Monday, March 26, 2012

Aksi Semarang dan Tangis Tanto untuk Borobudur

http://www.suaramerdeka.com/

TANTO, seniman edan dari Mendut, menangis. Ya, benar-benar menangis saat memberikan pidato keprihatinan di bawah pohon beringin di kaki Borobudur yang kukuh menjulang.

"Saya lebih baik membela orang-orang yang tertindas. Saya tak ingin melihat orang-orang yang teraniaya itu bertikai untuk rencana pembangunan Jagad Jawa," ujar Tanto seraya sesenggukan.

Ini jelas peristiwa unik. Selama ini Tanto dikenal sebagai seniman urakan yang menampik kecengengan. Selama ini dia edan-edanan. Namun persoalan pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa (PSJJ) membuat Tanto sensitif dan meneteskan air mata berulang-ulang.

Akting? Tidak. Bersama seniman dari berbagai bidang, terutama para penyair Semarang yang dikomandani Darmanto Jatman, Minggu (12/1) sejak pukul 10.00, Tanto memang (lagi-lagi) menolak pembangunan PSSJ.

Bukan hanya Tanto yang menangis. Darmanto, misalnya, juga membacakan sajak "Litani Borobudur" dengan memberikan empati kepada orang-orang yang dipinggirkan oleh pembangunanisme.

Sebaliknya, dia dengan gaya mbilung memaparkan "kebaikan-kebaikan" yang bakal ditimbulkan oleh pembangunan PSSJ. Karena itu, sambil kritik sana, kritik sini, penyair yang baru saja meluncurkan antologi puisi Sori Gusti itu meminta orang-orang yang tertindas merelakan para penguasa mempermainkan mereka.

Tentu Darmanto tak sedang menjadi birokrat Undip yang ingin membela Gubernur Mardiyanto dari serangan publik yang menolak PSJJ. Dengan membaca puisi mbilung-mbilungan, dia ingin menyadarkan setiap pihak agar tak hanyut dalam persengketaan tak kunjung henti. "Ana rembug dirembug," kata dia berkali-kali.

Tak Terhapus

Penyair lain yang terlibat acara yang dimeriahkan ansambel musik trunthong dari Warangan adalah Djawahir Muhamad. Djawahir membacakan puisi bertajuk "Borobudur" dengan semangat menggebu-gebu. "Amitaba!" teriak dia, "Demi Allah aku tak percaya bahwa hanya karena pedagang asongan/Namamu akan terhapus dari buku-buku sejarah/terlempar dari panggung peradaban."

Lewat teks Sanusi Pane bertajuk "Tjandi", Djawahir mengingatkan Borobudur adalah berita waktu yang lalu/waktu Indonesia masyhur maju/dilayan putra bangsawan kalbu/dijunjung tinggi penaka ratu.

Penggurit Widiartono R berkesan meledek siapa pun yang asyik masyuk dalam persoalan Borobudur tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Lewat geguritan yang dibacakan dengan gaya ndhagel, dia tak ingin membela "kelompok Tanto" atau "kelompok Gubernur". "Saya hanya ingin membela Borobudur. Saya tak mau membela orang-orang yang memaksa mencuci mobil dengan bayaran Rp 10.000.000. Saya bukan teman dekat Mardiyanto. Intensitas hubungan saya dan Tanto juga tak seberapa," teriak dia dalam bahasa Jawa ngoko dengan semangat berapi-api.

Tak Mengerti

Penyair Timur Sinar Suprabana yang biasanya berapi-api kali ini justru tampil dengan sajak-sajak lembut. Sajak "Kesedihan" yang dia bacakan secara romantis mampu menggambarkan "luka-luka" Borobudur yang seakan-akan tak terobati. Sebuah luka yang menyebabkan Borobudur tak bisa dipandang dari "sini", dari ketakmengertian orang-orang atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Borobudur dan bangsa ini.

Penyair "lembut" Gunoto Saparie tak mau ketinggalan. Dengan lembut pula dia memunculkan protes meditatif. Tak ada teriakan. Tak ada kemarahan. Namun sajaknya menusuk orang-orang yang berkeliling di bawah pohon beringin.

Penyair Nurdien H Kistanto tak membacakan sajak-sajaknya. Dia memilih mengungkapkan hal-hal yang tak diketahui pemerintah ketika berhadapan dengan orang-orang yang hendak digusur atau diajak membangun. "Kalau saja pemerintah tahu cara menghadapi orang-orang Borobudur, proyeknya tak akan bermasalah."

Ya, masalah itu kini mencuat. Siapa kini yang bertanggung jawab?

(tt-g) /13 Januari 2003

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►