Tuesday, June 29, 2010

Pernyataan Sikap

Saatnya Presiden Buktikan Bahwa Negara Tak Boleh Kalah Dengan Premanisme!
Adili Ormas dan Pelaku Pembubaran Agenda Pengobatan Gratis dan Sosialisasi UU Kesehatan di Banyuwangi dan Sukabumi!

Hari ini, kegiatan sosial berupa pengobatan gratis yang dilakukan oleh Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR RI, kembali terpaksa di hentikan di Sukabumi, Jawa Barat. Ini dikarenakan ulah oknum pejabat setempat yang mendatangi tempat pelaksanaan kegiatan dan membuat para anggota medis menghentikan kegiatannya. Padahal saat itu, sekitar 200 warga sedang berada dilokasi untuk mendapatkan pemeriksaaan dan pengobatan. Penghentian kegiatan ini jelas sangat merugikan warga Kampung Cilandak yang membutuhkan pengobatan gratis di tengah gurita komersialiasi kesehatan di Indonesia.

Lima hari sebelumnya (Kamis, 24 Juni 2010), acara serap aspirasi dan sosialisasi kesehatan gratis yang di lakukan oleh Rieke Diah Pitaloka, Nur Suhud dan Ribka Tjiptaning di Banyuwangi telah di bubarkan paksa oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota Front Pembela Islam (FPI). Mereka bertiga di usir dari lokasi acara tanpa perlindungan atau pencegahan dari pihak Kepolisian. Padahal status ketiga orang tersebut adalah Wakil Rakyat.

Fenomena kekerasan ini kembali mengingatkan rakyat Indonesia akan ancaman nyata terhadap demokrasi. Kekerasan dengan menggunakan dalih komunisme atau keyakinan lainnya yang selalu digunakan untuk mengkriminalisasikan upaya para aktifis, pegiat sosial dan pejabat yang konsen dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat harus di hentikan. Hal ini secara nyata telah mengusik Bhineka Tunggal Ika yang menjadi pilar dasar bernegara Republik Indonesia. Pembubaran paksa dengan dalih keyakinan ini juga merupakan tindakan yang merusak persatuan nasional. Bahkan tindakan represifitas ini telah mempermalukan Negara Indonesia di berbagai forum HAM Internasional.

Dalam catatan kami, kekerasan kelompok sipil ini merupakan kejadian berulang dengan motif yang hampir sama, yaitu menghambat perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kesejahteraan dan persatuan. Ketika tiga bulan berdirinya, Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) juga pernah mendapatkan 34 serangan dari FPI dan kelompok lainnya yang mengaku anti-komunis (Berdikari Online, 28/06). Padahal Papernas adalah Partai persatuan gerakan rakyat yang menjadikan nasionalisasi industri tambang asing, penghapusan hutang luar negeri dan industrialisasi nasional sebagai program perjuangannya sebagai jalan mewujudkan Kemandirian Nasional.

Atas tindakan kekerasan sipil dan oknum pejabat yang berulang-ulang tersebut, kami dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi menyatakan sikap:
1. Menuntut kepada pemerintah untuk mengambil tindakan keras terhadap oknum pejabat maupun organisasi-organisasi seperti FPI dan sejenisnya guna mempertahankan tatanan demokrasi bagi seluruh rakyat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono sudah waktunya untuk membuktikan sikapnya bahwa Negara tak boleh kalah dengan Premanisme.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh oknum pejabat, FPI dan atau ormas-ormas lainnya terhadap Rieke Diah Pitaloka, Nur Suhud dan Ribka Tjiptaning di Banyuwangi maupun di Sukabumi merupakan bentuk tindakan yang diskriminatif terhadap warga negara dalam menggunakan haknya sebagai warga negara Indonesia. Tindakan ini bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Kepolisian Republik Indonesia harus segera melakukan tindakan tegas terhadap bawahannya yang melakukan penyalahgunaan wewenangnya dalam melindungi pihak yang melanggar hukum.
3. Wujudkan penyelenggaraan Kesehatan Nasional bebas biaya tanpa diskriminasi. Komersialisasi atas kesehatan bagi kami adalah bentuk pelanggaraan terhadap konstitusi Indonesia. Sejatinya, pelayanan kesehatan merupakan hak rakyat yang dilindungi konstitusi dan pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan manusiawi.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat.
Jakarta, 29 Juni 2010

Eksekutif Nasional
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(EN-LMND)


Lalu Hilman Afriandi
Ketua Umum

Agus Priyanto
Pjs. Sekretaris Jenderal

PEMBUNUHAN KARAKTER DAN BUNUH DIRI MASSAL

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

“Yang paling berbahaya pembunuhan karakter dengan mengkultuskan seseorang daripada bunuh diri secara massal.”

Sudah banyak pembantaian berserakan di muka bumi atas ulah-pakolah mengkultuskan seseorang pun gagasan. Ialah tidak terpungkiri, kehidupan digerakkan beberapa gelintir pandangan-ide. Berlangsung hingga kursi-kursi kekuasaannya dirasa aman.

Semisal strategi komando serempak tidak dengan keberagaman memperkaya identitas di belantara hayati. Tapi sebaliknya mencengkeram lewat kuku-kuku pemerintahan otoriter. Propaganda menyimpan watak hasrat kuasa tersembunyi. Bungkus mendedikasikan nalar-perasaan berpadu, laiknya terompet bersatu setarikan suara yang sama.

Suara-suaranya memecah awan di langit penalaran, serupa pawan hujan diyakini banyak orang. Ini bisa disebut pembangun kuasa lain daripada kekuasaan Tuhan. Dan tak terlihat kecuali mawas diri di sekitar perubahan menggerus ingatan. Jarak berdiri tanpa tarikan tangan, tapi timbunan kenang penjajakan dari kegelisahan pelahan menemui kejuntrungan.

Kita diingatkan pada perkumpulan jamaat di Guyana dekat Vinezuela, diapit Surinam dan Brazil. Atas pamor pendeta Jim Jones yang luar biasa, bersanggup mengajak para jamaah berjuta-juta umat dalam bunuh diri secara massal, hari jum’at 17 November 1978.*) Seakan kekuasaan Tuhan diajak berkompromi demi manunggaling kebodohan.

Ini tak lepas sifat nggumunan (heran) akan perubahan, ditambah kahanan (keadaan) percepatan informasi seolah tanpa kendali nurani. Laksana awan ditarik dinaya spiritual para pawang. Planet berbenturan tiada kendali, perburuk atmosfer penciptaan kreatif para insani. Letak kekacauan tumbuh meraksasa, umpana begejil tengah menghisap darah kemanusiaan. Fitroh seyogyanya dikembangkan kearifan berpribadi iman terbalut jiwa tulus tanpa pamrih.

Ini hasil membaca luaran yang memantul dalam diri menggelisahi roda-roda massa bertambah terasa banyaknya penafsir, dengan sudut tekan tertentu mencipta paduan menggema. Maka patutlah meditasi sosial diberangkatkan meyakini keberagaman suci. Membuka kemungkinan, bukan persempit keadaan dengan menghidangkan satu warna ditelan mentah.

Andai benar, cara mengunyah jelas tak serupa. Seperti gigi-gigi tak sama walau mempunyai kecenderungan buah sejenis. Semisal titik perbedaan pada insan yang lahir kembar, di sini Tuhan menaik-turunkan derajat atas perjuangan masing-masing. Aku rasa keseragaman itu periodik, maka kudu (harus) hati-hati membaca metamorfosis para pengikutnya.

Meditasi sosial itu ingat-mengingat demi mencapai masyarakat berkeindahan. Silaturrahmi saling mematangkan memberi pemaafan bagi kesilapan. Yang nyata berhasrat balik pada kedudukan semestinya. Suara-suara merdu kembali, hutan belantara dihuni berjenis-jenis kicauan burung menambah martabat kebangsaannya.

Lebih kentara abad revolusi industri, manusia digerakkan tuntutan mesin, karakter individual dilenyapkan diganti perintah tuan. Atau tersebut bapak kandung pembunuhan karakter ialah ancaman, ibunya rayuan, sedang moyangnya keserakahan. Momok perang dunia, bukti sang bapak membantai anak-anak kehidupan di belahan bumi, teror melumpuhkan mental dikemudian hari menjelma pecundang. Istilah Pram “beraninya main keroyokan.”

Ketika bapak pembunuhan karakter terjepit mati-matian pertahankan kuasa bedil meriam, datanglah iklan perayu keunggulan modernitas. Kala menemukan kegagalan pula, disulap tubuhnya dengan istilah postmodern pun hiper-hiper. Gelombang ini menggelegak dalam bathin bersimpan ketakutan serta harapan. Lahan tersebut yang digarap dan kesusastraan memungkinkan mengukuhkan tiap lipatan rapi propaganda menelusup berkeharuman. Maka pantasnya meditasi dikumandangkan, guna tak terperosok ke juang adu domba paling kelam.

Dengan kebersamaan beragam lelapisan yang ada, sapu jagat kebangsaan ditarik pembersih ketakutan pun rayuan bersarang di badan yang datang dari luar. Guna kuasai ruang-waktu, bukan dikuasai kedua-duanya. Teriakan tak satu suara, namun satuan tekad dipelihara. Aku rasa merawat ingatan tak harus membawa bendera. Banyaknya bendera malah dimanfaatkan mata sempit fanatik buta. Bercerminlah pada kaca bengga sejarah, pula menggali pandangan demi ke muka.

*) dari buku “Bunuh Diri Massal Di Guyana” laporan Charles A. Krause, dengan bahan eksklusif oleh Laurence M. Stren dan Richard Harwood dan staf dari The Washington Post, alih bahasa Berbuddy M. Daroe, penerbit PT. Bina Ilmu, 1980 Surabaya.

Wawancara Saut Situmorang dengan majalah Mahasiswa Sastra UI

“Recup Budaya” (Edisi Pertama 2007)
http://sautsitumorang.multiply.com/

Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Ilmu Budaya sebagai ranah sastra mahasiswa, yang sebagian kecil masyarakatnya adalah penikmat sastra akademis, mungkin belum membaur ke dalam fase politik sastra (bukan kekuasaan) atau pun pembacaan jarak dekat.

Sebagian kecil darinya pula tentu ada yang merasa kritis terhadap desas-desus yang terjadi di luar sana. Untuk itu kami terus menangkap kejadian-kejadian sastra yang terjadi di Indonesia sebab ternyata permasalahan sastra bukan hanya pertunjukan dan karya tapi idealisme dan polemik. Majalah kami, Recup Budaya, mungkin berangkat dari tugas mata kuliah, namun kekuatan berpikir dan hasrat mengaromakan sastra dan sendinya kepada mahasiswa lain adalah semacam batu asah untuk meningkatkan kepekaan kami

WAWANCARA DENGAN SAUT SITUMORANG

TENTANG PERANG SASTRA boemipoetra vs TEATER UTAN KAYU (TUK)

1. Anda menyebut diri sebagai politisi sastra. Kami baru dengar istilah itu. Apa tugas sentral profesi tersebut, tentunya dalam eksternal sastra dan internal sastra?

SS: Hahaha… Istilah sebenarnya adalah “politikus sastra” dan aku pakai sebagai keterangan-diri di eseiku yang berjudul “Politik Kanonisasi Sastra” – yang merupakan makalahku untuk Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26-28 Oktober 2007 lalu – yang kusebar di Internet sebagai salah satu dari rangkaian seranganku terhadap Teater Utan Kayu (TUK). Istilah itu sebenarnya sebuah istilah ironis yang tongue-in-cheek, dimaksudkan untuk memberi nuansa kepada isi eseiku itu. Tapi reaksi pembaca macam-macam. Hudan Hidayat yang konon seorang novelis itu, misalnya, menyebutku “politisi sastra” di Internet. Aku lebih suka istilah “politikus sastra”. “Politisi” itu istilah apa?! Apa ada “kritisi” sastra?! Hudan Hidayat memang seorang penulis bakat alam par excellence! Hahaha…

2. Jurnal Boemipoetra yang terbit beberapa bulan lalu, semacam aksi propaganda demonstratif sastrawan Ode Kampung terhadap perlawanan terhadap Komunitas Utan Kayu (KUK). Namun sebagian masyarakat menyatakan itu bukan jurnal yang semestinya ilmiah sebab kata-kata yang “kasar”?

