Tuesday, September 14, 2010

Tuntutan Reformasi

Th. Sumartana
http://www.tempo.co.id/

DI KALANGAN aktivis reformasi, khususnya di tengah kegiatan mahasiswa berdemo, Soeharto ditampilkan sebagai pucuk pimpinan pemerintahan yang membawa negeri ini ke dalam kubangan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saat itu tuntutan mahasiswa jelas: Soeharto turun.

Namun, ketika Soeharto benar-benar menurunkan diri, semua orang terkesima. Demo mahasiswa seperti kehilangan tema. Sudah tercapaikah tujuan perjuangan? Akan turun jugakah gerakan reformasi?

Sesudah Soeharto turun, tuntutan reformasi dari kalangan mahasiswa, khususnya yang berkenaan dengan apa yang disebut "reformasi" total, belum bisa dirumuskan dengan tegas. Munculnya Habibie sebagai presiden pengganti menjadi jadwal dari munculnya sebuah dilema. Padahal, jika reformasi memang merupakan gagasan yang perlu diperhatikan, mau tak mau, harus ada kejelasan sikap terhadap perkembangan politik sosial yang sungguh dilematis sekarang ini.

Dalam rangka ini bisa dikatakan bahwa Soeharto sebenarnya memimpin sebuah negara darurat selama lebih dari 32 tahun. Kehidupan sosial-politik diatur seperti dalam naungan undang-undang darurat. Kehidupan semacam ini membuat kerucut kekuasaan semakin meruncing dan berada di satu ruangan, sehingga pemerintah Orde Baru berjalan selama 32 tahun nyaris tanpa pengawasan yang berarti. Semua orang, individual dan kolektif, harus loyal, ditambah dengan teror, tekanan setiap saat akhirnya menciptakan kehidupan sosial-politik yang penuh ketakutan. Pengawasan dianggap sebagai oposisi, atau akan dimasukkan dalam keranjang sampah "partai terlarang" dengan segala "anak-cucunya". Sebagai konsekuensi logis absennya pengawasan, lahirlah korusi-kolusi-nepotisme, yang semakin hari semakin meruyak dan membesar, yang kemudian mengantar kepada krisis nasional.

Bersamaan dengan meruyaknya krisis, hal yang paling meresahkan adalah munculnya fragmentasi sosial pada tingkat kehidupan masyarakat. Energi masyarakat yang diempang oleh alasan stabilitas yang menuntut loyalitas dari atas menyebabkan kemandekan dan proses pembusukan di setiap sektor kehidupan masyarakat. Mereka terus-menerus mengunyah wacana yang didominasi penguasa, serta merta menyerah pada tuntutan absolut dari pucuk kekuasaan dalam bingkai yang semakin sempit, lalu timbullah primordialisme yang nyaris absolut.

Di bawah kekuasaan yang monolitis bagai piramida, di kalangan masyarakat muncul piramida-piramida dengan corak dan watak yang sama dengan piramida yang dibangun oleh kekuasaan Soeharto. Masyarakat tidak terbiasa umtuk saling kontrol dan berbeda pendapat. Inilah tragedi beruntun yang dipupuk oleh kehidupan politik selama kurang lebih 32 tahun terakhir ini.

Bila ditimbang-timbang, kemungkinan timbulnya polarisasi sosial-horizontal inilah yang meresahkan, karena hal itu bisa menjadi penghalang utama bagi upaya reformasi total. Pola dominatif dan pola kepentingan kelompok sudah tercipta di kalangan bawah, mengikuti pola politik yang dikembangkan selama ini, yakni politik sebagai cara untuk memaksa kelompok lain tunduk pada kehendak penguasa. Entah atas nama pembangunan, stabilitas, mayoritas, atau nama hal-hal yang agung dan hal-hal keramat yang lain.

Tuntutan reformasi 1998 terkait dengan dua karakter utama, yaitu bersifat total-menyeluruh dan bersifat damai. Dua nilai ini menggambarkan kesadaran tentang proses yang berkelanjutan dan sekaligus cara yang berkeadaban dan manusiawi. Dalam rangka inilah aspek vertikal dari kehidupan politik dan aspek horizontal dari kehidupan bermasyarakat perlu dibuka dan direformasi tanpa henti. Karena, penyempitan orientasi kelompok-kelompok masyarakat justru akan merupakan lawan yang menghadang gerak pembaruan yang diinginkan oleh kalangan reformasi.

Di pihak lain, apabila reformasi ini jelas dan tegas hendak diperjuangkan dengan cara damai, tidak ada jalan lain yang terbuka kecuali melalui pemilihan umum. Pemilu yang benar-benar jujur dan adil harus didasarkan Undang-Undang Pemilu dan Kepartaian yang benar-benar jujur dan adil pula.

Dengan demikian, agenda utama semua pihak, baik kabinet Habibie, DPR-MPR, para intelektual, dunia kampus, para mahasiswa, maupun para petinggi agama. Lembaga swadaya masyarakat diarahkan untuk merumuskan bersama keinginannya dalam menjamin produk undang-undang yang benar-benar jujur dan adil sehingga bisa ditampung setepat dan secepat mungkin aspirasi rakyat dalam pemilu. Demikian pula reformasi benar-benar total, yang bisa menampung kehendak seluruh rakyat.

Pada tahap ini, proses rekonsilisasi sosial politik, atau dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, akan diwujudkan dalam proses damai pemilu. Kedaruratan dan kemacetan kehidupan politik akan bisa ditembus bersama dengan langkah ini. Saya bersepakat penuh dengan pandangan Mar’ie Muhammad saat wawancara di SCTV, Minggu, 24 Mei 1998. Di samping hal-hal yang lain, kabinet Habibie harus menyatakan dirinya transisional, memberikan penanganan sebaik-baiknya pada persoalan ekonomi bangsa, dan membentuk tim independen untuk secepatnya merancang Undang-Undang Kepartaian dan Undang-Undang Pemilu. Undang-undang tersebut akan segera pula dibicarakan dan diratifikasi oleh DPR dan segera mungkin diundangkan.

Apabila mulai sekarang sampai pemilu mendatang segala masalah itu bisa dirampungkan dalam waktu enam bulan, bangsa ini bisa menunjukkan kemampuannya selaku masyarakat yang tanggap terhadap panggilan sejarah dan bisa memecahkan persoalan sulit yang dihadapi. Dan, kenyataan ini akan dicatat oleh sejarah sebagai sebuah pencapaian sosial-politik yang luar biasa penting. Hal-hal lain yang mendesak akan diputuskan oleh kabinet hasil pemilu mendatang.

Akan halnya yang teramat penting adalah agar kontrol dan pengawasan oleh masyarakat terhadap kekuasaan politik bisa dijalankan secara efektif. Dan bersamaan dengan itu, rekonsiliasi pada tingkat kehidupan sosial bisa dijalankan dengan efektif pula. Dengan demikian, bagi segala bentuk ketegangan sosial selalu tersedia jalan keluar karena ada kemampuan untuk melakukan konsensus bersama. Alhasil, gerak reformasi yang total dan damai ini akan bermuara kepada rancangan dan pelaksanaan pemilu yang benar-benar jujur dan adil, insya Allah akan dilangsungkan dalam tahun 1998 ini juga.

Majalah D&R, 06 Juni 1998
*) Direktur Interfidei, Yogyakarta

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Tuntutan Reformasi Template by Bamz | Publish on Bamz Templates