Monday, September 13, 2010

Politik Persatuan Mahasiswa adalah Politik Anti Imperialis

Oleh: RUDI HARTONO

Sepintas Lalu tentang Pendidikan Nasional

Sudah lama pendidikan nasional berjalan dalam kerawanan. Pendidikan nasional diarahkan agar lebih memenuhi tuntutan dan perkembangan kapitalisme. Penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan kapitalisme mutakhir telah menyeret pendidikan nasional menjauh dari tujuan-tujuan pokok sistem pendidikan itu sendiri. Seperti yang diuraikan dengan panjang lebar oleh Bukharin, pendidikan dibawah kapitalisme memiliki tiga prinsip utama; pertama menginspirasikan kepada generasi dimasa depan dari kaum pekerja agar tetap mengungkapkan kesetiaan dan penghargaan kepada rejim kapitalisme. Kedua menciptakan kaum muda dari kebudayaan klas penguasa yang mengontrol seluruh masyarakat pekerja, ketiga memberikan bantuan teknik dan pengetahuan kepada Industri kapitalis demi kesinambungan akumulasi profit.

Dibawah kolonialisme, pendidikan benar-benar diarahkan guna memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak dari tujuan kaum kolonialis, seperti tenaga kerja terampil, tenaga rendahan dalam kepegawaian, dan tenaga-tanaga kerja lainnya yang membutuhkan keterampilan baca-tulis. Sekolah-sekolah yang didirikan memiliki orientasi berbeda secara khusus, tergantung kepada cakupan klas-klas sosial yang dihimpunnya. Misalnya, Eerste Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang “berada” dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputera angka dua) untuk anak-anak rakyat kebanyakan (klas-klas miskin). Belum lagi pendirian sekolah-sekolah khusus yang hanya boleh diakses oleh anak-anak keturuan pejabat Belanda atau anak-anak pribumi keturunan ningrat.

Ketika Indonesia merdeka, tidak ada yang benar-benar berubah atau hilang dari sistem pendidikan kolonial tersebut. Ketika Bung Karno masih berkuasa, ada upaya menyingkirkan pendidikan kolonial dari pendidikan nasional dengan menarik pendidikan masih dalam lapangan perjuangan anti-imperialis. upaya ini mendapat penentangan kuat dari kelompok kanan dengan menciptakan independensi terhadap lembaga-lembaga pendidikan mereka, serta menjalankan propoganda melawan usaha pemerintah. Kesuksesan pendidikan dibawah Bung Karno adalah pengalihan keuntungan dari minyak dan tambang hasil nasionalisasi untuk program pendidikan rakyat. Kemajuan yang dibuat dalam mendirikan gedung-gedung sekolah dan memberikan pelatihan pemula pada guru-guru selama tahun 1950-an begitu mengesankan. Pada tahun 1950, orang yang bisa baca-tulis diperkirakan 10% dan diperkirakan terdapat 230 orang Indonesia yang memiliki pendidikan lanjutan (setingkat SMU) lulusan lembaga-lembaga pendidikan kecil yang didirikan Belanda. Dalam sepuluh tahun, orang-orang yang bisa baca-tulis telah meningkat menjadi lebih dari 80% dan sekolah-sekolah hampir ada di setiap desa. Selain sistim pendidikan negara, sekolah-sekolah agama juga memperkenalkan kurikulum baru dan menyebarluaskan baca-tulis kepada orang-orang Indonesia.

Proses pembebasan pendidikan dari kungkungan kolonialisme terhenti ketika Orde Baru mulai berkuasa. Kendati tidak sepenuhnya memberikan keleluasaan penuh kepada swasta untuk menanamkan modalnya dalam sektor pendidikan. Pendidikan merupakan lapangan penting bagi Orde Baru untuk memerangi musuh politiknya yaitu komunisme, sosialisme, dan nasionalisme progressif. Upaya ini disebut beberapa kalangan sejarahwan sebagai upaya “penghapusan ingatan”. Semua tulisan Soekarno, pimpinan-pimpinan dan intelektual-intelektual PKI serta organisasi-organisasi kiri lainnya dilarang, menghilang dari semua toko buku dan perpustakaan. Orde Baru mulai secara total menulis kembali sejarah Indonesia yang akan disebarkan di sekolah, universitas, dan malalui media massa. Tugas tersebut diemban oleh Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang dipimpin oleh seorang sejarawan yang dipakai oleh Angkatan Bersenjata (Angkatan Darat) dan diberi gelar tituler Brigadir Jenderal: Nugroho Notosususanto. Sejarah resmi Indonesia diproduksi oleh negara. Buku teks ditulis bagi semua tingkatan sekolah dan dicoba dalam berbagai bentuk sepanjang 32 tahun. Pendidikan dibawah Orde Baru bukan saja menghapuskan ingatan pada sejarah progressif dimasa sebelumnya, akan tetapi juga mereproduksi ”tipe manusia baru” yang penurut, patuh, tidak banyak bicara, tapi sangat korup dan tidak mau mengeluarkan keringat.

