Saturday, July 24, 2010

Negarakretagama, Sebuah Festival

Agus Bing*
http://www.jawapos.co.id/

“APA arti sebuah nama.” Begitu kata pujangga Inggris William Shakespeare mengingatkan bahwa ”nama” sejatinya tak lebih hanya ”teks” yang disandangkan pada objek. Selain tidak memiliki korelasi dengan objek yang ditandakan, ”nama” tidak mewakili esensi objek tersebut. Karena itu, tidak terlalu penting, apakah suatu objek memiliki nama atau tidak. Yang jelas, tanpa nama, segala objek tetap bisa mewakili dirinya sendiri. Benarkah demikian? Apakah kata puitis tersebut betul-betul merepresentasikan keragu-raguan Shakespeare atas eksistensi sebuah ”teks”?

Menurut saya, sekalipun secara denotatif kalimat itu seperti menafikan pentingnya (signifikansi) suatu ”nama”, saya tidak yakin Williham Shakespeare sengaja menggugat ”nama”, yang (barangkali) diibaratkan sekadar gugusan kata yang tertempel pada objek. Justru sebaliknya, kata-kata legendaris yang diciptakan lebih dari 5 abad lalu itu (bisa jadi) adalah kritik Shakespeare atas ”teks” yang selalu dianggap tunggal, tidak punya hubungan dengan teks-teks lain.

Sebagaimana Derrida, yang memandang teks selalu intertekstualitas, Shakespeare melalui adegium ”apa arti sebuah nama” sangat mungkin juga mempertanyakan hakikat ”nama”. Bagi sebagian orang, mungkin itu dianggap tidak penting. Tetapi, oleh filsuf kenamaan itu, justru dianggap penting. Sebab, ia tidak sekadar ”teks” yang ditempelkan, lebih dari itu adalah signified kesejatian suatu objek. Karena itu, nama penting dijadikan alat mencitrakan keberadaan objek: benda, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain, tak terkecuali sebuah festival kesenian.

Teks Festival

Untuk memahami arti ”teks” sebuah festival seni, sebaiknya penting mencermati nama-nama festival yang ada. Misalnya, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), Festival Seni Surabaya (FSS), Festival Cak Durasim (FCD), Pekan Kesenian Bali (PKB), Art Summit Indonesia, Surabaya Full Music (SFM), Festival Gamelan Yogyakarta (FGY), Bukan Musik Biasa (BMB), Biennale Yogyakarta, Biennale Jawa Timur, dan lain-lain. Di antara sekian festival itu, masing-masing tentu punya spesifikasi, yang secara implisit bisa dicermati dari kosakatanya.

Festival-festival seni itu pada dasarnya mencitrakan spirit primordial karena teks yang dipakai langsung menuntun imaji pada hubungan paradigmatik. Yaitu, memicu kesadaran orang terhadap apa yang dibaca atau dilihat, kemudian dihubungkan dengan tanda serupa yang tidak kelihatan (S.T. Sunardi: Semotika Negativa). Artinya, ketika seseorang membaca judul festival tersebut, imajinasinya akan dihubungkan dengan persoalan identitas, entitas, lokalitas, maupun spirit kedaerahan lain.

Demikian juga teks Art Summit Indonesia. Sesuai makna summit yang berarti ”puncak”, festival itu langsung memberikan pemahaman bahwa seluruh karya yang ditampilkan adalah karya-karya ”puncak”. Dengan demikian, seniman yang belum dikatagorikan ”puncak” tentu tidak bisa tampil dalam forum bergengsi tersebut.

Kenyataan itu menggambarkan, betapa teks memiliki peran penting dalam suatu festival. Bahkan gara-gara teks, tidak jarang suatu festival kesenian menuai kritik karena dianggap tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, Festival Seni Surabaya (FSS). Festival tersebut nyaris tidak pernah sepi dari gosip lantaran dianggap tidak pernah mewakili spirit Surabaya. Selain jarang melibatkan seniman lokal, festival itu tidak pernah menampilkan ludruk, ketoprak, wayang, kentrung, dan lain-lain. Padahal, secara tekstual, jelas-jelas festival itu mencantumkan kata ”Seni Surabaya” sebagai character building.

