Thursday, March 10, 2011

Jejak Cinta Guru Sekumpul

(In Memoriam KH Muhammad Zaini Abdul Ghani)
Sainul Hermawan
http://www.oocities.org/

Ketika saya masih menempuh pendidikan sarjana di sebuah uni versitas di Malang, sekitar 1992, saya punya teman dari Pasuruan, Jawa Timur, yang selalu antusias menceritakan kharisma KH Muhammad Zaini Abdul Ghani yang akrab dipanggil Tuan Guru Sekumpul. Waktu itu saya tak begitu tertarik pada ceritanya karena apa yang diceritakannya belum menjadi bagian dari pengalaman historis saya. Namun, dari cara dia bercerita, saya bisa menyimpulkan betapa emosinya intim dengan beliau. Pendek kata, dia begitu terpesona dan selalu terinspirasi untuk meneladani perilaku, sikap, cara pandang, dan tutur katanya.

Ketika ada kontroversi goyang ngebor Inul Daratista, saya nun jauh di Jawa membaca nama beliau di majalah nasional dan saya semakin menyadari betapa sempit pengetahuan saya tentang figur ini. Figur yang menggemparkan Kalsel bahkan Indonesia dengan caranya sendiri. Cara yang sama sekali tak populer.

Di tengah rencana penampilan goyang ngebor Inul di empat kota di Kalsel yang sempat dikritik sebagian ulama, bahkan kemudian diharamkan oleh MUI Kalsel, MUI Kabupaten Tanah Laut dan Kotabaru, artis asal Pasuruan, Jatim, itu justru mendapat simpati dari Guru Sekumpul. Inul mendapat kehormatan menjadi anak angkatnya. Saat turut hadir pada pengajian rutin ibu-ibu di Kompleks Sekumpul, Martapura, Sabtu (1/3/2003), setelah menginap di kediaman keluarga beliau, jamaah terperanjat melihat Inul hadir dan duduk berdampingan dengan keluarga Tuan Guru, bahkan didoakan agar tetap tabah dan introspeksi (Gatra, 4 Maret 2003). Sikapnya yang tak populer ini, setidaknya mau berseberangan dengan sikap MUI setempat, semakin membuat saya penasaran pada beliau.

Apalagi ketika studi ke Banjarmasin, saya punya kawan dari Sumenep, Madura. Kawan waktu kuliah di pascasarjana sastra UGM, yang rajin kirim SMS dan titip salam takzim kepada Guru Sekumpul. Kini tak ada lagi kesempatan untuk menyampaikannya. Semoga lewat tulisan ini salam murid beliau yang berada nun jauh di seberang lautan dapat diterima dengan baik oleh keluarga. Ketakziman orang kepada beliau mulai dari tempat terdekat sampai terjauh, mulai dari rakyat melarat sampat pejabat tinggi, mulai dari orang rasional sampai emosional, mulai dari lokal sampai nasional, adalah fakta betapa beliau mampu menembus batas geografis, psikologis, dan sosiologis manusia.

Saya baru benar-benar mengenal kharisma Guru Ijai di sini (sekitar delapan bulan) melalui foto-foto beliau yang dipajang banyak orang di tempat usaha mereka: wartel, layanan fotokopi, warung makan, salon, toko kecil dan besar. Dengan melihat bagaimana foto beliau disikapi sebagian masyarakat Banjar, saya dapat merasakan betapa kharismatiknya beliau. Konon dari balik foto-foto itu, ada banyak kisah kehidupan yang dapat dipelajari. Sampai sejauh ini saya belum tahu pasti, apakah pernah ada studi antropologi yang komprohensif mengenai hal ini.

Bukan hanya lewat gambar, tetapi juga lewat kabar yang saya dengar, betapa merasuk dan meresapnya petuah beliau sehingga pendengar setia dakwahnya tak kuasa untuk tak menyitir nasihat tatkala mereka memperbincangkan dan mencari solusi bagi persoalan hidup. Meski tak dapat menjadi inspirator semua orang, beliau telah menunjukkan kapasitasnya sebagai dinamisator masyarakatnya dengan cara yang penuh kelembutan berperilaku, kesantunan berbahasa, menjauhi ambisi sesaat dan sesat, dan selalu menebarkan senyum kedamaian. Kata kabar yang saya dengar, beliau selalu menegaskan pentingnya penegakan praktik akhlak yang konkret mulai dari akhlak makan, berbicara, tidur, berkeluarga, menyikapi hiburan, dan sebagainya.

Cerita orang tentang beliau dan bagaimana mereka memperlakukan foto beliau membuat saya semakin penasaran dan ingin hadir sekali saja dalam pengajiannya yang konon tidak pernah sepi bahkan selalu kolosal. Sayang, keinginan itu mustahil, sebab pada 10 Agustus 2005 beliau bukan hanya kembali dari Singapura ke Martapura. Tetapi sekaligus kembali ke pangkuan Sang Maha Memiliki hidup ini. Beliau meninggalkan kita selamanya. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Saya dapat merasakan duka lara murid setia dan keluarganya. Semoga semuanya diberi kekuatan, ketabahan, kesabaran, ketajaman pikiran untuk menempatkan suasana duka ini. Sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar meratapi kepergian beliau, adalah kembali tegar dan berusaha untuk melanjutkan visi dan misi perjuangan beliau yang belum selesai.

