikan perhatian lebih kepada kantong-kantong kesenian/penggiat seni.

Terkait hal tersebut, dalam bukunya Mempertimbangkan Tradisi, Rendra menjelaskan peranan roh adalah yang memberi hidup, menghirup zat pembakar, dan mengedarkan kesegaran baru ke seluruh organisme badan. Peranan badan adalah suatu organisasi untuk mewujudkan suatu nilai atau aspirasi dan sekaligus memnatapkannya dalam suatu lembaga.

Personalisasi badan adalah raja, sedangkan personalisasi roh adalah empu. Yang satu berumah di keraton, sedangkan yang lain berumah di angin. Dalam bahasa modern, badan adalah semua institusi yang ada dalam masyarakat, sementara roh mencari jalan-jalan baru untuk terus memperluas daerah kesadaran dan wilayah spritual manusia melalui seni, agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Institusi dipimpin orang-orang yang mempunyai otoritas dan kekuasaan, sedangkan peranan roh dijalankan para agamawan, ilmuawan, cendekiawan, para seniman, dan literati. Sebagai penghubung kedua peran tersebut, muncul kemudian berbagai dewan/paguyuban/lembaga yang mengoordinasi kerja sama di antara para petugas badan dan para pemimpin angin, sehingga semua dapat berjalan seimbang.

Namun, sekali lagi mungkin kini zaman sudah berubah. Namun, saya masih berharap para “anggota dewan” masih menyimpan kekuatan dan keberanian untuk berkorban demi kemajuan seni di daerah ini tanpa harus menengadahkan tangan meminta bantuan kepada pemerintah.

Semoga dari bilik ini aroma kesenian menyebarkan wanginya hingga seberang lautan, melintasi gunung-gunung, bahkan menembus batas langit.

* Anton Kurniawan, Bergiat di UPT KSS Unila.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/07/esai-kesenian-yang-kurang-perhatian.html

Ingin Pahlawan Tetap tanpa Tanda Jasa

Ramadhan Batubara
http://www.hariansumutpos.com/

Putu Wijaya mengajak teaternya yang bernama Mandiri untuk ‘bertolak dari yang ada’. Tentu ini soal proses hingga berlabuh pada pementasan. Karena itu, Putu dikenal mampu berkarya tanpa mengenal lelah. Ya, dia adalah pabrik karya. Namun, apakah dia dianggap pahlawan tanpa tanda jasa? Oh, tidak, Putu sudah cukup berjasa dan jasanya pun telah diberi ‘tanda’. Bukankah penghargaan yang telah dia terima cukup banyak; baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Dan, bukankah dia telah menerima hasil dari semua karyanya itu; baik material maupun nonmaterial. Lalu, jika begitu, apa yang menarik dari Putu? Nah, saya tertarik dengan kalimat Putu soal ‘bertolak dari yang ada’ itu tadi. Begini, Jumat 25 November lalu, guru se-Indonesiadiperingatiulangtahunnyayang ke-66. Secara umum di berbagai pelosok negeri, peringatan itu tetap saja menyinggung soal guru yang dikatakan sebagai ‘pahlawan tanpa tandajasa’. Pertanyaannya, adakah nasib guru memang tetap semacam itu? Maka, sang Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo, kembali mengungkapkan kehidupan tak menyenangkan kaum guru dalam acara ulang tahun itu. Dia katakan, gurubukanlahburuh, jadiupahnya harus lebih tinggi. Ini soal profesi, yang tentunya mmbutuhkan kemampuan tersendiri dan jenjang pengetahuan khusus. Dari bimbingan gurulah seseorang menjadi presiden dan sebagainya. Ufs, kenapa mereka tidak dihargai?

Tidak itu saja, sebelumnya dalam sebuah kesempatan menjelang acara ulang tahun, Sulistyo pun berang. Dia mendapat kabar kalau di sebuah daerah di Sumatera Utara dana insentif untuk guru non PNS dialihkan menjadi mobil anggota DPRD. Bayangkan, apa yang ada dalam benak para guru, pendapatan yang belum cukup, eh, malah tambahannya dialihkan untuk kepentingan orang lain. Fiuh. Ayolah, mereka bukan PNS yang sejatinya memiliki sekian kelebihan dibanding honorer, kenapa dana untuk mereka yang dipotong. Hm, atau, para pemimpin daerah itu segan untuk memotong dana PNS, takut bermasalah? Wah, kalau berpikir semacam itu tentu salah, toh, honorer itu juga guru kan? Tapi sudahlah, setidaknya tidak semua guru bernasib naas semacam itu. Pemerintah telah banyak memikirkan nasib para guru bukan? Misalnya, soal sertifikasi yang ujung-ujungnya mampu mendongkrak pendapat para pengajar itu. Tapi, sekali lagi, sayangnya hal itu juga tidak maksimal. Masih ditemukan penyelewengan.

Akh… sesuatu yang ada kenapa tidak digunakan dengan baik ya. ‘Bertolak dari yang ada’ ala Putu Wijaya tampaknya bisa menjadi cermin yang baik. Ayolah, Putu cukup berhasil memberikan karya yang tidak berlebihan dalam persiapan. Misalnya dalam sebuah pementasan, dia dikenal tak membuat naskah yang berpakem. Dia biarkan aktor-aktornya berekspresi. Dia lihat kemampuan itu, dia eksplorasi lagi agar lebih mantap. Maka, naskah pun selesai ketika pentas usai. Sang aktor bangga, mereka tidak dibatasi dengan keras. Sebagai sutradara, Putu, cukup bijak. Pos yang dia tetapkan dia jaga, namun tidak kaku dan mendewakan pos yang dia ciptakan tadi. Karena itulah, ‘yang ada’ bagi Putu harus dimanfaatkan dengar benar. Tidak ada istilah mubazir atau apapun namanya, jika serius ‘apa yang ada’ bisa menjadi sesuatu yang berarti. Jadi, tidak perlu bermimpi terlalu muluk; injak bumi dan melangkahlah. Hal ini, konsep Putu, juga bisa diterapkan di mana saja, misalnya di sebuah perusahaan. Seorang pemimpinharuslahjelimelihat potensi yang ada. Dia wajib melihat dan menilai bawahannya; baik kemampuan hingga kegemarannya. Setelah mengetahui itu,mulailah sang pemimpin merancang pekerjaan yang sesuai. Tentu, bawahannya itu memiliki berbagai kemampuan dan kegemaran yang beragam. Nah, hal itulah yang diolah.

Jadi, dalam penerapan, sang bawahan akan merasa memiliki program yang diluncurkan sang atasan. Dengan begitu, ada jiwa yang bermain; tidak sekadar menjalankan tugas semata. Yang terjadi di kebanyakan tempat, sang pemimpin malah sibuk dengan kepalanya sendiri. Ukh…. Hm, persis dengan kasus pengalihan dana tadi kan? Seandainya saja pimpinan daerah berpikir tentang nasibguruhonoreritu, tentunya tak akan ada masalah kan? Ya sang guru honorer pun akan semakinrajindansemakinmencintai sang pemimpin. Pasalnya, dana untuk mereka ada dan langsung disalurkan untuk mereka. Lalu, sang pemimpin, jika memang harus membeli mobil untuk anggota dewan yang terhormat, kan bisa dicarikan dana dari tempat lain. Jadi, tidak menggunakan dana yang ada untuk orang lain. Atau, mungkinkah sang pemimpin berpikir seperti Putu Wijaya; bertolak dari yang ada? Ya, yang ada kan dana insentif tadi. Hehehehe. Tapi sudahlah, diperingatan ulang tahun ke-66, guru tetaplah guru. Dia tetap diinginkan jadi pahlawan yang tanpa tanda jasa bukan? Tentu, beberapa kalangan juga tak siap jika para guru diberikan tanda jasa. Toh, jasa berupa dana insentif dan sertifikasi saja tidak digunakan dengan baik. Maka, Iwan Fals terus saja mengalunkan Oemar Bakri: Empat puluh tahun mengabdi// jadi guru jujur berbakti memang makan hati// Oemar Bakri … Oemar Bakri // banyak ciptakan menteri….(*)

27 November, 2011

Wednesday, January 11, 2012

Siapa penulis asli Shakespeare?

http://www.bbc.co.uk/

Sejumlah aktor teater kawakan di Inggris termasuk Sir Derek Jacobi dan Mark Rylance meluncurkan debat tentang siapa yang sebenarnya menulis karya-karya sastra yang dikatakan ditulis oleh William Shakespeare.

