Saturday, May 12, 2012

Krisis Apresiasi dan Kritik


Yohanes Sehandi *
http://kupang.tribunnews.com/

SEBAGAI pembaca dan pemerhati setia rubrik imajinasi Pos Kupang (PK) edisi Minggu yang dengan setia menyuguhkan cerita pendek (cerpen) dan puisi setiap terbitannya, secara pribadi saya mengucapkan terima kasih dan salut kepada PK yang terus menjaga dan membina rubrik ini sampai akhir tahun 2010 dan terus mempertahankannya pada tahun 2011 ini.

Tanpa idealisme dan kesadaran mendalam akan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra sebagai 'oase' di tengah gurun pasir karut-marutnya peradaban yang serba instan pada era globalisasi dewasa ini, tentu saja rubrik ini sudah lama hilang dan digusur oleh rubrik lain yang punyai nilai jual ekonomi,  termasuk iklan yang menggiurkan.

Sejak diluncurkannya PK edisi Minggu pada 3 Maret 1996, lewat rubrik ini PK telah mengorbitkan beratus-ratus cerpen dan puisi kepada para pembacanya. Kalau dihitung pukul rata, setiap bulan empat kali terbit edisi Minggu, maka sampai akhir Desember 2010, cerpen yang dihasilkan PK selama lebih dari 14 tahun ini berjumlah 712 cerpen. Jumlah puisi jauh lebih banyak lagi, karena setiap rubrik imajinasi ini muncul, jumlah puisi yang disuguhkan antara 2 sampai 3 judul. Bayangkan saja, selama lebih dari 14 tahun ini  puisi yang diorbitkan PK bisa berjumlah sekitar 1.500 sampai 2.000 judul puisi. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Jumlah cerpenis (pengarang cerpen) dan penyair (pengarang puisi) yang dilahirkan PK tentu berjumlah ratusan orang. Luar biasa!   

Menurut saya, ada dua kekhasan sekaligus kekuatan PK dalam menampilkan rubrik ini. Pertama, PK 'berani' menampilkan pengarang atau penulis baru (pemula) yang belum memiliki nilai jual dilihat dari segi bisnis media. Melihat nama-nama para pemula ini dipastikan mereka orang-orang asli NTT. Kedua, PK dengan 'konsisten' menampilkan karya-karya asli, bukan terjemahan atau saduran.

Dari dua kekhasan sekaligus kekuatan tersebut, terlihat sekali komitmen kuat PK untuk 'melahirkan' atau mengorbitkan cerpenis dan penyair asli dari daerah ini (NTT) untuk bersaing di tingkat yang lebih tinggi. Komitmen PK yang luar biasa ini seyogianya disambut dengan antusias oleh para pengamat dan kritikus sastra NTT untuk 'ikut serta' melahirkan atau membaptis  para penulis/pengarang baru (sastrawan) NTT untuk bersaing di tingkat yang lebih tinggi, tingkat nasional atau internasional.

Cerpen dan Puisi  2010

Untuk tahun 2010 saya berhasil mengumpulkan 36 judul cerpen dari 31 cerpenis yang diambil dari 36 nomor PK edisi Minggu. Mestinya masih belasan cerpen lagi yang harus diperoleh untuk tahun 2010, namun tidak sempat diperoleh,  karena, pertama, pengantar (loper) PK tidak secara lengkap mengantar PK edisi Minggu, yang kemudian hari dicari, tetapi tidak ditemukan lagi; kedua, ada beberapa PK edisi Minggu yang tidak memuat rubrik imajinasi karena diisi oleh rubrik lain yang lebih urgen termasuk iklan-iklan. Saya menyesal tidak mendapatkan secara lengkap cerpen dan puisi PK tahun 2010. Sambil berupaya untuk mendapatkan secara lengkap cerpen dan puisi PK tahun 2010, untuk kepentingan penulisan artikel ini saya mencoba bertolak dari jumlah cerpen dan puisi yang ada.   

Cerpen yang berjumlah 36 judul tahun 2010 itu berasal dari 31 cerpenis. Ada beberapa cerpenis yang menulis lebih dari satu cerpen. Agar bisa diketahui para pembaca, ke-31 cerpenis NTT itu (berdasarkan urutan pemuatan cerpen di PK dari Januari sampai Desember 2010) adalah: Januario Gonzaga, Christo Ngasi, Capestrano, Engky Pukan, Amanche Franck, Atel Lewokeda, Yohanes F.H. Maget, Hengky Ola Sura, Herman Bau Rua, Hiro Nitsae, Kristo Suhardi, Mario F. Lawi, R. Blast D. Lejap, Anice Tunayt, Wendly Jebatu, Lolik Luon, Alfredo S.H. Pareto, Charles Rudolf  Bria, Erman Loy, Cornelis Djeki, Fr. Setu Fransiskus Aprianus, Joe Wassa, M.Y. Natalia Meo Siga, Victor Lende, Vinsen Making, Mariana Sogen, Carlos Conceicao, Martinus Rino Laka, Gamel Atok, Jingga Clarita, dan Ishack Sonlay.

