Tuesday, March 29, 2011

Zadig, suratan takdir Voltaire (1694-1778) menjajal Leibniz (1646–1716)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Pengarang ini mungkin awalkali pembentuk alam cerita di kepalaku. Sastrawan produktif berkualitas filosof atas pilihan kata tepat di antara rerongga ruang-waktu takdir telah ditentukan, dalam setiap karyanya.

Tulisan ini, bentuk kegembiraan setelah berpisah sepuluh tahun lebih dengan bukunya “Zadig ou la Destinée.” Diterjemahkan dipengantari Ida Sundari Husen, terbitan Pustaka Jaya, cetakan pertama 1989 bertitel “Suratan Takdir.”

Mulanya kuperoleh di toko buku loakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), tetapi lenyap saat ngontrak di daerah Gedong Kuning Jogjakarta 2001. Kini kubaca ulang, selepas mendapatkan dari kritikus Maman S. Mahayana. Di sini kuucapkan terimakasih, pula pada buku-buku Voltaire yang lain atasnya.

Nama aslinya François-Marie Arouet. Adalah dunia bawah sadar, di tengah pula di atas, ia bangun hikayat Zadig berkesungguhan filsuf, tak lupa menghibur jejiwa haus hikmah. Telusurannya menembusi segala sekat hampir menaburkan seluruh ladang penalaran pembaca, tanpa menunjukkan sikap menggurui, kecuali mengolok-olok pribadi timpang dalam hayat.

Bangunan tokoh Zadig menempatkan pemikir asal Prancis itu sampai akhir jaman, dongengan dibalut atmosfir meyakinkan, antropologi, sosiologi, sejarah pun hayalan melambung perasaan. Selidiknya tak kurang sastrawan mempuni, unggul serayuan hisap seluruh sendi hayati, dijadikan bulir-bulir bermakna mahkota ilmu, demi sosok para pencari tak kenyang satu pengertian.

Sederhana bertutur kalimah, arif menyelesaikan soal, bentuk tidak terkira atas jangkauan harap ke masa depan kemanusiaan. Adanya pendapat dialah bara api dalam sekam revolusi Prancis, yang terus ditulis para sejarawan. Diselidiki puncak kemerdekaan berfikir, tak memihak kecuali untuk nasib baik umat seluruh jagad, serangga kecil (manusia) di antara triliyunan benda angkasa, hitungan sistematis kebenarannya.

Ia menaik-turunkan drajad nalarnya se-tukang kayu membuat kursi-meja, sengajakan ciptaannya mendiami ruang berdimensi kelayakan kajian wewaktu setelahnya. Karya-karyanya kekayaan terselimuti uap kesahajaan cerdas, kecerdikan muslihat mengolah cerita jadi mutiara tak habis dipunggah, terus menjelma patokan nasib para peneguknya.

Aku ingat betul saat jumpa bukunya, kubaca sangat girang di TIM sambil membawa nasib berkelana, dan terasa sontak melihatnya kedua. Tak lebih ingin mereguk ulang sampai hafal di luar kepala, demi perjelas sketsa pernah tegas, namun pudar diterpa terik bacaan. Ya siapa tahu jejakan nanti menembusi kabul pelbagai bidang terlayari sampan fikir pelita hati, di tengah malam atas ombak setiai kodratnya menari-nari pada muka angkasa.

Kepadanya kupanggil bapak, novelis filsuf Jostein Gaarder dapatlah kusapa paman, aku di sisi mereka jauh, dekat gunung Krakatau kini, saksikan jutaan tahun gelombang pemikiran bermain, dipermainkan tekanan angin, hawa musim tarikan jaman. Sebutir pasir tak berarti antara jemari raksasa sejarah; keganasan perang, musik halus kasih sayang, kebencian, rindu dendam, senyuman sinis ataukah menawan, aku di antara mereka.