Hampir 300 orang telah menandatangani “deklarasi keraguan yang beralasan”, yang mereka harap akan mendorong penelitian lebih lanjut tentang isu ini.

“Saya percaya dengan teori yang mengatakan karya-karya itu adalah kolaborasi sekelompok orang. Saya tidak yakin satu orang saja mampu melakukannya,” kata Sir Derek Jacobi.

Mereka mengatakan tidak ada catatan bahwa Shakespeare menerima bayaran atas karya-karyanya.

Sementara dokumen-dokumen yang ada tentang Shakespeare, yang dilahirkan di kota Stratford-upon-Avon pada tahun 1564, tidak membuktikan bahwa dia seorang penulis.

Khususnya surat wasiat yang dia tulis, yang meninggalkan istrinya “tempat tidur nomor dua terbaik saya dengan perabotan”, dan tidak berisi kalimat-kalimat indah yang membuat dia terkenal dan tidak juga menyebut buku, naskah drama atau puisi karyanya.

Keluarga buta huruf

Shakespeare Authorship Coalition yang beranggotakan 287 orang mengatakan drama-drama Shakespeare yang banyak menampilkan rincian tentang hukum tidak mungkin ditulis oleh William Shakespeare, pria kelas bawah, yang berasal dari keluarga buta huruf.

Kelompok ini bertanya mengapa sebagian besar karya drama Shakespeare berlatar keluar kelas atas atau bangsawan, dan mengapa kota Stratford-upon-Avon tidak pernah disebut di dalam karya-karya tersebut.

“Bagaimana dia bisa mengetahui kehidupan bangsawan Italia, dan menggambarkan rinciannya dengan akurat?” tambah kelompok itu.

Teori konspirasi tentang penulis karya Shakespeare yang sebenarnya sudah beredar sejak abad ke-18. Berdasarka teori-teori itu, beberapa orang, termasuk penulis drama Christopher Marlowe, bangsawan Edward de Vere dan Francis Bacon dikatakan menggunakan Shakespeare sebagai nama samaran.

“Menurut saya perkiraan terkuat kemungkinan adalah Edward de Vere, karena si penulis menulis tentang pengalamannya, kehidupannya dan sifatnya,” kata Sir Derek.

Deklarasi itu, yang diresmikan di Teater Minerva di Chichester, Inggris selatan, juga memuat nama 20 tokoh penting yang pernah meragukan karya Shakespeare, termasuk Mark Twain, Orson Welles, Sir John Gielgud dan Charlie Chaplin.

‘Pertanyaan sah’

Salinan deklarasi ini diserahkan kepada Dr William Leahy, dekan Sastra Inggris di Universita Brunel di London dan penyusun jurusan S2 pertama tentang studi tenang siapa penulis karya Shakespeare, yang akan diluncurkan akhir bulan ini.

“Sejak dua tahun ini saja berjuang untuk memasukkan topik ini ke dalam pembahasan akademisi,” kata Dr Leahy.

“Ini adalah pertanyaan sah, karena ada misteri dan pembahasan intelektual akan mendekatkan kita ke inti masalah ini.”

“Saya tidak mengatakan kami akan mendapatkan semua jawabannya. Bukan itu intinya. Tentu saja, di situ letak pertanyaannya.”

09 September, 2007
Dijumput dari: http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2007/09/printable/070909_realshakespeare.shtml

Macbeth, Tragedi “Indah” dari Shakespeare

Putu Fajar Arcana
_Koran Kompas

Pada dasarnya, kita sangat suka terhadap tragedi. Dalam waktu singkat, cerita tragedi dari sebuah ruang pengadilan di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, menjadi buah bibir meski hanya dipicu oleh tiga butir buah kakao. Itulah panggung teater sesungguhnya yang sulit ditandingi pementasan semacam lakon Tragedi Macbeth, 20-22 November 2009, oleh Teater Sastra Universitas Indonesia di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Jika tidak sangat cermat dan penuh dengan daya jelajah artistik yang mumpuni, panggung teater akan jatuh pada duplikasi yang mubazir. Ia hanya akan memindahkan realitas sehari-hari dengan daya pancar yang lebih lemah ketimbang apa yang sudah lebih dahulu dilakukan oleh media massa. Usaha sutradara I Yudhi Soenarto, master teater dari State University of New York, Amerika Serikat, mengontekskan tragedi dalam drama karya William Shakespeare satu sisi pantas diapresiasi. Namun, ia memiliki tantangan besar yang harus ditaklukkan sebelum memutuskan memilih naskah ini untuk merayakan puncak 25 Tahun Teater Sastra UI.

Tantangan paling nyata, bagaimana menjadikan panggung teater sebagai arena yang pantas ditonton publik karena berbagai pertimbangan setelah melihat realitas sehari-hari jauh lebih tragis ketimbang panggung teater itu sendiri. Perkara cicak vs buaya, yang melibatkan institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah berbulan-bulan ”mencuri” perhatian publik. Di situ kesenian (teater) harus benar-benar bisa menunjukkan dirinya sebagai ruang-renung dan muara katarsis, yang tidak berhenti pada konteks hiburan semata-mata.

Kutipan dialog tokoh Macbeth (I Yudhi Soenarto) yang dijadikan semacam kontekstualisasi lakon yang ditulis tahun 1603, yang berbunyi, ”Kejahatan harus disiram kejahatan lain agar bertambah tenaganya”, menunjukkan keinginan kuat Yudhi membaca tragedi zaman. Sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan seorang tokoh intelektual seperti Yudhi. Itulah sebenarnya upaya pemaknaan ”baru” terhadap lakon Macbeth yang barangkali telah ratusan kali dimainkan sejak tahun 1970-an oleh kelompok-kelompok teater berbeda di seluruh Indonesia.

Adaptasi

Upaya adaptasi paling mengesankan pernah dilakukan oleh Yayasan Arti Bali dengan memainkan lakon Macbeth dalam bentuk gambuh. Gambuh adalah seni pertunjukan klasik, yang menjadi asal-muasal sebagian besar seni pertunjukan tradisi yang kini berkembang di Bali. Gambuh Macbeth dipentaskan tahun 1999 dan disutradarai Kadek Suardana adalah contoh baik bagaimana teater bekerja keras melampaui realitas sosial, politik, dan kultural yang terjadi saat itu.

Sebagai bentuk kesenian yang menjadi ”ibu” dari semua kesenian yang ada sekarang di Bali, gambuh sudah nyaris punah. Yayasan Arti kemudian melakukan rekonstruksi dan ”menjinakkan” lakon produk Barat ke dalam bingkai Timur sebagaimana pula pernah terjadi pada kisah Romeo and Juliet atau Sampek Eng Tay.

Apa yang dilakukan Teater Sastra UI dalam tiga hari ini belum terlihat maksimal. Penggunaan multimedia untuk memberi sentuhan pada latar cerita sebenarnya usaha yang menarik. Sayangnya, penggunaan bahasa visual itu sama sekali tidak menunjukkan eksplorasi yang mendukung perjalanan alur cerita. Ia bahkan nyaris tak jauh berbeda dengan penggunaan layar gulung pada teater-teater tradisi kita. Bedanya, jika dulu layar bergambar hutan atau kerajaan digulung untuk memperlihatkan perpindahan latar cerita, tim panggung Teater Sastra UI hanya menggantinya dengan komputer.

