Thursday, March 10, 2011

Memburu Sang Maestro Lamut M. Jamhar Akbar

Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Beberapa hari terakhir ini kami (Nurdin, Hajri, dan saya) memburu jejak pergerakan pergelaran palamutan M. Jamhar Akbar di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin dan sekitarnya. Di awal tahun ini Jamhar tampil di malam pernikahan anaknya di Desa Simpang Warga Dalam, Kecamatan Aluh-aluh, Kabupaten Banjar. Malam itu maestro lamut hanya tampil satu jam karena masih banyak agenda lainnya, yaitu batamat al-qur’an dan maulid Habsyi. Tetapi keesokan malamnya, secara mendadak pembakal Nawawi memintanya balamut (memainkan lamut) semalam suntuk dan kami kehilangan kesempatan untuk mendokumentasikannya karena kami lalai meminta nomor hapenya dan nomor hape kami yang diberikan kepadanya dalam secarik sobekan kertas hilang.

Tetapi dia memberikan harapan bagi kami untuk menghadiri acara balamut yang akan ditanggap oleh sebuah keluarga di Pasar Kalindo Belitung Darat, Banjarmasin. Keluarga itu memintanya untuk balamut hajat semalam suntuk seminggu kemudian pada malam Rabu. Tetapi saat kami datang ke rumahnya untuk berangkat bersama ke lokasi acara, karena kami juga tak tahu pasti tempatnya, ia meralat bahwa lamut malam itu tak jadi karena sahibul hajat sedang mengantar anaknya berlibur ke Surabaya. Kami diminta menunggu kepastian berikutnya.

Di sela menunggu kesempatan untuk menyaksikan lamut hajat di tengah masyarakat itu, kami berinisiatif untuk menggelar kisal lamut babak pertama dan kedua pada tanggal 18 Januari 2011 di Taman Budaya Kalimantan Selatan. Pilihan untuk tampil di siang hari pada Selasa pagi sampai sore itu ditawarkan oleh sang maestro. Pertimbangannya, malam adalah waktu tidur. Harapannya tentu membuka kesempatan yang lebih leluasa bagi publik yang ingin mengenal kesenian tradisi yang sudah sangat langka ini untuk dapat menyaksikannya. Kami mengundang publik seluas-luasnya untuk ikut menyaksikannya: gratis.

Kegiatan ini terlaksana berkat kerjasama tiga pihak yang peduli terhadap pendokumentasian tradisi langka ini. Mursyid dan Noval, anggota DPRD Kota Banjarmasin, mendukung secara moril dan material pelaksanaan upaya pendokumentasian tradisi ini. Beberapa kawan di Taman Budaya Kalsel juga bersedia membantu mempersiapkan tempat yang akan digunakan. Upaya ini untuk melengkapi upaya-upaya sebelumnya yang pernah dilakukan baik oleh lembaga resmi maupun individu. Kisah lengkap lamut sampai saat ini belum terdokumentasikan seluruhnya. Setelah ini, kami juga berencana untuk menampilkan kembali lamut dalam serial cerita berikutnya, babak tiga, empat, dan seterusnya sampai tuntas.

Ini merupakan langkah awal untuk mendorong upaya pelestarian lamut. Upaya pelestarian lamut tak bisa direncanakan dengan baik tanpa memahami keseluruhan unsur komposisi lamut yang melibatkan syair, pantun, beragam irama, dan mantra serta kemungkinan filosofis lainnya.

Hari-hari pemburuan itu mengintimkan kami dengan sang maestro. Momen itu membawa kami pada suasana paradoksal. Memasuki ruang tamu rumah baru Jamhar yang sederhana kami seakan menjumpai emas di dalam kubangan lumpur. Rumah itu dibangun kembali setelah mengalami kebakaran pada tahun 2008. Naskah lamut yang dimilikinya beserta dokumentasi yang diperoleh dari banyak pihak ikut terbakar bersama rumahnya. Di dinding ruang tamunya, Jamhar memajang piagam penghargaan dari gubernur dan presiden. Betapa pentingnya Jamhar sebagai maestro yang oleh SBY pada tahun 2009 diamanati untuk mengajarkan lamut kepada anak-anak di Banjarmasin. Tetapi apa yang bisa dilakukan olehnya jika untuk urusan ekonomi sehari-hari penuh ketidakpastian, hanya bergantung pada panggilan balamut dan warung mungil di sudut rumahnya?