Kisah Zadig dipahat bergurat-gemurai mengagumkan, setiap sudut memantulkan hikmah tersendiri. Cemooh cermin konyol membuka kelambu kemungkinan, sepanjang pembaca miliki daya duga keliaran merambahi daratan wangi, di sekitar nasib ditata purna, sejenis kitab panduan dalam menyikapi carut marut kehidupan.

Sosok-sosok wagu ditimpakan nasib mujur malang melintang bertimbangan sejumlah ilmu pengetahuan. Hukum-hukum dibentur lawan demi kemauan meloloskan gagasan gemilang, uap hasil suling dari macam-macam air perikehidupan;

Bau hianat, kelicikan, ditelanjangi demi keseimbangan logis, atur cerita dipertanggungjawabkan di meja penelitian. Benang jahit paduan-padan runtutan peristiwa, memperkuat bentuk diingini, mendapati perolehan lebih; kamus besar peradaban insan.

Kausalitas naik-turun ditimbang berat-ringan kasus diketengahkan, menyuguhkan masakan lezat, harum kembang terkenang di sudut terpencil kesunyian fikir. Kilau kebeningan kalbu menterjemah cecabang menggayuh gelombang bayu tarikan nafas. Dan para pemeriksa menemukan kemewahan selalu memantulkan kesadaran setubuh takdir mewaktu, meruang mekarkan abadi.

Walau novelnya terbentuk potongan kekisah pendek berbingkai judul perkuat isi dikandung, tiada satu kalimah tidak berjalin antara jalan-jalan dilalui. Semua mengerucut bebayang watak, katakter dihasrati pencerita. Tiada sosok kemayu berindah-indah kecuali pamrih patuhi sketsa dicanangkan, demi perekat keilmuan menempeli setiap tokoh dilakonkan.

Voltaire di jarak ditentukan, ibarat dalang kadang lebur sepermainan jemari, menunjuk ketajaman penanya pantas mendiami abad-abad di depan. Beginilah ruang-waktu dipelajari, peristiwa dimengerti sepundi-pundi kesantausaan umat mau menggali tanah usia, juga setiap misteri menunggui. Umpama punggung tak terjangkau mata, keberadaannya menutupi kekurangan yang ada.

Kepenuhan membuka kelambu kemungkinan melagukan keselarasan irama; hidup patut difikir ulang, seturun menemui kodrat semestinya. Gesekan masa mematangkan aura menafaskan kata menjelma laguan merdu nyawa di atas kemakmuran hikmah.

Jika kulukiskan, perjalanan Zadig mengalami kemalangan-kemalangan terpelajar, kesenangan-kesenangan hidup mendidik. Inilah kumandang merdu hayati di batok kepala, mengisi kalbu usaha musik diri, dengan alam seperistiwa makna puitika.

Ia pun suguhkan alur di balik pandang, berangkat ketabahan menguliti perjalanan Zadig. Kesabaran dituntun berjumpa pendeta, yang hampir menyamai pelajaran Nabi Musa di hadapan Khidir. Keserampangan itu kekonyolan sikap sepintas tak terdukung kebijakan, diperlihatkan sang guru, selalu diperdebatkan dalam perjalanan mencari keweruh agung.

Kedetailan tanda, wewarna kilatan sepintas tetapi tegas, menentukan esok jawaban purna, serupa tersingkapnya alam mulia sebelum dapati temuan-temuan dilakoni. Ini hadirkan corak bahwa ilmu pengetahuan sebatas pandang dan selidikan jauh kembangkan reribuan rahmat. Selaksa taburkan benih di ladang pengalaman berarti, hukum pasti yang sudah ditamankan Tuhan di bumi pekerti.

Yang mengejutkan, Voltaire menyebut asal rempah-rempah, bebumbu mahal dari dataran Tidore dan Ternate, daerah negeri kita Indonesia. Tak diragukan betapa luas wawasannya, pengendapan sejarah bentukan dongeng, tampak sekilas namun cerdas, berkehendak meraup seluruh isi dunia lewat sekali tarikan novelnya;

tak terbahtah, hampir sejauh karyanya bersimpan sumber mata air seirama gerak jaman demi kemajuan. Di sini keunggulan sastrawan selalu membuka lelembaran sejarah, wewatak manusianya tanpa memberi kecondongan kecuali berhak disandarkan ke alamnya; pengertian melimpah, tanpa ditutupi kepicikan faham yang dipastikan blunder kebingungan.

