Friday, March 23, 2012

J.F.X. HOERY TAK INGIN SASTRA JAWA MATI

Sujatmiko
_Koran Tempo, 23 Mei 2009

Sepeda motor Honda Astrea keluaran 1980-an memasuki pekarangan rumah yang penuh pepohonan di Desa Padangan, Kecamatan Padangan, Bojonegoro. Pengendaranya, pria bertopi yang berboncengan dengan wanita paruh baya.

Pria itu bernama JFX Hoery, 64 tahun, dan Sri Narjati, istrinya. Ya, setidaknya, dalam 10 tahun terakhir ini, sepeda motor warna hitam itulah yang berjasa mengantar beraktivitas pemiliknya. Termasuk antar-jemput sang istri, seorang guru yang juga kepala sekolah dasar negeri di sebuah desa di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. “Saya sedang menyiapkan berkas sertifikasi guru untuk istri saya,” ujar pria kelahiran Pacitan ini.

Dalam jagat jurnalistik, terutama bahasa Jawa, nama J.F.X. Hoery sudah tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai seorang sastrawan Jawa yang kini mulai langka. Banyak hasil karangannya telah diterbitkan dalam bentuk buku, antara lain Lintang-lintang Abyor, Langit Jakarta, dan buku cerita anak dengan judul Permaisuri yang Cerdik dan Sosiawan-sosiawan Kecil.

Sebagian besar karya Hoery ditulis dalam bahasa Jawa, baik berupa geguritan (puisi) atau kumpulan cerita cekak (cerita pendek), yang dimuat di sejumlah media seperti Penjebar Semangat, Joyo Boyo, Joko Lodang, Dharma Nyata, Dharma Kanda, Parikesit, Pustaka Candra, Praba, Damar Jati, dan harian Suara Merdeka di Semarang.

Boleh dibilang, di antara sejumlah nama besar sastrawan Jawa di Jawa Timur, Hoery termasuk salah satu sastrawan yang produktif. Hingga 2006, Hoery sudah menghasilkan sekitar 100 cerita cekak dan sekitar 350 geguritan. Bahkan, pada 2004, buku Pagelaran, kumpulan geguritan Hoery, juga mendapatkan hadiah Rancage, penghargaan paling bergengsi untuk sastra daerah.

Di luar aktivitasnya sebagai pengarang Jawa, Hoery juga pernah menjadi wartawan Kedaulatan Rakyat (1985-1989) dan Bernas (1990-2001) di Bojonegoro dan Blora. Tetapi, bagi Hoery, sastra Jawa lebih kuat daya tariknya ketimbang menjadi wartawan. Menurut dia, sastra Jawa bisa memberikan kepuasan batin ketimbang sastra Indonesia. “Intuisi saya ke sastra Jawa lebih kuat,” pria sederhana ini menegaskan.

Selain sebagai penggurit yang andal, Hoery dikenal sebagai pekerja keras, ulet, teliti, sekaligus seorang pendokumen yang baik. Arsip-arsip hasil karya tulisnya–termasuk foto–masih disimpan rapi di rumahnya di Dusun Kalangan, Desa Padangan. Bahkan, hingga saat ini Hoery juga masih telaten menjadi agen sejumlah media Jawa seperti Jaya Baya dan Penjebar Semangat. Bagi Hoery, kerelaannya menjadi agen majalah tersebut adalah bagian dari kecintaan dan penghormatannya pada sastra Jawa.

Berkat upaya menguri-uri (merawat) sastra Jawa ini, Hoery kerap menjadi narasumber penelitian dari para mahasiswa dan dosen dari sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Semarang dan Universitas Negeri Surabaya. Bahkan, salah seorang peneliti dari Universitas Canberra, Australia, George Quinn, juga pernah meneliti karya Hoery.

Proses kreatif Hoery sebagai sastrawan diawali pada 1960, saat tulisannya (cerita anak) di rubrik Taman Putra di majalah Penjebar Semangat. Kegiatan menulis ini tak lepas dari lingkungan masa kecilnya yang kental dengan tradisi Jawa seperti kegiatan macapat (menyanyi Jawa). Dari pergaulannya dengan tradisi ini, pada l969 hingga kini Hoery terus mengembangkan kemampuannya dalam menulis geguritan dan cerita pendek.

