Wednesday, March 9, 2011

Cerita, Dakwah, dan Wanita dalam Magnet Baitullah

Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Magnet Baitullah (Tahura Media, Juni 2010) berisi 14 cerpen karya M. Hasbi Salim, satu-satunya prosais penting yang produktif dan kreatif di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Membaca bahasa fiksi karya Hasbi akan berhadapan dengan deskripsi lancar tentang situasi, sosok, dan peristiwa realis. Ia tampak tak terlalu membebani bahasanya dengan penggunaan gaya bahasa yang klise. Percobaan yang dilakukan dalam satu paragraf saja dalam satu cerpennya terasa aneh dan agak janggal jika disandingkan dengan konvensi personal bahasa cerpennya yang lain. Bahasanya terang benderang.

Kekuatan fiksionalitas karyanya dibangun dengan peranti narasi dalam bentuk alur yang tak selalu linear, dan pembaca tetap bisa mendapatkan informasi sosioantropologis dari cerita yang disajikan. Dengan demikian cerpen Hasbi ini bukan semata-mata menulis fiksi untuk kepentingan akrobat imajinasi dan gaya bahasa. Cerpennya terkait erat dengan kultur masyarakat yang menjadi latar sosial intrinsik dan ekstrinsik cerpen-cerpennya.

Jadi, buku ini bukan sekadar dapat dibaca untuk pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, tapi bisa juga dijadikan ilustrasi untuk menanamkan nilai-nilai perilaku dalam kaitannya dengan ibadah haji secara khusus dan ibadah lainnya secara umum.

Keempatbelas cerpen itu: (1) Misteri Magnet Baitullah, (2) Seteru dalam Doa, (3) Santri Vs Kiai, (4) Halal Bihalal, (5) Emas Impian, (6) Kucing Misteri, (7) Hape Keren, (8) Andai Waktu Kembali, (9) Ustazah Hasanah, (10) Ketika Api Bicara, (11) Tragedi di Tanah Aziziyah, (12) Kamar Hotel, (13) Titipan Haram, dan (14) Kucuci Rindu di Depan Ka'bah.

Cerpen pertama (1-7) mengisahkan kakek Jon, Fath (cucu Jon), Haji Sugian Noor, dan narator aku. Keempatnya adalah laki-laki dalam alur yang tak linier dengan sisipan flashback. Kisah terasa mengalir lancar kecuali suara cucu yang terdengar terlalu dewasa, tetapi suara itu segera bisa mendapatkan alasan logis suprarasional: bukankah tanda-tanda gaib sebagai sebuah firasat memang bisa melanggar hukum alamiah?

Sebagai cerpen dengan intensi dakwah yang kuat, cerpen ini mengajarkan tiga hal penting: pertama hubungan saling mencintai antara cucu dan kakek, keikhlasan menerima musibah, dan cara sederhana menjadi haji mabrur.

Cerpen kedua (8-14) menceritakan kehidupan sial Haji Dody setelah dari Tanah Suci. Dia bukan malah tambah kaya seperti haji lain di kampungnya, dia malah dijebloskan ke penjara karena tuduhan pembalakan liar. Ada semacam doa terselubung dalam cerpen ini semoga tuhan hanya mengabulkan doa hambanya yang memohon harmoni keluarga dan kesederhanaan hidup.

Cerpen ini tampak berpretensi untuk menegaskan keyakinan penulisnya bahwa tanda haji yang mabrur bukan keberlimpahan harta yang diperoleh dengan cara yang haram dan merusak lingkungan hidup. Pun ada semacam pembelaan atas posisi perempuan dalam ibadah haji. Dalam masyarakat yang sangat patriarkis, perempuan yang menunaikan ibadah haji sering dicibir dan jika bisa sebaiknya dilarang karena ibadah haji hukumnya tak wajib bagi mereka. Namun cerpen ini tampak membela perempuan sebagai manusia yang utuh yang juga berhak menerima hadiah istimewa dari Tuhannya yang dalam cerita ini ditunjukkan sebagai pihak yang doanya diterima.

Cerpen ketiga (15-20) cerita tentang Haji Jarkani, seorang TKI ilegal dari Banjar dan Kiai Muhyiddin, kiainya dulu di Rumpiang.

