Saturday, December 18, 2010

Peremajaan Kebudayaan Indonesia

Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/

LEBIH dari sepuluh tahun yang lalu, Rama Mangunwijaya mendirikan Sekolah Dasar Mangunan. Beliau sudah patah arang dengan generasi beliau, juga generasi berikutnya, karena sudah mengalami dekadensi moral yang luar biasa, bukan cuma mentalitasnya now, tetapi juga kependidikannya. Karena itu beliau bekerja keras untuk mewujudkan kependidikan “bebas sekolah” –maksudnya tentu saja sekolah seperti yang sampai sekarang kita kenal di bawah Departemen Pendidikan Nasional itu, yang bibit kawit-nya didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dalam rangka Politik Etis. Rama Mangun memimpikan awal satu generasi bebas korupsi, tidak berani menipu dengan statistik dan metodologi, sangat kenal presisi, dan sudah pasti kreatif, dan berani.

Mungkin generasi itu mulai nampak bibit kawitnya ketika di tengah kekosongan prestasi Indonesia di berbagai bidang, anak-anak Indonesia memenangui berbagai award dalam olimpiade ilmu pengetahuan dunia. Tidak cuma satu atau dua, tapi beberapa kali hampir melakukan “sapu bersih” hadiah. Prestasi yang membangkitkan PD (rasa Percaya Diri) bangsa.

Ternyata, awal milenium ketiga ini memang sedang terjadi kebangkitan nasional kedua. Tepatnya peremajaan. Ungkapan Inggrisnya rejuvenisation. Ingat to obat yang diperkenalkan sebagai “juvelon” untuk menjaga agar orang tetap bugar kayak remaja atau juvenile delinquency –kenakalan remaja– yang sering membuat kita putus asa karena “tradisi” tawurannya?! Ternyata bangsa kita sedang mlungsungi pada awal milenium ini. Tidak hanya di bidang sains, olahraga, juga kesenian macam-macam. Seni rupa, bukan saja sudah lahir remaja-remaja seni rupawan pria, tetapi juga gadis, eh, perempuan. Juga seni sastra, lahir novelis-novelis muda seperti Dee, Ayu Utami, Oka Rusmini. “Perempuan lagi, perempuan lagi,” bisik Bilung. Apalagi dalam berbagai “kuasi seni” yang disebut seni massa atau seri pop, alamak, bukan main buanyaknya. Ada Agnes Monica, ada Marshanda, “ada Ciprut” bisik Bilung lagi tanpa malu-malunya.

That’s it! Itu dia prospek kebudayaan masa depan kita. Peremajaan dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar “yang tua pensiun diganti yang muda.”

Kuasa Budaya Media

Pelan tapi pasti, budaya media mendominasi kognisi bangsa. Munculnya kaum selebriti produksi televisi –yang oleh almarhum Harry Roesli– disebut sebagai “pembodohan bangsa” –menyisihkan berbagai isu kebangsaan (dan kerakyatan, gumam Bilung seperti pengentasan bangsa dari sindrom kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang sudah menjadi kewahiban moral negara. Hiburan, yang memang merupakan keunggulan siaran televisi, menghegemoni tugas-tugas kultural lain seperti pendidikan dan informasi– sehingga muncul kemasan-kemasan infotainment, edutainment dengan entertainment sebagai payung? “Negeri yang sengsara memang membutuhkan hiburan; tidak cuma dari showbiz, juga religlobiz,” kembali Bilung intervensi dari balik pesawat televisi. Pernyataan Bilung untuk sebagian benar. Lihatlah India dengan Bollywoodnya yang gumebyar, padahal disemua jalan di perkotaannya, dengan mudah kita ketemu pengemis yang sengsara. “Lha apa Amerika Serikat juga negeri yang kesrakat karena Hollywood yang gumebyar, sexy, sensasional, penuh glamor?!