Setelah menerbitkan buku Pagelaran (2003) Bojonegoro Ing Gurit, dan Banjire Wis Surut (2006), Hoery kini bersiap menerbitkan empat buku lagi, dua di antaranya berjudul Kabuncang Ing Pangengan dan Tandure Wis Sumilir. Namun, rencananya ini masih tersendat karena terganjal dana. “Belum ada sponsor yang mau menerbitkannya,” kata Hoery. Penerbitan buku sastra Jawa memang masih tergantung sponsor. “Soalnya, jarang penerbit yang tertarik sastra Jawa,” dia menambahkan.

Latar belakang pendidikan Hoery sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan sastra Jawa. Pendidikan terakhirnya adalah sekolah tinggi menengah (STM) di Semarang. Karena itu, pada 1970-an, Hoery sempat bekerja di pengeboran minyak di sejumlah daerah di Jawa. Di luar kegiatannya sebagai pengarang, pada 1999-2004, Hoery juga pernah menjadi anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bojonegoro dari PDI Perjuangan.

Di tengah euforia politik yang kini melanda elite Indonesia, Hoery mengaku sangat prihatin atas perkembangan sastra Indonesia, terlebih sastra Jawa. Kegiatan sastra Jawa kini semakin redup. Akibatnya, anak-anak muda zaman sekarang sudah tidak punya unggah-ungguh (sopan santun) terhadap orang tua. “Itu karena pelajaran bahasa Jawa mulai ditinggalkan,” katanya.

Meskipun kegiatan sastra Jawa semakin surut, Hoery tak rela jika suatu saat nanti sastra Jawa mati. Untuk itu, dia terus menulis dan menggerakkan Pamursudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB)–organisasi yang kini dipimpinnya–agar karya dan jejaknya menjadikan pelita bagi sastra Jawa. (Sujatmiko)

PENGGERAK ORGANISASI
Kegelisahan dan emosi J.F.X. Hoery sebagai seorang sastrawan Jawa tidak hanya disalurkan dalam bentuk tulisan, tetapi juga diwujudkan dalam kegiatan di Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB).

Organisasi ini didirikan pada 6 Juli 1982 oleh sejumlah pengarang di Bojonegoro, seperti Yusuf Susilo Hartono, Jayus Pete, Sardjoe Resosepoetro, Yes Ismie Soeryaatmaja, dan Hoery. Nama PSJB sempat moncer di era l982-l986.

Puncaknya terutama ketika PSJB menyelenggarakan sarasehan sastra daerah dengan tema “Jati Diri Sastra Daerah”. Selain mengundang penggiat sastra dari Aceh, Minang, Sunda, Jawa, Bali, Banjar, dan Bugis, PSJB mengundang George Quinn, peneliti dari Australia.

Sebagai organisasi nirlaba, pasang surut PSJB sangat bergantung pada figur dan kepedulian pengurusnya. PSJB mulai vakum pada l987 setelah Yusuf Susilo Hartono–Ketua PSJB saat itu–merantau ke Jakarta. Komunitas ini baru aktif lagi pada 2000 setelah PSJB dipimpin oleh Hoery. Selain sudah menerbitkan tiga buku, pada masa kepemimpinan Hoery, PSJB menyelenggarakan sejumlah seminar dan pelatihan bagi guru-guru di Bojonegoro.

Yang terbaru, PSJB juga ikut memelopori penelitian situs di Bojonegoro dengan bekerja sama dengan jurusan Arkeologi Universitas Udayanai. Pada Juni depan, PSJB juga akan menggelar lomba tulis bahasa Jawa se-Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. “Ini upaya untuk melestarikan sastra Jawa,” kata Hoery.

Untuk mempertahankan bahasa daerah di Tanah Air, Hoery sependapat dengan Ajib Rosidi, sastrawan Sunda yang juga pendiri Yayasan Rancage, yaitu agar para penggiat sastra daerah secara berkala menyelenggarakan kongres bahasa daerah. “Dan ini sudah kita lakukan,” kata Hoery.

Kini, di usianya yang mulai senja, Hoery masih bersemangat untuk melestarikan sastra Jawa. Ini dibuktikannya dengan mengajak anak-anak muda dalam menjalankan PSJB. “Ini untuk kaderisasi,” ucapnya.

Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2011/03/08/j-f-x-hoery-tak-ingin-sastra-jawa-mati/

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►