SS: Coba perhatikan, kalimat macam apa yang kau tuliskan ini! Membingungkan! Hehehe… Jurnal sastra boemipoetra (pake huruf kecil semua!) adalah jurnal sastra paling keren dan cool sepanjang sejarah sastra Indonesia karena fungsinya cuma satu: menghancurkan Teater Utan Kayu (TUK)! Dan sudah terbit (tanpa mengemis dana ke Amerika Serikat dan sekutu neo-kolonialnya) sampai empat edisi. Hahaha… Satu-satunya “little magazine” sastra kita yang berani memakai apa yang kau sebut sebagai “kata-kata yang ‘kasar’” itu! Mengutip Clark Gable dalam Gone with the Wind, aku katakan kepada mereka-mereka yang tiba-tiba (menjadi) moralis linguistik itu padahal konon sudah beyond morality dalam kasus Sastra Porno Sastrawangi, seperti Manneke Budiman dosen Universitas Indonesia itu: Frankly, my dear, I don’t give a damn! Hahaha… Benar, jurnal boemipoetra memang bukan jurnal ilmiah kayak Oxford Literary Review, Critical Inquiry, New German Review, New Left Review, Social Text, atau Representations dan tidak punya pretensi untuk menjadi jurnal ilmiah. Tapi apa memang (pernah) ada jurnal “ilmiah” seperti yang aku sebutkan barusan di Indonesia? Nenek moyang boemipoetra adalah majalah-majalah kecil yang diterbitkan kaum Dada dan Surrealis di Eropa di awal abad 20 lalu, yang berisi baik manifesto-manifesto gerakan-gerakan tersebut maupun serangan-serangan keras mereka terhadap apa-apa yang pada saat itu mereka anggap menjajah pemikiran budaya orang-orang Eropa. Dan bahasa yang mereka gunakan bahkan jauh lebih “vulgar” dibanding “kata-kata kasar” boemipoetra! Ada catatan penting: boemipoetra bukan sastrawan Ode Kampung! Ode Kampung itu adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh komunitas sastra Rumah Dunia di Serang, Banten. Secara ideologis dan praktis boemipoetra justru sangat radikal dibanding Rumah Dunia dan Ode Kampungnya itu. Juga kalau kalian pelajari komposisi redaksi boemipoetra maka akan terlihat jelas keberagaman ideologi di dalamnya. Kerancuan informasi ini memang sudah universal di dunia kangouw sastra Indonesia dan ini cuma menunjukkan betapa parahnya orang kita membaca persoalan, betapa tidak canggihnya imajinasi orang-orang sastra kita dalam menafsirkan silsilah sebuah persoalan seperti Perang Sastra antara boemipoetra vs TUK. Manneke Budiman adalah lagi-lagi contohnya. Yang harus disadari lagi adalah bahwa Teater Utan Kayu (TUK) yang dikuasai orang-orang sastra itu yang menjadi fokus dari serangan-serangan kami, bukan Komunitas Utan Kayu (KUK) secara umum dan yang macam-macam isinya itu. Makanya perang kami ini adalah Perang Sastra! Musuh kami adalah Goenawan Mohamad dan segelintir penulis muda yang berlindung di balik bayangannya yang tua. Segelintir penulis-sekedar yang merasa sudah mencapai satori atau pencerahan sastra padahal rata-rata masih medioker kemampuannya, baik kreatif maupun kritis! Segelintir megalomaniak!

3. Letak keburukan TUK sehingga Anda begitu gencar untuk mengutuk mereka?

SS: Harus diakui bahwa pada awalnya mereka itu oke, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan termasuk penerbitan majalah ikon mereka itu, Kalam, merupakan angin segar dalam kondisi jenuh sastra kita yang diakibatkan hegemoni majalah Horison dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Tapi itu hanya sebentar! Mereka kemudian merasa sudah menjadi mainstream baru, sang dominan baru dalam sastra kita. Mereka sampai merasa begini tentu saja tak dapat dilepaskan dari “pesona” yang memang telah mereka timbulkan dalam kepala para sastrawan kita, terutama di kota-kota besar kita. Mereka telah menjadi mitos baru yang menggantikan mitos-mitos lama Horison dan TIM bagi para sastrawan yang mulai dikenal publik sastra kita di periode 1990an, apa yang saya sebut sebagai Sastrawan 90an itu, dan yang sedang merajai penerbitan buku sastra saat ini. Mitos baru tentang TUK ini dimanfaatkan dengan sangat canggih oleh Goenawan Mohamad dan segelintir penulis-sekedar yang aku sebutkan di atas. Dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer mereka. Ini dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Memakai istilah salah seorang penulis-sekedar TUK bernama Eko Endarmoko yang berpretensi keras mencari kelemahan esei saya “Politik Kanonisasi Sastra” tapi gagal dengan mengenaskan itu (karena kurang imajinasi tekstual dan miskinnya pengetahuan sejarah sastra), menurut “kabar angin” naskah Saman itu sebenarnya sudah lewat deadline pengiriman naskah tapi salah seorang juri menerimanya juga. “Kabar angin” lain adalah bahwa salah seorang juri Sayembara Roman DKJ 1998 itu menerima naskah Saman dari seorang tukang sapu gedung dimana para juri sedang memeriksa naskah-naskah yang masuk dan naskah tersebut didapatkan tukang sapu itu di dalam tong sampah! Siapa saja tentu saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman ini sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu dengan alasan bahwa “karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya”! Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai kedahsyatan novel tersebut padahal tak satupun terjemahan bahasa asingnya sudah ada pada waktu itu hanya Goenawan Mohamad yang tahu. Coba baca prosa-pendek Ayu Utami (yang diklaim sebagai “kolom” itu) di media massa cetak seperti koran Seputar Indonesia Minggu. Masuk akalkah seseorang yang diklaim oleh sebuah institusi internasional sejenis Prince Claus Award sebagai “meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” cuma mampu menghasilkan cakar-ayam yang bahkan lebih jelek dari medioker seperti itu! Aku kasih sebuah “kabar angin” lagi. Kalau Saman itu sebuah fragmen dari karya panjang (yang sekarang kita tahu adalah Saman dan Larung) lantas kenapa Saman bisa begitu sensasional legendanya sementara Larung sunyi senyap?! Karya Pramoedya Ananta Toer yang jauh lebih panjang aja, yaitu Tetralogi Buru, tidak begitu jauh jarak “mutu”nya antara satu fragmen dengan fragmen lainnya. Bicara tentang Pram, bukankah komentar Pram di sampul belakang Saman itu adalah sebuah manipulasi tekstual paling brengsek dalam sejarah promosi sebuah karya sastra di negeri ini! Kalau memang benar Saman yang memenangkan Sayembara Roman DKJ 1998 dan Prince Claus Award 2000 itu begitu “dahsyat” seperti yang diklaim Sapardi Djoko Damono, Faruk dkk, untuk apa lagi dia mesti memelintir komentar Pram yang pada dasarnya menganggap novel itu jelek!

Kejahatan TUK semacam ini, yaitu manipulasi informasi, berkali-kali mereka lakukan. Yang langsung bersentuhan dengan aku adalah “laporan” di majalah-berita Tempo yang konon ditulis oleh Ags Dwipayana (aku tak ingat nama lengkapnya tapi orang ini orang teater, menurut “kabar angin”) tentang Temu Sastra Internasional 2003 yang diselenggarakan TUK di Solo. “Laporan” yang pada dasarnya mengelu-elukan program sastra TUK itu dan mengejek aku dan kawan-kawan Solo yang memprotesnya dengan keras karena tidak melibatkan seorangpun sastrawan Solo kecuali sebagai pembawa acara, hahaha…, ternyata tidak ditulis berdasarkan pandangan mata langsung “pelapor”nya! Si penulisnya tidak pernah hadir di Solo sama sekali selama dua-hari acara TUK itu dan menurut “kabar angin” semua infonya diberikan oleh Yang Mulia Goenawan Mohamad! Kasus Solo ini menjadi penting dalam “arkeologi dusta TUK”, hahaha…, kalau kita kaitkan dengan Kasus Chavchay Syaifullah, wartawan budaya Media Indonesia yang dipecat bosnya sebagai wartawan budaya karena pengaduan langsung Goenawan Mohamad. Chavchay menulis di korannya tentang acara Utan Kayu International Literary Biennale yang diadakan di TIM bulan Agustus 2007 lalu dan Goenawan Mohamad tersinggung atas laporan pandangan mata langsung Chavchay itu. Alasan Goenawan Mohamad, Chavchay dalam laporannya itu telah melakukan “fitnah” karena tidak menjalankan asas “cover both sides”, yaitu “tak mencoba mendapatkan dan memuat versi panitia dan TIM” paling tidak tentang diusirnya penyair Geger dari tempat acara. Padahal Chavchay punya rekaman pernyataan Geger bahwa dia diusir! Sontoloyo, itulah komentarku! Kekuasaan sipil yang sudah mulai menjadi diktatorial!

Masih mau lagi? Hahaha… Coba perhatikan jaringan kekuasaan yang sudah dibentuk TUK saat ini untuk menguasai dunia sastra kita: Hasif Amini di koran Kompas Minggu, keikutsertaan TUK dalam menyeleksi sastrawan lokal untuk Ubud Writers and Readers Festival, Ayu Utami di DKJ, dan “kabar angin” lagi Sitok Srengenge bakal menjadi redaktur sastra koran Media Indonesia Minggu! Sitok ini juga yang menurut “kabar angin” lain pernah sesumbar bahwa “Sastrawan Indonesia” itu adalah cuma mereka yang pernah diundang ikut acara sastra TUK! Megalomaniak gak, hahaha… Dulu waktu dia dan Medy Loekito dari komunitas kami Cybersastra ada di Iowa mengikuti program menulisnya, si penyair rima-dalam ini, hahaha…, pernah berkata bahwa dalam berbahasa Inggris, dia kalah dengan Medy, tapi dalam menulis puisi, dia lebih unggul! Uh, hebatnya, hahaha… Kalau dia tak bisa berbahasa Inggris, kok bisa dia mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa? Saat ini yang mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa adalah, you guess it!… monsieur Nirwan Dewanto, hahaha… Sejak kapan redaktur koran ini jadi sastrawan dan mana karya sastranya? Mestinya kan penyair dan politikus sastra Saut Situmorang dong yang mewakili TUK, dan sastra Indonesia, ke Iowa, iya kan, hahaha…

O iya, sebelum aku lupa dan ada juga kaitannya sedikit dengan soal majalah “ilmiah” yang kita singgung di atas. Pernah baca buku kumpulan esei Goenawan Mohamad berjudul Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (AlvaBet, 2001)? Coba baca kata pengantar buku itu berjudul “Ke-Lain-an Goenawan Mohamad” yang ditulis oleh Hamid Basyaib! Atau baca ringkasannya di blurb sampul belakang buku! Dengan tidak ada rasa malu sama sekali dia mengklaim Goenawan Mohamad sebagai “esais terbaik Indonesia”, “orang Barat yang lahir di Batang” dan dalam kumpulan eseinya itu “ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe [sic], Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat”, “semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertara”! Nah pertanyaan sederhanaku ini aja: Kalau Goenawan Mohamad itu memang begitu hebat, kok dia gak nulis di jurnal-jurnal ilmiah seperti yang kusebutkan di atas tadi aja? Kita kan bisa jadi sangat bangga kalau ada seorang penulis hebat kita yang tulisan kritiknya bisa muncul di jurnal ilmiah standar internasional ketimbang sekedar di media lokal doang! Inilah contoh megalomania narsisistik Teater Utan Kayu par excellence, hahaha…

4. Sudah tentu TUK, menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan fitnah?

SS: Jelas dong. Mana ada yang suka kebusukannya diekspos, apalagi sekelompok megalomaniak.

5. Manifesto Boemipoetra telah kami pelajari. Rasa sosial dan solidaritas tinggi serta anti-Liberalisme, rupanya tertanam kuat di diri sastrawan Ode Kampung. Berangkat dari kemanusian, apakah Anda tidak takut pengecaman Anda dkk. justru menjadi bumerang?

SS: Sekali lagi, jangan samakan boemipoetra dengan Ode Kampung. Tahu kan apa itu bumerang? Bumerang itu adalah senjata tradisional bangsa Aborijin Australia yang dipakai dengan melemparkannya ke objek yang ingin dilumpuhkan. Karena bentuknya melengkung dan cara melemparkannya khas, bumerang bisa kembali ke pemiliknya kalau tidak mengenai sasarannya. Kalau seseorang tidak sigap atau pandai menangkap bumerang yang terbang kembali itu, maka bocorlah kepalanya, hahaha… Maka ketahuan pula kalau dia bukan pemilik sebenarnya! Nah apa yang terjadi sekarang adalah bumerang itu tak bisa ditangkap kembali oleh Goenawan Mohamad dan para penulis-sekedarnya maka bocorlah kepala mereka, hahaha…

6. Menurut Anda mengapa setelah terbitnya Jurnal Boemipoetra, TUK tidak membalas sama sekali serangan Anda?

SS: Karena mereka itu cuma mitos belaka, tak ada esensinya. Karena isi boemipoetra tak bisa mereka bantah. Karena mereka takut kalau merespons maka semua kebusukan mereka akan jadi terbuka. Lebih baik didiamkan saja kan. Atau seperti “kabar angin” tentang apa yang dikatakan Goenawan Mohamad: apa Saut itu masih tahan menyerang sampai enam bulan lagi? Kalau tak salah, aku sudah menyerang TUK sejak tahun 2003 dan sekarang makin asyik aja, hahaha…

7. Seorang millist bernama Radityo yang disinyalir sebagai tangan kanan TUK, menyerang Anda habis-habisan. Anda bisa jelaskan ini?

SS: Hahaha… Radityo Djadjoeri itu adalah keponakan Goenawan Mohamad. Dia sendiri yang ngaku begitu di Internet dan aku pun pernah mempostingkan data yang kudapat di Internet tentang keluarga besar mereka yang keturunan Arab-Kurdi itu. Radityo yang konon tamatan FE-UII Jogja ini memang seorang cyberpsikopat! Dulu dia juga pernah punya problem besar dengan Farid Gaban dari Republika dan melakukan teknik pencemaran nama yang sama, yaitu dengan menciptakan tokoh-tokoh cyber fiktif yang menyerang dengan alamat email buatan. Untuk menghadapi aku yang memang jauh di atas kelas intelektualnya ini, hahaha…, dia bahkan menciptakan milis-milis baru seperti yang bernama “sautisme@yahoogroups.com” itu. Tapi manalah pulak awak bisa dikerjainnya! Buktinya, justru dia sekarang yang dicekal dari begitu banyak milis Indonesia di Internet, hahaha…

TUK diperkirakan sebagai benih-benih sastra imperialis, yang secara general pernah disembulkan Taufik Ismail. Apakah kelahiran Jurnal Boemipoetra berangkat dari pernyataan Taufik?

