Wednesday, December 1, 2010

Sastra TV dan Budaya Konsumen

Amien Wangsitalaja
http://www.kr.co.id/

BULAN-BULAN di sepertigaan awal dan menginjak sepertigaan kedua 2003 adalah bulan-bulan milik Inul. Orang-orang mencoba bergoyang a la Inul atau mencoba menyaingi Inul dengan menawarkan gaya goyang lain (sampai ada goyang satu kaki Uut Permatasari), televisi ramai-ramai menayangkan program bertajuk Inul: ada Inultainment (TPI) Kenapa Harus Inul (SCTV), atau Inul Campursari (TV7), dan mungkin masih banyak lagi.

Mari kita menengok ke belakang. Ketika di bulan-bulan menjelang pertengahan tahun 2002 kemarin serial film Meteor Garden yang diputar di salah satu stasiun televisi kita hadir sebagai mata acara yang teramat populer dan digandrungi, remaja Indonesia kemudian tergila-gila kepada model rambut flat ion rebonding (FIR), sebuah model rambut lurus, lentur, rata, dan mengkilat yang mereka tiru dari penampilan tokoh-tokoh film seri Meteor Garden tersebut. Bukan hanya remaja umum, para selebritis pun terlibat “menjalankan ajaran” Meteor Garden ini, seperti Krisdayanti, Anang, Sophia Latjuba, Melly Goeslaw, dan Mira Lesmana (lihat laporan Kompas Minggu, 23 Juni 2002).

Fenomena Inul dan Meteor Garden ini adalah fenomena dominannya “sastra TV” dalam pembentukan wacana keseharian kemanusiaan kita. “Sastra TV” sendiri lebih dekat kepada stereotipe tradisi sastra lisan jika dibandingkan dengan tradisi keberaksaraan: ia hadir langsung sebagai narator di hadapan pendengarnya dengan proses penyerapan informasi yang berlangsung tanpa distansi (tidak seperti dalam sastra tulis yang tercerapnya bacaan ke dalam pikiran pembaca memerlukan banyak proses).

Jika kemudian TV telah sedemikian dekat dengan masyarakat (reseptor sastra) dibanding dengan terseok-seoknya sosialisasi buku-buku sastra dan tradisi membaca, adakah ini pertanda kita sedang kembali kepada masyarakat tradisi lisan?

Tradisi lisan sendiri telah hadir mendahului tradisi tulis dalam kehidupan bersastra kita. Situasi sosiokultural masyarakat Melayu (Indonesia) lama sangat memberi tempat bagi berkembangnya tradisi sastra lisan. Sastra lisan itu berkembang mengambil bentuknya yang khas dalam hikayat, dongeng, cerita pelipur lara, pantun, ataupun juga nyanyian. Termasuk dalam tradisi lisan ini adalah sasra wayang yang berkembang di Jawa.

Ketika sastra Indonesia modern muncul, dimulailah sebuah babak baru dalam tradiisi bersastra, yaitu berkembangnya sastra tulis yang diikuti memudarnya tradisi kelisanan dalam sastra. Sastra tulis berkembang secara pesat dan kemudian memonopoli bangun sejarah sastra Indonesia. Pemonopolian bangun sejarah sastra ini pula yang menyebabkan tradisi sastra lisan terjegal perkembangannya dalam tradisi sastra kita.

Betulkah tradisi lisan telah hilang dari tradisi sastra kita ? Jika yang kita maksud dengan tradisi lisan itu mengacu kepada bentuk-bentuk sastra lisan yang khas tempo dulu, mungkin jawabannya adalah: ya. Tapi, jika tradisi lisan itu tidak musti dirujukkan kepada bentuk sastra lisan dan lebih dipahami sebagai sebuah tradisi kelisanan itu sendiri sebagai pertentangannya dengan tradisi tulis, jawabannya adalah: tunggu dulu.

Tradisi lisan dalam format konvensional barangkali memang telah pudar dalam kehidupan sastra kita. Namun, sebetulnya kehidupan sastra kita kini secara tidak sadar tengah digiring untuk menerima kembalinya tradisi kelisanan tersebut dalam formatnya yang kontemporer. Inilah yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi informasi dengan berkuasanya media elektronik menjadi “pemandu” kehidupan sosial kita. Tradisi lisan kontemporer mengukuhkan TV sebagai singer atau tukang cerita dalam suasana kelisanan yang kontekstual oleh paralelisme sejarah.

Antara tradisi lisan konvensional dengan tradisi lisan kontemporer tentu saja terdapat perilaku-perilaku dan identitas-identitas yang berbeda, berubah, dan berkembang meski ada pula bagian-bagian dari stereotip genre itu yang tetap identik.

Perubahan yang paling radikal, sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, adalah berkenaan dengan modus operandi penyampaian tradisi lisan kontemporer ini yang tidak lagi berjalan secara “manual”, tapi ditopang oleh simulasi teknologi komunikasi.

Di luar persoalan teknis penyampaian, ternyata beberapa perilaku intrinsik antara kedua tradisi lisan ini memiliki pola-pola stereotipe yang tidak berbeda.

