Thursday, October 20, 2011

Frederick Delius (1862-1934)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2010/03/frederick-delius-1862-1934/

Fritz Albert Theodor Delius lahir di Bradford, Yorkshire, Inggris 29 Januari 1862, orang tuanya dari Bielefeld, Jerman. Belajar biola dan piano hingga mahir sebelum remaja. Menghadiri Bradford Grammar School (1874-1878), dua tahun di International College London, magang di bisnis ayahnya. Maret 1884, membujuk ayahnya untuk dirinya budidaya jeruk di Florida, Amerika. Di sana memainkan piano menemukan sumber lokal pelajaran teori, sebuah organ Jacksonville bernama Thomas Ward mempengaruhi. Menyerap nyanyian negro pekerja, didokumentasi dalam Florida Suite (1886-1887).
Tinggal satu setengah tahun sebelum ke Danville, Virginia dengan percaya diri mengajar musik. Menuruti anaknya untuk pendidikan musik, mendaftarkannya di Leipzig Conservatorium, di mana Delius belajar (1886-1888). Ke Paris hampir satu dekade, beranjak dari menulis lagu skala kecil instrumental, orkestra potongan opera Irmelin (1890-1892), The Magic Fountain (1894-1895), Koanga (1895-1897). Orkestra lebih besar suara solo, Paa Viderne (1888), Sakuntala (1889) Maud (1891) dan tahun 1889 menyelesaian puisi simfoni Life’s Dance (versi pertama). The eklektisisme dalam karya-karya terbukti inspirasinya dari sastra Inggris, Norwegia, Denmark, Jerman, Perancis, Abad Pertengahan, Indian Amerika Utara dan Negros, Florida lansekap dan mountainscape Skandinavia. Dengan semua karya luar biasanya selesai, Frederick Delius meninggal di Grez-sur-Loing 10 Juni 1934. Istrinya hidup lebih lama satu tahun, keduanya dimakamkan di Limpsfield, Surrey, Inggris. {ringkasan terjemahan dari http://www.delius.org.uk/g_biography.htm}

Orang mengatakan irama musiknya lamban, tapi harmoninya halus memikat. Musik Delius membawa kita ke tempat-tempat yang sepi sunyi, di mana manusia seperti pada Debussy tenggelam ke dalamnya. Selamanya Delius seakan-akan terbalut kabut atmosferis, udaranya dalam alam. Penyair musik hidup bertahun-tahun dalam segala kesepian di Florida, tempat puitis yang dipuja-puja Chateaubriand dan Longfellow. Berhari-hari tak melihat orang; lebih menjadi mendekati suara-suara alam padanya. Walaupun menulis sebuah kwartet gesek, bentuk istimewa demi musik absolut, Delius tak bisa melepaskan dirinya dari pelukisan alam, dan menamakan bagiannya yang lambat dengan Late Swallows. Musik Delius terutama berbicara pada pancaindra kita, mempunyai sesuatu yang mengusap seperti puisi Keats. Orkes padanya bisa menghidupkan warna pula bau-bauan maupun bunyi-bunyi. Tak ada penyair musik lain yang bisa seperti Delius, menyalin dari alat-alat kayu warna-warni hijau serta merah tua panas, yang kita jumpai kembali dalam pemandangan alam Turner dan Constable. Pun bisa menghidupkan suasana seperti Shelley. Delius dalam tahun-tahun terakhirnya menyendiri di sebuah desa kecil di Long (Seine) Prancis. Menjadi buta seperti Bach, namun dalam musiknya melihat pemandangan indah penuh warna pula tiada lain yang mampu menyulap warna-warna dari bunyi musiknya. {J. Van Ackere, buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}
***

I
Lambannya irama Delius, merambati kulit-kulit tubuh sampai dasar perasaan.

Kesadaran halus memikat, dengan harmoni dipenuhi warna kembang kekaguman.

Menjelajahi sunyi tanpa terasa, mengajak pancaindra khusyuk dalam jiwa.

Segalanya tampak meruang, namun tiada tersentuh, serupa rahim malam tak bertepian.

Bayang-bayang jelas bermakna, melewati jari-jemari manusiawi paling santun dapat ditelusuri.

Menerbitkan pemahaman, kala larut dalam pelukan hening; kesungguhan tak disertai harapan lain.

Diri yang hendak menjangkau jiwa, memohon seluas cakrawala membukakan cadar semesta.

Atau rongga lautan menjelma persetubuhan musik, suara-suara pribadi terbuka katubnya.

Di puncak gemintang terang sulit terjangkau, namun telah melekat bersama kalbu kembara.

Jiwa larut ke persinggahan damai, kerasan berlama-lama, betah di singasana asmara.

Saat iramanya berangkulan, terhempas niatan jahat, tinggal hanya kerelaan.

Kepasrahan menggayuh rupa, tertanda di bathin sukma menjelajahi suka duka.

Kesunyian merapat, tegaslah percampuran jasad melembur ke alam tak dikenali.

Tapi sungguh, mimpi-mimpi hadir sangat nyata, terbangun pelahan;

darah, daging, tulang, nafas-nafas purba membuncah mensyiarkan dahaga.

Delius dibalut aroma udara paling lembut, yang dilahirkan ruh cahaya sejuk menyinarkan ketentraman.

Merawat nyanyian jiwanya diperoleh nilai-nilai puitik, atas pantulan warna alam beribu jumlah.

Menghisap seluruh dinaya, melayarkan tanya melaju sumringah.

Ricikan suara ombak di bibir berdecak, gairah gelombang terhanyut ke segenap kepemilikan.

Oh penyair musik, yang dikaruniahi kejelasan pandang, cahaya warna mampu dipilah-pilah.

