Monday, March 12, 2012

Kado Ulang Tahun Buat Sang Penyair

Drs. Solihin
http://www.sumbawanews.com/

Saat tangis pertamamu mengusik sang waktu dikaki bukit Jelangu
Kuda-kuda liar meringkik-ringkik
Air lubuk gemericik manja dicumbui camar
Sementara bayu mendesah lirih diantara ketiak daun durian muda
Diatas pematang , serunai padi lantunkan syair-syair tentang kelahiran

Kini, seratus empat puluh musim telah kau lewati
Namun pipi keriputmu tak pernah resah menyapa waktu
Dihari yang ke-Duapuluh lima ribu dua ratus-mu ini
Semoga Rabb menggelarkan sajadah panjang untukmu ,sampai ke ujung waktu (ihin)

Dua hari menjelang keberangkatannya Ke Jakarta untuk menghadiri undangan dalam event penyair tingkat Dunia Jakarta Internasional Leterary Festival (JIL-Fest),usai kami menghadiri Musyawarah Seniman Sumbawa, aku bersama sahabatku (Zubair Bonto Bahari-Lombok Post) bertamu kerumahnya yang sederhana dan masih telanjang lantaran rumah yang pertama habis dilalap sijago merah beberapa waktu yang lalu hingga sebagian besar buah karyanya yang berharga habis terbakar inilah yang sangat mengiris-ngiris hatiku.

Meski ini baru kali pertama aku menjabat tangannya namun nyanyian jiwanya telah melekat erat didinding beranda kalbuku. H.Dinullah Rayes, seorang penyair dari dusun kecil (KalaBeso) dikaki bukit jelangu, lahir tujuh puluh tahun yang lalu kini namanya sudah melegenda sejajar dengan penyair-penyair nusantara seangkatannya seperti Taufiq Ismail, Sutardji Choulsum Bahri,Korrie Layun Lampan,D.Zawawi Imron,Diah Hadaning,Bambang Widiatmoko dan lain-lain.

Dengan decak kagum aku coba menyelami wajah sang legenda yang sudah mulai keriput dimakan usia,bagai cermin tempat aku berkaca,karakter merendah jauh dari tinggi hati,tutur kata yang halus menggambarkan warna jiwanya yang begitu matang, mungkin inilah hasil dari perenungannya yang panjang, mengutak-atik rasa nurani hingga terangkai menjadi pintalan-pintalan syair puisi yang sanggup menubruk-nubruk dinding hati.Dia adalah seorang Bapak dari sebuah generasi, meski bukan Nabi tapi pantas untuk kuteladani.

H. Dinullah Rayes memulai kariernya sebagai seorang penyair sejak tahun 1956 saat beliau menjadi Guru sekolah Dasar.Untuk mengasah kecerdasannya dalam menulis Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Setamat pendidikan Sekolah Guru selama 4 tahun beliau belajar secara otodidak. Bakat sastranya terus diasah dengan selfstudy sejak beliau masih disekolah Rakyat sambil berlangganan majalah-majalah yang bernafaskan Sastra seperti Mimbar Indonesia, Siasat/Ruang Gelanggang, Budaya Jaya dan lain-lain walaupun mendapatkannya secara eceran.

Saking rakusnya, karya pengarang caliber dunia seperti Shakespeare, Voltire, Lord Byron, Victor Hugo,HB. Yassin, Taslim Alim, Ali Audah, Omar Khayyam, Jalaluddin Rummi dan lain-lain tak pernah luput dari buruannya. Barangkali itulah yang banyak memperkaya wawasannya tentang kesusastraan.
Selepas menjadi Guru,beliau dialih tugaskan sebagai Kabin Kebudayaan Kabupaten Sumbawa di Sumbawa Besar dan pernah juga menjabat sebagai Kepala Seksi Kebudayaan Kandep DIKBUD kabupaten Sumbawa Hingga menjelang masa pensiunnya.