Jamhar sebagai sang maestro senantiasa disebut sebagai perawat tradisi tetapi dia tak diberi ruang ekonomi dan ekspresi yang layak untuk mengajarkan lamut kepada generasi muda Banjar. Saya tak menemukan makna apapun dari ungkapan yang sering didengungkan, yaitu pelestarian budaya Banjar ketika menatap elan vital sang mestro dan kondisi sosialnya. Jamhar tinggal di Alalak Selatan, di Bantaran Sungai Barito di dekat Pasar Terapung. Setiap pasang, air merendam lorong setapak menuju rumahnya.

Jamhar telah balamut sejak usia 12 tahun belajar secara otodidak dengan rutin mengikuti pertunjukan yang dilakukan oleh bapaknya, Raden Rusmana, dari Jogja. Bapaknya belajar dari datunya, Raden Ngabi Jayanegara, sebagai abdi raja di Amuntai. Datunya tidak membawa lamut dari Jogja. Menurut Jamhar, datunya datang sebagai pembawa musik gamelan dan wayang. Ia datang bersama adiknya. Interaksi datunya dengan pedagang dari Muangthai, berujung pada pemerolehan naskah lamut yang oleh para pedagang sering dibaca tanpa digaukan. Datunya tertarik pada kitab syair lamut yang dibaca pedagang itu. Tetapi yang dibaca pedagang itu dalam bahasa Cina. Datunya membujuk Engkoh itu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Buku itulah yang kemudian diwariskan padanya dan terbakar bersama rumahnya. Dulu, kata Jamhar, buku syair lamut dibaca biasa dan tanpa iringan rebana.

Datunya mencoba mengembangkannya dengan lagu dan rebana seiring dengan maraknya upaya penyebaran agama Islam. Setelah menggunakan rebana, syair lamut tak dibaca lagi dan istilah syair lamut tak dikenal lagi, yang ada kemudian adalah istilah terbang lamut. Pembacaan syair lamut untuk hajat pada awalnya tanpa rebana dan sesaji. 43 macam sesaji, kata Jamhar, dipakai atas permintaan orang bahari yang ingin menanggap lamut hajat, terutama oleh penanggap dari kalangan Tionghoa seperti di jalan Veteran Banjarmasin dan orang yang berkeyakinan Kaharingan. Sesaji itu hanya simbolisasi dari seorang manusia dan semesta mikrokosmosnya. Misalnya, cucur sebagai penanda telinga, kelelepon sebagai empedu, kelapa tua sebagai kepala, benang sebagai urat, jarum sebagai tulang, dan pisang sebagai taring. Demikianlah asal muasal lamut dalam versi Jamhar. Apakah memang demikian? Penelusuran yang komprehensif mengenai naskah itu perlu ditelusuri lebih teliti dengan melibatkan lebih banyak informan dan data penunjang.

Di masa kejayaan lamut, sekitar tahun 1980an, ada ratusan palamutan di Kalsel yang melakukan sarasehan. Dalam acara itulah Jamhar mengetahui betapa banyak ragam lagu lamut. Lagu lamut kuala dan pahuluan memiliki ragamnya masing-masing. Dari 113 palamutan yang pernah ada, Jamhar hanya mengingat almarhum Ahmad, palamutan di Negara, Hulu Sungai Selantan dan almarhum Isa yang pertama kali balamutan di RRI. Kini Jamhar mencoba menurunkannya kepada anaknya dan anak keponakannya. Proses pewarisan dan ragam lagu lamut belum pula diungkap dan dicatat serta belum pula disertai dokumentasi audionya.

Apa yang akan kami gelar pada Selasa, mulai pukul 08.00 wita sampai 17.00 wita adalah upaya awal untuk melihat, memahami, membaca, membicarakan, menelaah, merekam secara lebih rinci kembali warisan tradisi yang saat ini dianggap kurang bermutu. Benarkah demikian? Seeing is believing. Pertunjukan hari Selasa bisa saja mengoreksi kesalahpahaman kita tentang pentingnya seni tradisi ini dan seni tradisi Banjar yang lainnya. Kami menunggu peran serta dan aktif dingsanak barataan. Ayuha badatangan nonton lamut dari Sang Maestro Lamut, M. Jamhar Akbar.

Banjarmasin, 13.01.2011

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►