Tradisi lisan memberi tempat bagi berkembangnya genre sastra yang sejalan dengan kebutuhan dan permintaan masyarakat, yaitu sastra massa (litterature de masse) yang dikehendaki dan disimak orang banyak. Keinginan memenuhi permintaan massa ini menghasilkan stereotip pemunculan karya yang mengekspose ilusi-ilusi massa yang mewujud dalam cerita detektif, petualangan, hantu, sains, istana, heroisme, dan common sense lain yang setipe dengan itu.

Sebagai genre sastra yang berjalan linear dengan permintaan massa, sastra lisan memiliki ciri-ciri antara lain, pertama, transendensi realitas: sastra mengangkat fenomena riil dari kehidupan manusia tidak secara wajar, tapi dieksploitasi sedemikian rupa dengan penseriusan, pemewahan, romantisasi, dan radikalisasi atas persoalan yang sebenarnya tidak serumit itu.

Kedua eksploitasi “mimpi”, ilusi-ilusi massa akan ideal-ideal kehidupannya dibangkitkan. Dan karena itu menuntut kepada ciri yang ketiga, yaitu pembangkitan emosi, serta ciri keempat, tersampaikannya ajaran dan pesan yang diusung oleh sastra lisan tersebut.

Lantas, bagaimanakah format tradisi lisan kontemporer yang berjalan dalam asuhan modernitas teknologi komunikasi ini?

Tradisi lisan kontemporer ditandai dengan andil besarnya media audio-visual menjadi mediator sekaligus narator dalam “komunikasi sastra” antarruang yang tidak lagi mengharuskan adanya kontak fisik antarpeserta komunikasi. TV menjadi singer yang mendongengkan kaba dan pantun tanpa harus berjalan door to door tapi merangkum ruang yang luas dari setiap pintu rumah siapa pun dalam waktu yang bersamaan.

Iklan, sinetron telenovela, dan film seri yang mendominasi mata acara TV dapat dijadikan representasi yang pas dari sastra lisan kontemporer ini.

Iklan, misalnya, dari satu segi ia merupakan miniatur dari televisi itu sendiri karena ia mencakup berita, hiburan, dan ajaran. Di sisi lain, presentasi iklan itu sendiri hadir melalui “kesadaran bahasa sastra”, seperti dengan adanya alur, suspensi, imaji, dan juga imajinasi. Iklan sendiri sebagai narator /singer juga bekerja sesuai kebutuhan massa akan informasi dan format iklan pun berjalan dalam hubungan timbal balik dengan mentalitas kebutuhan massa. Sementara itu sinetron, telenovela, dan film seri adalah sebuah cerita, karena itulah ia adalah juga sastra.

Bagaimanakah stereotipe sastra lisan itu terterapkan di dalam “sastra TV”?

Pertama, transendensi dan perumitan realitas. Stereotipe semacam ini banyak kita temui dalam iklan. Misalnya saja iklan sikat gigi: persoalan menggosok gigi yang pada mulanya tidak “bermasalah” harus dirumitkan dengan bahwa sikat gigi harus yang bisa menjangkau seluruh permukaan gigi sehingga harus memiliki tiga sudut” (iklan sikat gigi Pepsodent) atau bahwa sikat gigi harus “memiliki pegangan yang pas di tangan” (iklan sikat gigi Durodont).

Kedua, eksploitasi mimpi. Jika dalam konteks sosiokultural tradisi lisan kuno mimpi-mimpi terjelmakan dalam idealisasi kehidupan istana, dalam tradisi lisan kontemporer “sastra TV” ia terjjelmakan dalam hedonitas, glamouritas, dan konsumerisme hidup. Tokoh raja dari tradisi lisan kuno tertransformasikan ke dalam tokoh selebritis, artis, dan para orang kaya.

Ketiga, pembangkitan emosi. Emosi konsumerisme reseptor sastra dibangkitkan, bahkan dipercepat oleh diferensiasi produk: sebelum kita bisa memanfaatkan secara optimal fasilitas bluetooth di handphone kita, sudah dijejalkan kepada kita bahwa handphone harus bisa juga untuk kirim gambar, memotret, harus ada handycam-nya, bisa untuk mendengarkan radio, dst.

Keempat, tersampaikannya ajaran atau pesan. Efek ajaran “sastra TV” ternyata sangat tajam dan membekas. Fenomena berlomba-lomba menandingi Inul dan atau mengekspos Inul dan fenomena potongan rambut FIR tercontohkan di muka adalah satu bukti. Belum lagi bukti yang lebih umum berkenaan dengan pola hidup konsumtif-konsumeristik dan hedonis itu sendiri.

Di saat keberadaan sastra tulis kita yang terseok-seok, fenomena “sastra TV” dapat kita manfaatkan untuk memulai komunikasi yang lebih baik antara sastra dengan reseptornya. Namun, yang perlu didiskusikan kemudian adalah hegemoni budaya konsumen yang membalut komunikasi sastra jenis ini.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►