Wednesday, December 1, 2010

SEKITAR KEPENGARANGAN NOVELIS M.D. ATMAJA

Antara Dukun, Sabung Ayam dan Pembunuh Di Istana Negara
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Prolog

Sewaktu koleksi bukuku hanya beberapa, kebanyakan fotokopian, aku membacanya setiap kata seperti bebijian emas berharga. Dengan suntuk serasa menggali sumber mata air dari tanah-tanah gersang. Berulang demi temukan ketepatan makna, lantas kugoyang nilai-nilai terkandung hingga pengertiannya berubah setiap harinya. Dan kudapati jiwa pengarangnya, meski guratan tersebut hasil terjemahan.

Perkiraanku melayang menyentuh uap kemungkinan terdekat menjauhi taksiran sebelumnya. Tapi biasanya, berpulang menyetiai pandangan semula, awal betapa diriku digedor kesaksian penulisnya. Aku baca kata-kata bebutiran pasir terhampar di bencah pesisir emas. Harapanku mereguk nikmat tandas, timbul haus mencekik tenggorokan bathin belia, manakala menapaki pengetahuan yang selalu baru sedenyut perasaanku kini.

Lambat-laun bacaanku bertambah, membeli buku-buku terbitan baru. Suatu hari, aku borong yang seolah tak mungkin terbaca seluruh dalam kepenuhan hidupku, itu membuat ketagihan. Selanjutnya aku selektif mengisi waktu dalam membaca, hanya tertentu sampai tuntas. Ada pula kubaca berulang kali, padahal yang berderet di rak adanya belum aku pelototin. Kadang beli buku, perlunya menyimak beberapa bab darinya.

Di sana jiwaku bertarung, membaca buku menyinauhi peredaran alam perubahan, mengelilingi gerak hidup dalam kehidupan. Menghirup bunga di taman atau mencium keharuman sebuah karangan. Kerap aku sandarkan pelbagai temuan realitas pribadi, berkeseluruhan sadar pula sepunggungnya. Berolah rasa tajamkan arah mencari titik penghampiran, serupa hakim menentukan hukuman, digoda di sisi hasrat ingin peroleh keindahan. Aku seperti mereka hadir di buku-buku memiliki perkiraan sendiri, sudut tekan berlainan. Usaha purnakan pribadi menjelajah, mengeruk berharap kelak dapati sembada.

Sembari menahan kantuk di sembarang siang menyerang. Aku teringat kawan Fahrudin Nasrulloh pernah berkata; “Buku yang terbaca merupakan takdir tersendiri.” Aku kira tidak berlebihan, kita sering dipertemukan ruang-waktu papasan, bertolak sedari tak teringinkan. Ini kentara bagi pemburu buku keluaran lama, pencari dituntun hawa lembut bersesuaian; misal membenci tokoh berinisial A, dapat dimungkinkan susah mencari karangannya. Tapi betapa menggemari sosok B, akan mudah perolah karya-karyanya di toko buku loakan, ini bersanding erat berhincit dekap di balik pahit kesumat.

Tidak keliru ujaran tempo dulu; “tak usah membenci guru, nanti berimbas ketakmanfaatan yang terperoleh darinya.” Cukup tidak sejalan, bukan tersinggung ke hati dalam pelajaran. Sebanding kemisterian kalbu merambahi yang berkisaran di lelingkup hayat dilakoni. Letak nantinya tertancam, atau mengawang selembaran kabut menyepuh kulitan ruh keilmuan di atas gunung bacaan.

Terus terang aku suka dapati undangan pembicara, dua jenis kesukaan aku temukan. Pada belakang namaku tertulis penyair atau sastrawan, padahal jika kutulis sendiri paling banter pengelana, mentok pengelola penerbitan, karena kadang berbagi menerbitkan karya kawan pun hasil cipta sendiri. Kedua, seolah yang kuugemi memberkah, tidak jauh laku sehari-hari dalam kepenulisan, membedah karangan lain.