Lakon Macbeth diakui banyak aktor dan sutradara sebagai naskah yang berat. Di dalamnya banyak dialog yang berpanjang-panjang, penuh dengan renungan hidup yang ditulis Shakespeare secara metaforis. Lantaran mengikuti secara tertib hampir seluruh adegan, pementasan Teater Sastra UI sampai memakan waktu lebih dari 3,5 jam. Apabila dalam durasi pentas yang panjang, sementara kita tetap memilih mengumbar dialog-dialog filosofis secara verbal, bisa jadi itu pekerjaan yang tidak terlalu menguntungkan. Tidak saja lantaran sekarang hidup kita didominasi oleh kultur visual, tetapi sekali lagi, tantangan panggung teater kini ”melawan” kekejaman realitas itu sendiri.

Dan itulah tragedi sesungguhnya yang harus kita lewati sebelum benar-benar memutuskan kembali ke panggung teater. Hanya dengan begitu, panggung teater tidak ”mati” kesepian sebagaimana yang terjadi pada Jumat (20/11) malam itu…

Dijumput dari: http://teatersastraui.com/2011/07/03/macbeth-tragedi-indah-dari-shakespeare/

Membentuk Karakter, Membuka Cakrawala

Anton Kurniawan *
http://www.lampungpost.com/

Betapa riuh pembicaraan bahwa masyarakat Indonesia hari ini adalah bangsa tanpa karakter. Bangsa besar yang tak mampu menentukan jalan nasibnya sendiri. Bangsa yang kaya dengan sejarah adiluhung tapi telah kehilangan karakter. Lalu, kita membincangkan strategi tepat untuk menciptakan generasi berkarakter.

DARI sinilah esai ini berangkat. Awal Desember 2011 saya mendapat pesan singkat dari Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKMBS Unila). Isinya, undangan pementasan teater untuk mengisi acara Hajatan Teater Lampung (HTL) yang digelar rutin UKMBS Unila. Dalam pesan singkat itu telah ditentukan waktu pementasan adalah 24 Desember 2011 pukul 19.30, tetapi kemudian diubah menjadi 23 Desember 2011.

Mendapat pesan singkat ini, saya langsung menghubungi teman-teman di Sanggar Teater Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara, sanggar tempat saya dan kawan-kawan pelajar belajar bersama, berproses untuk mencipta. Undangan tersebut disambut dengan gembira dan bersemangat.

Agaknya, UKMBS telah menjadi magnet yang memiliki daya tarik teramat dahsyat. UKMBS Unila merupakan ruang sekaligus jalan setapak yang kini banyak dipilih para penggiat teater di seantero Lampung untuk menyajikan hasil sebuah proses, tempat berdiskusi dan berbagi kisah dalam proses penciptaan, meskipun tempat dan fasilitas yang ada hanya sederhana. Namun bukankah hal-hal besar selalu lahir dari ruang-ruang yang sederhana?

Akan halnya Sanggar Teater Komunitas Akasia, meskipun berada di daerah yang cukup jauh dari pusat kota, terpencil di antara kebun karet dan kebun singkong yang tumbuh subur, ternyata punya keinginan yang kuat untuk memperlihatkan mereka terus berproses.

Pementasan teater bukanlah olimpiade Fisika yang harus diikuti, bukan pula olimpiade Matematika yang wah atau lomba karya ilmiah yang selalu dinantikan. Bahkan, pementasan teater tidaklah sebanding dengan lomba cerdas cermat tingkat kecamatan sekalipun. Begitulah pemikiran yang tertanam di benak nyaris semua pemangku kebijakan, termasuk para birokrat di sekolah. Oleh sebab itu, mengeluarkan dana yang besar untuk sebuah pementasan teater bukanlah langkah cerdas dan membanggakan. Tapi, untunglah restu sekolah keluar juga.

***

Singkat cerita, Sanggar Akasia pentas di Unila, Jumat, 23 Desember 2011 malam. Para undangan telah hadir, kebanyakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Lampung. Ada juga penyair, sastrawan, teaterwan seperti Ari Pahala Hutabarat, Edi Samudera Kertagama, Iskandar G.B., Yulizar Fadli, dan Oky Sanjaya.

Begitulah naskah Labirin karya Djuhardi Basri yang dibawakan Sangar Akasia terus bergerak menuju akhir. Sekitar satu jam kemudian, pementasan pun usai yang dilanjutkan dengan acara diskusi dan evaluasi pementasan. Saya tidak hendak membahas pementasan ini.

***

Saya tidak terlalu memusingkan segala masukan dan kritikan yang disampaikan, tetapi paling penting bagi saya adalah bagaimana siswa-siswa SMA yang datang dari tempat yang jauh, daerah yang dikelilingi kebun karet dan suburnya tanaman singkong, ternyata mampu menunjukkan hasil proses dengan caranya sendiri. Mereka begitu percaya diri.

Paling tidak, menjadi bukti teater dan sastra mampu membentuk seorang manusia menjadi lebih berkualitas baik jika dibimbing dan diarahkan dengan proses yang tepat. Usai acara malam itu saya melihat begitu banyak senyum di wajah mereka. Mungkinkah mereka telah menemukan dan mendapatkan? Atau ada perasaan lain yang tak mampu saya maknai.

Namun yang jelas, sejak malam itu tergambar rasa percaya diri yang tinggi di wajah mereka untuk mengarungi hari-hari ke depan. Bahkan, mereka berjanji untuk menjadi siswa yang berprestasi. Melihat senyum di wajah-wajah belia itu seusai pementasan, seakan menjadi sebuah perigi, oase tempat saya bisa membasuh segala kepenatan. Sebab belakangan, koran dan televisi begitu banyak mewartakan tentang kekerasan, pencurian, dan berbagai bentuk kriminal lain di negeri ini.

***

Indonesia hari ini, seakan Hanafi dalam roman Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, yang yang malu mengakui takdirnya sebagai pribumi saat jatuh cinta dengan Corrie, putri seorang Belanda, dan akhirnya mati memanggung beban berat: cintanya kandas, dicampakkan dari tanah leluhur, tidak diakui sebagai orang Belanda meskipun ia telah mengubah kewarganegaraannya. Mengenaskan.

Ketika semua tersadar—mungkin karena tidak membaca novel Salah Asuhan—para penguasa pun membuat kebijakan bahwa bangsa ini harus mengembangkan pendidikan karakter melalui sekolah. Celakanya, tak banyak yang paham (terutama pendidik dan instansi pendidikan) apa dan bagaimana sesungguhnya memberikan pendidikan karakter itu. Akibatnya, tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai—kalau tak ingin dikatakan gagal. Lalu apa yang salah dan siapa yang patut disalahkan?

Jika boleh jujur, saat ini kita seperti kehilangan jalan pulang karena gandrung pada sesuatu yang instan danberaroma asing, yang seungguhnya semu. Sekolah-sekolah lebih menghargai siswa-siswi yang mampu meraih nilai tinggi tanpa mempertimbangkan bagaimana ia mendapatkannya. Etika dan norma kearifan lokal telah dilupakan. Adakah hal ini terkait langsung dengan kebiasaan kita yang malas membaca, kemampuan menghargai karya sastra yang rendah (termasuk para guru), dan pemahaman teater yang dangkal?

***

Ah, kita tak mau belajar dari sejarah. Betapa tokoh besar berkarakter negeri ini, Sukarno—mungkin tidak banyak yang tahu—adalah seorang dramawan. Ia juga penulis yang produktif. Termasuk, menulis naskah drama sebagai bagian dari perjuangan. Naskah yang menggambarkan perjuangan dalam rangka merebut kemerdekaan ditulisnya dalam masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Bung Karno bahkan mementaskan drama yang ia buat sebagai pertunjukan teater yang dulu lebih dikenal dengan istilah tonil.

