Saturday, March 31, 2012

Soal Estetika Sastra Internet

TS Pinang
Republika, 20 Mei 2001

Munculnya beberapa situs sastra di internet belakangan ini ternyata memancing kritik yang cukup serius baik dari para pengamat maupun pegiat sastra itu sendiri. Dinamika di mailing list penyair sendiri ternyata sempat bikin gerah Faruk HT, kritikus sastra dari UGM. Agus Noor yang cerpenis pernah mengungkapkan kekecewaannya terhadap karya-karya cerpen internet yang terpajang di situs www.cybersastra.net. Ahmadun Yosi Herfanda di Republika (Minggu 29 April 2001) juga setidaknya mengungkapkan kegelisahan yang sama menanggapi akan diluncurkannya kompilasi karya puisi internet (cyber) oleh Yayasan Multimedia Sastra dalam waktu dekat ini.

Kegelisahan utama yang muncul ialah seputar estetika sastra di internet yang belum beranjak dari tradisi sastra di medium konvensional (cetak). Kritik yang paling sering muncul berkaitan dengan sastra (di) internet ini ialah bahwa para pencipta sastra masih memanfaatkan internet sebatas medium saja. Artinya internet hanya dipakai untuk memindahkan karya-karya sastra dari medium kertas ke bentuk digital. Fungsi dokumentasi inilah semata-mata yang paling populer dimanfaatkan. Sementara itu kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh teknologi internet belum digali apalagi dimanfaatkan oleh para sastrawan cyber dalam pencarian estetika baru. Ahmadun bahkan sempat menggagaskan secara lebih teknis mengenai estetika puisi di internet dari segi presentasi karya, antara lain pemanfaatan latar layar, suara dan efek-efek audio-visual lainnya. Agus Noor hanya menyatakan kekecewaannya tanpa menawarkan gagasan baru. Kelihatannya, sejauh penglihatan saya, baik kreator maupun kritikus sastra masih gagap menyikapi kehadiran teknologi internet ini baik semata sebagai medium maupun sebagai lahan eksplorasi estetik baru. Seringkali saya pikir harapan-harapan yang disampirkan di pundak binatang baru bernama internet ini masih terlalu muluk dan terus terang masih agak jauh dari realistis.

Dalam obrolan singkat saya lewat email dengan Eka Kurniawan, penggagas dan pengelola situs www.bumimanusia.or.id, pernah kami singgung mengenai sastra internet ini. Dari obrolan amat singkat itu saya menangkap bahwa sastrawan internet mesti mencari terobosan estetik yang baru dengan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan yang dibawa oleh teknologi ini. Pencarian estetik bukan sekadar memanfaatkan kecepatan transfer informasi. Dalam konteks internet, estetik di sini akan berarti ungkapan estetik audio-visual pada layar monitor dan pengeras suara di mesin komputer kita.

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa gagasan-gagasan estetik yang dipancing oleh Ahmadun maupun Faruk itu memang sangat menarik pada aras konsep, tetapi masih teramat repot diaplikasikan dalam praktek. Sejauh saya amati, para pegiat sastra, baik yang sudah dikenal luas maupun pendatang baru yang mengirimkan karya-karya mereka ke mailing list penyair atau ke redaksi cybersastra.net, mengirimkan karya-karya mereka karena alasan kecepatan (baca: sifat instan) internet. Kertas digital. Hal ini disebabkan karena pengetahuan internet mereka memang masih sebatas memanfaatkan fasilitas-fasilitas internet yang paling populer: email dan website.