Antara Dukun

Dalam keadaan tertentu aku kerap sebandingkan sosok penyair dengan dukun kampung. Kehebatan sang dukun tanpa menyebutkan diri, mereka percayai, tanpa lewati iklan juga tiada plakat depan rumahnya tertera paranormal. Dari sana aku tergelitik, alangkah indah tanpa katakan identitas, tetangga kampung sebelah, hingga desa-desa jauh mengetahuinya.

Aku kira jenis kekalahan tersendiri, membuka kursus atau lembaga karate, tetapi masih menancapkan plakat di pekarangannya. Sedangkan sang dukun bersegenap kemampuan berolah kanuragan; bathinnya diasah, raga-jiwanya ditempa menerus ke titik kepekaan tertentu mencapai gelombang informasi, yang tidak terdengar orang-orang awam.

Demikian mengobati, memecah batu-batu permasalahan, sering tak nyambung nalar. Namun khasiatnya melebihi diagnosa, logika ahli bedah, psikolog, pula melampaui sejarawan, jikalau tiada istilah mengacau akan hal-hal belum terketahui. Ia unggul dipelbagai bidang dan masih membawa bentuk pantangan; tidak menyebutkan dirinya dukun, hanya mengaku membantu, menolong semacamnya.

Sabung Ayam

Aku yang dulu sempat menggemari sabung ayam sampai ke luar kota menjajal kesaktiannya, ke Tuban, Pare, Kediri. Di Jogja, tidak luput tanding ke pelosok Kulon Progo daerah Garongan. Penyabung di sisi tertentu serupa dukun, keampuhannya kerap dijegal pendatang baru. Dan, penulis awal menerbitkan buku seperti pemilik ayam jago siap bertanding ke mana pun, demi membuktikan pada gelanggang digeluti, apakah benar jantan atau keok di pertarungan. Para kyai kampung yang pelihara jago, biasanya semasa muda suka mengadu ayam, mungkin ini terdukung hikayat jawara yang gemar beradu ayam. Dan, imajiku tumbuh di sana seharum semerbak sekembang melati di tengah-tengah taman pondokan.

Sastrawan mula keluarkan buku, biasanya muncul kejiwaan cukup menimba keilmuan pada sementara waktu. Mencoba bersegenap kemampuan dipunyai, sedangkan ajang bedah buku sejenis adu ayam di gelanggang. Ini keharusan selepas dilatih tiap hari, diberi makan terbaik tak seperti ayam biasa dikasih dedak, bebijian jagung semata. Namun disaji potongan daging kecil-kecil, tetesan anggur, diurut, disematkan nama, rerupa kemanjaan lain, yang dihajatkan tumbuh beringas. Pagi dimandikan air hangat segar, malam hari ditaruhnya di kandang layak, pertumbuhan jalu-nya dirawat teratur, demi sabetannya kelak mematikan lawan dengan telak.

Ayam bermental unggul, tak kan berteriak keok sampai ajal menjemput di pertandingan. Ini bisa dihitung jari, mungkin dari keturunan ayam jantan jawara atau dilambari asmak ampuh dalam tubuhnya. Setiap pejantan punya kharisma masing-masing, hanya orang tertentu yang mampu mengangkat fitrohnya sebagai aduan tangguh.

Aku perkenalkan M.D. Atmaja

Sebelumnya aku ucapkan terimakasih kepada mbak Jeng Titik Weber yang perkenalkanku padanya. Kami bertemu di angkringan dekat alun-alun utara Jogja, ngobrol kesana kemari seawal jumpa, yang sedurungnya lewat facebook saja. Berbincang soal pergeseran masa percepatan laju pertumbuhan kota gudeg, pun saling berkisah tetapak hayat kami jalani masing-masing, dan mbak Titik menceritakan pertemuannya atas sastrawan Pramoedya Ananta Toer semasa ia kuliah di luar negeri. Lantas membumbung pengetahuan di antara kami meresapi kehangatan akrab.

