Tuesday, September 7, 2010

Krisis Identitas Sastra Indonesia dan Malaysia

Sita Planasari A
http://www.tempointeraktif.com

Banyak sudah karya sastra yang membahas krisis identitas dalam perilaku anak negeri seperti Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Ini juga terjadi pada cerita pendek dari negeri jiran, Salah Pimpin dan Cerita Sepanjang Jalan IX karya sastrawan Malaysia, Keris Mas. Perbandingan karya sastra Indonesia dan Malaysia dalam membidik krisis identitas tersebut menjadi salah satu tema yang dibahas dalam Konferensi Internasional Kesusasteraan yang digelar kemarin di Hotel Maharaja, Jakarta.

Dalam makalah tertulis Rahimah Haji A. Hamid, pengajar dari Universiti Sains Malaysia, bertajuk Pemaparan Krisis Identiti dalam Karya Terpilih Pengarang Malaysia dan Indonesia disebutkan, pada dasarnya krisis identitas yang diperbincangkan Pramoedya dalam Anak Semua Bangsa maupun Mochtar Lubis dalam Abu Terbakar Hangus tidak dapat diperbandingkan dengan karya sejenis dari pengarang Malaysia.

“Soalnya, tidak satupun karya Malaysia yang sama sebangun dengan kisah mereka,” kata Rahimah. Cara penjajahan yang berbeda antara penjajah Inggris di Malaysia dan penjajah Belanda di Indonesia memberi corak berbeda dalam persoalan krisis indetitas di antara kedua bangsa ini.

Pada Anak Semua Bangsa misalnya, kata Rahimah, melalui bacaan pascakolonial, novel ini mampu menampilkan wacana pribumi yang positif dimana sang tokoh kembali dalam budaya aslinya. Selain dapat keluar dari krisis identitas, tambah Rahimah, tokoh ini juga menjadi pribadi yang jauh lebih berkarakter ketimbang saat di bawah peliharaan penjajah Belanda.

Sementara itu, tokoh Husin dalam cerita pendek Cerita Sepanjang Jalan (IX) karya penulis Malaysia, Keris Mas, sedikit banyak memiliki persamaan dengan tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan karya penulis Indonesia, Abdul Moeis. Dalam kedua karya ini Rahima melihat, kedua tokoh tersebut mengalami kegamangan terhadap kebudayaan leluhurnya. “Mereka mudah berasa kagum dengan budaya penjajah yang dirasakan lebih hebat dan lebih perkasa daripada budayanya sendiri, “ Rahima menegaskan.

Persamaan maupun perbedaan yang muncul dalam karya sastra kedua negara mengenai krisis identitas, kata Rahima, bagaimanapun layak untuk dibicarakan. “Karya mereka menunjukkan betapa hebat, ebsar dan mendasarnya persoalan krisis identitas dalam wacana pasacakolonial,” ujar Rahima.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►