Ketika Orde Baru tumbang, adanya sedikit keterbukaan politik mulai menggeser monopoli pengetahuan versi orba meskipun tidak seluruhnya. Tidak banyak kurikulum yang berubah di sekolah-sekolah tingkatan bawah seperti SD, SMP, dan SMU. Perubahan justru agak terlihat dilingkungan Universitas –universtas besar. Munculnya dosen-dosen atau professor yang berfikiran liberal atau progressif, sedikit banyak mempengaruhi cara pandang mahasiswanya. Umunya ideology utama yang mendominasi universitas paska tumbangnya orba adalah liberalisme yang merupakan perangkat dari sistem pasar. kesepakatan pemerintah Indonesia dengan pihak IMF dalam Letter Of Intent (LoI) menggeser fungsi pendidikan lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan dari perkembangan kapitalisme. Neoliberalisme merambah Universitas sejak tahun 1999, dengan keluarnya kebijakan PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN.

Pendidikan versus Imperialisme

Persetujuan Letter of Intent (LoI) sebetulnya sudah menjadikan pendidikan lepas dari tangan negara, kemudian dilemparkan kepada mekanisme pasar. istilah “otonomi kampus” hanyalah makna hiasan seolah-olah kampus sanggup independen, berdiri-sendiri, tidak bergantung kepada negara dalam hal mobilisasi anggaran, tetapi kenyataannya kampus semakin dekat dengan kepentingan pemodal yang duduk dalam Majelis Wali Amanat (MWA). Proses pelenyapan fungsi negara dalam bidang pendidikan berkesesuaian dengan hilangnya intervensi negara dalam kehidupan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh neoliberalisme. Dan memang sangat menggiurkan bagi pemilik modal mengingat bahwa Indonesia adalah pasar yang menguntungkan dengan penduduk yang berjumlah 200 juta lebih dan sekitar 102, 6 juta penduduk usia sekolah akan dijadikan pangsa pasar.

Situasi pendidikan nasional sungguh memprihatinkan. Ditengah tuntutan harus memajukan tenaga-tenaga produktif nasional sebagai syarat berkembang maju, sistem pendidikan nasional justru dilemparkan dalam mekanisme pasar. gejala ini bukan terjadi di Indonesia saja, tetapi juga dipaksakan terhadap lembaga pendidikan dinegara-negara berkembang lainnya, bahkan di lembaga pendidikan negara maju (meskipun agak pelan). Inilah yang disebut sebagai imperialisme, yang gejalanya sudah dianalisa dan dijelaskan dengan rigid oleh V. Lenin. Imperialisme telah menggantikan kompetisi bebas dengan kapitalisme monopoli sebagai prinsipnya. Sektor pendidikan nasional berhadapan dengan serbuan imperialisme dalam dua hal; pertama, pemaksaan terhadap penghilangan tanggung jawab negara dan keharusan melepas sektor pendidikan dalam mekanisme pasar bebas, seperti yang dianjurkan dalam perjanjian General Agreement On Trade and Service (GATS) oleh WTO. Pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar mengakibatkan biaya pendidikan semakin mahal dan rakyat kebanyakan susah untuk mengaksesnya. Kedua, pendidikan nasional disubordinasikan dibawah tujuan-tujuan imperialis; pemasok tenaga kerja murah, penelitian dan pengembangan technology kapitalis, dan menanamkan ideology individualisme dan konsumerisme terhadap masyarakat.

Serbuan imperialisme terhadap sektor pendidikan adalah bagain dari serangan umum terhadap ekonomi nasional, sehingga secara bersamaan kehidupan sosial dan ekonomi dirusakkan oleh kaum Imperialis. sehingga, perjuangan melepaskan pendidikan dari imperialisme tak dapat dipisahkan dengan perjuangan rakyat Indonesia secara umum. Inilah hakekat dari perjuangan pembebasan nasional, dimana mahasiswa harus menjadi unsure dan berada di”garda depan”.

Posisi Mahasiswa dan Perjuangan Pembebasan Nasional

Pendidikan merupakan sebuah inti dari kemajuan tenaga produktif nasional. Gerak maju bangsa Indonesia untuk berkembang menjadi sebuah bangsa modern, mandiri dan bermartabat terhalang oleh masih berkuasanya susunan ekonomi Imperialisme dalam ekonomi didalam negeri. Imperialisme telah menguasai sumber daya dan seluruh kekayaan alam nasional tanpa menyisakan sedikitpun, sehingga sektor pendidikan kekeringan anggaran. Imperialisme pula yang mengharuskan sistem pendidikan nasional dilempar kepada mekanisme pasar guna akumulasi profit mereka.