Dari sana, aku petik sikap teguh kepengarangan M.D. Atmaja. Terlintas seakan diriku sewaktu membukukan Balada, lantas dikenal “Balada-Balada Takdir Terlalu Dini,” yang sempat dibedah di Purna Budaya Yogyakarta 2001, atas sastrawan Iman Budi Santosa, Suryanto Sastroatmodjo (almarhum). Aku kira pengarang Atmaja kini merasai hawa bangga, layak sebangsanya, apalagi penerbitan buku perdananya sejerih ikhtiar murni. Beranjak sedari semangat membara, tak jauh memikirkan untung-rugi, ini sungguh bernilai nantinya, jika dikukuhkan niat sampai tutup usia.

Kenekatan tak lama menimbang, menggerus ragu menumpas was-was ketakutan dianggap sepeleh, kumprung sekelaminnya. Keberanian tersebut sangat berarti dalam negara kurang menghargai pemikiran anak bangsanya, tidak memberi ruang-waktu bagi jemari memegang pena bersuara lantang. Yang malah memakmurkan orang-orang bersenjata, duduk layak di kursi jabatannya di atas jeritan angka kemiskinan.

Di hadapanku, M.D. Atmaja. Getol menggembleng nasibnya berolah kata membawa nikmat bathin sekecup kasih informasi hayat, demi kesaksian hidup dimuka bumi pertiwi. Atas novel bertitel “Pembunuh Di Istana Negara” dan novel-nevelnya lebih lanjut. Aku dengar, ia sudah persiapkan tujuh novel di genggeman tangannya. “Aku kira, ini modal cukup untuk idealis disementara waktu;” kataku saat itu. Yang kini kita bedah, bersama pemerhati seni budaya Robin Al Kautsar beserta networker kebudayaan Halim HD, dalam acara Geladak Sastra #5 Komunitas Lembah Pring Jombang, dalam Padepokan Selo Aji (kediaman Ribut Sumiyono, Pematung batu di Trowulan) Jl. Raya Jati Sumber 11, Jatisumber, Watesumpak, Trowulan, Mojokerto, 23 Juli 2001, ba’dah Sholat Jum’at.

Tatkala mengantari “Kantring Genjer-genjer,” novel karya Teguh Winarsho AS, 2007, aku pernah mengutarakan; “…sebuah novel semacam kamus filsafat hidup, yang di dalamnya terkadung segala muatan keilmuan.” Kini aku tambahkan: Bentuk-bentuk penceritaan pun membutuhkan langgam, demi membantu pembaca menggambarkan suasana kepada kata-kata yang dihadirkan. Ini alam psikologi bekerja kepada perenungan terdalam, kesuntukan mencipta melodi dari setiap barisnya menentukan wewarna ruang dilukiskan. Tekstur jiwa, persetubuhan makna, wewujud pengendapan lain diharapkan ke dasar kefitrohan teks yang dihasrati kesana.

Teknik dapat dipelajari di mana saja, dunia konflik bisa diramu sebanyak pengetahuan terbaca, tapi seringkali luput tatkala tergesa-gesa, hingga bangunan tercanangkan kurang jenak meski duduk di tempat nyaman. Maka kesabaran dituntut, ketekunan hening diajukan, agar tidak sekadar lintasan cerita, rangkaian peristiwa yang kurang membuka kalbu pembaca. Alunan nada-nada tuturan yang diungkapkan, betapa membentuk dunia lain bagi penyimak menjelajahi. Olehnya ketenangan emosi membukakan cakrawala yang tak tersentuh kata, namun mampu diwakili penghampiran puitika di sekitarnya. Di sana terbaca mentah atau matangnya pengarang dalam meleburkan diri ke dunia. Gugusan itu pantulan menyikapi pesona hayati, maka jenjang usia menentukan, mematangkan situasi yang digambarkan karya. Selamat untuk yang terus menggelora.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►