Friday, March 18, 2011

Gambaran Kelas Masyarakat Inggris

Olivia Kristina Sinaga
http://www.ruangbaca.com/

Ada begitu banyak kisah fabel. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia mungkin lebih mengenal si beruang kuning penyuka madu, Winnie the Pooh. Beruang yang memiliki ‘otak sangat sedikit’ ini menjalani hari-hari di A Hundred Acre Woods bersama teman-temannya, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, Roo, dan seorang anak laki-laki kecil, Christopher Robin.

Fabel lain yang menyajikan petualangan dan hiruk-pikuk kehidupan para karakter binatang adalah The Wind in the Willows. Karya Kenneth Grahame yang terbit pertama kali pada 1908 ini tergolong karya klasik dalam sastra anak-anak. Karakter- karakter utama berpusat pada Mole (tikus tanah), Ratty (tikus air), dan Mr. Toad (katak).

Ada beberapa persamaan antara The Wind in the Willows dengan Winnie the Pooh karya A.A. Milne. The Wind in the Willows awalnya digunakan sebagai serial cerita sebelum tidur untuk anak tunggal Grahame, Alastair, dan ketika ia dikirim bersekolah, cerita berlanjut dalam bentuk surat. Milne menulis Winnie the Pooh dan temantemannya di A Hundred Acre Woods untuk anaknya, Christopher Robin, yang menjadi satu- satunya tokoh manusia dalam cerita tersebut.

Karakter-karakter dalam kedua cerita adalah binatang, keduanya telah diadaptasi ke layar kaca maupun perak, dan mengilhami musisi (ingat lagu Return to Pooh Corner yang dinyanyikan Kenny Loggins?), dan sama-sama berasal dari Inggris. Untuk ilustrasi yang memperindah buku masingmasing, Grahame dan Milne sepakat memanfaatkan talenta seni E. H. Shepard.

Tempo bertutur Grahame dalam buku ini kadang bergerak lambat dan cepat bergantian, seperti sungai Thames yang menjadi latar belakang cerita. Ritme cerita berpacu lekas jika Mr. Toad—pemilik Toad Hall— yang arogan, kaya, gampang tertarik pada satu hal secepat ia bosan dan berpindah pada hal lain, muncul di antara Mole yang lembut dan Ratty yangs antai, ramah, mencintai sungai dan melindungi Mole di bawah sayapnya. Di samping ketiga karakter tersebut ada teman mereka, yakni Badger (berangberang) yang tinggal di Wild Wood, figur penyendiri yang baik hati dan ‘membenci masyarakat’.

Kegilaan Mr. Toad akan petualangan seringkali menjeratnya dalam kesulitan. Untungnya, ia mempunyai teman-teman yang sabar dan baik hati serta siap menolongnya. Mole yang awalnya kagum (bisa dikatakan cenderung kaget) pada kehidupan di tepi sungai bisa beradaptasi setelah terus-menerus menghadapi Mr. Toad yang impulsif dan cepat puas akan dirinya sendiri. Ia berpindah dari satu obsesi ke obsesi lain, seperti rumah perahu dan kereta kuda.

Petualangan terpanjang karena kegilaannya itu terjadi saat ia menemukan mobil. Sederet kecelakaan menggiringnya ke penjara atas tuduhan pencurian, cara mengemudinya yang membahayakan nyawa binatang lain, dan sikapnya yang tidak menghargai polisi daerah setempat. Beberapa bab paling seru dalam buku ini merupakan rangkaian pelariannya. Untunglah Mr. Toad mempunyai teman-teman setia yang mengubahnya dan memenangkan kembali Toad Hall, yang telah dikuasai oleh para musang saat ia tidak ada.

Personifikasi karakter-karakter dalam The Wind in the Willows mewakili beragam kehidupan kelas dalam masyarakat Inggris. The Wind in the Willows seringkali dibandingkan dengan Animal Farm karya George Orwell karena di satu sisi merupakan komentar mengenai dinamika kelas dalam kehidupan negara asal grup musik The Beatles ini. Secara kasar ‘River Bankers’ (penghuni tepi sungai) merepresentasi kelas atas, sementara ‘Wild Wooders’ (penghuni hutan) merepresentasi kelas bawah.

Walau pada awalnya terbit tanpa ilustrasi, bertahun-tahun kemudian banyak versi dengan ilustrasi muncul. Mungkin karya E. H. Shepard, diterbitkan pada 1931, adalah yang paling populer. Grahame memang tidak hidup cukup lama untuk melihat hasil akhirnya. Namun, versi ini dipercaya sebagai karya yang ditandatangani Grahame karena ia senang dengan sketsa Shepard.

The Wind in the Willows banyak mengilhami lahirnya berbagai versi, bahkan sekuel dirinya. Edisi The Folio Society terbit tahun 2006 menyajikan fitur 85 ilustrasi, 35 di antaranya berwarna, oleh Charles van Sandwyk. William Horwood menciptakan sekuel The Wind in the Willows: The Willows in Winter, Toad Triumphant, The Willows and Beyond, The Willows at Christmas. Wild Wood oleh Jan Needle, terbit tahun 1981, dengan ilustrasi oleh William Rushton.