Aktivitas menulisnya mulai eksis sejak 1959 meliputi genre puisi, cerpen, esai,naskah drama, makalah kesenian dan kebudayaan. Tulisannyapun banyak tersebar dimedia masa Baik dalam mupun luar negeri seperti Dewan sastra Malaysia, Bahana Brunai Darussalam, Horison, Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhammadiyah, Minggu Pagi, Simponi, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forim, Tibun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara serta beberapa majalah puisi terbitan Mataram. Antologi Puisi Tunggalnya dan beberapa puisi-puisi lainnya terhimpun dalam antologi puisi karya penyair Indonesia lainnya.

Dari karya-karya kreatifnya itulah Dinullah Rayes ditempatkan sebagai salah satu penyair tanah air yang dicatat namanya dalam barisan satrawan Indonesia. Sehingga tak sedikit Undangan dan penghargaan yang diterimanya. Ia sering diundang diberbagai forum kongres kebudayaan, bahasa, atau kesenian baik sekala Nasional Maupun Internasional seperti memberikan sambutan mewakili sastrawan Indonesia pada pertemuan sastrawan tingkat ASEAN. Ia juga pernah bergabung dengan Taufiq Ismail dkk dimajalah Horison (penyair berbicara siswa bertanya). Pada Nopember 2000 memenuhi undangan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) untuk menghadiri Hari puisi Nasional XV dilangkawi Malaysia.

Atas Usulan DKJ sebagai seniman satrawan berprestasi pada tahun 1996, penyair yang dipercaya sebagai sekretaris Umum Lembaga Adat Tana Samawa ini menunaikan Ibadah Haji atas Rekomendasi Menteri Agama RI. Selain itu, Piagam, hadiah seni dan Lencana karya satya tingkat III dari menteri kebudayaan dan pariwisata bidang sastra dan Budaya, bahkan Mantan Ketua Umum Dewan Kesenian Sumbawa ini pernah diundang dalam Wisuda Gelar Kehormatan dari American University of Hawai. Sampai sekarangpun Beliau masih dipercaya oleh presiden melalui Ketua Dewan Kesenian Nasional sebagai kordinator Bidang imfomasi dan Komunikasi Dewan Kesenian Nasional Indonesia. Mengenang Sejarah perjalanan Karier Seorang Dinullah Rayes seakan tak pernah habis-habis meski baru kali ini aku bertemu, tiba-tiba aku tersentak dari Lamunan saat bibir tuanya yang mulai berkerut membacakan syair puisi DOA DALAM DO’A diatas mimbar acara pembukaan Musyawarah Seniman Sumbawa. Tak ada suara gemerisik, anginpun seakan mati, sepi dan hening.

Usai shalat malam / Aku mohon pada Tuhan Mahasegala / Setangkai bunga harum mewangi / Dia beri aku kaktus berduri / akupun mohon pula / binatang anggun jenaka / Dia sodorkan aku ulat berbulu gatal / aku protes,teramat kecewa tentang ketidakadilan-Nya / Dia senyum lewat kerdipan bintang-bintang / Dia tertawa lewat sinar matahari pagi / Kaktus berduri itu melahirkan bunga seindah pelangi / ulat berbulu itu jelma kupu-kupu seindah mata bayi / duh maafkan hamba Tuhan / Kau anugerahkan aku yang ku perlukan pada waktunya / kau tolak yang kuharapkan pada waktunya / itulah jalan pikiran- perasaan-Mu / pada insan ikhlas bila memohon / sarat pohon ampunan.