Sebagai pejuang kemerdekaan yang berkali-kali ditangkap dan dibuang, Soekarno telah menulis sebuah pleidoi yang sangat brilian, Indonesia Menggugat (1930) dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Bukunya yang lainnya yang dahsyat, Sarinah dan Di Bawah Bendera Revolusi. Pidato-pidatonya di berbagai kesempatan telah sanggup melalui bergam ujian zaman. Ia pejuang sejati yang menginspirasi pembebasan, kebebasan, dan kemerdekaan Negara-negara di dunia ketiga; Asia-Afrika-Amerika Latin.

Soekarno memang telah tiada. Ia meninggal dalam sepi dan sunyi. Tapi begitulah pejuang sejati, sanggup menjalani perih luka demi kesejahteraan rakyatnya. Jejaknya di dunia sastra masih bisa dilihat dalam drama-dramanya yang sebagian sudah diterbitkan. Ini membuktikan betapa besar pengaruh sastra dan teater dalam membentuk karakter.

Sebab itu, sudah saatnya sastra dan teater mendapat tempat penting di negeri ini agar bangsa ini kembali bermartabat dan disegani. Alih-alih menciptakan manusia Indonesia yang berkarakter, cara mendidik yang saat ini digunakan ternyata malah melahirkan banyak koruptor yang terus menghisap hak-hak rakyat.

Dengan teater kita bentuk karakter, lewat sastra kita buka cakrawala.

*) Anton Kurniawan, pekerja teater lahir di Sinarjaya, Way Tebu, Lampung Barat. Berderma di Sanggar Teater Komunitas Akasia SMAN 1 Abungsemuli, Lampung Utara. /08 January 2012

Saturday, January 7, 2012

Mata Kanan Mata Kiri Sastra Indonesia?

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XIII kupasan keenam dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Mitos angka 13 senomor kesialan, mungkin ada yang sampai ke tataran mempercayai. Karena kini menemui bilangan tiga belas, saya kan buka selaputan penuh paragraf satu-dua esainya IK dengan kaca mata tiga dimensi.

"Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi."

"Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut."
***

Sebelum mengudarnya, apakah mitos? Ia hadir kala kesepakatan realitas dan angan belum nyambung, dapat dikata putus. Lewat ungkapan tertentu berhadap adanya ikatan memaknai peristiwa secara tepat yang diikuti kerjanya imaji di ruang kesementaraan atau kesepakatan bisa berubah menurut jenjang kedewasaan masyarakat menerima / menolaknya. Misalkan 'bidadari menggendong kucing di bulan.'

Ia hadir ada yang melontarkan. Pengungkap dapat disebut penanda yang menandai sesuatu. Sering penanda lebih kuat dari petanda, di sini hukum dialog mitos muncul, kabar diberitakan membentuk wacana lantas menjadi hidup ditafsirkan. Pula bisa berganti balik, petanda lebih menguasai jalannya cerita daripada penanda, saat kata-kata dibentuk mengikat kuat suara awalnya. Tapi betapa pun pewarta menentukan jalannya kisah pada namanya alam mitos.

Apa pun bahasanya; lisan, tulisan, isyarat, sampai bahasa tubuh di ruang senggama, memungkinkan masuk menghidupi mitos, kala harapan lebih mendengung datang sambil merangkai kekuatan tak terjangkau yakni Realitas Tunggal. Ini terjadi karena bahasanya merebak dikonsumsi masyarakat, menjalar sejalur wicara atas kekuatan bahasa itu. Dan keseluruhan alam bisa terperangkap jaring mitologi, manakala lahan mensugesti masih subur mendiami setiap kepala. Hanya yang mawas bercuriga tak gampang jatuh ke jurang akal-akalan.

Olehnya kehendak saya menawarkan kaca mata ini; penanda, petanda dan tanda, di balik itu waktu lampau, sekarang, serta masa depan. Barangkali setelah dedahan ini, tidak mudah terima ungkapan meski dari seorang ternama dengan silap menelan mentah, tapi benar mewaspadai, minimnya duduk di kursi kesadaran seorang terdidik / tidak taklid buta, gampang dibodoh-bodohkan karena tidak melawan arus berkesungguhan.

Pun bahasa seni pahat, gurat lukisan, gambar bergerak / film, iklan-iklannya, sanggup memasuki alam kesementaraan mitos atas dukungan perangkat dimiliki menjebol indra terlena, terpukau diserang dari pelbagai penjuru. Sebab napasan mitos sejenis tambahan, balon udara dipompa berangin -karbit (zat gas), memungkinkan melambung disaksikan banyak orang dengan keheranan awal. IK meniup balon udara / memberi sorot lampu di ruang pameran keramik, kerajinan patung, lukisan juga televisi menyuguhkan tayangan, atau penanda menginformasikan petanda dari tandanya SCB.

IK penyihir, penyulap membuat orang-orang penasaran, jelas di atas tingkatan sebagai penanda. Dengan 'asap dupa kemenyan,' merobah kata ‘bebas’ SCB ke ‘terobos’ seular melungsungi, tepatnya akrobatik koin hilang dari telapak tangan dengan kemunculan di telapak lain, atau memberi wejangan ini-itu kepenyairan Sutardji. Jelas SCB saat itu dalam keterpengaruhan gravitasi kecendekiawanan IK, seampuh-ampuhnya petanda lebih mempuni penanda, selukisan van Gogh lebih bernilai ketika ada kurator; mereka memitoskan keberadaannya salah satu pelukis terbaik dunia dipunyai Belanda. Di seberang itu lukisan van Gogh tak luput pembajakan dan masih berkelas dibanding yang diperjualbelikan di trotoar Malioboro. Di sini tanda palsu terimbas mitos, ketika wicara merebak memenuhi semesta wacana.

Sinyal mitos adanya kesepakatan tak menutup ruang manipulasi dan bisa serempak sebunyi-bunyian lagu himne di media massa, olehnya gerak terpaksa pun saat dalam satu komando, terciptalah sejarah? Ini bisa juga lantaran musiman, pasar kaget tak mendiami bangku hakiki, suara kabur dengungan keras menyumbat telinga. Mereka minder kala para empu mengamini, lalu mitos terjadi tak sanggup dipertanggungjawabkan, akal-akalan dari turunanya. Nyata tergantung pengucapnya, meski porsinya lemah di dalam yang diungkapkannya dan bukan keilmuan, oleh menggeser realitas dengan angan. Atau tingginya bukit mengajak mendongak menyaksikan penyeru walau terpaksa pun manut. Misal pembeli lukisan repro dari karyanya van Gogh berbahagia mengoleksi dengan kebanggaan menelan mitos!

Jika pembaca di posisi bagian III lalu menyimak paragraf IK di atas, tampak ia memainkan musik keras, ibarat musikus klasik Mussorgsky sekehendak menjatuhkan batu besar ke jurang kesunyian, keheningan, sebab kita sudah tercengang heran, takjub barangkali tersihir; kok bisa ya batu sebesar bukit diangkut ke gunung lalu diterjunkan? Di sisi lain ungkapan Dami N. Toda; "Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya" sudah dikutip banyak kritikus. Pada wawancara disiarkan koran Republika "Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara" 19 Agustus 2007, Sapardi Djoko Damono yang menempatkan julukan itu, demikian labut mitos merebak menguap. Lalu dikemanakan lainnya?

