Monday, September 27, 2010

Kegetiran di Balik Peristiwa 1965

Judul: Mati Baik-baik, Kawan
Pengarang: Martin Aleida
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta
Edisi: Pertama, Maret 2009
Tebal: 144 halaman
Peresensi: M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
http://www.ruangbaca.com/

Saya benar-benar tercenung dan terseret dalam sayatan perih sejauh menyelami sembilan “cerita pendek” dalam buku mungil ini. Bahkan untuk mengatakan bahwa potongan-potongan kisah yang dituturkan Martin Aleida dalam buku ini sebagai “cerita pendek”, bagi saya itu tidaklah mencukupi. Martin Aleida, sang pengarang paruh baya yang helaian rambutnya kini kian memutih, dalam kumpulan cerpen ini sungguh merobek dinding nurani kala menarasikan memoar kelamnya yang masih membekas ihwal prahara politik 1965.

Terlebih lagi, terasa betul “hasrat” Martin Aleida dalam merangkai kata demi kata dengan bahasa yang lugas serta gaya realis (realisme sosial) yang memikat. Keterpikatan itu mulai bergerak membuncah sejak menyelami kisah yang pertama, “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh”, sampai rampung pada kisah kesembilan, “Ratusan Mata di Mana-mana”.

Menariknya, andai pembaca mau menelisik jejak kehidupan sang pengarang, agaknya bakal sulit mengelak bahwa keseluruhan peristiwa yang berserak di sembilan judul cerpen Martin dalam buku ini adalah murni fiksi. Dan, saya yakin kecurigaan itu segera kian menguat usai kita menyimak persepsi Martin ihwal “cerita” berikut ini. “Cerita adalah pengaduan kepada dunia di luar diri kita tentang apa yang ingin kita katakan mengenai hidup yang diberikan kepada kita untuk diperjuangkan,” begitulah sudut pandang Martin.

Nah, sebagaimana karya yang sudah terlebih dulu terbit, dalam Mati Baik-baik, Kawan ini, Martin masih bergerak di seputar kisah kematian dan dendam. Hanya saja, dalam kumpulan cerita pendek kali ini, ia lebih mengkhususkan diri pada tema prahara politik 1965. Salah satu titik kelam sejarah yang melumpuhkan akal sehat bangsa itu memang tak henti-hentinya dieksplorasi (bukan dieksploitasi) Martin, seperti tampak dari cerita-cerita pendek dan novelnya, Jamangilak Tak Pernah Menangis (2004). Yang pasti, “semua itu bukan sekadar obsesi, melainkan bertolak dari pengalaman empiris pengarang.” (hlm. 5)

Tepat, persis di titik itulah sebenarnya landasan moral Martin beralas terkait sebutan sikap kepengarangannya sebagai “sastra kesaksian”. Istilah “sastra kesaksian” itu dilafalkan sendiri oleh Martin dalam pengantar kumpulan cerpennya yang berjudul Leontin Dewangga (2003). Ya, “kesaksian”, sebentuk pendeklarasian yang jauh dari kesan radikal. Jadi, meski dalam buku ini sang pengarang duduk di sisi korban sejarah, tak sekalipun ia berpretensi menghakimi si pelaku atau menjadikan korban sebagai objek penderita.

Paling tidak, definisi sikap itu tersirat dalam tiga cerpennya yang diambil dari kumpulan cerpen Leontin Dewangga, yakni “Malam Kelabu”, “Leontin Dewangga”, dan “Ode untuk Selembar KTP”.

Dari cerita pertama, ditambah ketiga cerpen yang diambil dari Leontin Dewangga tersebut, terasa benar bahwa “fiksi” ala Martin Aleida adalah “pengaduan kepada dunia di luar diri kita”. Dalam “Malam Kelabu”, misalnya, kita seketika akan terbawa pada peristiwa saat Martin ditangkap dan diusung ke Markas Komando Distrik Militer 0501 di kawasan Thamrin di awal tahun 1966. Tepat pada momen penangkapan itulah beberapa pucuk surat cinta dari dan untuk Sri Sulasmi (kemudian menjadi istri Martin) masih terlipat di saku celananya. Dan dari sepucuk surat pulalah cinta yang getir dalam “Malam Kelabu” mengalir.

Masih pada momen di titik penangkapan itu, dalam cerpen “Leontin Dewangga”, fragmen kehidupan Martin kembali dituliskan. Cerpen itu mengisahkan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang ditangkap pasca-peristiwa 1965 karena terlibat sebagai anggota Serikat Buruh Perfilman, suatu perkumpulan di bawah pengaruh komunis. Kala itu, di saku Abdullah tersimpan surat sang ayah yang mengabarkan bahwa kedua orang tuanya akan naik haji dengan menumpang kapal laut. Beruntung, berkat surat itu, Abdullah diizinkan keluar, meski tiap sepekan tetap diharuskan melapor. Uniknya, Martin pun ditangkap bersama sehelai surat wasiat dari kedua orang tuanya yang tengah naik haji.

Tetu saja, seorang bekas tahanan politik (tapol) seperti Martin dipastikan “sesak bernapas”, walau ia tak lagi mendekam dalam kamar penjara. Karena di luar bekapan teralis sekalipun, sebagai warga negara statusnya tetap terdiskriminasi. Dalam cerpen “Ode untuk Selembar KTP”, dikisahkan betapa kegetiran akan identitas eks-tapol sungguh sulit ditepis. Selain stigmatisasi sebagai komunis, lebel TP (tahanan politik) atau ETP (eks tahanan politik) pada selembar KTP adalah tindakan pelabelan oleh “negara” yang semena-mena.

Tekanan psikologis dan sosial yang terus mendera para korban 1965 kian gamblang terlukis dalam “Bertungkus Lumus” dan “Salawat untuk Pendakwah Kami”. Sementara itu, dalam dua judul lainnya, “Tanpa Pelayat dan Mawar Duka” serta “Dendang

Perempuan Pendendam”, kita dapat mencerap satu perspektif yang realistis perihal upaya berdamai alias “rekonsiliasi sejarah”. Nah, karena pengaruh represif Orde Baru dalam kesusastraan kita, Martin baru leluasa menulis soal peristiwa 1965 pada era reformasi kini.

Di luar semua itu, bagi saya, Martin juga tegas dalam hal pelurusan sejarah. Katrin Bandel, dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam penutup buku menyediakan satu ulasan yang tajam. Dalam tinjauan yang berjudul “Martin Aleida dan Sejarah”, Katrin sedikit membandingkan karakter cerpen Martin Aleida dengan beberapa karya sastra Indonesia. Semisal, dengan nada kritis dia munulis, “Bagi saya sangat mengecewakan bahwa dalam salah satu novel pasca-Orde Baru yang banyak mendapat pujian, yakni novel Larung karya Ayu Utami, yang terbit pada tahun 2001, peristiwa 65 dipersoalkan dengan cara yang tidak lebih radikal dan lebih tegas daripada yang sudah dilakukan di masa Orde Baru.” (hlm. 134)

Selebihnya, Katrin tak mengulas aspek intrinsik karya sastra dari kesembilan cerpen Martin Aleida. Tentu saja, hal itu bukan tak penting. Namun, barangkali sejak awal tercetus ide menerbitkan cerpen-cerpen Martin yang bertema prahara politik 1965, titik tekan penerbit buku ini adalah secara tematis.

Unsur pelurusan sejarah yang berbeda dari perspektif “formal” Orde Baru menjadikan sosok Martin dapat dikatakan berani mengisahkan sejumlah “fakta (sejarah) yang lebih faktual”. Hal itulah yang mendasari Katrin memilih judul ulasannya dengan

“Martin Aleida dan Sejarah”, walaupun tulisan tersebut sudah banyak tersebar di Internet dan dari segi judul pun secara pribadi ditolak oleh Martin. Itu memang amat heroik, tetapi Martin tak hendak berlagak selayaknya pahlawan kesiangan.

Demikianlah, percik-percik kesaksian dalam buku ini seakan “memaksa” saya untuk tak sekalipun melupakan prahara politik 1965 yang traumatik. Hingga pada suatu titik terdalam saya memahami, “Martin bukan sekadar menceritakan peristiwa 1965 dari perspektif yang berbeda, tapi ia punya misi untuk melawan pemalsuan sejarah dengan mengisahkan sejumlah fakta yang teramat lama tak diketahui secara umum oleh masyarakat Indonesia.”

*) Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►