Sunday, October 10, 2010

Mencari sastra yang berpijak di …

PERDEBATAN SASTRA KONTEKSTUAL
Susunan: Ariel Heryanto
Penerbit: CV Rajawali, Jakarta,
1985, 501 halaman
Peresensi: Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

ARIEF Budiman adalah seorang tokoh yang unik dalam dunia pemikiran kesusastraan di Indonesia. Pada akhir 1960-an, ia menerbitkan gagasan mengenai metode kritik sastra, yang dinamakannya Ganzheit, yang kemudian melibatkan beberapa pihak dalam serangkaian diskusi dan pembicaraan. Ada yang “mendukung”, ada yang “menolak” gagasan tersebut, tapi rangkaian pembicaraan itu memberikan gambaran mengenai adanya “aliran-aliran” dalam kritik sastra kita, yakni yang umumnya dikenal sebagai Ganzheit dan “Rawamangun”.

Sekitar satu generasi kemudian, kembali Arief menyodorkan gagasan yang menarik perhatian, yakni mengenai sastra kontekstual. Lebih dari gagasannya mengenai metode Ganzheit, sastra kontekstual ini dalam waktu singkat telah mengundang komentar banyak pihak. Orang tentu bisa saja membayangkan rangkaian komentar itu sebagai sesuatu yang berlangsung seru, dan, karena itu, menyebutnya sebagai “perdebatan”.

Nah, buku yang disunting Ariel Heryanto ini merupakan bunga rampai yang dimaksudkan sebagai rekaman “perdebatan” tersebut. Yang dikumpulkannya mencakup makalah, karangan di berbagai media massa, wawancara, dan berita.

Kalau sewaktu melontarkan gagasan mengenai Ganzheit, Arief disaudarakan dengan Goenawan Mohamad, maka dalam sastra kontekstual ini ia dianggap sekubu dengan Ariel Heryanto. Tentu ada bedanya: Goenawan tidak pernah secara bersemangat membicarakan gagasan itu, apalagi berniat mengumpulkan komentar dan pembicaraan tentang Ganzheit, sementara Ariel dengan semangat tinggi menawarkan gagasan tersebut, dan salah satu wujud tawarannya adalah bunga rampai ini.

Ariel punya andil dalam penyusunan gagasan ini, karena itu merasa berkewajiban secara aktif menyebarluaskannya. Perdebatan Sastra Kontekstual ini dibagi menjadi delapan bagian. Bagian kesatu merupakan pendahuluan, yang disusun Ariel Heryanto. Karangan sepanjang sekitar 30 halaman itu berusaha memaparkan lahirnya gagasan sastra kontekstual, yang lahir kira-kira pada akhir 1984, yakni ketika berlangsung Sarasehan Kesenian di Solo.

Dalam pendahuluan ini disinggung Ariel bahwa pada sarasehan itu, sebenarnya Arief tidak mempergunakan istilah tersebut - istilah itu dipergunakan Ariel. Yang menarik, kata Ariel, istilah sastra kontekstual yang dipakainya tidak persis sama dengan yang kemudian menyebar luas atas jasa Arief Budiman.

Menurut editor, ada tiga faktor penting yang memungkinkan meriah dan larisnya perdebatan sastra kontekstual selama belahan pertama tahun 1985, yakni momen historis, penampilan seorang Arief, dan dukungan media massa.

Bagian kedua berisi sebuah tulisan Ariel dan tiga buah karangan Arief, yang oleh editor digolongkan sebagai umpan pertama perdebatan “sastra kontekstual”. Bagian ini boleh dianggap sebagai landasan bagi rangkaian pembicaraan selanjutnya - di antara karangan Arief terdapat makalah untuk Sarasehan Seni di Solo, 1984, Catatan Kebudayaan Horison yang berjudul “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual”, Januari 1985.

Bagian ketiga digolongkan sebagai umpan kedua, berisi tiga karangan, sebuah oleh Arief dan dua buah lagi dan Ariel. Bagian ini boleh digolongkan sebagai semacam lanjutan pemikiran Arief dan Ariel. Bagian keempat merupakan sejumlah laporan atau berita yang dimuat di beberapa media massa cetak mengenai gagasan “sastra kontekstual”.

Bagian kelima berisi beberapa tanggapan terhadap gagasan umpan yang dimuat dalam bagian pertama dan kedua. Dalam bagian ini dimuat karangan Umar Kayam, “Sastra Kontekstual yang Bagaimana?”, yang merupakan tanggapan terhadap gagasan Arief dalam Sarasehan di Solo, dan “Catatan Kebudayaan” Horison. Di samping itu, terdapat juga karangan-karangan lain, di antaranya dari Hendrik Berybe, Afrizal Malna, dan Veven Sp. Wardhana.

Bagian keenam berisi karangan Arief, yang berjudul “Sastra Kontekstual - Sebuah Penjelasan”, sebuah uraian mengenai gagasan yang telah menimbulkan beberapa salah paham itu, dan “Sastra Kontekstual: Menjawab Kayam”, yang merupakan jawaban atas “kesalahpahaman” Kayam. Pada bagian ini, Ariel juga berusaha menjelaskan gagasannya lebih lanjut.

