Thursday, March 10, 2011

Sastra, di Antara Gender dan Spiritualitas

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Jakarta — Itulah kenangan seorang gadis cilik. Gadis cilik itu kini telah menjadi dewasa dan menulis berbagai kisah dalam bentuk novel. Dia bernama Camilla Gibb. Sastrawan yang tinggal di Toronto, Kanada ini menemukan dunia lain lewat dialog lisan. Sebuah pandangan yang dia dapat lewat komunikasi.

Gadis kecil itu menerima tamunya – seorang ibu yang menjual roti. Roti yang enak dan hangat. Lalu gadis kecil itu bertanya asal si ibu. Si ibu menjawab, “Saya dari Palestina?” Apa itu Palestina? Perempuan itu pun menjawab padanya, “Semacam sebuah negara…”

“Sastra merupakan cara untuk membuka dunia. Bukan stereotipe. Sastra dapat menjadi alat untuk menunjukkan rasa kasih sayang dari perbedaan. Sastra dapat mengubah persepsi terhadap orang lain,” tutur Gibb.

Dari negeri yang berdwibahasa itu–Inggris dan Prancis, Gibb telah menerbitkan tiga novel, yaitu Petty Details, Mouthing the Words dan Sweetness in the Belly. Novelnya yang terakhir berkisah tentang perjuangan perempuan muslim bernama Lily dalam mempertahankan keyakinan dan komitmennya kepada keluarga saat menghadapi tantangan pribadi, sosial maupun politik yang memberatkan.

Novel ini juga dilatari kekaguman Gibb pada ketabahan kaum perempuan di tengah peperangan di berbagai tempat, yang menurutnya merupakan simpati yang dia ungkapkan tanpa melihat perbedaan latar dan warna kulit.

“Rasa itu merupakan gerakan yang menjadikan jarak, perang dan perbatasan bukan lagi permasalahan,” ujarnya.

Gibb kemudian menyebutkan dua persen penduduk Kanada secara keseluruhan adalah muslim, di antara Hindu, Yahudi dan banyak lagi hal yang memperlihatkan keberagaman. Gibb menyebutkan hal tersebut jangan dilihat dari angka statistik, tapi hal yang memperlihatkan bahwa ada kondisi multikultural di masa lampau di negara ini.

Jauh sebelum 11 September – yang sempat mempengaruhi pandangan timur dan barat – Gibb ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia. Dia belajar tentang antropologi, belajar tentang dunia Arab di Kairo, apa itu Islam sebenarnya terutama di tengah negara Islam yang lebih besar.

Eksistensi Perempuan

Dialog bertajuk “Perempuan dan Agama dalam Sastra—Pengalaman Indonesia dan Kanada” mengundang Camilla Gibb sebagai pembicara. Selain Camilla, acara yang berlangsung Kamis (22/3), dua perempuan sastrawan Indonesia, Ayu Utama dan Abidah El Khalieqy, pengamat Maman S Mahayana dan moderator Gadis Arivia.

“Tapi apa yang terjadi, perempuan masih saja dikurung secara normatif sebagai penunggu rumah, pengasuh anak dan ‘tenghak-tenghuk’ di depan tungku api. Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah pasar,” ujar Abidah yang menulis novel Geni Jora dan menjadi pemenang Sayembara Penulisan Novel 2003 Dewan Kesenian Jakarta.

Dalam makalahnya, Abidah menulis: Siapakah sesungguhnya yang mempengaruhi realitas demikian? Dalam konteks Islam, Fiqh-lah yang paling berpengaruh. Karena fiqh sesungguhnya merupakan respon atas realitas persoalan sosial, yang konsekuensinya ketika persoalan sosial mengalami perubahan, maka fiqh juga harus berubah. Sebagaimana dalam tokoh Annisa dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, perempuan akan terus bertanya, seperti Tuhan akan menanyakan kelak, atas alasan apa eksistensi perempuan dikubur hidup-hidup. Dosa apa yang telah mereka perbuat.

Bagi Ayu Utami, persoalan dasar yang menjadi penyebab penulis perempuan lebih sulit menggarap tema universal (seperti tema sosial, politik dan ekonomi dalam karya sastra, red), ketimbang masalah yang partikular karena penyebabnya adalah perempuan nyaris selalu spesifik dan lantaran persoalan perempuan terletak pada pengalaman tubuhnya. “Bukan pengalaman ide-ide belaka. Sebab, tubuh perempuan adalah medan penguasaan masyarakatnya. Hubungan kekuasaan ini bukan hanya berbasis gender, tetapi bisa berlatar kolonialisme,” kata penulis novel Saman dan Larung ini.

Sedangkan Maman S Mahayana kemudian menjelaskan isi makalahnya yang bertema “Mencari Perempuan dan Agama dalam Novel Indonesia”. Maman menyebutkan bahwa dalam sejarah, kolonialisme Belanda, Jepang, Orde Baru tegangan politik ikut mempengaruhi wacana agama dan perempuan dalam kesusastraan Indonesia. Dia kemudian menyebutkan beberapa jalur dalam kesusastraan Indonesia—seperti juga bahasa Indonesia—yang melalui tiga jalur perkembangan.

Pertama melalui penerbit swasta terutama yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa belakangan golongan pribumi misalnya Hamka dan Helmi Yunan Nasution yang menerbitkan Pedoman Masjarakat (1935) juga Dian Rakyat yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane. Jalur kedua, melalui media massa, surat kabar dan majalah yang pada media massa terbitan abad ke-20 yang melahirkan beberapa penulis wanita. Ketiga, melalui penerbitan Balai Pustaka yang merupakan bagian dari lembaga kolonial Belanda.

Pada Balai Pustaka muncul tiga pengarang wanita yaitu Paulus Supit, Selasih (nama lainnya Sariamin, Seleguri) juga pengarang Hamidah (Fatimah Hasan Delais). Tokoh utama perempuan selain pada karya Paulus Supit, kemudian terkesan jatuh sebagai pecundang. Selain itu, Maman menyebut banyak nama penulis perempuan lainnya hingga dekade terakhir dengan karakter dan fenomenanya. Seperti terhadap problem masalah di dalam sastra masa kini, yang dia tanggapi secara subjektif lebih kepada gender dan bukan lagi persoalan kualitas. “Mengapa persoalan gender yang dijadikan isu dan bukan peningkatan kualitas,” papar Maman.***

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►