Eksplorasi estetik sebagaimana dimaksud oleh Ahmadun itu jelas membutuhkan keahlian seorang perancang website atau bahkan seorang programmer. Akibatnya proses kreatif akan menjadi sebuah proses kolaborasi yang membutuhkan banyak waktu, tenaga dan yang jelas biaya, kecuali sastrawan bersangkutan juga mengantongi ilmu perancangan website dan pemprograman untuk internet yang saya yakin hanya ada sedikit. Pada tahap ini jelas ke-instan-an internet menjadi jauh berkurang. Penggunaan gambar-gambar ilustrasi, latar suara, gambar bergerak, efek tipografi berkedip-kedip, dan lain-lain membutuhkan pengetahuan teknis yang tidak semuanya disediakan oleh perangkat-perangkat lunak instan yang tersedia di pasaran. Beberapa efek bahkan membutuhkan kemampuan menuliskan bahasa pemprograman seperti JavaScript, Java Applet, Visual Basic, atau kemampuan rancang grafis elektronik semacam Flash dan beberapa aplikasi multimedia lainnya. Karya seperti ini jelas merupakan suatu proyek besar dan relatif mahal, padahal daya tarik utama internet ini bagi para sastrawan cyber justru adalah sifatnya yang instan dan murah.

Kemungkinan yang paling realistis pada hemat saya adalah penggalian estetik dalam bahasa ungkap. Eksplorasi estetik berbahasa inilah yang menurut saya sebenarnya perlu lebih dihayati oleh para pegiat sastra siapa saja dan ini jelas bukan monopoli sastrawan internet. Kebutuhan atas penggalian estetika baru pada dasarnya adalah kebutuhan pengarang maupun pegiat seni pada umumnya yang universal sifatnya. Pencarian estetik semata untuk membedakan diri (baca: sastra internet) dari sastra konvensional (cetak) bagi saya terdengar naif. Internet bagi saya tetap hanyalah sebuah medium dengan kelebihan maupun kekurangannya sendiri. Ia tak lebih hebat atau buruk dibanding media konvensional lainnya. Ia menawarkan kekhasannya sendiri sebagaimana media konvensional dengan kekhasannya sendiri. Internet tak akan menggantikan media cetak karena memang ada beberapa hal di mana keduanya tak bisa saling menggantikan.

Seorang teman penyair menyatakan dirinya tak akan mengirimkan karya-karya puisinya ke media cetak. Dari segi estetik karya-karyanya tak beda dengan karya-karya penyair “koran”. Kegigihannya untuk bertahan di medium internet semata karena alasan yang lebih bersifat politis. Kebebasan tanpa birokrasi yang ditawarkan internet tidak dijumpai di media konvensional yang sering menjadi baju ukur pengakuan (baca: penobatan) seseorang sebagai penyair atau sastrawan betulan. Rasa kebebasan berekspresi ini ternyata amat berpengaruh bagi kawan penyair tersebut dalam berkarya. Ia dengan enak menulis puisi dalam gaya ungkap dan bahasa apa pun yang dia inginkan. Puisi-puisinya banyak yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, bahkan Banjar. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris bahkan telah dimuat di beberapa situs dan forum diskusi puisi internasional. Buat dia internet adalah sebuah taman bermain (baca: taman sastra) yang tanpa batas, tanpa sekat. Kawan ini bahkan menyebut situs pribadinya “kamar sastra”. Tentu yang dia maksud bukanlah kamar berbatas empat bidang dinding atau sekian kolom di halaman surat kabar.

Kebebasan berekspresi ini juga merupakan keunggulan penting internet, meskipun bagi sekalangan pengamat justru membuat internet tampak seperti “truk besar” atau bahkan “tong sampah” bagi karya-karya yang ditolak oleh redaktur koran. Komentar yang terdengar agak sinis begini muncul karena mereka masih berpegang pada nilai-nilai estetik konvensional yang notabene dibentuk oleh media cetak selama ini. Saya sendiri berkeyakinan bahwa justru dengan menjadi “truk sampah yang besar, amat besar” ini karya-karya dan pencipta-penciptanya bisa saling berkomunikasi dan sangat mungkin dari sana akan muncul kejutan-kejutan estetik baru.

Sastra internet adalah sebuah proses. Ia tumbuh, ia jatuh bangun, ia bermutasi, berselingkuh dengan leluasa!

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/ts-pinang-soal-estetika-sastra-internet/396169457078592

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►