Bagian ketujuh berupa rangkaian karangan Arief dan Ariel sebelum ramai-ramai sastra kontekstual ini. Antara lain, dimuat karangan Arief “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni, yang pernah menghasilkan serangkaian pembicaraan itu.

Bagian kedelapan berisi tiga tulisan yang digolongkan sebagai tulisan pendorong, yakni karangan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” karangan Rendra, “Sastra dan Masyarakat”, dan tulisan Emha Ainun Nadjib, “Sastra Independen”. Dari jenis karangan yang dimuat dalam bunga rampai ini terkesan bahwa masalah yang ingin dijangkau editor terlampau luas.

Akibatnya, pembaca sulit memusatkan perhatian pada pokok masalah yang ingin ditawarkannya. Hal ini mungkin disengaja, karena editor mungkin beranggapan masalah sastra kontekstual memang luas jangkauannya. Tetapi mungkin juga hal itu disebabkan editor sebenarnya tidak tahu betul apa yang ingin disodorkannya, sehubungan dengan gagasannya sendiri, dan gagasan Arief, yang kemudian dikenal sebagai “sastra kontekstual”.

Menurut editor ada perbedaan antara ia dan Arief mengenai gagasan ini. Bainya, “satra kontekstual” terutama berarti pemahaman atas kesusastraan dengan meninjau kaitan mutlak kesusastraan itu pada konteks sosial historisnya. Sedangkan Arief, katanya, beranggapan bahwa sastra semacam itu adalah karya sastra yang sesuai dengan konteks sosial-historis masyarakat di sekeliling tempat terciptanya karya sastra itu.

Sebenarnya, Arief merumuskan gagasannya itu dengan berbagai cara. Toh rumusan tersebut tetap saja bisa menimbulkan salah tafsir dan salah paham. Dan justru itulah yang menghasilkan “perdebatan” ini. Begitu rumitnya pemahaman, dan begitu khawatirnya terhadap salah tafsir, sehingga salah seorang penanggap, Nadjib Kertapati Z., menulis “pemahaman yang sekaligus panutan saya ini bagi Arief bahkan mungkin merupakan kesalahpahaman baru”.

Perdebatan mengenai sastra kontekstual ini digambarkan editor sebagai “meriah dan laris”. Itu bisa dimaklumi karena dalam pelbagai pembicaraan muncul sejumlah istilah, yang seolah-olah tak henti-hentinya kita bicarakan: Barat, kiri, universal, borjuis, elite, keindahan, dan sebagainya. Kata-kata itu punya konotasi yang beragam dalam benak kita, dan merupakan landasan bagus untuk “perdebatan”. Tidak heran dalam serangkaian pembicaraan tersebut muncul pula ejekan, sindiran, dan bahkan caci maki. Mungkin sekali tentang suatu istilah yang- memiliki pengertian berbeda bagi masing-masing pihak.

Dalam pendahuluannya, Ariel membuat pengandaian: “seandainya seorang Arief Budiman tidak hadir dalam Sarasehan Kesenian 1984, dan tidak mempersoalkan sama sekali pembicaraan dan sarasehan itu, akan terlahirkah perdebatan seperti ’sastra kontekstual’?” Ariel menjawab, mungkin ada. Kita mungkin menjawab, mungkin tidak ada. Tapi, yang sangat menonjol dalam “perdebatan” ini adalah sosok Arief, yang sewaktu Sarasehan di Solo membuat apologi, “terus terang dalam sastra dan seni pada umumnya saya lebih berperan sebagai pengamat dari jauh. Karena bidang perhatian saya, seperti yang Anda ketahui, sekarang ini lebih banyak pada permasalahan politik dan ekonomi.”

Toh, Arief merasa gembira berada di tengah-tengah sastrawan dan seniman karena, katanya, memperoleh “sesuatu yang tidak saya peroleh dari kesibukan-kesibukan saya dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah sosial ekonomi.” Dalam sebuah wawancaranya, Arief juga menunjukkan semacam apologi. Katanya, “Sebenarnya saya akan tinggalkan kesenian. Agak kesal juga, karena saya mesti menjadi juru bicara sastra kontekstual yang sesungguhnya orang harus lebih banyak bertanya kepada Ariel Heryanto, yang lebih mumpuni di bidang itu.”

Tetapi, meminjam istilah Kayam, Arief punya “pengikut”, tidak sedikit yang tertarik mengikuti gagasan-gagasannya, meskipun - seperti yang tampak dalam bunga rampai ini - tidak jarang mereka itu sebenarnya tidak betul-betul memahaminya. Jadi, meskipun Arief sudah ingin meninggalkan kesenian untuk lebih tekun melakukan diskusi tentang masalah sosial ekonomi, tak banyak orang yang “menuntut”-nya sebagai pemandu di bidang kesusastraan. Dengan demikian, setiap gagasan Arief diterima, lalu disebarluaskan dengan cepat.

17 Mei 1986

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►