Serpihannya diterbangkan langgam agung. Tiada nafasan sampai, kecuali tenggelam di kedalaman.

Alam menghantarkan puja-puji, mengangkat derajat penciuman melebihi tatapan.

Kerelaan asyik-masyuk dalam gelinjang badani, nikmatnya tergila-gila kepastian.

Betapa sahaja jiwanya, mampu bedakan harum bunga-bunga, dalam hampir setarikan nyawa.

Menjelma jutaan penjelasan, yang hadir kesungguhan dari sesuatu kerahasiaan.

Seperti para penyimak merinding, pada tarian sulit diletakkan.

Senantiasa menggetarkan sekian pandangan. Kepurnaan hayati, maknai hidup takkan selesai.

Meski bersab-sab reingkarnasi pengetahuan, selalu tak mampu dipergamblang, tapi musik Delius menyuguhkan jiwa lapang para pencari.

Para penyimaknya seakan tak rela keluarkan nafasan suara, selama bergumul keintiman.

Lelap pun tak direla disengaja, kecuali memasuki ruapan halus, alam lembut menggoda relung jiwa.

Atau tatkala menenggak irama cemerlang, sudah tak sadar mengolah nafas.

Kesatuan kesadaran, rintikan gerimis meremaja, detik usia mencapai kematangan tiada kesulitan.

Berhari-hari dalam keintiman, tiada rongga nafas mengeluarkan kesia-siaan. Tapak-tapak lembut mendaki pegunungan musik keabadian.

Kepada dirinya, alam maha cantik berduyun-duyun berpakaian sutra berselentang pelangi;
fajar ranum siang larut di rendaman air gunung.

Sore hari purnakan senja dengan sayap-sayap merentang, menuju ufuk dunia di balik kabut masih terpendam.

Jiwa Delius memasuki gelembung air atas nafas telah diperhitungkan, terangkat pelan menyamai purnama, kala surya menyinarkan pemahaman.

Nafasan fitri memendarkan cahaya ke dasar malam, oleh siang membutakan.

Ada lingkaran musik terapung; hampa udara dalam kehampaan hayat.

Sapuan kuas bulu kuda di belahan alam tropis perawan; tiada musik selain keadiluhungan diambil pelahan.

Bulir-bulir embun bersedia mencipta kapan saja, tidak harus menanti kematangan masa-masa.

Pada kulit perasaan penyair musik, segenap waktu menjelma nyanyian.

Bersimpuh alam melimpahi kecerdasan, tidak ternodai dengki maupun pamrih kedirian.

Kalau saja gedung pertunjukan terbakar dilahap api menjalar. Para penyimak takkan sadar, larut dalam keriangan kepasrahan.

Totalitas jiwa musiknya melantunkan tembang memenuhi rasa, seolah jemaat di dapan mimbar tuhan.

Di sini keangkuhan runtuh, serupa ujaran R. Ng. Ronggowarsito;

Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (keangkaraan akan lebur dengan sikap lemah lembut).

II
Jikalau novel kamus hidup atas pengarangnya, dan teruntuk pembaca menelusuri lekuk leliku penceritaan.

Musik perbendaharaan jiwa, demi menemukan makna perasaan, yang diterbitkan sedih, sunyi pun gembira.

Delius menghadirkan warna mengusap bathin, menggelombang lembut hanyutkan pendengar.

Menemui pancaindra jauh ke dalam, bulir-bulir dijatuhkan irama yang beterbangan.

Melayang-layang mengapung, tiada lelah bertenggelam, meski sudah dihentikan.

Suara kenangan abadi, kesaksian lahirnya penciptaan dari masa-masa kekekalan.

Kesahajaan menuruti lakon hidup yang digayuh, melapangkan kepastian. Merentangi kesadaran, sejauh cakrawala pandangan.

Begitulah Delius membangkitkan alam bunyi, bau-bau kembang memantul ke dasar hati.

Kumandang kemegahan teks yang sanggup melukis, musik mementaskan orkestra atas panggung keindahan.

Peristiwa demi peristiwa dilalui tidak hendak pergi, dorongan bathinnya selalu menjelajah.

Mengarungi kuntum-kuntum puitik, menjamah setiap perasaan, terkabullah harmoni memikat.

Dan tahap tingkatan usia sejenis ondak-ondakan rumput pepadian.

Pada nafasan gunung pencapaian, musik klasik menyembulkan citra lukisan.

Tekstur kayu yang tumbuh serupa pohon memberi nafas-nafas sekitar.

Dedahan patah kering disulanya dalam alunan menghijau.

Ada kematangan mental, tatkala jiwa bersedia menggumuli keteguhan belajar digenapi indra.

Di layarkan imaji menyeruak bathin bermusik, menghantar pada alam yang pernah dijumpai.

Menyusuri kemungkinan terjadi, drama getarkan detak nadi, memuntahkan ganjalan sehari-hari.

Jauh kepada lahan-lahan tak terbilang, wilayah belum tertandakan. Tapi sudah mendapati ruang kalbu keniscayaan.

Terkadang membentuk titian menyeberangi sungai-sungai berarus menderas dan ganjil.

III
Meski Delius bukan sosok pelukis, tapi telah mampu membangun ingatan purba.

Ketika mengalami kebutaan, rekaman warna kian kentara;

kerinduan cahaya memantul dalam, alunannya meresap ke relung insan yang mendamba ketenangan.

Ada yang didapati lebihi sebelumnya, hitam nasib menekan-menyudutkan pendengaran jauh.

Melampaui suara-suara jaman lampau ke pementasan dunia.

Ini tak dapat dicapai dalam kepasrahan mereka, mengangkat warna jiwa dari dengungan nikmat.

Musiknya menggambar panorama kejayaan, ke setiap penglihatan.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►