Untuk puisi, tahun 2010 yang berhasil saya kumpulkan berjumlah 55 judul puisi dari 24 penyair. Ada penyair yang menulis puisi lebih dari satu puisi, bahkan ada yang sampai 4 dan 5 puisi. Ke-24 penyair NTT yang diorbitkan PK itu adalah: Gerardus N Bibang, Pion Ratulolly, Ferdi Lelan, Mario F. Lawi, Theresia Sabu Hadjon, Buyung, Eby Riang Borot, D.A. Alfredo, Vinsen Making, Jimmy Meko Hayong, Inosensius Nahak Berek, Amanche Franck, Nazario Putra Diding, Yandri Capestrano, Lolik Luon, Yohanes Bataona, Monika Nia, Prim Nakfatu, Alan Lampu, Mario V. Pinong Wuwur, Yoseph Riang, Deodatus Parera, Apriyani T. Seran, dan Hendrikus Hendra Langkeru.

Krisis Apresiasi dan Kritik

Semaraknya rubrik imajinasi PK tahun 2010, sebagaimana halnya pada tahun-tahun sebelumnya, dengan mengorbitkan puluhan cerpenis dan penyair, sama sekali berbanding terbalik dengan kehadiran para pengamat dan kritikus sastra di PK. Keadaan ini sangat disayangkan, karena bagaimanapun, pertumbuhan dan perkembangan karya sastra di suatu wilayah/daerah selayak dan sewajarnya 'diimbangi' dengan kehadiran apresiasi dan kritik sastra dari para pengamat dan kritikus sastra. Peran dan fungsi seorang pengamat dan kritikus sastra bagaikan penyaring dan 'penemu' emas, perak, dan perunggu sastra yang terselip dan bercampur baur dengan tumpukan krikil, pasir, dan debu sastra.

Sepanjang tahun 2010, menurut catatan saya, hanya tiga artikel opini yang muncul memberi apresiasi dan kritik terhadap cerpen-cerpen  PK. Pertama, artikel 'Membaca Cerpen Pos Kupang" (Yohanes Sehandi, PK, 1/7/2010). Kedua, artikel  "Mencari Latar NTT dalam Cerpen" (Yohanes Sehandi, PK, 21/10/2010). Ketiga, artikel  "Ciri Khas Bercerita dan Lokalitas Latar" (Amanche Franck & Mario F. Lawi, PK, 3/11/2010). Artikel ketiga ini merupakan pembelaan diri Amanche Franck & Mario F. Lawi atas cerpen keduanya yang dikritik oleh Yohanes Sehandi lewat  artikel  yang telah disebutkan.

Meskipun kehadiran tiga artikel ini dinilai masih sangat kurang dibandingkan dengan cerpen yang berjumlah 36 judul, namun cukup memberikan warna tersendiri. Saya sendiri sebetulnya masih mengharapkan ada tambahan tanggapan lagi sampai akhir Desember 2010  guna menambah semarak perbincangan/diskusi sastra pada tahun 2010.

Berbeda dengan cerpen, artikel opini yang memberi apresiasi dan kritik terhadap puisi-puisi  PK sepanjang tahun 2010,  sama sekali tidak muncul. Tahun 2010 adalah tahun krisis apresiasi dan kritik puisi PK. Ini sangat disayangkan. Dari  55 judul puisi karya dari 24 penyair NTT yang diorbitkan PK, tidak mendapat sapaan, pujian, dan nasihat, juga tanpa teguran dan kritik dari para pengamat dan kritikus sastra NTT.

Sangat disayangkan, ada puisi yang bagus sekali diorbitkan PK, tetapi tidak mendapat sapaan dan pujian dari pengamat dan kritikus sastra. Sekadar sebagai contoh,  puisi 'Kerinduan' karya DA Alfredo (PK, 21/2/2010) yang bagus berikut ini  (dua bait terakhir): //Desah nafasmu masih mengiang di telinga jiwaku/Membisikkan tentang nyanyian hati/Aku mendengar suaramu ketika memanggilku dalam mimpi/Kekasihku aku selalu menunggumu pulang//Aku masih berdiri di ujung dermaga hati/Terus menatap lautan harapan yang membawamu pulang/Kekasih dengarkan suaraku dalam hayalmu/Yang memanggilmu pulang/... Aku rindu ....//.

Artikel opini lain tentang sastra juga sangat terbatas tahun 2010. Tercatat hanya tiga artikel, yakni:  pertama,  "Lari dalam Imaji Chairil Anwar" (Willem B. Berybe, PK, 28/4/2010);  kedua, "Dami N. Toda  sebagai Kritikus Sastra" (Yohanes Sehandi, PK, 23/6/2010); ketiga,  "Sastrawan NTT di Manakah Kau?" (Marsel Robot, PK, 15/9/2010).