Aniway. Tahun 2004 ini adalah tahun padat show media, eh, televisi, yang melibatkan seluruh jaringan kehidupan bangsa. Participatory Entertainment, yang digemari oleh anak-anak, dewasa sampai orang tua dengan AFI (Akademi Fantasi Indosiar), lalu Indonesian Idol, lantas KDI lengkap dengan AMI Award, FFI dan lain-lain dan sebagai –lengkaplah demam entertainment (bukan “consolation” lo) di negeri kita. Demam ini nampak kalau kita mau mendengar wacana bangsa di mana pun WNI berada. Bukan lagi ekonomi atau politik yang mereka perbincangkan, tapi paket-paket acara televisi termasuk tayangan misteri (maksudnya “memedi”), selebriti (maksudnya: perselingkuhan dan perceraian), serta sinetron remaja (maksudnya: cinta asmara di sekolah) serta berbagai acara lain yang dapat ranking.

Adanya lembaga sensor, KPI (Komite Penyiaran Indonesia), justru mengungkapkan apa pun yang dikemas di televisi dan disiarkan itu sudah absah (legitimate), tersosialisasikan, terpranatakan dan akhirnya terinternalisasikan. Nah. Ini yang bisa bikin repot, karena “lesson learned” dari berbagai acara hiburan ini memang bisa runyam karena menanamkan nilai-nilai instan seperti “rich & famous now!” –lihatlah betapa antusiasnya remaja-remaja di seluruh Indonesia praktis ikut seleksi AFI, II, KDI, Indonesian Model dan lain-lain dan sebagainya. Sekalipun memang seleksi-seleksi plus pelatihan yang dilaksanakan bisa mendidikkan pula disiplin kerja, keberanian tampil, serta berbagai kualitas kepribadian yang dipersyaratkan dalam dunia kerja secara global seperti kompetitif, percaya diri dan sebagainya.

Tahun 2004 bisalah dikatakan sebagai puncak perubahan alias transformasi legitimasi nilai-nilai rural-agraris menjadi urban-industrial. Dengarlah kritik dari alumnus Fakultas psikologi UGM yang bekerja di berbagai perusahaan gede, bahwa lulusan UGM –biar pun pintar-kurang PD, kurang kompetitif– sehingga dalam rekrutmen dikalahkan oleh lulusan fakultas psikologi universitas lain.

Mendengar kritikan itu saya teringat Trunajaya, pangeran Madura yang berontak melawan Sunan Amagkurat itu. Ketika dia berhasil menguasai singgasana Mataram Trunajaya sesumbar: “Sudahlah Bung, dasar kamu tedhak turunnya petani; kembalilah ke sawah macul sambil ngurusi sapi!” Inilah perubahan yang amat jelas dari etos “wani ngalah luhur wekasane” jadi “kamu pasti bisa” seperti yang diujarkan oleh Shiv Khern.

Sudah bukan zamannya untuk malu-malu lagi menonjolkan diri. Lihatlah SBY, satriya piningit dari Pacitan itu, dalam kampanye kepresidenannya ia teges berkata: “We are the best.” Dan budaya media memenangkan beliau sampai 60%, sampai-sampai orang ragu akan keefektifan partai dalam menuai suara pemilu.

Nggak Jawa Lagi

Jawa –paling tidak secara normatif– memang serbahalus. Bahkan dalam memerintahpun amat halus. Pakai “Tolong” atau “Maaf” –tapi pemerintahannya bisa amat otoriter, begitu tulis Hans Antlov. Berbagai ungkapan perkara seks yang blakblakan seperti “Vagina,” pasti dicap “tidak njawani”; tapi “tidak njawani” itu bisa “durung Jawa” seperti stigma yang diberikan “makhluk halus” dari Jawa itu terhadap perilaku “wong sabrang” yang “gonyak-ganyuk nglelingsemi” — bisa juga “sudah tidak Jawa lagi,” “post-Jawa.” Ungkapan “Jawa kliwat” itu sesungguhnya sudah bisa kita pergunakan untuk memberi label pada Jawa generasi sekarang, seperti tuduhan Bilung: “Jawa kok serbaterbuka. Tubuh terbuka. Perasaan terbuka. Priye?”; tapi mau dibilang “dulu Jawa” wong ya orang Jawa. Kalau ngomong pakai bahasa Jawa, cuma ngoko campur Indonesia, campur Inggris, campur macam-macam bahasa lokal. Sudah lebih sering nonton film Hollywood, Bollywood, Mandarin ketimbang wayang apa ketoprak apa gamelan. Dandannya juga jauh dari bebet kain, surjan dan semacamnya, malah-malah pakai jins, jas atau sama sekali nggak pakai apa-apa.