Sang pencerita mengemban ketahanan mempuni, keuletan dipadukan getah minyak memancar ke segenap penjuru malam gulita cemerlang, walau tanpa dinyalakan. Keberadaannya teduhkan fikir, tentramkan bathin, barangsiapa meneguk peroleh kehangatan purna, dan senantiasa diserang haus, sebab manisnya gugusan persembahan nan sederhana.

Suatukali pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe berpendapat; “Dengan Voltaire terlihat dunia yang berakhir, dengan Rousseau dunia yang baru mulai.”

Ini terpantul kidungan kekaryaan menempuh jurang pesimis, persis lakon hidupnya banyak mengalami kemalangan, kegagalan tak henti, meski ditopang kemampuan intelektual. Zadig mewakili nasib pahit disamping kekokohan tajamkan pena, demi martabat ilmu di atas darah bagsawan. Dendamnya bertuah menancap kuat keyakinan, berujung runcung pena menggetarkan dinding-dinding salju Eropa.

Aku kira sulit dicari tandingan, sepak terjangnya mengancam menara-menara penguasa, kepandaian martabat budhi oleh pekerti kedekatan semua kawan. Juga menjadikan para pencemburu hadir membuatnya dijebloskan ke penjara, dibuang ke Inggris dan nasib buruk bertubi-tubi mendera mematangkannya. Demikian mental tangguh, selayar pancang tulisan mampu dikagumi semua jaman, di segala lapisan.

Ketika memasukinya dalam, aku mulai meragukan batas optimis atas seluruh kemampuan dikeluarkan, batasan pesimis oleh segala nikmat tercecap. Atau apa semestinya? Ketika kesengsaraan mendatangkan senang bertabah, sebaliknya kelezatan menggiring terlena?

Kiranya kesadaran baling-baling fikiran, keinsyafan permainan bumi dicetuskan Tuhan telah Voltaire pegang. Pengamat melihat gemawan kadang ragu bergelayut hendak hujan, tapi penggalian terdalam, tiada kemurungan bayang. Semua terpastikan gerak menentukan takdir lain; yang tertulis, begitu terlaksanakan, di langit tertinggi sekalipun demikian.

Itulah jumlah alur penalarannya, kala menakar daya kemampuaan berhadapan filsafat optimis Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), dongengan Zadig dibangun memangfaatkan tarian kisah menentukan. Seminimal mengadu kekuatan, sebelum benar-benar bertarung faham tak disukai, olok-olok semacam cara canda mematikan kaum pemikir;

menganggap enteng hal berat itu ringan, entah melalu pengulangan kalimah membentuk pengertian lain. Atau ditaruh di tempat-tempat tak semestinya berakibat njomplang, hingga tertolak gagasan musuh-musuhnya di depan hayalak.

Jiwa pengelanaannya tak luput ke Jerman, sebelum singgah di Jenewa mematangkan gagasan, dikala bertumbuk langsung bermusuhan dalam perang filosofis atas Rousseau, berpolemik melalu surat, serta karya tulis diterbitkan. Seperti mendapati lapangan sejuk, berderap kuda hasrat beringas, sisi berbeda sewaktu dahulu di samping kekasihnya, Madame du Châtelet.

Ataukah satu-satunya ambisi meneruskan pengarang Racine, terkenal hanya mengandalkan pena berbakat menulis. Ia telah buktikan, sudah melampaui orang-orang sejaman lebih, pun dunia tak segan memberi titel; abad XVIII Prancis bersebutlah abadnya Voltaire.

Sebagai penutup, aku membayangkan ramainya perkampungan yang dibabat alas semangatnya, mungkin masih bernama Ferney-Voltaire.

Bandar Lampung – Lamongan, Februari – Maret 2011.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►