Kondisi krisis apresiasi dan kritik sastra NTT pada tahun 2010, juga tahun-tahun sebelumnya, kiranya menggugah hati para pengamat dan kritikus sastra NTT untuk bersama-sama mengatasi krisis ini. Kita tentu sangat bangga bila pada tahun 2011 ini kita menikmati artikel opini sastra dari tokoh-tokoh berbakat dan peduli pada sastra NTT, antara lain (sekadar menyebut beberapa nama):  AG Hadzarmawit Netti, Paul Budi Kleden, Marsel Robot, Maria Matildis Banda, John Dami Mukese, Mezra E. Pellondou, Willem B. Berybe, Tony Kleden, Hengky Ola Sura, V Nahak, Sr. Wilda, Jimmy Meko Hayong, Bara Pattyradja, Gusty Fahik, Bill Halan, Felisianus Sanga, dan Pion Ratulolly.  

Menghadapi Kritik

Dua artikel opini saya (PK, 1/7/2010 dan PK, 21/10/2010) mendapat tanggapan sekaligus pembelaan diri Amanche Franck dan Mario F. Lawi lewat artikel  "Ciri Khas Bercerita dan Lokalitas Latar" (PK, 3/11/2010). Keduanya bereaksi  terhadap pendapat saya yang menyatakan,  cerpen Mario F. Lawi yang berjudul "Ketika Kelam Mendekam dalam Rahim Negeri Kami" (PK, 25/4/2010) dan cerpen Amanche Franck yang berjudul "Sekuntum Mawar di Taman Rumah Kami" (PK, 30/5/2010), 'bukanlah cerpen,' melainkan sejenis renungan, khotbah, pendalaman iman, refleksi iman, dan sejenis itu.

Dasar pijakan saya dalam menilai dua cerpen itu jelas, yakni  'unsur intrinsik' yang harus dimiliki setiap cerpen. Unsur intrinsik itu adalah: tokoh atau perwatakan, plot atau alur cerita, latar atau setting, tema atau inti cerita, dan gaya pengungkapan. Cerita milik Mario F. Lawi dan Amanche Franck yang saya kritik itu 'tidak jelas' kehadiran unsur-unsur  intrinsik tersebut sebagai syarat mutlak kehadiran cerpen. Kedua cerita itu hanyalah berisi pelukisan atau penggambaran suatu keadaan atau suasana, baik keadaan atau suasana batin/iman si pengarang, maupun keadaan/suasana obyek yang menjadi sasaran pelukisan/penggambaran.

Setiap pengarang tentu punya hak membela diri, tetapi sebaiknya bertolak dari pijakan teori yang jelas agar tidak terkesan melampiaskan emosi saja. Artikel yang ditulis dua penulis yang mengaku diri sebagai cerpenis pemula itu, terkesan membela diri berlebihan dengan menghujat analisis saya dengan ungkapan yang kurang sedap, seperti arogansi, semena-mena, naif, dan ulasan picisan, sambil membombardir nama saya berulang-ulang sampai 19 kali dengan gonta-ganti sebutan: Saudara Yohanes Sehandi, Yohanes Sehandi, Yan Sehandi, Saudara Yan Sehandi, padahal artikelnya hanya 12 paragraf.

Merasa risih dengan gaya pengungkapan dua penulis pemula itulah rupanya yang membuat seorang pembaca, Thomas A. Sogen, di internet pada Kamis, 4 November 2010,  menulis:  "Inilah ajang diskusi para pencinta sastra sejagat NTT guna pengembangan karya sastra ke depan, bukan untuk saling memusuhi atau mencaci maki satu dengan yang lainnya. Fokus catatan Pak Yan adalah setting cerpen. Saya justru senang dengan anjuran beliau agar penulis NTT bisa menggunakan setting NTT agar bisa go nasional. Salam sastra dari Yogyakarta."

Sederhana saja sebenarnya kalau dua cerpenis itu membela diri. Tunjukkan saja kepada pembaca, siapa-siapakah nama tokoh dalam cerita itu lengkap dengan karakter yang dimilikinya, baik tokoh protagonis maupun antagonis? Sebutkan, apa saja kejadian/peristiwa sebagai plot atau alur cerita yang merupakan hasil interaksi antara tokoh-tokoh dalam cerita tersebut? Tokoh-tokoh itu berinteraksi dalam ruang (tempat) dan waktu dengan segala situasi sosial budaya yang menyertainya, itulah yang disebut latar atau setting. Tunjukkan kepada pembaca, di manakah  tempat kejadian/peristiwa itu dan kapan kejadian/peristiwa itu berlangsung sebagai latar tempat dan waktu?

Kalau unsur-unsur intrinsik itu tidak bisa ditunjukkan, terus apanya yang mau dibela? Menilai cerpen karya sendiri sebagai cerpen 'surealis' yang sama dengan cerpen milik Agus Noor dan Avianti Armand yang telah mendapat penghargaan, saya kira sebuah penilaian yang berlebihan terhadap diri sendiri, dan ini jauh dari sifat kerendahan hati seorang penulis yang mestinya jujur.


*) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia dari Lembaga Publikasi Universitas Flores /1 Februari 2011

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Krisis Apresiasi dan Kritik Template by Bamz | Publish on Bamz Templates