Hal yang sama dialami FKY 2007. Waktu itu, muncul gugatan cukup gencar dari segenap seniman dan budayawan setempat lantaran panitia dianggap sembrono mengusung ideologi seni yang keluar dari konteks. Yakni, kesenian urban yang notabene bertolak belakang dengan karakter Jogja yang kental dengan seni tradisi.

Art Summit Indonesia juga pernah dikritik lantaran tidak selektif memilih karya sehingga dianggap tak mencerminkan spirit summit. PKB Bali juga acap ricuh karena panitia dianggap tidak mencitrakan Bali, kecuali lebih menonjolkan seni hiburan. Dan, yang tidak kalah heboh adalah protes perupa-perupa Jogja terhadap Biennale Jogja 2008 yang dianggap melenceng dari konsep. Biennale yang seharusnya jadi ajang pamer karya kontemporer dan tidak untuk dijual dinilai lemah dalam kurasi dan telah dijadikan ajang transaksi jual beli. Semua itu tak lepas dari persoalan ”teks” yang melatarbelakangi suatu peristiwa.

Negarakretagama sebagai Teks

Bertolak dari kenyataan itulah, tak ada salahnya bila kemudian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur memilih teks ”nama” Negarakretagama sebagai tajuk festival berlatar sejarah: Festival Negarakretagama 2010. Festival yang berlangsung di Surabaya, 18-27 Juni, itu menampilkan aneka jenis kesenian tradisi maupun kontemporer.

Dalam festival kali pertama tersebut, penonton bakal mendapat suguhan musik jazz kontemporer Ligro (Jakarta), One Man Union (Singapura), Koko Harsoe Trio (Bali), Geliga (Riau), The Lagaligo Cyndicate (Makassar), Karinding Colabrative Project (Bandung), Prabumi (Jogjakarta), Surabaya All Star, Gondo and Fried, Berty Re-Union, Bagus Solfegio Etnic, dan Suwandi dari Surabaya.

Untuk tari, akan tampil Ery Mefri (Padang), Sukarji Sriman (Jakarta), Sobari Sofyan (Banyuwangi), Agustinus (Surabaya), serta koreografer Afrika, Malaysia, dan Kamboja. Sedangkan teater, tampil Pabrik Teater Indonesia (Bandung), Lentera (Palu), Lanjong (Kaltim), dan DAS 51 (Banyuwangi).

Selain untuk menjawab keragu-raguan publik -karena ada yang menganggap teks Negarakretagama tak lazim jadi nama festival lantaran tidak berkaitan dengan kesenian, produk hukum, dan bersifat politis-, kegiatan itu tidak sekadar ajang show of force: memamerkan ekspresi kreatif seniman. Tetapi, juga ruang pembelajaran sejarah masa lalu, yang pada perkembangannya makin dilupakan akibat selera hidup masyarakat berubah. Masyarakat yang semula hidup dalam medan sosial yang guyub akhirnya menjadi individual dan materialistis. Akibatnya, ketika menghargai suatu peninggalan bersejarah, mereka lebih mengutamakan esensi kebendaan yang tangible -hanya dilihat dari aspek kekunoannya, eksotismenya, keunikannya- daripada nilai-nilai filosofi yang intangible, yang sejatinya sarat dengan pembelajaran moral serta nilai-nilai budi pekerti.

Ironisnya, cara pandang masyarakat yang demikian tak hanya ditujukan terhadap warisan budaya yang berbentuk candi, arca, atau benda kuno lain. Namun, juga terhadap peninggalan sejarah yang berwujud ajaran filosofis para empu. Misalnya, ajaran Empu Tantular, Empu Prapanca, Patih Gajah Mada, atau Prabu Joyoboyo, yang notabene telah diakumulasikan dalam catatan filologis.