Bagi mereka, identitas Jawa sudah tidak jalan lagi kecuali ketika mereka melaksanakan upacara siklus hidup seperti mitoni, procotan, tedhak siten, atau tahlilan, ziarah kubur. Dalam hati manusia “post-Jawa” atau “transkultural Jawa” ini, Jawa muncul bagai “atavisme.” Di tengah berbagai pertimbangan kritis, Bilung ndhodhok memegang tanah dan sesambat: “Gusti. Gusti!”

Sementara tentang kesusasteraan Jawa sendiri, Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai “Jawa Ngeyel” karena tidak mati-mati –padahal sastra Jawa itu cuma hidup bila ada seminar yang memang disengaja untuk nguri-uri sastra Jawa. Repotnya paling tidak dalam geguritan –putika sastra Jawa itu peniruan saja dari perpuisian Indonesia pasca-Chairil Anwar. Toh sastra Jawa (dan sastra-sastra lain, seperti Sunda dan Bali) memperoleh mesiu tambahan ketika “otonomi daerah” mulai diberlakukan. Muncullah euforia seni daerah (seni geografis, istilah yang dipakai Triyanto Triwikromo) dalam bentuk seni rakyat, seni massal, seni pop –cuma tahun 2004 ini kesadaran ini didukung oleh pengembangan wacana dengan penggalian “local wisdom” & “local genius.” Restorasi Jawa tidak hanya dilakukan oleh Yayasan Kanthil, Swagotra, Permadhani, Ki Enthus Susmono, Ki Slamet Gundana, tetapi juga oleh Tanto Mendut yang tidak bosan-bosannya bikin festival kesenian pegunungan — yang menolak hegemoni kesenian keraton dan “memaksa”-nya berdialog dengan kesenian pedesaan.

Artinya, mereka sedang memperkenalkan kembali Jawa Plural, Jawa multikultural sampai kelak-dalam waktu singkat –muncul Transkultural Jawa yang memenuhi ramalan: “Dibilang Jawa sudah bukan; dibilang bukan Jawa masih.”

Inilah masa depan yang dekat dari kesusasteraan, kesenian, kebudayaan kita di Jawa Tengah ini khususnya.

Skenario Kabudayan

Pertanyaan adalah: adakah peremajaan kembali kebudayaan kita tahun 2004 ini sudah maktub dalam “script of life” kita, atau hanya sebuah intermeso, improvisasi atau bahkan deviasi? Secara instink (baca: kesadaran kosmis), rasanya kok kita yakin adanya skenario ini, seperti kita yakin akan “sangkan-paraning dumadi” –juga dalam perjalanan kultural bangsa. Tapi kalau benar ada peremajaan kembali, bukankah bakal ada krisis identitas lagi? Bukankah sastrawan, seniman, ilmuwan, agamawan kita hanya akan ubek saja dengan cari pengakuan? “Lha ya ngono,” seru Bilung, “Lha wong kebanyakan elite budaya kita tu sibuk golek keplok gitu lho!” Biar begitu mbok ya kita dengan pendapat Triyanto Triwikromo: “Identitas tu tidak geografis lagi, tapi pada kualitas karya.” Lha mbok ya gitu. Biarpun kita mengalami peremajaan, “golek keplok,” tapi urusannya sudah kekesadaran yang lebih tinggi: Kreativitas otentisitas, orisinalitas. Gitu! Bacalah dengan mata batin Anda!

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►