Tuesday, September 7, 2010

Geliat “Kritis” Cerpenis Malaysia

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Aku saksikan wajahnya yang dipajang berbagai koran, biasanya di halaman sosial; atau aku melihat sekilas mobil suaminya yang diparkir di luar salah satu hotel – mobil dengan pelat bernomor satu digit (orang kaya jadah) yang mudah diingat. Namun, aku tak pernah bertemu Alissa….

Barisan kalimat di atas adalah bagian dari salah satu cerpen “Yang Terkasih”, dari antologi cerpen berjudul Pahlawan dan Cerita Lainnya karya Karim Raslan, sastrawan Malaysia yang melaunching bukunya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta (4/9).

Dialihbahasakan oleh Naning Pranoto dan A Rahman Abu, halaman 5 dari buku terbitan Yayasan Obor Indonesia ini hanyalah salah satu ungkapan emotif dari tokoh di cerpen-cerpennya terhadap strafikasi sosial di negeri jiran. Cerpen “Yang Terkasih” mengungkapkan kisah tokoh utama bernama Shukor, seorang wartawan yang ditelepon mantan pacarnya saat menjadi korban penganiayaan suaminya yang tak lain seorang bangsawan Melayu.

Hal ini kemudian menjadi fokus dari seorang pengamat, Maman S Mahayana, yang diundang sebagai salah satu pembicara mendampingi Nirwan Arsuka. “Saya yakin, buku ini bermasalah kalau diterbitkan di Malaysia,” ujar Maman S Mahayana, salah satu pembicara yang juga pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Didampingi oleh Nirwan Arsuka, Maman kemudian membeberkan karya Karim Raslan pada cerpen “Ayo ke Timur”. Cerpen ini mengangkat tentang dunia pelacuran di Sabah, yang mengisahkan tentang tokoh utama yang memesan gadis di sebuah hotel.

“Tentang perdagangan manusia. Benar atau tidak, itu soal lain,” ujar Maman, sambil mengungkapkan sebuah nama penulis Malaysia, yang juga sempat mendapatkan teguran karena mengambil kilas sensualitas sekali pun lewat metafora “arungi bahtera, gelombang samudera”.

Antologi ini memperlihakan gaya bertutur yang terkadang agak sensual. Karya Karim, dikomentari Maman, merepresentasikan gaya hidup bangsawan Melayu yang seolah berkutat mempertahankan keluhuran narasi. Di balik itu, banyak rambu dan tabu ditabraknya. Meski tidak dapat menghindari dari hakikatnya yang fiksionalitas, antologi cerpen ini lebih menyerupai potret keluarga bangsawan Melayu yang tidak semuanya baik-baik saja. Selalu ada penyimpangan. Dikatakan oleh Maman, dua sisi itulah yang yang kebetulan dihadirkan dalam ke-8 cerpen dalam antologi ini.

Alur dan Humor
Di luar hal itu, kehadiran penulis satu rumpun – bahasa Melayu – tetap menarik perhatian buat khazanah sastra kita. Seperti kehadiran beberapa tokoh penyair di tanah jiran – nama seperti Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri hingga karya Pramoedya Ananta Toer yang diminati di banyak negeri – juga telah banyak dikenal. Karya beberapa penulis bahkan kerap diterbitkan di Majalah Dewan Sastera yang dikenal cukup berwibawa.

Tentang karya Karim Raslan, Nirwan Arsuka mengomentari bahwa pengacara, kolumnis dan penulis buku lulusan Cambridge University kelahiran 1963 itu, mempunyai keunikan justru pada alurnya.
Nirwan Arsuka mengatakan bahwa ada dua bentuk pengungkapan dalam alur. Dari gelap ke terang sebagaimana dilakukan oleh karya kanak-kanak atau karya religius. Lalu, karya yang mulanya terang dan pada akhirnya kisah tersingkap secara mengejutkan. “Karim tak menghadirkan peristiwa awal secara dramatis, hadir di suasna yang tenang dan tanpa ketegangan. Lalu cerita bergerak pelan lalu terungkap dan nampak semuanya di bagian belakang,” ujarnya.

Dia juga mengomentari bahwa bentuk semacam ini – termasuk kejenakaannya – nampak pada karya-karya Idrus (Kumpulan karya Idrus: “Dari Ave Maria, ke Jalan Lain ke Roma”, red). Penulis-penulis Indonesia, kata Nirwan, sangat konsentrasi pada bentuk dan pola namun sering melupakan kekuatan plot. “Misalnya pada Eka Kurniawan dan AS. Laksana yang jenaka tapi bukan dalam peristiwa dan pengalaman antropologis melainkan mengarah pada faktor bahasa. Kejenakaan hanya dibentuk dari bahasa imaji baru yang terasa lucu, misalnya ‘kencing yang terbahak-bahak’,” papar Nirwan.

Pendapat ini akhirnya dipatahkan oleh Maman dengan mengungkapkan banyak nama penulis Indonesia lainnya yang cukup jenaka di dalam kisah. Nama-nama sastrawan seperti Mahbub Djunaedi, Firman Muntaco, SM Ardan dan Ajip Rosidi, adalah segelintir sastrawan yang ada di dalam referensinya.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►