Oleh masyarakat, khususnya para generasi muda, peninggalan para empu itu tak hanya dianggap cerita usang. Namun, juga dianggap tak memiliki korelasi dengan kehidupan masa kini. Sehingga, dongeng tentang kejayaan Indonesia tempo dulu, berikut kisah-kisah heroiknya yang transenden, bagaikan musnah tergerus budaya populer yang naif sekaligus utopis. Itulah salah satu alasan teks Negarakretagama dipilih menjadi judul festival kesenian. Semua tak lepas dari upaya memunculkan kembali ikon sejarah masa lalu agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak saja hanya memahami warisan budaya dari segi kebendaan. Tetapi, juga penting mempelajari makna filosofi yang termuat di baliknya.

Selain itu, dijadikannya teks Negarakretagama sebagai judul festival tidak lepas dari upaya panitia yang ingin menegaskan kembali posisi Jawa Timur dalam konstelasi sejarah peradaban Indonesia kontemporer. Sebab, bila menilik catatan sejarah masa lalu, Jawa Timur pada dasarnya tidak hanya menjadi pusat tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar dan berpengaruh. Lebih dari itu, Jawa Timur merupakan tempat lahirnya ajaran para empu, yang tak hanya mengajarkan nilai-nilai kebajikan, tapi juga konsep-konsep kebangsaan.

Buktinya, sebagian besar simbol-simbol idiologis Indonesia diadopsi dari ajaran para empu. Misalnya, falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Secara substantif, slogan yang ditulis dalam Kitab Sutasoma oleh Empu Tantular itu mengajarkan pentingnya arti menjaga keragaman budaya serta kerukunan umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, spirit itu kemudian diadopsi, dijadikan simbol persatuan dan kesatuan dengan semboyan: berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Demikian juga Gajah Mada. Sekalipun bukanlah termasuk jajaran empu seperti halnya Tantular, Prapanca, atau Joyoboyo, dia adalah sosok berpengaruh yang memiliki peran penting dalam pembentukan sistem kekuasaan di Indonesia. Sebab, dia adalah ikon masa lalu yang memiliki tekad mempersatukan Nusantara yang kemudian diimplementasikan dalam ikrar Sumpah Palapa. Suatu ikrar kesetiaan yang -setelah beberapa abad kemudian- juga diduplikasi menjadi konsep teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga melahirkan konsep Wawasan Nusantara.

Hal yang sama dilakukan Empu Prapanca. Melalui kitab yang ditulisnya, yakni Negarakretagama, Empu Prapanca berusaha menceritakan kepemimpinan Hayam Wuruk beserta kebijakannya atas Kerajaan Majapahit. Namun, sekalipun buku itu penuh catatan reportatif terkait dengan regulasi negara, secara komprehensif serat babat tersebut menggambarkan sistem hegemoni yang lebih mementingkan rakyat. Sebab, tak hanya membicarakan kekuasaan seorang raja, tapi juga membahas kesejarahan, ketatanegaraan, perundang-undangan, tata sosial, seni budaya hingga aturan mengenai peran wanita, perceraian, maupun harta warisan, yang sejatinya juga penting dimengerti kaum generasi muda.

Karena itu, dengan dijadikannya teks masa lalu sebagai grand design festival, masyarakat diharapkan tidak melupakan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang dulu acap dikumandangkan bersama dengan kibaran sang dwi warna. Juga, semangat Sumpah Palapa yang dulu mengilhami kaum muda pada 28 November 1928. Atau, nilai-nilai keteladanan para pemimpin seperti didongengkan Empu Prapanca dalam kitab Negarakretagama. Semuanya dimaksudkan agar kukuh, tak gampang hanyut oleh khotbah ideologis para pemimpin yang korup, para elite politik yang gila kekuasaan, atau para pendusta yang berkedok agama. (*)

*) Pemerhati seni budaya.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►