Pertemuannya yang tak sengaja, membuat Jarkani ingin mentraktir kiainya meski dengan uang pas-pasan di warung yang menyediakan menu banjar. Secara naratif, dibandingkan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini lebih bercerita dengan alur yang tergolong "meledak" atau dengan akhir yang sulit ditebak dan dengan sisipan pesan moral yang cuma beberapa baris.

Operasi oposisi biner plus keajaiban Tuhan dapat dijumpai dengan mudah dalam cerpen Hasbi, seperti juga dalam cerpen ke-4 (21-26), cerpen yang mengoposisikan kehidupan Muhdar yang anggota DPR dan Abi yang penulis. Cerpen ini tampak dibangun di atas satu fondasi kun fayakun. Penghargaan terhadap perempuan dalam cerpen yang lebih dominan dialognya ini, masih ada.

Cerpen kelima (27-32) sebagaimana cerpen kedua memilih modus mimpi sebagai sarana cerita. Karena itu cerpen-cerpen ini pun bisa jadi bahan kajian menarik tentang mimpi dalam ranah psikoanalisis untuk memahami bagaimana mimpi tercipta dan bagaimana hakikat cerpen-cerpen yang menggunakan peranti cerita mimpi dan yang tidak, secara keseluruhan sebagai mimpi itu sendiri.

Cerpen ini menceritakan dua perangai perenpuan yang berbeda, yaitu Bu Ijah yang suka memamerkan gelang kepada Bu Fatma. Bu Fatma yang sederhana yang juga ingin gelang emas seperti itu mendapatkan gelang yang lebih baik. Ia kemudian tahu bahwa emas Bu Ijah ternyata emas palsu. Dalam cerpen ini operasi oposisi biner kebaikan dan keburukan kembali ditampilkan.

Cerpen keenam (33-38) tentang Rahmah dkk. yang mengikuti umrah saat liburan sekolah mereka. Ada dua larangan haji yang diilustrasikan dalam cerpen ini yaitu: haji bukan untuk berbisnis, dan dilarang membunuh mahluk hidup. Secara tersirat cerpen ini membawa pesan kasih sayang dalam versi Islam dan semangat anti membawa pasir dalam ritual suci apapun. Sebuah fenomena beragam yang akhir-akhir marak dimana pasar merangsek masuk ke relung-relung keberagamaan “kita”.

Cerpen ketujuh (39-44) bercerita perilaku buruk Kurtubi sebagai orang kaya baru yang melakukan ibadah umrah di bulan Ramadhan. Dia sibuk dengan hape barunya yang canggih. Ada pesan tersirat betapa pentingnya umat Islam menyikapi hape secara dewasa. Penggunaan hape yang berlebihan dan tak tahu tempat berpotensi bikin stres dan mengurangi kehusukan ibadah. Pun kini hape di tangan pengguna yang tak dewasa jadi ancaman laten di masjid-masjid sampai ada tulisan dilarang menyalakan hape di masjid. Formula cerpen ini mirip dengan cerpen keempat dan kelima bahwa kebaikan di kampung bisa berbuah keberuntungan di tanah suci, bukan dalam pengertian yang sepenuhnya gaib, tetapi logis.

Sampai di cerpen kedelapan, kita jadi tahu bahwa buku ini bukan cuma berisi cerpen tentang haji, tapi juga tentang TKW Indonesia di Arab. Cerpen ke-8 (45-51) menceritakan terpisahnya Pak Husni dan Bu Aida. Cerpen ini menunjukkan betapa rapuhnya lelaki tanpa perempuan. Bagi Pak Husni, istrinya terasa lebih bermakna dari harta setelah wanita itu tak ada di sisinya. Dia menyesal telah menganjurkannya jadi TKW karena tergiur pada kemakmuran yang belum jelas sementara siksaan keterpisahan mereka langsung tampak dan sangat terasa.

Cerpen kesembilan (52-58) juga bukan tentang haji, tetapi tentang Ustazah Hasanah dan muridnya. Cerita tentang figur guru teladan yang penyayang. Cerpen kesepuluh (59-68) tentang Hadi yang akhirnya membakar langgar karena kaget melihat perubahan Islam di kampungnya, Rumpiang, Banjar. Ia dipenjara karena ulahnya. Ada pesan lewat tokoh Kurdi bahwa Islam dan perubahannya harus dikawal dengan cara-cara yang makruf, nirkekerasan.

