Monday, September 27, 2010

METODE PEMBELAJARAN SASTRA, MISKIN KREATIVITAS

Agus Sulton
Radar Mojokerto 26 Sep 2010

Salah satu kendala mutu dari suatu pendidikan adalah rendahnya tingkat literacy atau keagiatan membaca dan menulis baik dari kalangan mahasiswa, guru, dan dosen. Hal ini ditandai dengan rendahnya kreativitas dan produktivitas dosen dalam menulis suatu gagasan yang inovatif untuk dipublikasikan sebagai hasil prestasi terhadap kemampuan yang digelutinya. Paling tidak sebagai bukti bahwa dosen merupakan agen pengetahuan, ilmuwan, atau akademikus yang benar-benar pengabdian atas dasar profesi, bukan pekerja—layaknya manol dipasar-pasar, tidak sekedar srobot sana srobot sini (ngompreng mengajar) demi keuntungan finansial, akhirnya rebutan jabatan struktural untuk meraih ongkos yang lebih menjanjikan.

Perkara semacam itu bukan istilah baru, bahkan sudah menjadi budaya postingan oleh para dosen yang mutu pembelajaran sastranya ”ala kadar” dan kualifikasi atau kredibilitas sang dosen perlu dipertanyakan?. Kondisi itu diperparah dengan minimnya tingkat membaca para dosen, sehingga berdampak pada mutu dari metode pembelajaran yang disampaikan (out of date dan monoton), akhirnya menstimulasi sebuah pembelajaran yang begitu kering—tanpa ada sugestif untuk memberikan nilai protein dari proses menguyah akan suatu makna (nilai).

Membaca setidaknya bisa dijadikan representasi untuk kunci keberhasilan, semacam minimalisir politik ilaterasi dengan memperkaya kreativitas dalam suatu kegiatan pembelajaran. Karena dengan membaca, kecenderungan seorang dosen akan lebih menggigit dan memunculkan gagasan-gasan baru untuk dikembangkan dalam bentuk tulisan. Kegiatan membaca bukanlah suatu paksaan, tetapi menjadi sangat lucu (memalukan) apabila ada seorang sekaliber dosen bidang sastra yang tidak bisa menulis fiksi atau non fiksi, padahal bagi orang berlatar belakang sastra; cerpen, puisi, dan novel merupakan menu utama dalam kegiatan belajar-pembelajaran, baik dalam bentuk apresiasi atau sekedar komentar. Ini masalah kecil, tetapi harus diperhitungkan dan perlu dipikir ulang. Ibarat dosen atau mahasiswa seni lukis, tetapi tidak bisa melukis, sungguh teror yang menghantui kepincangan pendidikan berlabel Indonesia.

Betapa menyedihkan jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, seorang dosen seharusnya mampu mengubah pola berfikir revisibilitas dan meningkatkan gairah peserta didik dalam berolah sastra. Yakni, perubahan kecakapan dan kreativitas menuju life competence. Karena, belajar sastra tidak hanya sebatas membaca sinopsis, potongan cerita, dan membaca puisi dengan istilah ”sepi ala SMA”. Dosen dan mahasiswa harus ada hubungan struktural fungsional. Keduanya saling simbiosis mutualistis dengan langkah konkrit penuh reaksi kreatif ke dalam kubangan sastra secara natural. Paling tidak metode pembelajaran sastra dalam kelas—lebih menambah gairah dan berdaya saing antar pihak.

Pembelajaran sastra dan keterampilan menulis adalah diferensial dari pernikahan sah, sebagai embrional pola berfikir lebih kritis dan analitis (critikal thinking and analytical thinking). Bayangkan betapa hancur dan babak belur kalau ada seorang dosen menjadi pembimbing dalam penulisan karya ilmiah (skripsi), padahal bobot berfikirnya dangkal dan mengambang (floating thinking), sementara sang dosen itu sendiri—tidak sama sekali membiasakan untuk menulis ilmiah. Pasti akan sangat kacau, karya ilmiah tidak berbobot, dan bernasib sampah, selanjutnya karya-karya ilmiah tersebut diberi tanda ”R” berarti ”racun” dan diberi label tengkorak—yang terpajang di sebuah etalase perpustakaan, bagi siapa yang memegangnya akan terinfeksi rasa sesak dan tersesatkan. Fenomena ini menandakan betapa miskinnya mutu dan kualitas sistem kampus beserta kroni-kroninya. Beberapa komponen harus segera mungkin untuk direformasi atau dikudeta agar keberhasilan proses pengajaran bisa terinovasi dan bernutrisi.

Sejuta permasalahan yang melilit sistem pengajaran sastra tetap harus disikapi secara wajar dan dewasa. Begitu juga masalah perikrutan dosen yang kebanyakan terkesan kegenitan krisis figur, terkesan asal-asalan, asal kenal sanak keluarga yayasan. Indikasinya, racun urat nadi pengajaran sastra tetap mengubur daya nalar mahasiswa. Suwardi Endraswara (2005) menyebutnya sebagai sistem membusukkan daging-daging pengajaran, kemudian merapuhkan tulang-tulang sastra, dan kalau tak segera diamputasi, maka virus-virus tadi akan menyublin diperedaran darah sastra—tinggal menunggu waktu, cidera selamanya. Pengajaran sastra akan membusuk, pasiennya sudah mati dan hanya tunggu dikremasi.

Kesalahan seperti ini akan terus menghantui kita yang tersadarkan. Pertama, melihat sosok dosen yang terjerat terali phobia masa kecilnya (sikap malas dan ingusan), akhirnya menjadikan pemikiran atau penalaran yang mengalami kepincangan secara frontal dan pembelajaran sastra yang dirundung duka. Kedua, manageman sistem pendidikan kampus (otonomi kampus) yang lebih mengutamakan penumpukan aset mahasiswa dan bisnis pendidikan, diduga sebagai sumber keuntungan menjanjikan secara finansial (material), berakibat pada bertumbuhnya generasi sarjana, begitu juga dosen yang ”multi-karbitan”, konsumtif dan miskin kreativitas, menjadikan intelektual absurditas tanpa ada surplus akomodatif yang mampu memberikan kontribusi yang cukup bagi dunia pendidikan.

Jika dicermati, pengajaran sastra kita cukup aneh. Pembelajaran sastra sekedar menyampaikan informasi dan mengemukakan fakta-fakta mati. Apalagi dibarengi dengan subjek didik yang per-kelasnya mencapai 50-70 mahasiswa, antara kelas B diomprengkan ke kelas A—membuat proses belajar mengajar terkesan membohongi dan feodalitas pengajaran. Sebaliknya, subjek didik harus bertaqlid buta. Sebuah kelas yang sesak dan pengap terhadap pengkondisian hegomoni badut-badut pembisnis pendidik yang nota bene-nya bergelar doktor secara ”karbitan”. Virus pengajaran sastra seperi ini malah berakibat pada dungu terhadap karya sastra, tidak mampu berfikir tentang hidup, menghayati kehidupan, memahami diri secara individu maupun kelompok, dan mempertajam informasi-informasi baru.

Hal semacam itu, akan berdampak pada psikologi diri mahasiswa. Yakni, pergi kuliah dengan tubuh dipenuh assesoris, tangan lebih senang meggenggam ponsel Black Barry dari pada buku bacaan sastra yang berkualitas. Kemudian berjalan-jalan di depan kampus ”ala karakter SMA”, berdialog dengan bahasa cengeng dan terkesan kemanja-manjaan. Kondisi seperti ini, sangat berbanding terbalik dengan pernyataan Paulo Freire yang memberikan istilah, bahwa mahasiswa sudah mencapai tahapan kesadaran kritis. Mampu melakukan kerja penyadaran kepada semua orang, terutama rakyat Indonesia yang saat ini masih berkubang pada tahap kesadaran magis dan naif.

Indikasi ini setidaknya bisa kita jadikan langkah simplifikasi untuk menciptakan inovasi baru menuju kompetensi pembelajaran sastra yang syarat akan kreativias dan stimulasi-gairah pada ilmu pengetahuan, update dengan problematika, dinamika dan perkembangan intelektualitas di era kekinian. Konsekuensinya, dosen pun tentu harus menampilkan hasil karya kreatifnya sebagai support environment dan bukti idealisme hasil bernalar (intelektual organik), tidak semata-mata apologi tanpa ada pilar follow-up yang bikin greget. Mari kita renungkan dan saling preventif !

*) Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Tinggal dan berkarya di Ngoro Jombang Jawa Timur

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►