Meskipun tidak menapikan kebutuhan mengankat isu-isu sektoral guna membangkitkan massa luas mahasiswa, akan tetapi perlu ditegaskan bahwa poros perjuangan pokok mahasiswa sekarang ini adalah anti-imperialisme atau pembebasan nasional. harus dijelaskan kepada massa luas mahasiswa, bahwa tidak ada pendidikan yang bisa diakses luas oleh seluruh rakyat, tidak ada mutu dan kualitas pendidikan, tidak ada pendidikan kerakyatan jikalau sektor pendidikan masih dikankangi oleh Imperialisme.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus menyokong sepenuh-penuhnya perjuangan pembebasan nasional. sehingga dalam kepentingan ini, beberapa isu yang merupakan program dari pembebasan nasional oleh dimengerti dan dipahami oleh semua massa mahasiswa;

A. Tuntutan Nasionalisasi Perusahaan Pertambangan Asing;

Syarat bebas bagi perkembangan ekonomi nasional adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif (teknik produksi dan sumber daya manusia). Ketika memacu pertumbuhan produksi didalam negeri, sektor Industri harus difasilitasi berkembang dan klas pekerja harus diberikan jaminan kesejahteraan berupa upah yang layak. Ini hanya akan berhasil jika seluruh kekayaan alam dan dimobilisasi demi kepentingan Industri nasional. Saat ini, usaha untuk membangun dan memperkuat Industri dalam negeri berhadapan dengan serbuan ekonomi kaum Imperialis. Imperialisme yang berwatak monopoli menghendaki penguasaan sumber bahan baku dan material milik negara-negara dunia ketiga, mengusai perdagangan komoditi dan pasar dunia ketiga, dan mengusai massa pekerja kita guna memperbesar akumulasi profit (laba) mereka.

Imperialisme yang berwatak monopoli telah menempatkan negara-negara bangsa (nation) yang terbelakang sebagai sumber penghisapan dan sasaran eksploitasi. Dalam derajat tertentu, hal tersebut memicu lahirnya gerakan pembebasan nasional, yang kadang diikuti bahkan dipimpin dengan bersemangat oleh borjuasi nasional yang tersingkirkan pula oleh Imperialisme. borjuis membutuhkan “nation” sebagai benteng membangun dan menata modalnya dalam tahap awal.

Tidak akan ada kesempatan membangun ekonomi nasional jikalau susunan ekonomi Imperialis masih mendominasi. Harus ada upaya untuk merebut kembali semua sumber daya alam kita yang sekarang dikuasai oleh pihak asing. Sektor energi kita yang cukup vital, sekitar 90% dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing (MNC), demikian pula dengan mineral dan lain-lain. Akibat pengusahaan asing terhadap sumber-sumber energi dan mineral menyebabkan Industri dalam negeri berjalan kearah kolaps. Tindakan pertama yang seharusnya dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional dan menciptakan basis industrialisasi nasional adalah melancarkan pengambil-alihan (nasionalisasi) terhadap perusahaan pertambangan asing, kemudian dilanjutkan kepada perusahaan asing vital lainnya. Sehingga nasionalisasi terhadap perusahaan tambang asing tidak dapat ditunda-tunda lagi. Nasionalisasi harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan menegakkan martabat dan kedaulatan bangsa, dimana bangsa indonesia memiliki posisi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk korporasi asing.

B. Penghapusan Utang Luar Negeri

Utang merupakan jerat yang diikatkan kepada leher rakyat dunia ketiga guna memaksa mereka menjalankan kewajiban “Washington Consensus”. Sejarah utang dalam perekonomian Indonesia sebagian merupakan warisan kolonialisme (Konferensi Meja Bundar), dibawah orde baru, kemudian semakin diperkuat lewat kerjasama dengan IMF setelah reformasi. Saat ini, jumlah utang luar negeri kita mencapai US$ 136,640 miliar (2007) dengan posisi pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya dalam APBN mencapai Rp. 90 trilyun. Besarnya rasio pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya dalam APBN (mencapai 30-40%) menyebabkan anggaran untuk pelayanan publik; pendidikan, kesehatan, dan lain-lain terbengkalai.

C. Industrialisasi Nasional

Industri didalam negeri tidak pernah dikembangkan guna memenuhi kesejahteraan rakyat. Karena sepenuhnya pengembangan Industri didalam negeri disesuaikan dengan kepentingan perluasan dan ekspansi kapital sebagai kelanjutan dari ekonomi kolonial yang sempat terinterupsi di era Soekarno. Kapitalisme monopoli yang tumbuh menggantikan kompetisi bebas mencaplok kapital kecil dan domestic, sehingga kapital domestic (dalam negeri) buat benar-benar bergantung pada kapital asing. Tergantung dalam hal permodalan, bahan baku, teknologi, sampai dengan pasar. Ketergantungan industri dalam negeri menyebabkan produktifitas nasional tidak berkembang maju, tidak juga memprogressifkan hubungan-hubungan produksi sehingga melahirkan sebuah relasi produksi yang bisa memenuhi kesejahteraan rakyat.