Cerpen kesebelas (69-74) tentang Abdi, petugas haji musiman, asal Banjar, yang menyadarkan jemaah haji yang kasar dan tak sabaran.

Cerpen kedua belas (75-78) mengilustrasikan uji kepekaan sosial yang harus dimiliki calon haji melalui cerita keluarga Pandi yang cekcok dengan keluarga Kakek Udin. Cerita diakhiri dengan disadarkannya sikap Pandi dan istrinya yang tidak mau menang sendiri.

Cerpen ketigabelas (79-86) cerita khas jemaah haji asal dan Indonesia dan rokok. Banyak ragam cerita ini dan cerpen ini mengemasnya dengan kaidah cerita yang mengejutkan. Pak Marjuni menemukan serangkaian pengalaman mengejutkan dengan rokok yang dititipkan Haji Utuh. Sayang akhirnya agak meninggalkan pertanyaan:

mungkinkah dua kotak rokok yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu dan menimpa kaca mobil bisa memecahkan kaca itu? Meski fiksi memang bangunan tentang dunia yang serba mungkin, untuk yang satu ini tampak mengganggu hukum mimetika fiksi realis. Dalam hal ini, saya bisa menyebut bagian itu sebagai bagian yang anakronistik.

Cerpen terakhir (87-94) secara naratologis adalah cerpen kedua di antara ketigabelas cerpen sebelumnya yang dikisahkan dengan sudut pandang akuan perempuan sebagai janda beranak tiga ibu jadi TKW di Arab, yang terpisah lama dari anak-anaknya. Dibanding cerpen kesembilan, cerpen ini lebih berhasil menghadirkan perasaan perempuan yang sulit dialami oleh kebanyakan penulis lelaki. Hasbi sangat piawai membahasakan bahasa perempuan. Sisi keperempuanan yang kadang muncul sekilas di cerpen sebelumnya yang bernuansa membela perempuan, tampak total diwujudkan dalam cerpen ini dengan teknik akuan perempuan yang keibuan.

Genre Sastra Islami

Buku ini adalah bukti ketiga setelah buku Badai Gurun dalam Darah karya Ibramsyah Amandit, Rindu Rumpun Ilalang karya Nailiya Nikmah terbitan Tahura Media yang menguatkan gagasan bahwa tak ada masalah antara sastra dan Islam. Jika ada sebagian umat Islam yang memilih menjauhi sastra untuk memperkuat keislaman mereka, ketiga penulis yang telah disebutkan justru menempuh jalan lain. Bukan tak ada penulis lain yang menulis genre sastra ini. Tapi ketiga buku inilah yang cukup representatif dan terfokus.

Ketiganya menampilkan corak problematika pergulatan spiritual penulisnya dengan persoalan keislaman dalam lingkungan imajinasi mereka. Ketiganya bisa menjadi bahan penelitian sastra bandingan yang menarik. Tentu antara lain untuk menguraikan bagaimana nilai keislaman dikemas menjadi cerita atau ungkapan puitik sehingga mendapatkan bentuk baru yang mudah disimpan dalam kenangan yang mencerdaskan dan mencerahkan. Kenangan yang inspiratif.

Dalam cerpen Hasbi pembaca diajak belajar dari beragam sikap calon haji dan perilaku orang Banjar dalam kaitannya dengan masalah haji. Setelah membaca cerpen-cerpennya yang tentang haji, pembaca dapat menarik kesimpulan tentang haji yang sukses, yang mambrur. Tanpa terlalu digurui karena semua itu disajikan dengan cara bercerita yang menarik, dengan bahasa yang mudah dipahami, dan tak berbunga-bunga.

Meskipun dari keempatbelas cerpen itu cerita tentang lelaki dengan baik-buruknya, Hasbi memberikan ruang yang cukup penting bagi kedudukan perempuan sebagai mitra penting lelaki yang juga perlu diagungkan perannya. Wallahua’lam bissawab.

Loktabat Utara, 13.08.2010
Ramadhan 03, 1431 H

Sainul Hermawan, penulis buku Teori Sastra: Dari Marxis sampai Rasis (2005), Maitihi Sastra Kalimantan Selatan (2007), Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel (2009), dll. Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sastra Universitas Indonesia (2010)

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►