Saturday, September 25, 2010

SURAT DARI SEOUL

WAN, SELAMAT JALAN!
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Di pojok kampus HUFS? di pinggir Seoul. Aku terpaku sendiri di tengah kehidupan masyarakat Korea yang tak pernah diam. Segalanya bergerak: fanta rhei! Langkah-langkah cepat dan berderap. Para mahasiswa yang bergegas. Sepatu kulit berhak tinggi, menutup betis mereka. Suaranya keras menghentak jalanan dan tangga-tangga. Dedaunan rontok karena tuntutan hukum alam musim gugur. Sementara di dahan dan ranting pohon-pohon kesemek, bergelantungan buahnya yang berwarna merah menunggu keriput.

Aku memandang pohon eun heng yang meranggas bukan karena panas. Gundul, menyisakan dahan dan rerantingan, serupa kuku-kuku panjang nenek sihir. Satu-dua daunnya jatuh melayang. Mengingatkan pada sms Jamal D Rahman tadi malam. Penyair asal Madura yang puisi-puisinya kerap menggagalkanku untuk menyembunyikan decak pesona, berkirim kabar: Mohon doa. Wan Anwar kritis! Kini, di tengah siang yang dingin, jam 12.00 waktu Seoul, 23 November 2009, HP-ku bergetar. Ada sms masuk. Lagi, Jamal D Rahman berkabar duka: “Telah berpulang ke Rahmatullah, sahabat kita tercinta, sastrawan Moh Wan Anwar pada pukul 04.00 di RS Sari Asih, Serang-Banten.” Innalilahi wa innailaihi rojiun!

Di depan tubuh-tubuh yang terbungkus jaket, aku terhenyak. Tak Percaya! Pikiranku melayang ke Serang. Wan Anwar, sastrawan dengan sorot mata tajam. Penggerak sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan segala mobilitasnya. Teman berbincang yang mengasyikkan. Sahabat yang gigih membela kawan. Presenter favorit. Ah, Wan, e-mailmu yang berisi sejumlah puisi anak-anak muda Serang, belum sempat kubalas. Maafkanlah!

Tenggorokanku tersendak. Angin kering menusuk wajah. Mataku perih meski diselimuti hawa dingin. Awan putih yang dibawa angin, melayang, menjatuhkan kedinginan yang menggigilkan. Aku merasakan seperti ada air mata yang menetes satu-satu. Jarak panjang Seoul—Serang, putus sudah karena kau pergi ke dunia tanpa batas. Wan Anwar, penyair, cerpenis, kritikus yang selalu meriah dan tak pernah berduka itu, meninggalkan kita. Di tengah percakapan yang menghentak-meledak-ledak, aku tak kuasa berkata-kata. Tegur-sapa annyong haseyo dan gamsa hamnida seperti berlalu tanpa makna.
***

Wan, secara pribadi aku mengenalmu dulu ketika kau masih mahasiswa. Puisi-puisimu menarik, dan itu yang membuat kita berkawan. Lalu, lewat puisimu itu pula, aku merasa lebih dekat. Kau, bersama Cecep Syamsul Hari, mulai patut diperhitungkan sebagai penyair Bandung generasi setelah Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Soni Farid Maulana, dan sederet panjang penyair Bandung yang lebih senior. Mereka kokoh dengan kerajaannya dan kau masih merangkak ketika itu. Tetapi, makin hari, kau makin diperhitungkan, dan tambah mantap setelah bergabung dengan majalah sastra Horison.

Sebagai pribadi, kau pandai membahagiakan orang. Selalu ada gelak tawa di mana pun dan dengan siapa pun kau berbincang. Jika kau bercerita tentang seseorang, piawai betul kau mengubahnya menjadi cerpen lisan. Jika sudah begitu, aku kerap teringat Bang Hamid yang pandai membalut luka dengan tawa. Maka, ketika aku membacai puisi-puisimu, aku menangkap keterampilanmu adalah menyembunyikan misteri, juga dengan tawa. Pertanyaan besar tentang sesuatu yang entah, sengaja kau biarkan tetap menjadi misteri tak berjawab. Itulah yang kukatakan sebagai kegelisahan! Dan kini, pertanyaan itu terjawab sudah: kau tak sampai senja, seperti katamu: “Sebelum Senja Selesai!”*
***

Wan, pada awalnya, aku menangkap puisi-puisimu sebagai kegelisahan! Suasana batin yang diserbu misteri. Dengan cara yang khas, kau kadang memposisikan diri sebagai pengelana yang penasaran, pencari yang tiada pernah puas mencari, atau sebagai penggelisah yang menikmati benar kegelisahannya sendiri. Jadi, dalam hal tertentu, Wan, kau mengelana untuk mencari dan memelihara kegelisahan. Bahwa kemudian kau dihadapkan pada pertanyaan, rahasia atau misteri yang tak diketahui jawabannya, kau malah menikmati misteri dan rahasia itu dengan optimisme yang sebenarnya tak juga kau pahami. Tetapi kini, bagiku, itu lebih bermakna tanda-tanda: “berjalanlah lurus ke utara!” begitu katamu.

berjalanlah lurus ke utara, melintasi rimbun asam
dan masa silam, kau akan tahu darat dan laut
seperti bibir sepasang kekasih saling memagut
seperti maut yang tiap waktu terus beringsut

Wan, jadi itukah kegelisahanmu? Berjalan lurus ke utara …/seperti maut yang tiap waktu terus beringsut// Ah, kau seperti optimis, bahwa perjalananmu tak sampai senja.

Sesungguhnya, dengan sikap itu, pewartaanmu laksana sengaja membawa siapa pun ke dunia pencarian yang tak berkesudahan. Dan ketika kumasuki puisi-puisimu, aku dibetot oleh sebuah kekuatan makna, tergelincir pada pusaran larik-larik misteri. Jadilah, aku memasuki wilayah pencarian dengan segala kerahasiannya. Jelas, kau telah menghadapkan potret batin sosok pengelana yang berhasrat terus menggelandang atau sosok pencari yang tak pernah bertemu. Yang dapat kutangkap adalah serangkaian kegelisahan, deretan pertanyaan tak berjawab, atau kekecewaan yang berhenti pada potret diri. Kadangkala segalanya kemudian kau kembalikan lagi pada sesuatu yang kau yakini sendiri sebagai misteri. Itulah beberapa bagian komentarku yang tercatat pada kata pengantar antologi puisimu, Sebelum Senja Selesai (2002).

Akhirnya kutangkap juga pesan itu. Siapa pun kini, jika hendak mengejar makna puisi-puisimu, kuncinya ada pada larik awal. Seperti yang kutangkap pada “Lecutan-Lecutan”. Pada mulanya, kumaknai itu sebagai kesadaran akan perjalanan hidup. Lecutan secara metaforis bermakna: “Bergiatlah, rajin-rajinlah, kerjakanlah segera, cepatlah rampungkan!” Jadi, itu perkara karier dan pekerjaan. Dan kinerjamu memang menunjukkan itu. Maka, ketika di Pascasarjana UI, kau melejit sendiri, yang melecut kakak kelasmu, termasuklah di sana, Agus R Sarjono dan Jamal D Rahman. Kau sendiri seperti dilecut oleh entah siapa. Oh, tidak! Ternyata itu bentuk kesadaran akan tubuh yang tak dapat menghindar hukum alam: Ingat tubuh kita …

ingat tubuh kita
berbeban keinginan yang bertumpuk
berpijar memanaskan pasir pantai
yang menanti cumbu ombak
yang sepintas dan lepas lagi

Wan, bukankah itu pesan terakhirmu sesaat sebelum pergi: “Jaga kesehatan kalian!”

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok, kini tinggal di Seoul sebagai Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul).

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: SURAT DARI SEOUL Template by Bamz | Publish on Bamz Templates