Industri dalam negeri tidak memili basis Industri dasar yang kuat. Kebanyakan Industri yang berdiri merupakan industri rakitan. Ciri lain industri yang tumbuh adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Rendahnya kapasitas Inudstri dalam negeri dan sepenuhnya sangat tergantung kepada asing menyebabkan nilai tambah yang dihasilkannya cukup kecil. Hal itu berdampak pada rendahnya upah dan kesejahteraan para pekerja.

Program Industrialisasi nasional dimaksudkan untuk memobilisasi seluruh sumber daya (sumber daya alam, tekhnologi, dan SDM) untuk membangun dan memperkuat industri dalam negeri; industri minyak, petrokimia, besi dan baja, sintetis, dll.

Perjuangan Mahasiswa dan Front Persatuan Nasional

Perjuangan anti Imperialisme akan bermuara pada “kemenangan”, jika gerakan mahasiswa bisa menerapkan politik persatuan yang tepat. Politik persatuan disini adalah prinsip pengakumulasian kekuatan massa dan dukungan massa rakyat terhadap tahapan perjuangan yang berada didepan mata. Didalam menjalankan persatuan, prinsip utamanya adalah memperlebar kawan dan mengisolasi musuh dengan tidak menanggalkan independensi politik kita (politik perjuangan klas). Ketika berpraktek, tidak jarang kita menemukan politik persatuan yang kaku, reaksioner dan merugikan perjuangan secara umum. Banyak yang menyerukan persatuan dalam seruan-seruan politik, tetapi menerapkan persyaratan (kesepakatan) yang terlampau ketat sehingga hasilnya persatuan minoritas kecil (sekte). Tipe politik persatuan seperti ini dikatakan sebagai “politik pintu tertutup”.

Imperialisme berkuasa dengan mulus berkat kemampuannya membangun kekuasaan politik dinegara-negara dunia ketiga. Dibelahan dunia ketiga, tersebar pemimpin-pemimpin politik yang hidup dari “pundi-pundi” sebagai hadian modal asing atas jasanya “membuka jalan terhadap imperialisme. Soeharto di masa lalu masuk dalam kategori tersebut, meskipun kemudian rejim Orba bergeser memperkaya dinastinya dan membangun jarak dengan modal asing untuk memperkaya diri dan kroninya. Pemerintahan SBY-JK dimasa sekarang boleh dikatakan “murid baru” imperialis yang sangat patuh. Kepatuhan SBY-JK diperlihatkan dengan begitu agressif menjalankan “washintong consensus” dan menyerahkan kedaulatan nasional secara bulat-bulat kepada modal asing.

Rejim yang berkuasa sekarang, ataupun rejim-rejim sesudahnya jikalau tetap menjadi “alas kaki” modal asing, merupakan musuh rakyat Indonesia didalam negeri. Perjuangan anti-imperialisme harus menyingkirkan rejim-rejim “pesanan asing” di tahap pertama, kemudian dilanjutkan dengan memblokade semua kepentingan asing didalam negeri. Sehingga, perjuangan anti-imperialisme haruslah mewujudkan sebuah pemerintahan yang berdasarkan demokrasi kerakyatan, yang menyingkirkan semua praktek imperialisme baik dilapangan ekonomi, politik, ataupun budaya.

Untuk menyingkirkan borjuis nasional antek asing, politik persatuan harus berhasil memenangkan atau menarik keberpihakan klas menengah dan borjuasi nasional progressif dalam Front Persatuan Nasional. kita perlu melakukan hal itu untuk menegaskan perpisahan unsur-unsur tersebut dengan kelompok borjuis yang benar-benar kaki tangan asing. Front Persatuan Nasional berdiri untuk memimpin persamaan kepentingan klas pekerja, pemuda dan mahasiswa, serta klas-kelas terhisap untuk mewujudkan Demokrasi Kerakyatan dengan tujuan-tujuan spesifik dari borjuis nasional progressif terhadap kelahiran sebuah bangsa mandiri, yang mengakomodir (untuk sementara) kepentingan borjuisme mereka; mengembangan industri nasional (industri berat, menengah, ringan) untuk tujuan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia. Jika hal tersebut sudah terwujud, maka selubung-selubung “nasional” yang menutupi perjuangan klas sudah tersingkap dan membuka babak baru bagi perjuangan klas pekerja untuk Demokrasi yang sesejatinya; masyarakat tanpa klas.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►