Salah satu sikap tubuh beliau yang perlu kita, sebagai murid beliau, teladani adalah cara mengelola urat raut wajah. Dari banyak foto beliau yang saya lihat di banua ini, meskipun beliau adalah laki-laki, kesan maskulin yang keras, sangar, dan bengis, sama sekali tak akan kita temukan pada paras beliau yang teduh, sejuk, dan menenteramkan hati.

Saya yakin, meski saya belum pernah bertemu beliau, beliau berdakwah dengan sikap wajah yang pasti didasarkan pada keyakinan bahwa wajah yang teduh dan penuh senyum adalah sarana ibadah yang sangat sederhana, berharga, penuh pahala, tetapi masih jarang dilakukan orang.

Cara beliau menyikapi kontroversi Inul menyiratkan keteladanan untuk mengingatkan dua kubu yang berseberangan, yaitu antara Front Pecinta Inul dan Front Pembela Iman. Sama-sama FPI-nya tetapi beda kepentinganya. Sama-sama Islamnya tetapi beda sikap religiusnya. Dengan caranya sendiri, Guru Sekumpul mendakwahkan cara menyikapi kesesatan. Sikap Guru Sekumpul menyiratkan pesan bahwa orang sesat itu jangan dimarahi, dibenci, dikucilkan, diintimidasi, ditakut-takuti, didiskriminasi, apalagai dikriminalisasi, jika si sesat itu memang ingin dibantu keluar dari kesesatannya. Bukankah orang sesat itu juga manusia? Orang yang tersesat harus disentuh sisi batinnya yang paling lembut agar mau mengubah diri dan kembali ke jalan yang benar.

Beliau mampu menempatkan dengan baik bahwa kebencian pada kesesatan bukan berarti juga membenci manusia yang sesat itu. Kita harus benci judi, tetapi penjudi sebagai manusia harus tetap digauli secara wajar dan kalau bisa kita ajak kembali ke perilaku hidup yang lebih baik. Kalau tidak bisa, tugas manusia hanya menyampaikan dan hidayah keimanan itu adalah hak prerogatif Allah SWT.

Demikian pula ketika Guru Sekumpul menyikapi kontroversi Aruh Ganal. Dalam makalah Ninuk Kleden-Probonegoro yang berjudul The Mamanda Theater and the Redefinition of the Banjar Identity (2002), dia menulis begini: Guru Ijai advised the Governor and the organizing committee on the convention: Aruh Ganal Positif Asalkan Jangan Bahiri-hirian. Guru Ijai blessed the grand convention as long as there was no jealousy among the people. Bahiri-hirian means jealousy among various groups. For example, between Banjar people living outside Kalimantan (who were being asked for their contribution of ideas) and those living in Banjarmasin; between those sitting and not sitting in the organizing committee; between those who consider themselves as indigenous Banjar people and those who are not indigenous Banjar people.

Dari kutipan tersebut, kita bisa menangkap sikap hidup beliau yang selalu menekankan pentingnya silaturahim, kesatuan, persatuan, kerukunan, perdamaian, keadilan, keseimbangan dengan cara menghindari sifat iri dan dengki.

Kisah keteladanan beliau yang juga sempat saya dengar dan saya ingat terus adalah sikap hidupnya yang sederhana dan tidak berkenan berlebihan. Bahkan beliau tidak ragu minta maaf kepada muridnya, tatkala beliau merasa ada keinginan tulus mereka tak dapat beliau penuhi. Misalnya, dalam peristiwa menjelang haulan ke-230 Almarhum Assyekh Assayid Muhammad bin Abdul Karim Al Qadiry Al Hasani Assamman Al Madany atau Syekk Samman. Konon, Guru Ijai mendapat tawaran sumbangan dari umatnya baik berupa uang, beras, sapi maupun lauk-pauk untuk haulan itu. Tetapi beliau menolak dengan cara yang cukup santun, dengan mengatakan: "Saya minta maaf, banyak yang ingin menyumbang untuk haulan Syekh Samman ini, tetapi semuanya sudah mencukupi." (BPost, 30/03/1998).

Dengan cara meneladani yang diajarkan beliau baik lisan maupun tindakan, adalah alternatif untuk memposisikan kharisma dan kenangan tentang beliau secara proporsinal, tidak emosional, dan terhindar dari pengkultusan. Upaya beliau mencari pengobatan sampai ke luar negeri, secara tak langsung menyiratkan pesan bahwa beliau juga bisa berada pada posisi serupa dengan mereka yang telah merasa menemukan penyembuhan Allah SWT melalui perantaraan beliau.

Warisan beliau yang sangat berharga bagi kita, murid setianya, adalah keteladanan sikap beliau yang sabar, terbuka, inklusif, simpatik, sederhana, menyenangkan, menjaga tutur katanya, dan selalu ringan tangan membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi muridnya. Meski beliau bukan inspirasi bagi seluruh orang Kalimantan ataupun Indonesia, beliau telah menunjukkan bagaimana cara go regional dan go national dengan cara akhlakul karimah, bukan dengan cara yang penuh muslihat. Sikap ini yang harus selalu kita kenang dan lakukan. Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Dosen PBSID FKIP Unlam, Tinggal di Banjarmasin
e-mail: sainulh@yahoo.com
Sumber: http://www.oocities.org/ejabudaya/jejak_cinta.html

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Jejak Cinta Guru Sekumpul Template by Bamz | Publish on Bamz Templates