SS: Harus disadari lagi bahwa boemipoetra tak ada hubungan apa-apa dengan Taufiq Ismail atau jelasnya dengan Kasus Taufiq Ismail vs Hudan Hidayat. Dan boemipoetra lahir bukan karena Taufiq Ismail ataupun pernyataan publiknya!!! Kami bertujuan membabat utan kayu, titik. Aku sendiri secara pribadi bertentangan dengan Taufiq Ismail soal Marxisme dan Lekra. Aku ini Marxist tapi Marxisme seperti yang diejek-ejek Taufiq Ismail tak pernah ada dalam Marxisme! Dia tak bisa membedakan antara politik partai dan sebuah isme pemikiran. Dalam sejarah peradaban manusia, isme yang paling kritis dan paling membela harkat orang banyak hanyalah Marxisme! Dan lawan utama Marxisme bukan Agama Monotheis seperti yang dirancukan Taufiq Ismail dkk, tapi Liberalisme-Kapitalisme yang justru telah menyebabkan matinya agama Kristen di Barat dan timbulnya kolonialisme di Asia, Afrika, Australia, Pasifik dan benua Amerika! Bagi boemipoetra, TUK adalah agen imperialisme Liberalisme-Kapitalisme terutama Amerika Serikat di sastra Indonesia, lewat program-program sastranya. Mudahnya akses bagi orang-orang TUK dan sekutunya ke program-program di Amerika Serikat, seperti program menulis Iowa itu misalnya, sementara orang-orang yang non-TUK ditolak visa mereka oleh Kedutaan Amerika Serikat, adalah bukti nyata.

9. Seks dan agama adalah keberlainan bahkan kebertentangan, Ayu Utami, yang selanjutnya diikuti Nukila Amal, dan Dewi Lestari sebagaimana Taufik yang menyatakan mereka bagian dari Fiksi Alat Kelamin (FAK) dan (GSM). Apakah Anda menyerang lini ini dengan berpusar pada pijak agama?

SS: Gawat! Siapa yang bilang bahwa “seks dan agama” itu bertentangan! Apa ada “agama” yang melarang seks! Gereja Katolik yang melarang pastor untuk kawin itu aja tidak melarang seks bagi yang non-pastor!!! Ketidakhati-hatian orang kita dalam berbahasa memang sudah fenomenal. boemipoetra tidak anti-seks malah sangat suka seks! Yang dilawan boemipoetra adalah eksploitasi seks (seksploitasi) sebagai standar estetika sastra (paling) bermutu, yang mengorbankan estetika sastra non-seks seperti nilai-nilai Islami pada Forum Lingkar Pena misalnya. Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu adalah para penulis perempuan Indonesia yang mengeksploitasi seks dalam tulisan mereka dan menjadi terkenal karenanya. Menjadi dibaca tulisannya karenanya. Itu saja alasannya kenapa mereka dibaca. Lucu ya bahwa ketiga perempuan tukang eksploitasi seks perempuan ini punya nama sama, yaitu “Ayu”. Mungkin nama Sastrawangi musti diganti jadi “Sastrayu”, hahaha…

10. Sastra TUK jelas berbeda, mereka mengakomodir tulisan dengan kualitas tinggi. Bahkan mereka tidak akan menerbitkan karya yang dianggap “tidak layak” di jurnal Kalam. Berarti Sastra TUK punya pagar untuk menyempitkan dunianya(red). Eksklusivitas ini rupanya yang tidak diterima oleh Anda dkk. Mengapa?

SS: Hahaha… Itulah mitos yang berhasil dibangun TUK tentang dirinya dan dikunyah bulat-bulat oleh banyak sastrawan muda termasuk fakultas sastra yang seharusnya lebih kritis daripada sastrawan sendiri!

Kalam itu kan cuma majalah budaya umum dan “kekuatan”nya terletak lebih pada esei-esei budaya yang dimuatnya, bukan pada puisi atau cerpennya. Kolom puisi Kompas Minggu sewaktu ditangani Sutardji Calzoum Bachri jauh lebih tinggi reputasinya bagi para penyair Indonesia ketimbang Kalam. Bukankah cerpen yang dimuat di koran Kompas yang dianggap cerpen nyastra yang bermutu? Sastra TUK itu apa? Yang “sastrawan” di TUK itu kan cuma Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge dan Ayu Utami. Ini kan sastra TUK itu.

Soal “kualitas tinggi” TUK. Apa tinggi kualitasnya puisi Sitok, bahkan Goenawan Mohamad sekalipun? Apa tinggi kualitasnya esei-esei Nirwan Dewanto atau Hasif Amini? Terjemahan Hasif atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges (dari terjemahan bahasa Inggris) aja jelek tapi dipuji-puji setinggi langit oleh sesama orang TUK! Apa tinggi kualitasnya program biennale sastra TUK yang mengklaim Avi Basuki dan Laksmi Pamuntjak sebagai “sastrawan internasional Indonesia” itu? Apa yang pernah ditulis Laksmi Pamuntjak dalam “sastra Indonesia”? Yang benar adalah bahwa manipulasi informasi TUK memang berkualitas tinggi, hahaha…

11. Apa perjuangan Anda dkk. sudah selesai?

SS: Apa TUK sudah hancur? Hahaha…

12. Dengan duduknya Hasif Amini di Kompas dan Nirwan Dewanto di Tempo, sudah tentu makin melambungkan sastra TUK yang Anda sinyalir sebagai kelompok yang berambisi menoreh sejarah sastra. Benarkah?

SS: Sudah aku jawab di atas.

13. Mahasiswa, sebagai akademisi sastra yang belum terbaluri pengaruh ini, sebaiknya ada di posisi mana?

SS: Masak mahasiswa sastra belum terkena pengaruh mitos TUK! Yang benar aja ah.

Pertanyaan No.10 di atas kan jelas menunjukkan betapa kalian sudah sangat dalam dipengaruhi oleh “pesona” mitos TUK itu! Sadarlah dan kembalilah ke jalan yang benar! Hahaha…

14. Anda tidak meluaskan propaganda ke kalangan mahasiswa. Mengapa?

SS: Lha wawancara ini apa namanya kalau bukan propaganda demitologisasi TUK, hahaha…

15. Kanonisasi Sastra dapatkah Anda jelaskan secara singkat?

SS: Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Masak cerpen Seno Gumira Ajidarma masuk tapi cerpen Hudan Hidayat kagak? Apakah karena cerpen Seno punya “substansi” sementara cerpen Hudan cuma begitu-begitu aja? Puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis? Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini Hudan Hidayat dan para pengarang bakat alam lainnya itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Sastra kontemporer kita rusak karena dilettante sastra, petualang sastra seperti TUK, Kompas dan Richard Oh dengan sensasi duit Katulistiwa Literary Award-nya itu merajalela membuat kanon-kanon sastra baru tanpa kriteria yang bisa dipertanggungjawabkan dan para sastrawan pada cuek aja. Inilah efek apolitisasi sastra Orde Baru!

Bang Saut setiap jawaban Abang akan kami publikasikan. Silahkan menambahkan sesuatu yang perlu Abang uraikan. Tapi kami tetap menjaga etika jurnalisme.

Terima kasih banyak.

Salam untuk Wowok dkk.

SS: Terimakasih juga. Wawancara kalian ini adalah wawancara pertama yang dilakukan dengan boemipoetra untuk mendengarkan perspektif boemipoetra tentang Perang Sastra boemipoetra vs TUK. Selama ini cuma Goenawan Mohamad dan anggota TUK lainnya aja yang diberikan kesempatan bicara secara formal dalam sebuah wawancara. Kalian sudah bertindak adil! Bravo! Aku juga mengharapkan kalian berani memuat semua yang aku nyatakan di sini. Berani seperti boemipoetra! Kalau mahasiswa aja sudah gak berani mengeluarkan pendapatnya dalam media kampusnya sendiri, apalagi dengan alasan mitos “etika jurnalisme” yang cuma menguntungkan kekuasaan status quo itu, untuk apa kita punya universitas di negeri ini! Mitomania harus dilawan oleh semua mahasiswa yang menganggap dirinya berbudaya dan kritis, terutama oleh mahasiswa sastra. Ingat apa yang dikatakan George Orwell: During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act!

HIDUP MAHASISWA!

Friday, June 25, 2010

“Geladak Sastra”, Kekaryaan, dan Sinergi Komunitas

Fahrudin Nasrulloh*
http://sosbud.kompasiana.com/

Dunia kepenulisan dan geliat berbagai komunitas apapun bentuk dan aktivitasnya di setiap kota maupun desa, jika kita pernah menyusuri wilayah-wilayah itu dan mencermatinya, sedikit demi sedikit ternyata menyibak jendela pengalaman bahwa di sana bertumbuh dan bergerak beragam gairah dan potensi mulai dalam bentuk kegiatan kawula muda kampung, kemahasiswaan, ataupun komunitas tertentu yang hal ini sungguh menunjukkan suatu perkembangan interaksi sosial yang positif. Di sisi lain jaringan di dunia maya, facebook misalnya, makin menjebak dan membusuki diri tiap individu, kecuali tentu saja ada nilai positif darinya untuk meluaskan informasi dan jaringan antar institusi, pebisnis, jasa wira usaha, ataupun komunitas.

Pengaruh “ledakan media”, sebagaimana yang disebut Afrizal Malna, salah satunya adalah percepatan, pergesekan, dan perubahan yang tidak bisa ditebak ujungnya, namun dampaknya terasa dalam ritus keseharian walau tanpa tersadari alangkah kita begitu susah untuk berjeda barang sebentar berefleksi diri atas apa yang terjadi, sementara di sisi lain kita telah melarut mengarus dalam derap guncangan teknologi tersebut.

Salah satu pengaruh besarnya, entah terasa atau sudah menjadi biasa, adalah betapa mahal dan susahnya apa yang kita sebut “silaturahmi” dan “pertemuan”. Dalam konteks bersastra, ruang lingkup sosialnya, dan pegiat atau pesastra di dalamnya, kini tampaknya cukup menempa kekaryaan dalam kamar sunyinya masing-masing, selain orientasi kepengarangan yang bebas nilai yang makin jarang ditemukan pengarang yang benar-benar berkarya dan menggali inspirasi dari problematik sosial dan oleh sebab itu menuntutnya untuk terjun riset ke masyarakat. Penulis yang tercandui dunia internet, menyimpan pengaruh tak terkira, dan cenderung menghasilkan karya dari kesunyian dirinya sendiri. Tapi semua itu sah dan boleh-boleh saja, sebab berkarya adalah memilih jalan kebebasan yang tidak terikat bahkan atas nama suatu ideologi.

Dari cara pandang sekilas di atas, dan merujuk akan pentingnya sebuah pertemuan, dialog, bertukar tangkap gagasan dan saling menyodorkan karya untuk diobrolkan dengan santai sambil mencicip kopi-teh atau air putih saja dan hidangan ala kadarnya, maka Komunitas Lembah Pring dari Kampung Mojokuripan Sumobito Jombang menggelindingkan agenda kecil berupa “Geladak Sastra” guna mewadahi dan menjadikannya ruang sosial di mana para penulis, pemerhati kesenian, komunitas-komunitas, warga kampung, dapat terlibat bersama-sama secara guyub dengan kesederhanaan dan kesahajaan.

Dari hasil penelusuran dan jalan-jalan, pegiat Komunitas Lembah Pring, yang dilurahi oleh Jabbar Abdullah, untuk sementara dapat mengumpulkan sejumlah data tentang penulis dan komunitas yang bergeliat namun selama ini belum terkabarkan dan untuk itulah kiranya jadi berharga sebagai referensi merekatkan jaringan dalam berbagai kegiatan yang bisa diagendakan secara rutin dan berkesinambungan.

Seperti contoh ada penulis bernama Sarah Mariska, gadis belia dari Desa Jogoloyo, Kecamatan Sumobito ini sudah lama menyimpan sejumlah karya. Sebut saja: Devil’s Park (novel), Oak (novel), What I Feel (kumpulan cerpen), Setan versus Malaikat (naskah drama), Aku Anak Desa (kumpulan esai). Agus M. Herlambang dari UNIPDU Jombang yang bergiat di Buletin Change telah memiliki kumpulan cerpen berjudul Sepuluh Kepala Babi, dan sekumpulan esai Kita dan Mbah Dukun. Mubarok dari UNDAR Jombang dengan kumpulan esai Menatap Masa Depan Indonesia. Eka Kristino dari UNIPDU Jombang dengan kumpulan puisi Awan yang Kesepian. Ada juga M.F. Bary Luay dari UNIPDU Jombang telah menghimpun sekumpulan puisi berjudul Seruan Izrail dan kumpulan cerpen Kematian si Abah. Bambang Irawan dari Komunitas Alif Mojoagung, selain sebagai aktor teater, ia juga sebagai penulis lakon drama, misalnya Malingku Maling, Wewe Gombel, Jamu Mbah Gandul, Ambar Hambar, dan sekumpulan esai berumbul Film Indie Kita. Pada komunitas yang sama, ada pula Purwanto yang menyimpan kumpulan puisi berjudul Sepenggal Kisah. Komunitas dari Mojoagung ini memiliki potensi dan semangat ingin maju yang luar biasa.