Puisi tersebut sangat kental dengan nuansa ketuhanan, pengembaraan jiwa, perenungan yang terdalam serta pemahaman tentang hakikat dari kudrat tuhan yang sangat kontradiksi dengan keinginan manusia,bagi seorang Dinullah Rayes yang sejak mulai bernafas dididik dalam lingkungan keluarga yang sangat religius tak mengherankan jika sentuhan –sentuhan tentang ketuhanan amat menggetarkan jiwa. Bagi penikmat Puisi seperti saya, bagai menjilat setetes embun ditengah padang yang kerontang lantaran dahaga, paparanya mampu sirami gejolak bathin akan kehidupan Dunia yang begini liar. Setangkai bunga harum mewangi / Dia beri aku kaktus berduri, tidak hanya sekedar bermain dengan symbol-symbol flora dan fauna tapi jauh mengandung rahasia-rahasia tentang kenikmatan dan kesulitan hidup seorang hamba diatas punggung dunia menjadi ujian yang dibaliknya tersimpan sejuta rahmat, seperti Ia berujar : Kaktus berduri itu melahirkan bunga seindah pelangi / ulat berbulu itu jelma kupu-kupu seindah mata bayi.

Dinullah Rayes tak lebih dari seorang Muslim yang telah berumur, sudah kenyang mengunyah manis pahitnya tingkah laku dunia sehingga dia amat bijak dan peka dengan sentuhan rahasia rahmat Tuhan. Baginya Anugerah yang diberikan Tuhan bukanlah limpahan rahmat tanpa batas melainkan apa yang Ia mohonkan kepada-Nya adalah sesuatu yang Ia perlukan, wajar kalau Tuhan menolak apa yang kita harapkan karena kita tidak memerlukan : duh maafkan hamba Tuhan / Kau anugerahkan aku yang ku perlukan pada waktunya / kau tolak yang kuharapkan pada waktunya / itulah jalan pikiran- perasaan-Mu.

Bagiku, Dinullah Rayes bukan lagi sekedar penyair atau satrawan yang pintar merangkai Aksara bahkan lebih dari itu, ketajaman mata hatinya yang disampaikan secara lugas meski hanya melalui untaian-untaian syair puisi namun rabaannya terasa sampai kerelung hati. Pantas kalau seorang sahabatku menjulukinya “ penyair Muballigh”. Barangkali inilah sisi yang paling disukai oleh penikmat puisi didaratan Malaysia dan Brunai sehingga tak salah apabila Dinullah Rayes amat populis di dua Negara melayu itu. Klimaks dari puisi ini, Dinullah Rayes berujar : pada insan ikhlas bila memohon / sarat pohon ampunan. Barangkali tidak banyak orang yang mengembara dalam pikiran bisa sampai pada pemahaman seperti ini. Baginya tak ada yang lebih tinggi derajatnya dalam beribadah kepada Tuhan kecuali karena Ihlas. Hal ini menandakan bahwa kematangan jiwa sang penyair sudah tiba pada limit umur yang teduh dan iman yang tidak lagi rapuh padahal Ia bukan seorang Ulama tulen hanya anak seorang kiai desa yang memahami islam dalam format yang sederhana namun Ia mampu mengembara dalam alam sufistik bag Jalaluddin Rummi ataupun adawiyah.

Pada bulan desember ini genap sudah 70 musim kemarau dan penghujan Ia lalui sejak nafas pertamanya Ia hirup saat pertama kali Ia menyapa Dunia ini dengan tangisannya. Meskipun ketika aku Tanya Ia tidak tahu hari kelahirannya secara pasti namun itu bukanlah hal yang penting.Bagiku Dinullah Rayes adalah penyair Besar dizaman ini apalagi Ia putra Samawa asli tapi Ia sudah mampu mengangkat nama Samawa ditataran penyair Nasional. Kelak Ia akan menjadi bagian dari sejarah Sastrawan dan penyair Indonesia.

Namun, sekali lagi yang mengiris-iris hatiku sebagian besar karya-karya monumentalnya yang sedianya akan menjadi warisan habis terbakar seharusnya Ia sudah mempunyai museum atau perpustakaan yang khusus menyimpan karya-karyanya. Barangkali saya ataupun kita semua orang-orang kerdil yang hanya mampu mengaguminya namun tidak menghargainya. Wahai Pemda Sumbawa ini bagianmu.

Drs. Solihin, Guru SMP Negeri 1 Utan

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►