Buku ini merupakan penuturan kembali cerita The Wind in the Willows dari sudut pandang penghuni kelas pekerja Wild Wood. Mereka mengalami keterbatasan uang. Pekerjaan pun sulit diperoleh. Perspektif mereka sangat berbeda atas gaya hidup mudah Toad dan temantemannya yang kaya dan tidak pedulian. Beberapa insiden terkecil dari cerita aslinya diperjelas dalam buku ini—narator Wild Wood kehilangan pekerjaan yang sangat dibutuhkannya sebagai sopir Toad ketika Badger, Mole, dan Rat memutuskan untuk menghentikan kegilaan Toad menyetir. Klimaks buku ini datang saat Toad masuk penjara: para musang mengambil alih Toad Hall dan mengubahnya menjadi perkumpulan sosialis bernama Brotherhood Hall.

Beberapa film dan versi televisi The Wind in the Willows termasuk versi animasi Walt Disney tahun 1949, The Adventures of Ichabod and Mr. Toad. Tahun 1983 muncul animasi menggunakan boneka stop-motion, bukan gambar, oleh Cosgrove Hall, diikuti oleh serial televisi dan dibuat dengan gaya yang sama—versi ini dikatakan sebagai adaptasi yang paling setia. Lalu muncul animasi pada 1996 dengan bintang utama Michael Palin dan Alan Bennett sebagai Ratty dan Mole; mengikuti adaptasi The Willows in Winter. Di tahun yang sama muncul versi live-action yang ditulis dan disutradarai oleh Terry Jones.

Panggung teater tidak mau ketinggalan dalam mengadaptasi fabel ini. Milne memproduksi Toad of Toad Hall pada 1929. Alan Bennett, sebelum berperan sebagai Mole dalam film (1996) telah menulis adaptasi panggung The Wind in the Willows dan berperan sebagai karakter yang sama pada 1991. Mr. Toad’s Mad Adventures dihasilkan oleh Vera Morris. Tak ketinggalan untuk radio, Kenneth Williams membuat sebuah versi dari buku tersebut.

Para musisi pun terkena imbas lekatnya pengaruh buku anak-anak ini. The Piper at the Gates of Dawn, tajuk album pertama Pink Floyd dicomot dari judul bab 7 dalam buku The Wind in the Willows. Walau demikian, lagu-lagu dalam album tersebut, yang sebagian besar ditulis oleh Syd Barrett, tidak berhubungan langsung dengan isi buku. Album The Healing Game karya penyanyi-penulis lagu Van Morrison di tahun 1997 memuat lagu Piper at the Gates of Dawn. The Wind in the Willows juga merupakan judul lagu yang ditulis Alan Bell dan dinyanyikan oleh banyak artis, termasuk Blackmore’s Night.

Kenneth Grahame (1859- 1932) lahir di Edinburgh dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Berkshire, di mana ia dikirim pergi ke luar rumah saat berusia lima tahun setelah kematian ibunya. Ayah Grahame, yang tidak mampu mengurus keempat anaknya, menyerahkan mereka dalam pengawasan sang nenek. Walaupun diperlakukan dengan baik, anak-anak Grahame saling bergantung dalam penghiburan dan dukungan emosional. Kenangan masa kecil dan jam-jam yang dihabiskan di sisi atas sungai Thames itulah yang mengisi Grahame dengan materi untuk The Golden Age, Dream Days dan kemudian karyanya yang paling dikenal, The Wind in the Willows.

Grahame dikirim ke St Edward’s School pada usia sembilan tahun, yang menggiringnya lebih dekat pada hari-hari sederhana dan menyenangkan di tepi sungai. Rencananya untuk belajar di Oxford University terhempas karena kekurangan dana. Keluarganya pun berkeras menyuruh ia bekerja di Bank of England. Pada tahuntahun kerjanya di bank Grahame mulai menulis esai dan cerita. Ia sering menulis di The Yellow Book, media periodik yang mengkhususkan diri pada sastra dan seni, dan pada St James’s Gazette.

Ia bertemu Dr Frederick Furnivall pada 1886 yang mengenalkannya pada penulis-penulis lain: Tennyson, Browning, Ruskin, dan William Morris. Furnivall jugalah yang menyemangatinya dalam menulis. Pada 1893 Grahame menerbitkan koleksi esai berjudul Pagan Papers yang diterima dengan sangat baik. The Golden Age (1895) dan Dream Days (1898) memantapkan reputasinya lebih jauh dan membuatnya diingat lantaran pengertian yang luar biasa tentang pikiran anak-anak.

Pada 1898 ia menikahi Elspeth Thomson, yang melahirkan anak tunggal mereka, Alastair, pada tahun berikutnya. Setelah The Wind in the Willows terbit pada 1908, kesehatan Grahame memburuk dan memaksanya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan perbankannya. The Wind in the Willows memberikan keuntungan besar untuk Grahame, sehingga ia bisa berhenti dari pekerjaannya di bank (yang ia benci walaupun tergolong pekerjaan terhormat dan berpenghasilan besar). Ia lalu pindah ke daerah pedesaan, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh dalam ceritanya.

Grahame terus menulis artikel dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Setelah kematian tragis putranya, saat menjadi mahasiswa di Oxford University, Grahame mengucilkan diri di rumahnya dekat sungai Thames. Di rumah itu ia hidup hampir sebagai seorang pertapa hingga kematiannya, 1932.

Grahame melabuhkan karakterisasi para binatang yang sederhana dan riil dengan latar sisi sungai yang bersahaja tanpa menghilangkan kesenangan yang dihasilkannya. The Wind in the Willows merupakan ramuan petualangan dan moralitas yang sangat disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa, dan tidak diragukan akan terus disukai oleh generasi mendatang. Bukankah selalu ada anak yang haus akan kisah dan petualangan dalam dirinya, iya kan?

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►