Sabrank Suparno dari Kampung Dowong, yang pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh tani, pengasak gabah, pencitak batu-bata, dan tukang brujul sawah, namun di balik itu selain aktivitas rutin perbulannya di Jamaah Padang Mbulan Cak Nun, ia juga telah melahirkan sejumlah karya yang memenangi Sayembara Menulis dalam rangka Workshop Kepenulisan Jamaah Maiyah pada Desember 2009 dengan judul Rembulan Cincin Kawin Dunia (buku ilmiah populer) dan Negeri Rasul Seluas Sajadah (buku populer religius sastrawi). Sekarang ia mulai menyiapkan sekumpulan cerkak dengan bendera Bobok Suruh Bodeh.

Masih di belahan Sumobito, tepatnya di Kampung Rejosari, tersebutlah Endah Wahyuningsih, seorang mahasiswi anyaran tahun 2009 di kampus STKIP PGRI Jombang. Ia termasuk gadis muda yang produktif menulis sejak di bangku kelas 2 SMP. Sejumlah cerpen dan novel remaja sudah ditulisnya di usia belasan itu. Hingga kini, meski sepengakuannya ia termasuk gadis ndeso dan kuper jika dibandingkan teman-temannya, namun memang semangat nulisnya sejak dini tersebut masih banyak yang perlu kita ketahui dan gali nilai spirit darinya. Kebanyakan karya-karyanya masih dalam bentuk tulisan tangan, belum diketik baik dengan mesin ketik manual maupun dengan fasilitas komputer. Beberapa karyanya yang sempat terekam misalnya: Tangisan Bidadari (rampai puisi, 200 halaman), Jiwa-jiwa Merpati yang Lara (himpunan Cerpen), Oh Mama Oh Papa (novel), Misteri Giok Merah (novel), Dua Belas Lilin Untuk Cinta (novel), Peri Biru (novel), dan Satu Cinta Dua Kasih Sayang (novel). Ada pula Siti Sa’adah, dari kampus yang sama, asal Gebang Malang, Diwek, selain sebagai guru dan beraktivitas di Tim Pelestari Seni-Budaya Jombang, ia adalah penulis cerpen yang potensial di masa mendatang dengan karakter cerpen yang digali dari pengalaman kampung dan problematik santri di pesantren.

Tampaknya geliat mahasiswa STKIP PGRI Jombang yang di tahun ajaran 2010 ini mengantongi jumlah sekitar 4800 mahasiswa. Kegiatan teater dan bersastra cukup bergeriap di sini. Banyak pementasan teater yang digelar, juga musikalisasi puisi. Di awal 2010 misalnya, Rahmat Sularso dan Syamsul Huda, berkreasi dengan membuat antologi Cecerak Jombang (cerita rakyat) dan kumpulan puisi Jagad Berkata-kata. Tradisi pendokumentasian ini patut diacungi jempol. Sebab, pasti, tidak semua mahasiswa mau berkarya, dan lewat tugas mata kuliah Proses Kreatif, mereka diharuskan untuk menulis. Macam Tugas demikian tidak lepas dari spirit yang digerakkan oleh dosen prodi bahasa Indonesia, Imam Ghazali AR dan Nanda Sukmana.

Pada wilayah yang tak jauh, M.S. Nugroho, seorang guru SMP 3 Peterongan, adalah pegiat teater pelajar di masa mudanya, dan kini tetap aktif menyutradarai berbagai pementasan teater pelajar, terutama di sekolah di mana dia mengajar. Beberapa rampai cerpen anak (8 cerpen) dan cerpen dewasa atau umum (13 cerpen) telah ia siapkan untuk diterbitkan. Ada 8 karya cerita tentang semacam Dongeng Politik dengan jenis cerita populer dan jenaka. 13 naskah drama tersimpan di laci kerja kreatifnya: Malin-End the Scene, Wewe Gombel, Surya Terbenam Pagi, Bulan Tersaput Awan, Yuyu Kangkang, Nyanyian Marduk Pada Bulan, Kusir Delman dan Wakuncar, Audensi Keluarga, Surup, Raja Toba, Setan, Y di Puncak Kematian, Ekstase dalam Secangkir Revolusi, dan Perjuangan Milik Bersama. Angka ini termasuk jarang dimiliki pegiat teater lain di Jombang. Meski kita belum tahu, berapa sutradara teater di Jombang yang getol membikin naskah sendiri, bukan melulu menggarap naskah sutradara kesohor lain di negeri ini misalnya pada naskah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Heru Kesawa Murti, dan lain-lain. Sebuah novel sedang disempurnakannya dengan judul New Secret Painter. Sementara itu, 3 skenario film karangannya siap digodok bersama sejumlah sejawat yang tergabung dalam tim film indie. 3 skenario itu adalah: Ilmu Kalong, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Tujuh Hari Meniti Kematian. Cucuk Espe atau Cucuk Suparno dari Peterongan, barangkali juga memiliki sejumlah naskah drama tersendiri, yang salah satunya adalah naskah 13 Pagi yang pernah dipertunjukkan di auditorium UNDAR pada 14 Desember 2009.

Sedang di belantara sastra pesantren, yang baru tercatat, ada Khilma Anis dari Pondok Pesantren Tambak Beras, selain dia, tampaknya cukup banyak jebolan dari pesantren ini yang tersebar di beberapa kampus di Jawa yang lumayan aktif dan produktif berkarya, namun belum terlacak keberadaannya. Kemudian Hilmi As’ad, ia adalah seorang kiai muda yang kalem namun energik dan produktif dari Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso yang mulai populer dengan terbitan novelnya: Tasawuf Cinta (Diva Press: Jogja, 2008)), Hakikat Cinta (Diva Press: Jogja, 2009), dan Putri Sio (Koekoesan: Jakarta, 2010). Para pengarang muda pesantren baik yang bermukim Jombang maupun di luar, telah menjadi penulis berbakat. Setidaknya mereka mewarisi kegigihan dan ketokohan sosok-sosok semisal Emha Ainun Nadjib, Abidah El-Khalieqy, Ahmad Munif, Yusron Aminullah, Shoim Anwar, dan lain-lain.

Membincang keberadaan komunitas di Jombang, pernah Komunitas Lembah Pring bergabung serta dalam kegiatan “Bengkel Menulis I” yang diadakan oleh Komunitas Fikrah Institut pada 27 Februari 2010 di pendopo Perkembunan Daerah Panglungan (PDP), Wonosalam. Komunitas yang memfokuskan pada dunia kepenulisan kreatif dan diskusi sastra ini dibentuk pada akhir 2009 oleh perkumpulan kawula muda PMII Jombang seperti Wahib Pamungkas dan Anwar Masduki Azzam. Setiap minggu mereka menggelar diskusi sastra, pemikiran keislaman, dan ke-NU-an. Memang teramat padat jika tiap minggu berdiskusi. Justru militansi mereka yang patut dicatat. Komunitas lain yang bertebaran sebenarnya banyak juga, seperti Forum Tetesan Pena dari UKM Jurnalistik UNIPDU yang dipimpin oleh M. Ali Fatkhurrozi, Formasis (Forum Mahasiswa Ibnu Siena) dari Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso yang dipandu Mubaruk, CLMBK (Create Letter Mahasiswa Bimbingan Konseling) dari UNDAR pimpinan Kharis Sofyan, dan lain-lain, yang secara pribadi mengembangkan kreativitas personalnya dalam menulis seperti Nur Aini (pengelola Buletin Penalaran dari STKIP Jombang); Budi Syarifuddin dan Rohmatul Hidayah dari UNIPDU; Zaenal Fuadin dan Liestya Ambarwati Kohar dari Komunitas Alif Mojoagung; Laily Syarifah, penulis sekaligus guru di SMP 3 Peterongan; Siti Sulami, penulis asal Ngoro yang sudah melahirkan novel Fatihah Cinta, dan kini sedang menggarap sebuah novel baru lagi dan kumpulan cerpen.

Paparan di atas menunjukkan betapa potensi kreatif penulis di Jombang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tujuan digelarnya agenda rutin “Geladak Sastra” adalah sebagai wadah, tempat berkumpul, ajang pertemuan yang sederhana dan tidak mewah, membuka gagasan apapun dan dari siapapun, dan tidak hanya terbatas pada penulis dan komunitas dari Jombang saja, tetapi membuka diri bagi yang lain di luar kota untuk terlibat, urun pemikiran, serta mengelilingkan “Geladak Sastra” tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang disepakati bersama. Ada tiga pokok agenda “Geladak Sastra”: pertama, bedah karya. Bedah karya ini bersifat fleksibel, tidak harus karya yang sudah diterbitkan oleh penerbit atau lembaga tertentu. Karya yang misalnya berupa puisi, cerpen, esai, naskah drama, atau catatan-catatan perjalanan, atau apapun, dapat diajukan ke lurah Komunitas Lembah Pring, dan akan dipertimbangkan untuk diagendakan. Semisal untuk puisi, cukup 5 sampai 10 puisi, dalam bentuk fotokopian. Untuk cerpen 3 judul. Untuk naskah drama dan novel 1 judul. Kedua, berbentuk diskusi atau jagongan ringan dengan tema sastra, seni, dan budaya. Di sini akan dihadirkan pembicara baik dari Jombang maupun dari luar kota. Ketiga, dalam format dialog lepas atau talk show atau orasi budaya yang dirancang misalnya menghadirkan seniman tradisonal ataupun yang kontemporer atau dalam bentuk refleksi publik yang nyantai dari sastrawan maupun budayawan. Bisa juga dalam bentuk pementasan musikalisasi puisi atau monolog dengan batas waktu tertentu. Tiga agenda ini akan diselang-seling sesuai kebutuhan dan bersifat kondisional.

Gelaran “Geladak Sastra” Komunitas Lembah Pring sebagaimana ilustrasi di atas, dengan segala keterbatasannya, akan diupayakan mampu berjalan sesuai dengan rancangan agendanya. Agenda perdana berupa bedah karya dan diskusi kumpulan cerpen Siti Sa’adah Pensi Dor pada Minggu siang, 28 Maret 2010, di markas Komunitas Lembah Pring, di Kampung Mojokuripan. Dan pada 18 April 2010 membedah kumpulan cerkak Bobok Suruh Bodeh karya Sabrank Suparno di langgar Kampung Dowong, Ploso Kerep. Ajang diskusi yang kedua ini dihadiri direktur Penerbit Pustaka Pujangga, Nurel Javissyarqi yang untuk seterusnya akan menyumbangkan masing-masing satu buku terbitannya kepada pembicara, moderator, dan pengarang yang dibedah karyanya. Tentu waktulah yang akan menguji seberapa tangguh kegiatan ini dapat berderap. “Asal jangan tai-tai ayam,” demikian seloroh seorang teman mengapresiasi. Paling tidak, kita akan melihat, hingga beberapa bulan ke depan sampai akhir 2010. Selamat berkarya, dan terus bergerak!
—-

*) Fahrudin Nasrulloh, pekerja kata di Komunitas Lembah Pring Jombang

Proyek Katalog Buku NU

Bandung Mawardi
http://www1.jawapos.co.id/

Ben Anderson dalam esai Religion and Politics in Indonesia since Independence (1975) menulis bahwa sedikit sekali kaum akademisi yang mengetahui tentang Nahdlatul Ulama (NU) karena disertasi doktor tentang NU belum pernah ditulis. Anderson juga meragukan bakal segera ada pembuatan disertasi NU kendati NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik sangat berpengaruh di Indonesia (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, 1982). Keraguan Anderson memang mengusik jika menilik kelahiran dan peran NU di Indonesia sejak 1926.

Jawaban kecil diberikan Choirul Anam dengan publikasi buku Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (1985). Buku tersebut diangkat dari skripsi ketika penulis merampungkan studi di IAIN Surabaya. Buku itu menjadi tonggak awal untuk limpahan produksi buku tentang NU sampai hari ini. Anderson tentu takjub dan publik mungkin tak menyangka, bakal ada antusiasme penulisan buku tentang NU dari pelbagai perspektif.

H M. Hasjim Latief (ketua NU Wilayah Jawa Timur) dalam kata sambutan menilai, "Tulisan Choirul Anam ini adalah yang terlengkap di antara buku-buku yang telah beredar." Anam sendiri menyebutkan, ada sedikit buku yang mau mengulas NU, tapi kadang mengandung salah, bias, atau malah mengecilkan makna dan peran NU: Ensiklopedi Umum (1977) oleh Pringgodigdo (editor), Mencari Ulama Pewaris Nabi (1980) oleh Umar Hasyim, Kemelut NU: Antara Ulama dan Politisi (1982) oleh Haji Abdul Basit Adnan, dan Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1980) oleh Deliar Noer.

Masa lalu dan keraguan Anderson mendapati jawaban menakjubkan sejak era 1990-an dengan publikasi ratusan buku tentang NU. Kajian politik, sufi, keintelektualan, nasionalisme, antropologi, atau sosiologi tentang NU disajikan kepada publik agar mengenali intim progresivitas NU. Muktamar NU XXXII/2010 di Makassar yang baru saja berakhir pantas diramaikan dengan "musyawarah" buku tentang NU.

Buku-buku tentang NU jangan sekadar dijajakan di bazar buku, tapi mesti dijadikan modal untuk mencari terang dan gelap atau pasang surut NU selama ini dan memikirkan NU untuk masa depan. Barangkali tak ada saingan atas produksi buku tentang NU dari organisasi atau institusi lain. Fakta tersebut mencengangkan, tapi menandakan adanya gairah literasi dari kalangan NU dan para pengamat NU.

Buku terbaru tentang NU, NU untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif untuk Muktamar NU Ke-32 (2010) garapan Prof Dr H Ali Maschan Moesa MSi, sengaja terbit untuk ikut menebar opini dan memicu pemikiran mengenai nasib NU. Jejak sejarah NU dan kemungkinan meletakkan diri dalam pembayangan masa depan menjadi perkara substansial. Buku itu juga bakal lekas diikuti buku-buku lain sebagai realisasi perayaan NU sebagai bab penting dalam biografi Indonesia. Suguhan buku mengajak pembaca pada refleksi pemikiran dan kemafhuman tidak sepintas lalu.