Mitos tak sanggup bergerak seperti SCB di manapun pengulangan, tiada upaya menerobos gagasannya secara jantan.’ Istilah ‘presiden penyair Malioboro’ pun kandas alias mandul kekaryaannya, barangkali oleh tingginya angin memitos tidak menjabarkan kata-katanya, jua hasil pemikiran menjurus pengertin dipakainya. Kebangkrutan menguat dikarna penerusnya tidak memberi dedahan menakjubkan di alam kesadaran wacana ke jenjang nan digayuh. Bentuk memitos mendapat topangan denting permainan ‘piano’ IK di permukaan Pidato Kebudayaan, yang disampaikan di Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM 19 Juli 2007, dimuat Kompas 04 08 2007 tersebut.

Barangkali sejarah sastra Indonesia dibangun lewat mitos melihat deretan di atas, terbuai seanak balita diayun ibundanya sambil bercerita; 'kalau ada bidadari menggendong kucing di bulan,' 'hujan melalui jendela langit,' 'bidadari mandi keramas di sendang pelangi.' Mitos datang berbentuk buaian, angan melambung merayu orang turut merasai lamunannya, diperkuat puja-puji nyanyian menyenyakkan, kritik bercampur penyedap rasa bahan pengawet tak menyehatkan. Tindak ketidakalamiahan ini saya geser pisaunya Roland Barthes, bahwa mitos menjelma gossip di sini, mungkin iktikatnya mengikuti ungkapan Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud sebagai 'Putra Shakespeare.'

Gossip lelucon itu saya tulis berjudul FENOMENA PRESIDEN PENYAIR DAERAH SEBAGAI DAGELAN POPULER, 18 Nov 2008 atau klik http://sastra-indonesia.com/2008/11/fenomena-presiden-penyair-daerah-sebagai-dagelan-populer/ Sebelum berlanjut mari hening sejenak; adakah tiang-tiang susastra kita dengan kritik tajam, selain pujian memabukkan yang dihasilkan dari mitos pun gossip? Bukankah selama ini kita sudah kenyang sanjungan sampai ada ingin jadi tuhan? Tidakkah nalar hidup mengolah bahan melimpah dijadikan santapan lezat nan menyehatkan, setonggak keadaban pantas disegani? Atau terlelap saja dalam lamunan panjang oleh bisikan?
***

Jika Barthes menyebut mitos ialah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech), saya mengatakan ‘kedalaman bahasa mata;’ bayang-bayang pula angan di kegelapan.

Selama ini ‘indra penglihatan’ digunakan sealat melihat saja, saksi kejadian tampak lalu terekam di ruang ingatan, seolah tak memiliki kemampuan mandiri kesadarannya! Kini rasakan bagaimana ‘kedalaman bahasa mata’ membentuk asosiasi, melahirkan sebuah pandangan (pemikiran) yang tak kalah penting mempengaruhi jalannya pengetahuan.

Saya ambil contoh ‘bidadari menggendong kucing di bulan,’ ‘Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare’ pun ‘Gunung Tangkuban Perahu.’ Pada orang-orang tak mengetahui Arthur Rimbaud pula Shakespeare secara langsung, kehadirannya sebayang-bayang seorang belum pernah ke Gunung Tangkuban Perahu, seorang buta tidak melihat raut bulan di malam hari. Tapi hasananya kuat terekam angan kegelapan, melekat ditopang bacaan cerita sekitar, dan kemampuan berimajinasi ke sebuah ungkapan yang terpaksa diterima seolah masuk akal.

Demikian ‘SCB Presiden Penyair Indonesia’ yang awalnya dikatakan sendiri sebelum membaca puisinya lantas diperkuat Dami N. Toda; "Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya." Itu jadi suatu bentuk (a form -istilah Barthes) yang terjadi diperkuat, diturunkan orang berbahasa menyihir pesonakan mata pada teks -mendengar muatannya, entah sebab titel yang mengatakan membentuk keumuman oleh diumumkan di media. Kita tahu salah satu melemahkan penelitian ialah berharap dipandang, mencari muka seperti yang dikatakan Ibn Khaldun di awal Muqoddimah-nya.

Barangkali Sejarah Sastra Indonesia dibangun lewat mitos. Ini kelihatan hampir seluruh penelitian di lapangan sastra pujian, kecil sekali kritik tajam apalagi pengoreksian ulang pada kisaran sekelilingnya. Sejenis dongengan, seakan hidup di awang-awang bersama mimpinya akan sejarah sastra dunia digayuh, seolah sederajat hasil temuannya dengan mensejajarkannya, atas minimnya mencurigai kelemahan yang menjegal diterimanya wawasan. Yang terbit maka persamaan kulit, jika ditelusuri kurban diberikan belum seberapa. Olehnya paling ditekankan mentalitas guna tak cepat puas, apalagi merasa sekelas tapi bertepuk sebelah, kecuali beberapa peristiwa saja dapat didudukkan bijak.

Ungkapan melambung paragraf IK satu-dua berbentuk meyakinkan seajaib mungkin, namun sudah saya preteli hingga bagian tiga belas ini berlanjut. Jika dapat turunan lagi tanpa penyangkalan, tentu bayangan memitos hidup di angan kegelapan, sastra awang uwung segelembung leher katak bersenandung, itulah mitos memperkosa penalaran. IK berupaya menarik mitos ke dalam bahasa revolusi, tindakan realitas ilmu pengetahuan, lewat merubah kata ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Ini sungguh cantik tapi tak lagi menggetarkan, saya juga tak menutup kemungkinan yang tertulis ini kelak malahan jadi mitos terbesar SCB, bagi yang kelebihan muatan angan-angan.

Andai menerima nafas realitas tentu jenjang pengetahuan terarah, misal sejarah sastra baru di tingkatan mitos di beberapa kasus. Lalu membekukan sampai penelitian dalam hingga terkuak kelopak kembang sumekar menebarkan harum berangin wacana, yang diberikan kesuntukan mengolah bahan. Tetapi rasanya tidak, serupa ketakmungkinan para astronom awal kali meneliti bulan oleh perkiraan adanya bidadari. Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare tentu sampai, karena orang-orang tidak masuk akal jika mencari siapakah ibundanya? Dan turunan ke berapa? Mereka paham logika ungkapannya sekadar penghormatan, yang tidak mematikan langkah di alam kenyataan.

Bandingkan ‘SCB Presiden Penyair Indonesia,’ dimana kekuatan politik negara ini sangat kuat mencengkeram kehidupan rakyatnya, maka memaksa angan tersebut siapa rakyatnya? Apa seluruh warga negara Indonesia penyuka sastra? Siapa wakil-wakilnya? Ini jadi lelucon seperti negara federal, karena ada presiden penyair Malioboro, presiden penyair Cirebon, Presiden Penyair Jawa Timur, seterusnya. Seakan obsesinya mereka membentuk negri bayang-bayang, mitos sampai kini diterima tanpa kajian mendalam. Ini berbeda kalau menengok plakat diberikan Hugo, mungkin tertutupi istilah 'anak haram.' Saya kira paling pas, Presiden Penyair Indonesia adanya di dunia ludruk / panggung Petruk, Gareng dan Bagong.

Penggambaran saya mengenai mitos ‘kedalaman bahasa mata;’ bayang-bayang pun angan di kegelapan, dapat ditaruh perluasan paham Barthes melukiskan tata surya, ia sendiri kemungkinan tidak sengaja / barangkali menyembunyikan langit inspirasinya. Coba cermati tulisannya di buku “Mythologies” (1972), diterjemahkan sedari bahasa Prancis oleh Annete Lavers, “The Eiffel Tower and Other Mythologies” (1979), diterjemah dari bahasa Prancis atas Richard Howard, pada penerbit yang sama New York: Hill and Wang, yang diindonesiakan penerbit Jalasuta, 2007, halaman 299:

"Zhdanov mengolok-olok Alexandrov sang filsuf, yang berbicara tentang 'struktur bulat planet kita.' Zhdanov berkata, 'Sampai sekarang dianggap bahwa hanya bentuklah yang dapat bulat.' Zhdanov benar: kita tidak dapat berbicara tentang struktur dalam sudut pandang bentuk dan sebaliknya. Namun di atas bidang 'hidup,' tidak terdapat apapun kecuali totalitas tempat struktur-struktur dan forma-forma (bentuk-bentuk) tidak dapat dipisahkan. Tetapi ilmu tidak berguna bagi hal yang tidak terucapkan itu: ilmu harus berbicara tentang 'hidup' jika ingin mentransformasikannya. Menentang angan-angan tertentu tentang sintesis, yang sangat platonis, semua kritik harus setuju pada kecermatan, pada kecakapan analisis, dan dalam analisis, kritik harus sesuai dengan metode dan bahasa."
***

Sambil mempertontonkan saya jawab beberapa lubang belum tertutupi di larik-larik sebelumnya. Jika Oktavio Paz mengakui dirinya ‘antropolog amatir’ yang memiliki iktikad baik di bukunya "Claude Lévi-Strauss An Introduction." Sebagai pengelana, saya girang turut berbagi yang tidak menutup kemungkinan perluasan, meski baru sampiran di sini.

Perihal mitos dapat dibilang hampir tuntas dibahas Barthes, namun saya memaklumi mengenai ‘ke-sakral-an’ luput dari pengamatannya, mungkin terlalu terpikat 'Mitos Dewasa Ini,' sehingga hal-hal lampau menghantui dunia kini, walau kecil diabaikan. Disadari atau tidak, yang dimitoskan membentuk alam tersendiri, ini wajar sebab mitos membuat pribadinya terpencil. Seperti 'kesunyian bidadari di rembulan,' 'sepi pahitnya hikayat Tangkuban Perah' pun 'kisah Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare yang menjulang.' Mitos menjauhkan dirinya dari penalaran, memang seungkapkan Barthes “tiada mitos abadi.” Tapi setidaknya mendiami ruang-waktu antara, masa-masa terikat gravitasi sendiri selepas diterima khalayak, meski dengan keragu-raguan penuh sebagai imbas sesuatu 'tak ternalar.'

Saya tersedot legenda dara langsing Roro Jonggrang dari Kerajaan Boko, insan dikutuk dijelma patung bersama patung-patung kembarannya di Candi Prambanan oleh Raden dari Kerajaan Pengging, Bandung Bondowoso, cukup itu mitos setelah para arkeolog bersetia mengidentifikasi usia batuan dll. Dan ketakmampuan orang buta melihat yang didongengkan menjadi 'bayang ingatan,' seperti langkah dikaburkannya beberapa esais sastra mengungkap Sumpah Pemuda serta lainnya, dengan menghapus nama para tokoh penting demi mengekalkan orang-orang berucap setelahnya. Sejauh itu mitoslah terbangun, intinya berhasrat disakralkan sejarah, tentu tak lama sebab secara naluriah insani menginginkan kejujuran, bukan informasi gagah-gagahan.

Kita di dunia Timur kerap terlupa, mungkin terlena atas alunan alamnya ditiup angin mendayu setarikan gegaris katulistiwa, tropis nan sentausa. Sampai kejadian beberapa jengkal masa lalu sudah mendiami pekabutan mitos, kadarnya tergantung seberapakah kesadaran membaca realitas. Tengok peristiwa meletusnya Gunung Krakatao, jikalau arsipnya tak ditemukan dan disebar atau terlalu percaya cerita mulut gossip, mitoslah berkembang, lalu terhilangkan kekayaan hikmah yang terbit di sana. Pun menuliskan sejarah tanpa ditali di tonggak semestinya, malah turunannya, dipastikan putus gairah besar yang sepantasnya berkembang senyala api penelitian di masa datang. Maka tiada lain disalahkan tidak jelinya menyerap kabar berita membentuk gemawan memanjakan mereka di bawahnya, padahal dapat terjadi dikala itu sang surya tengah di ubun-ubun sebuah kesaksian terbesar.

Upaya para kritikus meninggikan orang-orang dianggapnya jempolan, melupa bandingan hasil capaian mereka pada sandaran dianggapnya –telah pantas, terbentuk nuansa kejauhan namun kental, seakrab warna langit membiru di mata teramat jauh jaraknya; kedekatan ini berasal perasaan “fanatik juga melemahkan daya penelitian,” menyitir Ibnu Khaldun. Seperti kecondongan IK pada esai saya dedah kini serta para penganalisa lain serupa penyeritaan atau tangan menyuarakan ‘wicara’ istilah Barthes, menurunkan mitos lantas otomatis jarak tersebut melembaga ‘kesakralan.’ Setidaknya pandangan lain olahan pengupas mendiami ruang berbeda, pada waktu tertentu ibarat kepercayaan nenek moyang pada animisme, dinamisme. Atau sesegan santri pada kyai juga tempat-tempat keramat yang pendekatannya cenderung keimanan, dengan ragu takut kuwalat mendekati secara kritis, meski beriktikat kedinamisan pada derajad keadaban membangun, misalnya.

Dapat saja di titik tertentu berkadar masing-masing, contoh lukisan wajah Monalisa karya Leonardo Da Vinci menjelma teka-teki misteri wajah pelukisnya, lukisan Van Gogh, Picasso, menjadi nyanyian tersendiri bagi pelukis pemula. Atau Kitab Hang Tuah, Hikayat Perang Sabil, Syair Lampung Karam 1883, Faus-nya Goethe, Siddhartha-nya Hermann Hesse, Wirid Hidayat Jati-nya R.Ng. Ronggowarsito, Sabda Zarathustra-nya Nietzsche, sekali lagi sebatas tertentu di benak-kepala pembaca bisa membentuk mitos, lantas kembangkan kabut kesakralan serupa kitab suci agama ardhi dst. Kerapkali alam mitos menjauhkan dirinya dari kenyataan, membatasi untuk diteliti / kurang menginsyafi harga penalaran kritis, sehingga terperosok ke jurang kekaguman. Seperti sindiran Hassan Hanafi kepada ulama'-ulama' klasik ditiap pengantar karyanya / ketawadhuan menjerat pencari sejati di jalan kembaranya, yakni tidak berbuat lebih sedari terpesona, tiadanya tindakan dialektika nan dinamis.

Kala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi. Lebih fatal diskusi kejar tayang di setiap minggu pagi, tak lebih polemik itu petasan cepat habis di malam lebaran -yang secara logis Ilahi pun tak mungkin ada rembulan di atas kuburan di malam lebaran, kecuali pembesar keadaan, puitisasi peristiwa agar terlihat bermakna nan mengusung logika sekenanya. Ini jauh panggang dari arang, membaca kilauan hasil tanpa menyelidiki prosesnya, seperti perihal Barthes tiada bisa menolak mitos, misal kaum pedalaman yang tidak percaya jikalau ada manusia turun ke bulan.

Selanjutnya agak menyanggupi kaca mata tiga dimensi bagi tafsiran pada Barthes yang menyembunyikan langit inspirasinya, yakni ‘tata surya’ bidang 'hidup' daripada sebuah bentuk yang hanya bulat pada Zhdanov. Kelak dan mungkin tengah terjadi, webset atau situs-situs perpustakaan beredar di google membentuk kewibawaannya, dan pada drajat tertentu menjelma bahasa ucap antar blogger sampai menempati ruangan mitos, kesakralannya terpantul atas wibawa yang disuguhkannya sebagai mitos jaman mendatang. Seperti gemintang beredar terang ketika malam, dimana alam bawah sadar terangkat, timbullah hawa kurang percaya diri atas hidup. Sehingga berpegangan akar rapuh, ketika temuan mutakhir melecuti hati pikiran insan seakan sia-sia hidup di muka bumi, atau terkenanglah pada kematian Jacques Derrida, Paris, Prancis, 8 Oktober 2004.

Sebagai penutup saya kutip ujaran Pablo Picasso; bahwa seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita untuk menyadari kebenaran. Ini sangat berbeda jauh dengan alibi!

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_06.html

Wednesday, January 4, 2012

Refrein di Sudut Dam, Puisi D. Zawawi Imron

Abu Salman
http://dunia-awie.blogspot.com/

Dulu, mungkin sekitar delapan atau tujuh tahun yang lalu, saya masih teringat betapa saya merasa seperti membaca sebuah narasi yang memprovokasi batin saya ketika menikmati “Panggil Aku Kartini Saja” nya Pramoedya Ananta Toer (PAT), meskipun bukan sebuah provokasi, hanya batin saya saja yang mudah terpengaruh dan tidak dapat menahan gemuruh dan geram di dada hingga akhirnya seperti terdengar terikan yang tertahan “kejam!!”

Barangkali bagi saya pribadi adalah salah apa yang dikatakan bahwa “One man death is a tragedy, but million death is a statistic” (Nikita Khruschev). Justru pada paragraph-paragraf “data-data statistik” itulah yang membuat saya tak henti-henti berpikir ketika itu, saat membaca angka-angka statistic yang dinarasikan oleh PAT dalam karyanya tersebut, yaitu angka-angka jumlah penduduk pulau Jawa semasa zaman colonial Belanda saat menerapkan culture stelsel atau tanam paksa.

Betapa untuk membangun negeri Dam(ed) harus dengan menggunakan tidak hanya kekayaan nusantara, namun juga darah dan air mata manusia di bumi nusantara. Seperti tercermin dari data-data yang disajikan dalam karya tersebut yang dari waktu ke waktu mengalami penurunan drastis saat sebelum sampai dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa. Akibat kebijakan tak manusiawi dari colonial Belanda tersebut banyak rakyat yang meninggal baik akibat didera kelaparan karena tanah para penduduk harus ditanami dengan tanaman yang ditetapkan oleh Belanda sehingga tidak dapat bercocok tanam tanaman pangan sesuai kebutuhan mereka.

Dengan membaca saja rasanya saya seperti memikul beban sejarah yang memilukan dan menyesakkan dada. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana bila saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri jejak-jejak kemewahan dan kemegahan yang dibangun dari keringat darah rakyat Indonesia ditempat sumber keserakahan itu berasal.

Apalagi bagi seorang penyair yang katanya berhati peka ketika menyaksikan jejak sejarah yang pernah membuat bangsanya menderita selama beberapa abad.
Lalu bagaimanakah seorang D. Zawawi Imron menyikapi momen tersebut. Yaitu momen ketika sang penyair asal Madura tersebut berinteraksi langsung dengan alam dan generasi keturunan orang-orang dari bangsa yang pernah menyengsarakan bangsanya.

Refleksi itulah yang diungkapkan penyair yang terkenal dengan sebutan Celurit Emas dalam sebuah buku kumpulan puisi bertajuk “Refrein di Sudut Dam”. Sebuah buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, Juni 2003 yang terdiri dari XIV + 104 halaman, memuat 101 sajak.

Sebagaimana yang dikemukakan sang penyair dalam pengantarnya bahwa terciptanya sajak-sajak dalam buku kumpulan puisi ini merupakan salah satu hasil dari memenuhi undangan pembacaan puisi dalam festival Winternachten, sebuah festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag. Tanpa menghadiri acara tersebut, maka puisi-puisi dalam buku ini tidak akan pernah lahir.

Sang penyair tak sendiri dalam menghadiri undangan acara tersebut. Bersama sejawat sastrawan/penyair lain seperti: Joko Pinurbo, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Secara bersama-sama mereka berangkat ke Den Haag menghadiri festival Winternachten sebuah festival sastra dan seni musim dingin berpusat di Den Haag yang bertaraf internasional tersebut..

Menyebut nama Festival Winternachten, saya jadi teringat sebuah catatan dari penyair/esseis Yogyakarta, Saut Situmorang dalam esainya/artikelnya di mailing list yang “memprotes” kehadiran orang-orang dari kelompok tertentu saja yang mewakili sastrawan Indonesia menghadiri festival tersebut atau festival internasional lainnya.

Bagi D. Zawawi Imron puisi merupakan sesuatu yang digunakan sebagai proses pembelajarannya dalam menyelami jiwa kemanusian dan ayat-ayat Tuhan, maka tak heran banyak sajak-sajaknya yang bernuansa religius atau pembacaan atas sikap batinnya sendiri. Puisi bagi sang penyair tersebut juga merupakan salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrabi semangat hidup.

Diawali dengan sebuah sajak bertajuk ”Jakarta – Amsterdam, 10 Januari 2002” seolah-olah membuka karya ini dengan sebuah sikap kepasrahan kepada Tuhan, kepasrahan atas permainan pikiran yang diusik oleh berbagai kekhawatiran yang dipicu oleh berbagai peristiwa kehidupan yang didengar atau dilihat atau dialami oleh sang penyair.

Pesawat pun melesat
Menuju entah berentah
Tapi di atas segala entah
Ada pangkuan keabadian

Menilik dari judul sajak tersebut yang tidak jauh waktunya dengan peristiwa 11 September 2001 saat dihancurkannya Menara WTC di Amerika oleh para teroris yang dipimpin oleh Osamah bin Ladin dengan membajak dua buah pesawat, maka saja tersebut merupakan bentuk rasa khawatir bila peristiwa tragis serupa juga menimpanya.

”Bagaimana kalau pesawat ini dibajak
atau digunakan menghantam gedung raksasa?

Permainan pikiran memang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia ”Kekhawatiran mungkin, hanya awan hitam pada khayal” katanya.

Namun hal itu dapat memicu manusia untuk berperilaku negatif. Betapa rasa khawatir itu telah menjadikan manusia sebagai makhluk serakah. Karena takut kehilangan, takut kelaparan, takut sengsara dan seabrek rasa ketakutan lainnya membuat manusia memproteksi diri dengan egoismenya tak ingin berbagi kepada manusia sesamanya.

Disisi lain ketakutan juga dapat memicu perilaku positif yaitu kepasrahan kepada Yang Mahatahu segala sesuatu. Seperti tercermin dari kutipan sajak diatas ”Tapi diatas segala entah / Ada pengkuan keabadian”

Sebagai orang asing yang berkunjung ke suatu tempat yang baru dilihat ada kekaguman-kekaguman pada alam sekelilingnya seperti salju dan merpati seperti tertuang dalam sajak “Pertama Datang”

Pertama datang aku bertanya
Siapa yang menyapu salju sebelum waktunya
Kelepak merpati di udara
menerjemahkan musim yang layak jenuh
Yang penting zaman berjalan utuh

Sebagai sebuah pertemuan seni/sastra internasional tentu merupakan momen berkumpulnya para sastrawan dari berbagai penjuru dunia.
Berkumpulnya sastrawan dari berbagai belahan dunia berarti membawa warna budaya lokal dari asal masing-masing negara.

Hal menarik terjadi ketika dalam acara ramah tamah saat sang penyair ditanya kenapa dia tidak minum anggur dalam jamuan yang telah disediakan namun hanya menikmati air putih dalam acara tersebut. Peristiwa tersebut dituangkan dalam sajak “Ramah Tamah”

setelah tiba saatnya
gelas-gelas bersentuhan di udara
Ting, bunyinya. Kami semua minum
Persaudaraan memekarkan senyum
“Mengapa kau minum air bukan anggur merah?”
tanya sahabat Karibia
Aku jadi tertuduh. Lalu jawabku:
“Yang kuminum barusan ini
adalah anggur murni
yang belum dicemari warna dan aroma”

Sebagai negara yang pernah menduduki dan mengusung kekayaan alam dan budaya Nusantara selama ratusan tahun ke negerinya, jejak-jejak itu dapat dilihat di museum-museum negeri Belanda yang memang sebagai negara maju sangat terawat dan diperhatikan dengan baik. Persentuhan sang penyair dengan jejak-jejak itu direkam dalam sajak Museum.

Sajak-sajak tersebut seperti menyajikan kembali penderitaan-penderitaan yang dialami oleh Orang-Orang Jajahan yang harus kehilangan harta, harapan, dan diri sendiri sebagai martir untuk kehidupan mewah para penjajah.

Waktukah yang keramat
atau pelaku sejarah?
Tentu saja keringat
yang sesekali lebih mahal dari darah
(Museum I)

Disini museum
Bukan untuk orang kagum
Tapi sejenis sumur untuk mengulur
atau mengukur
Kental darah pada anggur
(Museum II)

Dan pedang algojo itu
tak cuma bikin gagah
juga bikin nurani malu
sampai nanti
ada permulaan sehabis letih
Harus dibayar semua yang ditagih
(Museum III)

Sajak lain yang serupa yang menarik angan sang penyair pada penderitaan masa lalu dimasa penjajahan adalah pada sajak Di Simpang Jalan.

Mungkin yang kumiliki sejenis trauma
yang diwariskan narasi hati yang luka
Mengingat Daendels
jadi teringat kakek moyangku
yang mati kerja rodi
membuat jalan dari Anyer ke Panarukan
Masih di simpang jalan
Aku tegak
tapi tak mampu menghitung lada dan pala
yang dulu diangkut kemari

Memang tidak semua persinggungannya dengan Negeri Belanda mengorek pada luka lama. Ada juga semacam jeda yang membawa sang penyair pada Tuhan, kedamaian, keindahan, persahabatan, simbol kerja keras dan disiplin, mengingat ibu dan kerinduan pada tanah air yang tercermin dalam sajak-sajaknya.

Seperti dalam sajak “Bertemu Gadis Negro” mengguratkan kesan damai dari orang tak dikenal yang ditemui dalam perjalanan: Mata begitu / adalah kedalaman samudra / paduan embun lima benua.

Sedangkan dalam sajak lainnya mengusung tema persahabatan dengan sastrawan lain sebagai orang yang senasib, sama-sama berasal dari dunia ketiga.

“apakah itu kerinduan jiwa dunia ketiga?
Selamat malam!” katamu
“Sekarang sudah pagi, Frank!
kenapa selamat malam?”
“Aku novelis dan kau penyair
Malam selalu ada dalam diri kita
Begitu senja tiba dan senyap cahaya
Kata-kata kita nyalakan sebagai ganti cahaya.
(Frank Martinus Arion)

Dalam hal kedisiplinan dan menghargai waktu, negara semaju Belanda memang patut ditiru. Dalam masalah tersebut sang penyair bisa merasakannya betapa “hanya” terlambat lima detiksaja harus tertinggal oleh kereta dan harus menuggu jadwal kereta berikutnya.
“kita terlambat lima detik”
ujar Joko Pinurbo
Kami hanya bisa tersenyum kecut
dan harus menuggu kereta berikutnya
dengan waktu setengah jam lagi”
“Keterlambatan ini”,
kata seorang tua,
“agar kamu bisa memaknai lima detik”
dengan hukuman setengah jam.

Tentu akan kontras bila dibandingkan dengan jadwal kereta di negeri sang penyair berasal, seperti dalam petikan lagu Iwan Fals: ……kereta tiba pukul berapa? / biasanya terlambat tiga jam…..

Demikian pula soal penegakan aturan atau hukum, tentu bagai bumi dan langit dengan negeri Indonesia raya tercinta sebagaiman tercermin dalam sajak “Percakapan Tak Enak”.

“Sebagai tamu, aku telah berupaya mematuhi aturan. Di mana sepatu menapak di situ gedung kusanjung. Bungkus permen, puntung rokok dan sampah-sampah kecil kuselamatkan ke dalam saku. Kebersihan di sini bukan tulisan di tembok-tembok, tapi memang bagian dari iman”

“Untuk itu periksalah paspormu. Hukum di sini bukan tanah lempung, tak kenal sajak apalagi pantun. Kalau visamu berakhir hari ini, pulanglah! Jangan tunda sampai besok pagi”

Mendapat pengalaman tak mengenakkan tersebut, penyair seolah-olah seperti melayangkan protes sebagaimana dalam lanjutan sajak tersebut: “Moyangmu dulu lebih tiga abad menempati tanahku, dan melakukan segala yang tidak kumau, tanpa paspor dan visa”

Sajak lain yang seolah-olah menyajikanironi atas negeri yang dikunjungi adalah potret seorang pemuda pengemis yang diambil oleh sang penyair lewat kamera puisinya dalam sajak “Pengemis”.

Seolah-olah seperti mengabarkan ironi ditengah kemajuan bangsa Belanda masih saja tersisas Orang-Orang Kalah sebagaimana juga terjadi di negeri-negeri lain baik negara maju maupun berkembang.

musim dingin tapi siang cerah
membuat anak muda itu semakin gagah
Ia mengemis
karena menolak untuk menangis
senyumnya, apa benar minta dikasihani
atau sekedar mengejek orang-orang kaya?
(Pengemis, hal 83)

Meskipun sebagai anggota masyarakat dari sebuah negeri yang pernah dijajah oleh Belanda dengan luka lama yang dapat muncul kembali ketika melihat jejak-jejaknya toh Penyair D. Zawawi Imron tidak mau berlarut-larut dalam dendam kesumat sejarah. Karena sang penyair yakin adanya keadilan Tuhan yang akan membalas segala yang ditabur oleh semua makhluk didunia. Semua yang ditabur anak manusia akan dituai suatu saat dikemudian hari.

Begitulah sikap sang penyair yang religius ini dalam menyikapi apa yang telah terjadi pada bangsanya pada masa lalu dengan menyerahkannya pada pangkuan keabadian, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Rasa dendam dan benci memang tidak dapat mengembalikan penderitaan-penderitaan yang telah dialami bangsanya menjadi sebuah kebahagiaan. Mengubur dendam sejarah, menghapus narasi luka karena adalah sia-sia memberhalakan duka dan derita. Luka dan derita ditanah asing itu akan lebur dengan menyemai cinta di hati yang suci.

Sikap itu tercermin dalam Sajak Refrain di Sudut Dam yang juga sebagai judul buku kumpulan puisi karya penyair ini.

Refrein di Sudut Dam

Amsterdam bagiku
memang sebuah terminal
dengan detik-detik yang terasa mahal
Masa silam dan masa depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik gagal
Matahari yang juga mata waktu
mendesakku menjadi kaca manggala
untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan sejenis debu
Menyanyi buku-buku, kertas arsip
hendak turut memutar tasbihku
Jangan dulu! Di sini Amsterdam
Akan kukubur dendam sejarah
Sia-sia memberhalakan derita
Ibu dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas tabir saja
Segenap keasingan akan lebur
dengan menyemai cintake hati salju
Terbayang pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan sembunyi
Olle ollang
darahku makin bergelombang.

Buku kumpulan puisi ini ditutup dengan Sajak Di Atas Angkasa yang juga masih membuat was-was pada sang penyair ketika dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat terbang.

Senyum pramugari yang menyajikan kopi itu
Tak mampu mencerminkan kedalaman laut
E, sorri, kedalaman Maut

Tidak seperti dalam buku kumpulan puisi lain yang pernah penulis baca seperti Di Pamor Badik, dalam kumpulan puisi ini D. Zawawi Imron seperti menyajikan sajak-sajak terang dengan sedikit metafora-metafora yang dipergunakan sehingga tidak sulit untuk dipahami.

Gresik, September 2009

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: January 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates