Tuesday, October 11, 2011

Acep Zamzam Noor: Pesantren Rusak karena Politik

Pewawancara: EH Ismail
Republika 12 Juli 2007

Akhir bulan lalu, tepatnya tanggal 28 Juni, sejumlah tokoh muda dari pesantren-pesantren yang ada di Jawa Tengah dan sekitarnya berkumpul di Gedung KNPI, Jakarta. Mereka menghadiri undangan Kantata Research Indonesia (KRI) yang menggelar seminar nasional bertema Mempertajam Kapasitas Pesantren sebagai Agen Pengelola Konflik. Seminar dilanjutkan dengan pelatihan Manajemen dan Resolusi Konflik Berbasis Pondok Pesantren untuk mengeksplorasi lebih jauh gagasan di atas.

Untuk menjadikan pesantren optimal dalam memainkan perannya, maka dia harus kembali merebut kepercayaan masyarakat dengan independensi dan kemandiriannya, ujar budayawan Acep Zamzam Noor. Berikut ini wawancara lengkap wartawan Republika EH Ismail dengan anggota keluarga pengasuh Pondok Pesantren Cipasung yang ikut andil dalam penyelesaian konflik sosial di Tasikmalaya tahun 1996 lalu.

Bagaimana sebenarnya peran pesantren dalam konteks kehidupan sosial?
Di tengah-tengah masyarakat tradisional atau pedesaan yang jauh dari intervensi modernisasi dan globalisasi yang tidak selamanya memberi pengaruh baik, pesantren punya peran yang cukup kuat sebagai lembaga penasehat, pendidikan, bahkan lembaga pemberi keputusan terhadap masalah-masalah yang terjadi di dalam masyarakat.

Bila kita lihat dari sejarahnya, kebanyakan pesantren didirikan oleh santri yang bermukim di wilayah tertentu dan membentuk lembaga pendidikan agama dalam lingkup kecil yang kemudian tumbuh menjadi pesantren. Keberadaan pesantren yang mengakar di tengah-tengah masyarakat inilah yang membuat pesantren sesungguhnya punya ikatan sosial yang kuat dengan lingkungannya.

Terlebih dengan kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren semakin dipercaya masyarakat sebagai sumber pranata sosial, tidak hanya ajaran-ajaran agama. Masyarakat kerap memosisikan kyai sebagai tokoh yang bisa memberikan arahan terhadap semua aspek kehidupan, dari mulai masalah rumah tangga, mengurus sawah, dan tentunya masalah ritual-ritual keagamaan. Bahasa intelektualnya, pesantren menjelma sebagai makelar budaya. Selain memberi petuah kepada masyarakat, pesantren juga menjadi penerjemah tunggal terhadap permasalahan sosial yang terjadi. Menurut saya, itu semua menggambarkan bagaimana pesantren dan kyai sangat dipercayai oleh masyarakatnya.

Apakah peran seperti itu masih berjalan sampai sekarang?
Sebagian pesantren masih menjaga kepercayaan masyarakat dan tetap punya peran sebagai makelar budaya. Tapi sebagian lain harus diakui sudah mulai ditinggalkan masyarakatnya.

Hal apa yang menyebabkan pesantren kehilangan kepercayaan masyarakatnya sendiri?
Politik. Ini musuh besar pesantren. Kalau boleh saya bilang, pesantren rusak karena politik. (Acep nampak lebih serius untuk membicarakan topik ini. Berkali-kali dia mengulang pernyataan kalau tatanan sosial pesantren dirusak politik yang dimainkan para elitnya di daerah, red)

Maksudnya?
Begini. Pesantren mendapatkan kepercayaan masyarakat karena dipercaya sebagai lembaga yang berdiri di semua kalangan, semua strata, bahkan semua agama. Pesantren diyakini lepas dari setiap kepentingan golongan atau pihak tertentu. Masalah mulai muncul ketika partai-partai politik mulai menjadikan pesantren sebagai obyek politisasi kepentingan mereka. Tentu yang namanya parpol, apa pun itu, pasti membawa kepentingan tertentu yang bertolak belakang dengan posisi pesantren yang sebelumnya berdiri di tengah-tengah.

Politisi telah merayu pesantren untuk duduk di antara dua pilihan, ke kanan atau ke kiri. Bukan lagi di tengah-tengah. Parahnya, sebagian pengasuh pesantren atau santrinya terjebak untuk duduk dalam posisi memilih yang ditawarkan politisi. Mereka pun akhirnya menyeburkan diri ke ranah politik praktis dan meninggalkan kepercayaan masyarakat tempat pesantren tumbuh.

Sejak kapan Anda melihat pesantren mulai memutar haluan seperti ini?
Saya memperhatikan setidaknya 10 tahun terakhir sejak dibukanya era multipartai dan lebih kuat lagi setelah adanya otonomi daerah. Pilkada yang digelar untuk mencari pasangan kepala daerah biasanya memanfaatkan kalangan pesantren untuk mendulang suara mereka, karena memang mereka sadar suara pesantren bisa memengaruhi suara masyarakat yang lain. Tapi mereka lupa, justru itulah yang merusak posisi pesantren di tengah masyarakatnya sendiri.

Dengan demikian Anda tidak setuju pesantren berpolitik?
Iya jika politik di sini dalam arti politik praktis. Karena sesungguhnya tanpa berpolitik praktis, pesantren sudah mempunyai posisi politik sendiri yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan sekadar ikut berkompetisi meraih kekuasaan pemerintahan. Dulu, semua bupati selalu meminta pertimbangan kalangan pesantren untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakannya. Tak peduli partai mana asal bupati tersebut. Tapi sekarang tidak, pesantren hanya diposisikan sebagai mesin politik saja. Artinya secara politis, kedudukan pesantren turun dari yang tadinya berada di suprastruktur, di atas stuktural kekuasaan, kini turun di bawah kekuasaan struktural.

Saran Anda?
Kalangan pesantren kembalilah ke khittah-nya semula. Ciptakan lagi kemandirian dan independensi pesantren dengan cara menguasai sumber-sumber produksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan operasional pesantren dan tidak larut dalam kepentingan politik tertentu. Saya yakin dengan cara seperti ini pesantren akan kembali menjadi sentra sosial-kebudayaan religius yang mempunyai peran sangat vital dalam masyarakat. Kepada para bupati atau pemimpin daerah, sudahi politisasi pesantren yang sekarang ini terus berlangsung. Para kyai dan kalangan santri juga tidak perlulah terkesima dengan keuntungan-keuntungan material sesaat yang ditawarkan dunia politik. Dengan berkiprah optimal di pesantren, peran yang bisa kyai dan santri mainkan lebih bertahan lama dibandingkan kiprah di dunia politik.

Dijumput dari: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/01/02/23865-acep-zamzam-noor-pesantren-rusak-karena-politik/

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►