Daftar buku tentang NU, kalau dideret, tentu mencapai puluhan meter. Pendataan atau pembuatan katalog NU perlu dilakukan agar pembacaan melalui aksara bisa komprehensif dan memberikan akses kepada siapa saja untuk menekuni ihwal NU. Produksi melimpah itu belum paripurna mengisahkan NU. Siapa saja masih mungkin menulis tentang NU dalam pelbagai perspektif.

Proyek katalog NU menjadi keniscayaan untuk menemukan pola perbandingan dan mozaik NU. Pembacaan dari para Indonesianis Ben Anderson, Greg Barton, Martin van Bruinessen, dan Greg Fealy juga ikut menentukan makna NU dalam perspektif mereka. Antusiasme kalangan Indonesianis itu tentu memberikan kontribusi untuk pembesaran wacana NU di ranah internasional. Peran para penulis dari NU atau pengamat NU dari dalam negeri tentu lebih memiliki arti dan peran strategis karena kesadaran historis dalam geopolitik dan geokultural di Indonesia. (*)

*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok

Soe Hok-gie, Inspirator Kaum Muda

Judul Buku : SOE HOK-GIE…Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xl + 512 Halaman
Harga : Rp. 50.000
Peresensi : A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Meski Soe Hok-gie mangkat di usia muda (27), banyak teladan perjuangannya yang perlu kita warisi. Hok-gie pemuda energik jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Budaya UI) yang kritis atas kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Lama.

Di tengah kecintaannya mendaki gunung, Hok gie meninggal pada 16 Desember 1969 di gunung Semeru Jawa Timur. Mula-mula, ia bersama 7 orang temannya dari Jakarta hendak mencicipi eksotisme Gunung Semeru. Tak ayal, 2 orang (Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis) dari rombongan tersebut meninggal disebabkan hipotermia dan kekurangan oksigen di ketinggian 3.400 meter di puncak Mahameru.

Hok-gie merupakan ikon pelopor pergerakan mahasiswa. Di tahun 60-an, Hok-gie ditengarai kritis terhadap rezim Orde Lama lewat tulisannya. Hok-gie selain demonstran jalanan, ia juga kolomnis di beberapa media. Tulisan dijadikan Hok-gie sebagai senjata kritik terhadap rezim penguasa waktu itu. Suatu ketika, Hok-gie mengirim surat kepada Benedict Anderson, “Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom!.”

Buku ini mengungkap kembali perjuangan-perjuangan Hok-gie yang tampak luar biasa. Di bab-bab awal tulisan yang terangkum di buku ini memaparkan kegemaran Hok-gie mendaki gunung. Kawan-kawan Hok-gie (Rudy Badil, Herman O Lantang, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, dan lain-lain) membuka ingatan kembali mengenang antusiasme Hok-gie pada alam 40 tahun silam.

Kecintaan Hok-gie pada keindahan alam pegunungan bukan tanpa alasan. Hok-gie mendaki gunung sebab ia ingin mendapat ketenangan di tengah carut marut politik dan menguatnya kediktatoran Orde Lama.

Sikap kritis Hok-gie dipraktikkan secara konkret. Ia memisahkan sosok Soekarno sebagai pribadi dan Soekarno sebagai Kepala Negara. Dia tak menyembunyikan rasa simpatinya terhadap Bung Karno yang dikucilkan pasca makzul dari kekuasaannya. Sikap itu, Hok-gie tegaskan dalam berbagai pernyataan atau artikel yang dimuat Kompas, Sinar Harapan, atau Mingguan Mahasiswa Indonesia (hlm. xxvi).

Di bab-bab akhir buku setebal 512 halaman ini membeberkan kekritisan Hok-gie yang menyala-nyala. Hok-gie adalah mahasiswa yang mengusung nilai-nilai idealisme murni. Ia penganut paham humanis universal dalam pergerakannya. Sebagai moralis, Hok-gie tak mau akrab dan mengabdi di bawah kekuasaan Orde Lama. Kendati pun ada kawan-kawan seangkatannya yang memilih jadi anggota DPR, Hok-gie malah membuat jarak dengan mereka.

Selain cinta alam, Hok-gie gemar diskusi. Di kampus, Hok-gie menggawangi diskusi-diskusi kritis tentang politik, sosial, sejarah, dan sastra. Tradisi membaca Hok-gie sangatlah kuat. Al-hasil, ia kerapkali dijuluki oleh teman-temannya sebagai perpustakaan berjalan.

Membaca buku ini menghantarkan pada kompleksitas diri Hok-gie. Hok-gie tak hanya lihai berdemonstrasi, ia juga merayakan pesta dan cintanya. Sungguh Hok-gie inspirator bagi kaum muda.

Amir Hamzah dan Jalan Terjal Menuju Tuhan

Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/

ADA banyak cara menuju Tuhan. Salah satunya seperti yang dilakukan Amir Hamzah melalui sajak-sajaknya. Dalam bait liris Amir berkeluh kesah tentang kerinduannya pada Sang Pencipta. Setelah Amir meninggal dunia, hampir tidak ada penyair Indonesia lain yang begitu bergetar rasa rindunya kepada Zat yang Mahagaib itu.

Amir terlahir sebagai seorang aristokrat Melayu. Ia merupakan anggota keluarga Sultan Langkat, bagian kelas feodal yang saat itu dipandang hormat oleh masyarakat. Semenjak kecil Amir sudah akrab dengan sastra melayu. Konon nama yang ia sandang merupakan bentuk kekaguman sang ayah, Tengku Muhammad Adil terhadap Hikayat Amir Hamzah.

Sejak kecil Amir dibesarkan dalam lingkungan agama Islam yang taat. Selain bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda, ia juga belajar mengaji di Maktab Putih. Setiap sore tiba, Amir dan teman-temannya melangkah ke rumah besar bekas istana Sultan Musa itu untuk belajar kitab suci.

Paduan ajaran Barat dan ilmu agama yang dipelajari membentuk suatu reaksi kegelisahan di kepala Amir. Kegelisahan itu semakin menggebu ketika ia menjejakan kaki ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo.

Rasa rindu itu semakin meluap dan butuh saluran pelampiasan. Maka bak remaja yang tengah jatuh cinta, Amir pun mulai mengungkapkan kerinduannya lewat sajak. Namun bukan lewat sajak yang merayu Tuhan dengan menempatkannya sebagai kekuasaan, melainkan sesuatu yang digandrungi. Jalan yang tidak akan dipilih oleh mereka yang memaknai Tuhan dengan teratur, steril dan tidak gaduh.

Horatius, penulis puisi liris terkemuka di Roma abad ke-7 sebelum Masehi, pernah berseru untuk berani menggunakan pengertian sendiri. Sapere aude!. Baginya kemandirian merupakan pilar utama. Puisi yang hanya mengulang kaji akan mati sebelum sampai. Dan ratusan tahun setelah masa Horatius, Amir tampil sebagai penyair yang tak luruh dengan pengertian masal. Ia muncul sebagai bagian dari modernitas, manusia dari masa tatkala kemandirian dinyatakan sebagai tanda pencerahan.

Tengok saja sajaknya yang satu ini: Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa daku ke tempat yang dikutuk oleh segala kitab suci di dunia, tapi engkau, hatiku, berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain.

Pasti orang jarang menduga jika sajak “tak biasa” itu lahir dari tangan seorang laki-laki berparas alim dengan kopeah yang selalu melekat dikepala. Laki-laki bernama Amir Hamzah. Kegelisahan yang mengalir dalam darahnya memacu untuk terus hendak mengembara. Gairahnya begitu binal, bandel, dan berontak. Tak gamang memasuki tempat terkutuk. Tak sudi mendengarkan segala kitab suci.

Dalam sajak-sajaknya, Amir melukiskan hubungannya dengan Tuhan sebagai “bertukar tangkap dengan lepas”. Sebuah akidah, serumus hukum, paling banter hanya bisa menuntutnya untuk jinak. Tapi bukankah penyair yang paling rapi sekalipun selalu punya saat-saat yang majenun.

“Engkau ganas// Engkau cemburu…// Mangsa aku dalam cakarmu// bertukar tangkap dengan lepas.” Begitulah cara Amir menggambarkan keagungan Tuhan. Penggambaran yang terkadang membuat orang yang tidak mengenalnya menjadi salah tafsir.

Dengan caranya sendiri Amir menggambarkan Tuhan sebagai satu wujud yang keindahan tak terperi, satu kenyataan yang kedalamannya tak terbatasi.Metafora, perumpamaan, teladan, dan dongeng-dongeng, bukan sekadar bumbu, melainkan sebuah jalan menuju Tuhan.

Esei Semelekete: Redesain Peta Kultur Santri Jawa Timur

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

Sejarawan Perancis Dennys Lombard melihat Jawa Timur merupakan sub kultur dengan berbagai jenis entitas lokal yang beragam dan variatif. Peta kulturnya menyiratkan ada beberapa sub kultur, yang masing-masing memiliki historisitas yang panjang. Hanya saja, beberapa ada asumsi, kekinian kultur Jawa Timur sebagian besar didominasi oleh kultur santri. Namun, seiring perubahan sosial, budaya dan dinamika dunia, dimungkinkan adanya pergeseran pada anggapan-anggapan yang selama ini sudah terdefiniskan dan mapan.

Memang kajian Lombard memang memiliki corak sejarah yang khas. Pemotretannya pada kultur Jawa Timur secara historis, memang bisa dijadikan acuan untuk mereflkeksikan kekinian dalam wujudnya yang paling mungkin, dengan penelusuran anasir-anasir lokalitas, sebagai sebuah proyek politik identitas. Hal itu karena apa yang telah digagas oleh Clifford Geertz puluhan tahun tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java memang harus dibaca ulang dan dikaji lebih jauh secara komprehensif, terutama pada trikotomi: santri, priyayi dan abangan.

Geertz bukannya tak memberi sumbangan pada penelitian antropologi Jawa, khususnya Jawa Timur, karena sampel dan lokasi penelitiannya adalah Mojokuto (Pare) Kediri. Jika beberapa pihak berusaha membongkar trikotomi Geertz, hal itu sebuah kemutlakan, karena kedinamisan masyarakat memang memberi ruang untuk selalu berubah. Di sisi lain, ada ketidaktepatan kategori dari ‘agama Jawa’, tetapi trikotomi itu masih sering digunakan, untuk memilah masyarakat Jawa, baik dari segi kultur dengan segala aspek yang terkait dengannya. Tercatat Koentjaraningrat, Harysa W Bachtiar, Kuntowujoyo, Emha Ainun Najib dan berbagai antropog sudah memberi catatan kritis pada hasil penelitian itu, sehingga tak perlu dikomentari lagi.

Tetapi Lombard dengan menggunakan pendekatan sejarah memang memiliki nuansa yang memungkinkan bisa dirunut kekiniannya, karena memiliki dimensi waktu dan runtutan perkembangan yang bersifat spasial. Ia melihat beberapa kultur itu dalam kapasitas geografisnya, serta fase sejarah yang melatarbelakanginya. Dari sini, muncul proyeksi yang mengarah pada kultur keislaman yang meliputi wilayah Jawa Timur, dengan menunjuk pada renik-renik hasil persilangan budaya. Kultur itu biasa diacu sebagai kultur santri, dalam kajian-kajian kawasan dan lokalitas.

Apalagi, jika asumsi umum yang sudah dikenal menganggap, Jawa Timur sering diasumsikan sebagai masyarakat yang memiliki basis santri yang cukup signifikan. Hal ini pun menjadi acuan dalam aspek pragmatis, seperti pemilu dan lain-lainnya. Tetapi dalam hal ini, memang tidak menyentuh masalah organisasi kemasyarakatan, baik Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis maupun lainnya. Tetapi berpulang pada pengertian pada masyarakat santri itu sendiri yang memang memiliki kecenderungan kultur yang berwarna Islami, dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam itu dalam kehidupan bermasyarakat dengan corak kultur yang khas.

Hanya saja, dinamika yang ada pun memberikan semacam sinyalemen ada perubahan persepsi dalam masyarakat santri ini, karena ternyata, ada pola pikir yang telah berubah yang diasumsikan tidak hanya karena pengaruh pendidikan, tetapi pada mobilitas masyarakat santri sendiri yang cukup tinggi. Ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan, pola pikir dan perilaku, serta gerakan masyarakat santri, serta adanya ketidaktunggalan suara dalam memberikan aspirasi yang bersifat politik, seperti yang tercermin dalam pilpres, pilkada dan hajat politik, meskipun untuk ini diperlukan penelitian yang kondusif lagi.

Kultur Santri Baru
Selama ini, penamaan masyarakat santri memamg lekat pada NU. Jika berbicara tentang NU, maka yang ada dalam benak adalah masyarakat sarungan dan terkesan kampungan. Tetapi streotipe itu ditengarai sudah lama berubah, dan hal ini pun sering dibahas oleh beberapa pemerhati masalah NU. Di antaranya menengaskan adanya perubahan itu dimungkinkan karena peran Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan gerakan sadar diri dari massa muda NU yang ingin berubah dari stereotipe lama.

Hanya saja, ada sebuah gerakan kultur menarik di kalangan masyarakat santri, terutama dalam masyarakat urban. Sayangnya, kondisi ini kurang mendapat respon yang memadai terkait dengan adanya sebuah fenomena mutakhir terkait dengan mobilisasi santri urban di Jawa Timur. Sebenarnya fenomena ini hampir serentak terjadi di beberapa kawasan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yakni kemunculan gerakan intelektual dari generasi muda yang berlatar belakang kultur santri.

Di Surabaya, komunitas santri urban sangat mungkin sekali, karena santri-santri yang berasal dari daerah lain, katakanlah desa, melakukan hijrah ke Surabaya dan berpola pikir berbeda pada saat berada di daerah asalnya. Apalagi, Surabaya sebagai sentra pedagangan, pendidikan, perekonomian dan pemerintahgan terbesar di Indonsia Timur, dan pusat pemerintahan Jawa Timur. Hal yang sama juga sebenarnya bisa terjadi di beberapa kota lainnya, seperti Malang dan Jember. Tetapi, posisi mereka lebih bertaruh pada gerakan intelektual dengan basis kampus, serta pada lembaga swadaya masyarakat.

Dalam kategori ini, stereotype yang berlaku bukan lagi pada terminologi santri pedalaman dan pesisir yang bercorak antrologois dan etnografis, tetapi lebih condong pada wilayah sosiologis, meskipun pada dataran tertentu juga melibatkan anasir yang terkait dengan kesadaran potensi diri dan tradisi.

Adapun, potensi yang ada pada santri urban memang berbeda dan bercorak liberal. Ada pergeseran yang cukup siginifikan untuk melihat dan berlaku dalam keseharian dan saat berhadapan masyrakat. Identitas yang melekat pada santri ini memang terletak pada tingkat pendidikan, serta pemahaman baru pada cara beragama. Dalam hal ini sudah dibuktikan dengan adanya pergeseran pemikiran yang cukup signifikan, dengan mengawinkan hasil pendidikan Islam, Barat dan konteks kekinian, sehingga ada ahli keislaman yang menyebut mereka sebagai Islam progresif. Istilah ini sepenuhnya tidak menunjuk pada aksi yang mengarah pada politik Islam atau Islam politik, tetapi pada wilayah kesadaran untuk menafsirkan Islam secara kekinian.

Di sisi yang berbeda, sebuah terminologi Kuntowijoyo terasa cukup tepat memberikan pemilahan pada pola santri urban, dengan memberikan titik tekan pada kemunculan konsep ‘religius sekuler’. Artinya golongan ini memiliki kadar keagamaan kuat, tetapi memiliki pemikiran sekuler. Meski terminologi Kuntowijoyo itu bersifat politis, karena untuk melihat komposisi calon presiden pada pilpres 2004 lalu, tetapi untuk menggambarkan eksistensi dan gerak santri urban bisa dijadikan acuan.

Kekhasan lainnya dari perubahan pola kultur masyarakat mutakhir adalah tumbuhnya budaya keberagaman di kota besar, metropolis, yang lekat dengan perkembangan iptek dan teknologi. Dapat dilihat pada aktivitas jamaah dzikir dan pengajian yang bermunculan, serta adanya upata untuk memberikan nilai lebih pada agama, dengan penghayatannya, yang dalam kultur kota memang terabaikan karena rutinitas kerja dan menyempitnya ruang. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi Surabaya juga. Dengan kata lain, masyarakat menengah kota teah menjadi sebuah komunitas yang ‘tersantrikan’ dengan kegiatan-kegiatan religius.

Kecenderuingan ini bisa dibaca tidak saja di kota-kota besar di Indonesia saja. Dalam skala global, gejala ini pun menemukan bentuk konkritnya, bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi perbincangan yang marak, terutama sering dengan perkembangan iptek dan teknologi dan kecenderungan era ‘demokratis’, serta posmo. Gerakan-gerakan yang mengarah pada ‘penghayatan’ dan pendalaman agama semakin marak, meski di sisi lain fundamentalisme ekstrim juga bermunculan.

Berawal dari pola pikir demikianlah, maka munculnya komunitas santri baru yang selama ini lekat dan berdekatan dengan tranformasi kultur baru dan visi baru, terutama yang mukim di perkotaan. Masyarakat ini pun punya pilihan politik yang berbeda dari arus besar masyarakat santri secara umum. Dalam kasus Jawa Timur, munculnya masyarakat santri baru, juga memiliki potensi yang tidak kalah menariknya bila dibandingkan dengan santri pedalaman, pesisir dan urban sekalipun. Bagaimanapun pergeseran itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita meresponnya dan mengantisipasinya dengan tepat. Sebab percepatan perkembangan dunia dipicu perkembangan ilmu dan teknologi dan dunia tak lagi disekat- batas-batas geografis. Di sisi lain, juga muncul gerakan politik dan kultur yang berbasis agama kuat yang memiliki potensi kuat untuk berkembang. Nah!

Masalah Naskah Teater di Jawa Timur

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Jawa Timur, mengalami kelangkaan naskah teater. Sejak periode tahun 1970-an, periode Akhudiat, penerbitan naskah teater baru terjadi satu kali. Pada tahun 2001 lalu Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) menerbitkan Tiga Kitab Lakon dari Jawa Timur, yang hanya memuat tiga naskah antara lain, Jaka Tarub (Akhudiat), Sang Tokoh (Anas Yusuf), dan Kuman (Meimura). Namun penerbitan ini juga tidak mampu menjawab kelangkaan naskah di Jawa Timur.

Kelangkaan naskah teater bisa jadi disebabkan oleh kesalah pahaman, bahwa naskah teater semata-mata urusan sastra an sich. Begitu juga sebaliknya, sastrawan juga menganggap naskah teater semata-mata hanya urusan teater an sich. Karena itu jarang sekali para sastrawan kita menulis naskah teater. Apalagi sang teatrawan.

Selain itu tidak banyak pemimpin teater, sutradara teater di Jawa Timur, tidak memiliki latar belakang (menulis) sastra. Sementara kita tahu Akhudiat, adalah seorang sastrawan, Anas Yusuf seorang penyair nasional dari Madiun.

Hal ini memang tidak bisa dipermasalahkan. Karena kenyataannya, bila dibandingkan dengan produksi prosa, karya naskah teater yang bisa digolongkan dalam prosa ini, sangat minim. Boen Sri Omariati (1971) mengatakan bahwa sastra di Indonesia hanya baru menghasilkan penyair, novelis dan cerpenis. Sementara penulis naskah teater belum ada. Secara kuantitatif, dalam buku ‘Horison Sastra Indonesia’ (2001) terbitan majalah Horison, mencatat 110 orang penyair, 82 novelis, 71 cerpenis dan hanya 27 orang saja dramawan.

Ini artinya secara jumlah, penulis naskah teater sangat tertinggal jauh dengan penulis sastra lainnya. Tentu memang, persoalannya bukan hanya pada jumlah, namun minat untuk menulis naskah teater di kalangan para pengiat teater sendiri sangat rendah.

Tidak banyaknya penulis yang menekuni naskah drama, agaknya juga disebabkan oleh belum lakunya naskah teater di pasar perbukuan. Lemahnya bangunan pasar ini menyebabkan banyak sastrawan dan teatrawan malas menerbitkan naskah-naskah teaternya.

Faktor lain yang menjadi penyebab adalah belum tingginya frekuensi pementasan grup-grup teater. Hal ini masih ditambah dengan belum mentradisinya masyarakat untuk membaca naskah lakon sebagaimana membaca karya berbentuk prosa lainnya.

Menurut Jakob Sumardjo (1992), kuatnya tradisi teater tradisional Indonesia yang tidak mengenal naskah drama menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya drama sebagai teks (sastra), kecuali sebatas pertunjukan semata. Akibatnya, minat masyarakat untuk membaca naskah drama sangatlah kurang sehingga penerbit harus berpikir untuk mencetak naskah teater.

Situasai yang seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi bila disadari keterkaitan antara sastra dan teater. Bahwa antara sastra dan teater disatukan dalam kerangka yang lebih luas yaitu drama. Dalam konteks ini, drama juga memiliki pengertian sebagai teater atau performance, dan drama juga terkandung pengertian karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater. Bukankah, ada pula drama yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi panggung?.

Situasi krisis naskah, pada zaman keemasan teater tahun 1970-an, justru menjadi pendorong munculnya naskah-naskah lakon yang ditulis oleh para sutradara/pimpinan teater. Pada periode ini, produksi teater sama dengan memproduksi naskah-naskah yang ditulis oleh sang sutradara yang juga bertidak sebagai pimpinan teater.

Kita mengenal para penulis seperti Rendra (Bengkel Teater), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Arifin C.Noer (Teater Kecil), Ikranagara (Teater Saja), Nano Riantiarno (Teater Koma), Heru Kesawamurti (Teater Gandrik), Bambang Widoyo Sp (Teater Gapit).

Di Jawa Timur (sekedar menyebut nama) kita mengenal, Basuki Rachmat, Akhudiat, Lutfi Rachman, Anang Hanani, Monor Koeswandono, Harjono WS, Emil Sanosa, dll.

Namun periode tradisi penulisan naskah di Jawa Timur tidak berlangsung lama. Atau tidak mentradisi sampai sekarang. Karena, setelah periode itu, teater di Jawa Timur lebih banyak didominasi oleh teater yang ‘anti naskah’ atau ‘anti sastra’.

Kalaupun ada naskah hanya menjadi kerangka pertunjukan saja. Hal ini bisa kita lihat pada naskah-naskah karya Brewok AS (Sanggar Suroboyo), Meimura (Teater Ragil), Julfikar M Yunus (Teater Jaguar), Dody Yan Masfa (Teater Tobong). Naskah teater mereka, sekaligus untuk menegaskan konsep teaternya yang anti plot, anti alur, bahkan anti tokoh. Maka dalam pertunjukannya kita hanya melihat rangkaian situasi.

Pilihan penulisan naskah seperti ini memang cukup beralasan. Hal ini terkait dengan konsep teater mereka yang lebih mengedepankan narasi dan daya ungkap artistik tubuh, daripada mengatur plot, alur, dan perwatakan yang terstruktur sesuai dengan dramaturgi. Fenomena tubuh dalam dunia teater di Jawa Timur sudah menggejala sejak tahun 1990-an. Teater telah mengubah teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca, menjadi teks yang dinyatakan. Teater mengubah pembaca, menjadi penonton, perubahan ini sangat radikal. Di Surabaya, Teater Api Indonesia (Bambang Ginting, alm) menjadi pintu masuk aliran teater tubuh, yang sebelumnya banyak dikenalkan oleh Teater SAE (Jakarta) dengan tokohnya Afrizal Malna dan Budi S Otong.

Gejala ini terus berlanjut hingga kini. Seiring dengan konsep teater tubuh, kesadaran menulis naskah teater merupakan bagian kegiatan bersastra kurang banyak dilakukan. Bahkan penerbitanpun, hingga kini sangat minim sekali atau boleh dikatakan tidak ada. Banyak kelompok teater yang cenderung menggarap naskah-naskah babon (milik penulis ternama), yang sudah terlalu sering dipentaskan, bahkan tidak kontekstual sekali dengan kondisi saat ini.

Sejak puluhan tahun lalu, akting teater kita lebih banyak memerankan manusia Barat. Kita tidak pernah menyadari, bahwa hal itu karena langkanya naskah. Indonesia memiliki sekitar 400 naskah teater yang sebagian adalah naskah saduran dari Barat. Sementara naskah asing yang telah diterjemahkan dan sebagian besar sangat populer berjumlah sekitar 154 naskah teater dari pengarang-pengarang terkenal. Naskah-naskah ini sampai kini masih menjadi referensi para penggiat teater.

Hematnya, langkah awal untuk membangun kembali gairah pertumbuhan naskah teater di Jawa Timur, menurut saya dengan memunculkan kembali naskah-naskah teater baru yang memiliki élan vital Jawa Timur-an. Dan upaya mewujudkan itu bisa melalui ajang lomba penulisan naskah teater atau juga lewat pendokumentasian naskah-naskah dari seniman teater di Jawa Timur. Namun semua itu tidak akan berarti kalau para penggiat teater tidak segera menyadari persoalan ini. ***

*) Penulis adalah Ketua Komite Teater DKJT

Ekstasi Puisi

Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/

Di saat sedang membaca puisi, terutama kalau puisi yang sedang saya baca itu mampu menimbulkan apa yang oleh si pemikir Junani Kuno Aristoteles disebut sebagai “katharsis”, yaitu semacam rasa nikmat ekstasi-tekstual, atau tekstasi, saya selalu dikonfrontasi oleh sebuah pertanyaan: Kenapa bisa timbul tekstasi tersebut? Apa yang menyebabkannya?

Tapi perlu buru-buru saya tambahkan bahwa “rasa nikmat ekstasi-tekstual” atau “tekstasi” itu tidak terjadi karena saya kebetulan membaca puisi seorang penyair yang sudah terkenal. Maksud saya, terkenal-tidaknya “nama” seorang penyair, bagi saya, tidak otomatis menimbulkan katarsis dalam peristiwa pembacaan yang saya lakukan. Reputasi biografis seorang penyair terkenal paling-paling cuma menambah rasa suspense, atau harapan-untuk-kejutan, yang lebih besar saja bagi kemungkinan terjadinya sebuah katarsis. Bahkan tidak jarang banyak sajak para penyair terkenal ternyata hanya mampu untuk tidak menimbulkan respons apa-apa pada diri saya, kecuali rasa mual tekstual, setelah membacanya, sehingga membuat saya heran kok sajak beginian bisa keluar dari imajinasi seorang yang terkenal. Malah sangat sering membuat saya menggerutu, apa sebenarnya yang membuat si penyair bisa terkenal. Sebaliknya, tidak jarang ada sajak penyair keroco, penyair sekedar, bahkan penyair pemula yang justru membuat saya terangsang secara tekstual, dan menimbulkan katarsis tadi. Jadi, belajar dari pengalaman, ternyata dalam dunia kepenyairan, dalam dunia kang-ouw puisi, nama bukanlah merek yang bisa menjamin atau menentukan mutu, seperti di dunia kapitalisme konsumer. Kembali ke pertanyaan di awal esei saya ini, lantas apa yang menyebabkan sebuah puisi bisa menimbulkan katarsis setelah membacanya?

Jawaban akademis yang biasanya diberikan adalah apa yang dalam teori sastra disebut sebagai faktor “kesastraan” (literariness) sebuah teks puisi. Faktor kesastraan sebuah teks puisi tak lebih tak kurang adalah unsur-unsur linguistik yang diyakini merupakan elemen-elemen paling penting dalam anatomi teks, yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga kadar sering munculnya kata-kata kunci atau imaji-imaji tertentu. Inilah yang disebut sebagai “alat artistik” (bahasa) puisi itu yang fungsinya bukan sebagai hiasan-tambahan bagi makna puisi, tapi justru menyebabkan perombakan total bahasa di tingkat semantik, bunyi dan sintaksisnya. Singkatnya, faktor kesastraan inilah yang membuat bahasa teks puisi dianggap unik, berbeda, dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Atau dalam kata lain, inilah bedanya bahasa puitis dari bahasa prosais itu.

Bagi saya sendiri, kesastraan bahasa puisi seperti yang diungkapkan kaum Formalis Rusia di atas masih belum cukup untuk membuat sebuah puisi berhasil menjadi puisi, mampu menciptakan katarsis. Ada faktor lain di luar faktor linguistik (pola persajakan/versifikasi, misalnya) yang juga memiliki fungsi artistik yang tidak kalah pentingnya dalam membuat “sebuah sajak menjadi” (dalam istilah Chairil Anwar). Faktor lain ini adalah apa yang oleh kaum Kritik Baru Amerika disebut sebagai “relasi timbal-balik yang kompleks antara aspek-aspek ironi, paradoks, dan metafor dari makna bahasa sebuah puisi, serta pengorganisasian ketiganya di sekitar sebuah ‘tema’ kemanusiaan yang penting”. Kombinasi dari kedua pandangan inilah, bagi saya, yang menjadi hakekat “kesastraan” sebuah puisi, yang memungkinkannya untuk menimbulkan ekstasi-tekstual pada pembacanya. Paling tidak, di sisi lain, kedua definisi “kesastraan” puisi ini mesti disadari seseorang yang ingin melakukan sebuah close-reading atas puisi, sebuah pembacaan yang mendetil dan jelas atas kompleksitas antar-relasi dan ambiguitas dari unsur-unsur yang membangun sebuah karya.

Kombinasi kedua pandangan di atas biasanya akan kita temukan dalam sajak yang menjadi. Dan sajak yang menjadi ini biasanya adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki sebuah topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian, matahari dan bulan, atau ketuhanan, yaitu pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman, mengutip Chairil lagi, dan tidak sekedar berindah-indah dengan permainan kata atau dengan musikalitas kesamaan bunyi kata. Bagi selera saya sendiri, semua sajak Chairil dan sajak-sajak Rendra dalam kumpulan Blues untuk Bonnie adalah sajak-sajak bercerita yang menjadi.

Kematangan penguasaan bahasa (dalam phrasing diksi dan irama metrikalnya) dan intensitas penghayatan pengalaman hidup merupakan dua hal yang tak dapat ditawar-tawar bagi seseorang yang ingin menjadi seorang penyair yang menjadi. Kemampuan teknis yang matang untuk menceritakan pengalaman hidup yang dengan intens dihayati adalah ciri utama puisi Chairil dan puisi Rendra di atas. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai imajinasi itu. Satu saja dari kedua persyaratan utama untuk menjadi penyair yang menjadi ini tidak dimiliki, maka apa yang kita hadapi bukanlah sebuah imajinasi tapi khayalan kosong belaka. Dan penyair yang bisanya hanya berkhayal belaka bukanlah seorang penyair yang menjadi, tapi cuma seseorang yang menjadi penyair sekedar, malah mungkin, tanpa disadarinya sendiri, cuma seseorang yang menjadi penyair gagal.

Karena, seperti yang diyakini Chairil sendiri:

“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.

Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya. Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).”

Kalau kita perhatikan pernyataan kredo puisi Chairil yang sengaja saya kutip dengan panjang itu maka terlihatlah betapa bagi Chairil penghayatan kehidupan yang intens (alam dan penghidupan sekeliling, hasil-hasil seni lain, pikiran-pikiran orang lain) merupakan unsur utama sajak yang menjadi itu. Begitu juga dengan kematangan teknik, yang dengan khas disebut Chairil sebagai “tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran”. Hidupnya istilah-istilah yang dipakai Chairil dalam kutipan di atas, tidak bisa tidak, menunjukkan betapa bagi dirinya sebuah sajak yang menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah segalanya. Itulah sebabnya bagi dia sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia itu menjadi kepunyaan penyair itu sendiri. Dan memang intensitas penghayatan kehidupan dan kematangan berbahasalah yang kita alami setiap kali kita membaca puisi Chairil. Pengalaman pembacaan macam inilah yang menimbulkan katarsis, tekstasi, atau rasa yang indah serta mengharukan itu.

Dari Masa Roro Mendut hingga Masa Kontemporer

Tembakau sebagai Penawar Ketidakadilan

S. Jai*
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

DOKUMENTARI dengan penekanan sudut pandang humanis (feature) seringkali dianggap sebagai kegagalan film dokumenter. Lalu mengapa saya justru tergelitik menawarkan feature? Salah satunya saya berhasrat menggarap estetika yang tak sepenuhnya feature tetapi juga tanpa meninggalkan esensi dokumenternya yaitu fakta, data, tulisan, artefak demi mempertahankan objektivitas pesan. Film Pita Buta berkisah tentang semangat narator menyelidik alur cukai rokok di Kediri. Alur film dokumentari ini mengetengahkan tiga muatan, pertama ketimpangan antara peraturan pemanfaatan dana bagi hasil cukai dengan gagasan dikenakannya cukai terhadap suatu hasil produksi; kedua mengenai misteri pemanfaatan dana bagi hasil cukai; ketiga ditemukannya pita cukai palsu di pasaran.

Pesan utama yang berusaha disampaikan melalui film dokumenter ini adalah persoalan tembakau tidak sebatas kebiasaan, tetapi melibatkan modal dan kekuasaan yang hampir tanpa batas dan menembus ruang dan waktu. Di masa lampau, Roro Mendut menggunakan rokok untuk menyelamatkan dirinya dari hasrat sexual Tumenggung Wiraguna. Dengan berjualan rokok yang dibumbui dengan olahan sexual, Roro Mendut berhasil meraup dana besar untuk disetorkan kepada sang Tumenggung sebagai ganti dirinya.

Dengan entry point permasalahan cukai, dokumentari ini mengedepankan kekuatan penyatuan (inhern) antara gambar, prespektif, dan petualangan menggali materi tanpa harus terjebak pada feature, subjektivitas, profil atau kampanye kepentingan tertentu. Demi mempertahankan keaslian dan menghindari kekakuan semua nara sumber, wawancara pun dilakukan dengan bahasa lokal, dengan harapan keramahan teknis investigasi ini tidak sampai memaksa para nara sumber merubah mindsetnya secara drastis ketika berhadapan dengan kamera. Kalau muncul kesan hadirnya tokoh dalam dokumentari ini, hanyalah sebatas kesan—sesungguhnya penokohan hanya terbatas pada teknik untuk mengikat alur.

Dorongan naluri kebebasan dan martabat Roro Mendut

SETIAP hendak memasuki Kediri dari arah Surabaya, seperti malam itu, saya selalu disambut dengan aroma khas tembakau dan cengkeh dari dalam pabrik rokok PT Gudang Garam. Apalagi, malam itu hujan gerimis, tentu makin membuat pekat menusuk ketika memasuki kurang lebih tiga kilometer dari gerbang salah sebuah bangunan pabrik di kawasan Semampir dan Gampeng Rejo Kediri.

Aroma yang amat mengganggu setidaknya bagi mereka yang memiliki penciuman peka barangkali ragu, berbahaya atau tidakkah aroma tersebut. Untuk sementara, mengganggu adalah kosa kata yang tepat untuk kondisi ini. Meskipun dalam catatan sejarah metode penggunaan tembakau, dulu sebelum lahir dalam bentuk sigaret pemakaian tembakau dikenal dengan cara menghirup daun kering tembakau. Tehnik tempo dulu yang setidaknya sebanding dengan kebiasaan nginang yang masih dilakukan oleh kalangan uzur pedesaan. Seperti yang sudah-sudah, ketika memasuki gerbang kota Kediri, imajinasi saya bergerak liar berterbangan. Tak terkecuali dengan asumsi saya menyangkut geliat kota, penduduk Kediri, pemerintah, industri rokok yang bukan kebetulan salah satu yang terbesar di negeri ini. Harus diakui memang mengasyikan membuai diri dengan setumpuk obsesi, asumsi dan tentu saja tanggung jawab di punggung terkait industri rokok, distribusi cukai, buruh pabrik, sikap birokrat pemerintah. Itu semua perlu kesabaran dan proses yang melelahkan untuk mengurainya.

Rokok dalam catatan sejarah, akan menggiring ingatan kita pada Roro Mendut. Ia memang bukan perempuan Kediri, tapi sosok itu seperti hidup melampaui ruang dan waktu. Juga di sini! Kisah Roro Mendut menjadi sangat mistis, makamnya pun ramai jadi tempat wisata religi– istilah baru yang sangat euphemistic yang diciptakan untuk melegitimasi kehausan mistis masyarakat kita, di tengah-tengah masyarakat agamis. Tidaklah mengheran bila makam Roro Mendut lebih sering dikunjungi oleh para pedagang rokok, upaya mistis demi memuluskan dagang rokok.

Syahdan, Sultan Agung Mataram hendak menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang masih berserak di pulau Jawa, maka ia pun mengutus Tumenggung Wiroguno untuk menaklukkan Pati dengan cara damai—salah satunya dengan meminta Pati mengirim kembang-kembang desa ke Mataram, diantaranya Roro Mendut. Mendut yang terlebih dulu telah merajut cinta dengan Pronocitro, dibuntuti oleh Pronocitra hijrah ke Mataram. Kisah klasik cinta segitiga antara Roro Mendut, Pronocitro, dan Tumenggung Wiroguno pun tak terhindarkan. Tumenggung Wiroguno yang terbuai dengan kecantikan Roro Mendut menerima kenyatakan pahit. Ia pun lalu menciptakan kondisi yang menyulitkan Roro Mendut secara ekonomi dengan menimpakan setoran ringgit yang tinggi kepada Wiroguno jika Roro Mendut menolak Wiroguno. Pantang tunduk dengan birahi Wiroguno, Roro Mendut memilih menyetor ringgit daripada menyetor tubuh ke Wiroguno. Munculah kemudian usaha rokok termasyur dalam catatan sejarah oleh Roro Mendut. Mungkin mustahil untuk memisahkan antara apakah para pelangganya yang semuanya lelaki tersihir dengan kecantikan Roro Mendut atau tersihir karena jilatan lidah Roro Mendut disetiap batang rokok yang dijualnya.

Roro Mendut adalah fakta sejarah yang menegaskan bahwa rokok adalah produksi tanpa modal, hanya membutuhkan image dan sugesti akan mengemukkan pundi-pundi bagi siapa pun yang memproduksinya. Akan tetapi karena besarnya kebutuhan mempertahankan atau menciptakan image tertentu yang selalu semu, produksi rokok selalu memerlukan penguasa untuk melindungi imaji tersebut. Begitu pula yang terjadi saat ini, melalui iklan dan sikap apriori pemerintah, image yang mengada-ada tetap menjadi kekuatan utama produksi rokok.

Rokok adalah produksi yang sama sekali tidak membawa sisi manfaat bagi rakyat, tetapi mendatangkan keuntungan yang tiada tara justru bagi mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam proses produksinya, diantaranya penguasa (pemerintah), pemilik. Sementara mereka yang terlibat secara langsung mulai dari petani tembakau dan buruh pabrik rokok hanya menerima ampasnya. Dengan segala peraturan dan retorikanya, penguasa seringkali bertingkah sebagai hansip bagi image rokok atau pabrik rokok. Kisah Roro Mendut adalah bukti sejarah bahwa kekuatan kapital tembakau yang dari masa ke masa selalu digunakan membeli kebebasan maupun penawar ketidakadilan.

Cukai sebagai penawar ketidakadilan

PENGGUNAAN cukai dikenakan pada setiap barang produksi yang menimbulkan dampak buruk pada masyarakat pengguna atau pembeli. Cukai dimaksudkan untuk membiaya upaya mengontrol dampak negatif tersebut. Logikanya, cukai rokok seharusnya digunakan untuk pendidikan penyadaran agar masyarakat tidak merokok, atau setidaknya pendidikan mengenal dampak rokok. Tetapi seperti peraturan dan logika hukum yang lain, selalu tersumbat diranah aplikasi.

Apabila kita renungkan akan seberapa besar kekuatan pabrik rokok dan daya tawarnya kepada penguasa negeri ini, coba kita simak, Dana Bagi Hasil Cukai Kediri saja, pada tahun 2009 senilai 41 miliar (sebelumnya 9,5 miliar). Penggunaannya tentu akan menyibukan aparat karena penggunaan dana ini yang sangat spesifik seperti ditegaskan dalam Peraturan Menteri. Di luar dana kampanye, baik partai politik tingkat lokal maupun nasional maupun berbagai sumbangan sosial yang wajib lainnya, pabrik rokok juga menjadi sapi perahan pemerintah dengan berbagai alasan. Kewajiban di luar pajak bagi pabrik rokok besar seperti Gudang Garam termasuk memberikan THR kepada PNS yang jumlahnya mencapai 6800 PNS maupun anggota Dewan, yang beberapa waktu lalu ditolak oleh PT Gudang Garam. Setoran tidak wajib PT. GG ke Istana pun juga tidak ditutup-tutupi, misalnya saja, tahun 2005 lalu, PT. Gudang Garam diakui secara terbuka oleh Ketua BPK Anwar Nasution bahwa PT. Gudang Garam menyumbangkan sejumlah mobil untuk acara Konferensi Asia Afrika.

Yang tak kalah penting adalah keberadaan cukai palsu di pasaran. Banyak perusahaan rokok kecil menyisipkan pita cukai palsu karena selain status pabrik yang tidak memiliki ijin, cukai palsu lebih terjangkau bagi banyak pabrik rokok rumahan. Demi mendapatkan label cukai palsu tersebut, beberapa pabrik rokok rumahan mendapatkannya dari pihak tertentu yang melibatkan aparat keamanan. Yang lebih unik lagi, pabrik rokok kecil memiliki kebiasaan menarik kembali pita cukai dari pembeli dengan imbalan. Setiap sepuluh pita cukai yang utuh dari bekas rokok mereka, bisa ditukar dengan sebungkus rokok. Label cukai ini kemudian ditempelkan kembali untuk dilempar kembali ke pasar.

Seringkali para pemilik pabrik rokok maupun pemerintah berdalih akan jasa besar pabrik rokok dalam menyediakan lapangan kerja. Bahkan, seringkali mereka memberikan kesan bekerja sebagai pabrik rokok seolah mendapat perlakukan lebih manusiawi daripada pekerja pabrik lainnya. Tentu saja, ini bukan image dan informasi yang keliru, tetapi adalah kebohongan dan pembodohan. Perlakuan, upah, dan beban kerja pekerja pabrik rokok tidak berbeda dengan buruh pabrik lainnya, beban kerja mereka tidak sebanding dengan upah yang diterima. Setiap harinya, para pekerja harus melinting seribu hingga dua ribu lima ratus untuk mendapat hak upah antara Rp.18,000-Rp. 45,000. Jumlah lintingan ini tidak termasuk hasil lintingan yang menurut pengawas di bawah standar pabrik yang tentu saja tidak bisa dihitung. Bukan ini saja, ancaman dan tekanan termasuk keresahan akibat kebijakan pemerintah terkait dengan upaya pemerintah mengontrol produksi rokok juga ditimpakan kepada pekerja.

Birokrat, produk perundangan, sistem kekuasaan-politik, dan kemiskinan bergengaman dalam mengambil peran membentuk lingkaran untuk saling menopang, memanfaatkan, dan menghisap. Melenyapkan lingkaran setan ini adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk diraih. Namun tidak terlambat bila kita mulai dari sini, mencerahkan diri kita sendiri, keluarga, saudara, teman dan orang-orang yang kita cintai untuk membangun kekuatan menolak dihisap oleh mereka yang lebih kuat dari kita.

*) Penulis adalah ketua Divisi Budaya CeRCS yang juga kreator dokumentari Pita Buta.

Merayakan Semiotik dan Menafsirkan Budaya

Bandung Mawardi
http://www.suarapembaruan.com/
Judul: Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya
Penulis: Benny Hoedoro Hoed
Penerbit: Komunitas Bambu dan FIB UI
Terbit: 2008
Tebal: xv+172 halaman

Benny Hoedoro Hoed adalah sosok penting dalam dunia intelektual Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan suatu penerbitan buku Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya (2001) menghimpun 25 tulisan dari sekian penulis dengan pelbagai disiplin ilmu sebagai persembahan kepada Benny Hoedoro Hoed ketika pensiun dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Abdullah Dahana dalam kata pengantar buku itu mengingatkan suatu pameo old scholar never dies. Pameo itu dimaksudkan agar Benny Hoedoro Hoed yang memasuki masa pensiun tidak mengartikannya sebagai akhir untuk pengabdian dalam dunia intelektual di Indonesia.

Pameo itu dibuktikan oleh Benny Hoedoro Hoed dengan penerbitan buku Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Buku ini membuktikan intensitasnya untuk membaca dan menulis mengenai semiotik dalam perspektif teoretis dan terapan. Semiotik bagi Benny menjadi suatu pendekatan dalam menganalisis pelbagai persoalan dan fakta-fakta perubahan sosial dan kebudayaan. Kehadiran buku ini membuktikan bahwa semiotik sampai hari belum kehilangan aura karena sekian orang masih mengakui relevansinya dalam pelbagai studi sosial, sastra, politik, dan lain-lain. Sekian intelektual Indonesia masih intens untuk melakukan kajian mengenai semiotik: Faruk HT, Kris Budiman, Tommy Christomy, Yasraf Amir Piliang, Manneke Budiman, Benny Hoedoro Hoed, dan lain-lain.

Benny menulis pembukaan dengan pendefinisian semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir dalam kehidupan ini bisa dilihat sebagai tanda dan menjadi sesuatu yang harus diberi makna.

Definisi itu mulai dicarikan acuan pada pemikiran Ferdinand de Saussure (1916) yang melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dan makna. Penjelasan lanjutan atas pemikiran itu dilakukan oleh Roland Barthes yang melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia.

Sosok lain yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Pierce (1931-1958) yang melihat tanda sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu. Penjelasan lanjutan dari pemikiran Charles Sanders Pierce itu dilakukan oleh Danesi dan Perron yang menyebutkan bahwa manusia sebagai homo culturalis. Definisi dari sebutan itu adalah manusia sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya (meaning-seeking creature).

Definisi-definisi itu menjadi basis dalam pembahasan semiotik oleh Benny tanpa harus lekas membuat vonis bahwa semiotik itu ilmu atau bukan ilmu. Penundaan dan penghindaran vonis itu dilakukan dengan membahas perbandingan pemikiran semiotik dari Roland Barthes dan Jacques Derrida. Dua tokoh ini merupakan keturunan strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan pemaknaan yang dinamis. Pemaknaan yang dikembangkan Barthes dan Derrida memiliki arah dan konsentrasi berbeda. Barthes cenderung mengembangkan semiotik sebagai teori dan proses konotasi yang dimiliki masyarakat budaya tertentu. Derrida justru mengembangkan semiotik dalam ranah teks bahwa tanda yang terabadikan dalam tulisan terbebas dari kungkungan manusia.

Pemikiran-pemikiran

Selanjutnya, dia memberi penjelasan mengenai dasar teori dan perkembangan strukturalisme, pragmatik, dan semiotik. Pembahasan dalam bab ini menguraikan kembali pemikiran-pemikiran Ferdinand de Saussure dan penjelasan tambahan mengenai pengembangan yang dilakukan oleh Jean Piaget, Roland Barthes, Jacques Derrida, Michel Foucault, Roman Jakobson, Umberto Eco, dan lain-lain.

Pembahasan pada bab 3 dan bab 4 terkesan teoretis dan rumit karena Benny menunjukkan perspektif ketat. Bab 3 merupakan analisis perbandingan antara pemikiran Derrida dengan strukturalisme Ferdinand de Saussure dalam perspektif linguistik. Bab ini menunjukkan kompetensi dan otoritas Benny Hoed yang telah mengalami pergulatan panjang dan intensif dalam studi semiotik. Bab 4 mulai ditunjukkan pembahasan teoretis dan contoh terapan mengenai bahasa dan sastra dalam perspektif semiotik dan hermeneutik.

Kehadiran buku ini merupakan pembuktian antusiasme intelektual Benny Hoedoro Hoed pada usia tua untuk memberi kontribusi dalam kahzanah studi semiotik dan kebudayaan di Indonesia. Haryatmoko dalam "Prakata" menilai bahwa kunci keberhasilan Benny Hoed dalam membuat paparan dan analisis yang komprehensif mencakup tiga hal: (1) penguasaan linguistik dan familiaritasnya dengan mentalitas pemikiran Prancis; (2) kemampuan penulis untuk memberikan contoh-contoh relevan untuk membantu menyederhanakan konsep-konsep pelik ke model-model skematis yang memberi pola pemikiran; dan (3) kemampuan penulis menerapkan dan mengembangkan pelbagai teori dalam analisis budaya dan politik.

[Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo]

Diplomasi Sastra Indonesia ke Level Internasional*

Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/

DALAM rentang waktu mulai tahun 2000-an, kesusastraan Indonesia yang diharapkan mampu “tinggal landas” berkaitan dengan momentum pasar bebas, rasanya kurang begitu menunjukkan hasil. Dalam konteks ini adalah kesusastraan Indonesia yang mampu unjuk sampai ke level internasional. Oleh karena itu, eksistensi sastra Indonesia memang masih harus belajar keras agar mampu menembus ke level diplomasi sastra tingkat internasional. Kebanyakan, kalaupun ada sejumlah sastrawan yang mampu menembus pasar internasional, itu tidak lebih karena upayanya sendiri dalam berjejaring dengan orang atau komunitas atau juga lembaga yang memang memunyai komitmen sama dalam mengembangkan diplomasi sastra menjadi lebih baik lagi.

Tentu, dalam persoalan semacam ini perlu kepedulian berupa kebijakan dari negara yang berusaha mendudukkan karya sastra sehingga memunyai peluang yang sama dengan bidang disiplin ilmu lain yang lebih memunyai kesempatan mempertaruhkan eksistensinya pada diplomasi dunia Barat. Dalam hal ini, rupanya juga perlu diperhatikan bahwa terlepas dari persoalan estetika, upaya politis untuk mendudukkan karya sastra sehingga terterimakan di publik luar Indonesia haruslah jadi pertimbangan cukup urgen agar sastra Indonesia tak menghuni narsisisme wilayah sosialisasi hanya pada lingkup dalam negeri.

Kebijakan-kebijakan politis untuk memberi porsi aktualisasi karya sastra Indonesia yang setara dengan disiplin bidang ilmu yang bersifat teknologi, misalnya, penting diperjuangkan. Kalau kita tengok pengalaman terkonkretkannya karya sastra Barat terasionalisasi dengan baik pada publik Indonesia, jelas disebabkan karena terbukanya peluang aktualisasi karya lewat jalur seperti perangkapan status sastrawan yang sekaligus menjadi diplomat. Kalau departemen-departemen tertentu pemerintahan atau lazimnya kantor kedutaan gagal memperjuangkan hal ini, berarti karya sastra Indonesia mesti memunyai strategi tertentu untuk merasionalisasi publik di luar dirinya sendiri.

Penyair Tjahjono Widarmanto, misalnya, sepulang menghadiri acara Jakarta International Literary Festival 11-14 Desember 2008 silam memberikan catatan khusus di Majalah Gong Edisi No:106/X/2009. Menurut Tjahjono, ada sejumlah strategi yang bisa dilakukan. Kebetulan di dalam forum tersebut dihadirkan tokoh-tokoh sastra seperti Putu Wijaya, Budi Darma, Mikihiro Moriyama (Jepang), Steven Danarek (Swedia), Henry Chambert (Perancis), Maria Emilia Irmler (Portugal), Katrin Bandel (Jerman), dan Jamal Tukimin (Singapura). Salah satu rekomendasi yang menguat dalam forum tersebut adalah perlunya dilakukan upaya penerjemahan dan pengenalan karya sastra Indonesia yang lebih serius lagi. Hal ini, tentu akan membuka peluang apresiasi seluas mungkin, sehingga membuat sastra Indonesia tertempatkan dalam porsi dan kursi yang setara dengan karya sastra produk Barat.

Selain itu, menurut saya adalah pada terbukanya sikap proaktif sastrawan Indonesia, untuk mau berjejaring dengan sastrawan asing, baik melalui media elektronik seperti internet maupun lainnya. Biasanya, banyak lembaga asing di luar negeri yang menyediakan tempat untuk fasilitasi acara residensi sastra. Peluang inilah yang mestinya perlu dicermati dengan baik. Pada negara-negara yang sudah maju apresiasi dan kedudukan karya sastranya di tengah masyarakat, seperti Perancis, Jerman, Australia, dan lainnya, pastilah dalam kurun waktu tertentu akan diselenggarakan festival-festival sastra bergengsi. Oleh karena itu, peluang tersebut semestinya juga menjadi kesempatan aktualisasi bagi sastrawan Indonesia. Tentu saja, upaya mengantisipasi problem elementer berupa kendala bahasa dan hal lainnya sudah harus teratasi terlebih dahulu. Sehingga tidak menjadi batu sandungan yang signifikan dalam menyosialisasikan karya sastra.

Tentu saja, kelak akan bernilai fenomenal jika sastra Indonesia pada akhirnya terterimakan pada publik luar negeri. Bukan pada persoalan momentum mendapatkan penghargaan yang menjadi tolok ukur, seperti misalnya pengalaman sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dinominasikan mendapatkan penghargaan Nobel sastra, namun lebih pada usaha konkretisasi rasionalisasi agar tak selamanya publik sastra Indonesia merasakan rasionalisasi yang cuma sepihak, di negeri sendiri saja. ***

*) Pernah dimuat di harian Bernas.

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: June 2010 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates