Tuesday, July 27, 2010

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk lampiran)

Inilah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah pa-norama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia da-lam rentang waktu satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pe-mikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya. Itulah yang segera muncul ketika kita mencoba mencermati ke-97 artikel dalam buku ini.

E. Ulrich Kratz yang menyusun sejumlah artikel itu, mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadap-an dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Nama-nama ke-56 penulis yang artikelnya dimuat dalam buku ini, nyaris seluruhnya tidak diragukan lagi kualitasnya. Demikian juga ke-97 artikelnya, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang meng-angkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebutnya sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz sungguh cerdas. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting, berhasil dibentangkan secara tematis. Dan ia berusaha menjaga benang merahnya, meskipun di sana-sini tampak tidak begitu lempang sistematikanya. Namun, seperti lazimnya menghimpun sejumlah tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Pemilihan artikel pertama “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dan penjelasannya yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Yamin, misalnya, mengandaikan bah-wa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, Kratz terkesan sejalan dengan gagasan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Pa-dahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan maja-lah akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah ter-sebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan bahwa pemi-kiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkem-bang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe.Tulis-an Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemi-lihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesas-teraan I–IV” atau empat artikel Sutan Takdir Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baru I–IV” yang dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan? Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesu-sastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan asing. Begitu pula artikel Takdir, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia justru bersambungan dengan artikel Takdir “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Takdir itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Su-sunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan buku yang disusun C. Hooykaas (1947).

Mengherankan, bahwa Kratz tidak begitu tegas menjelaskan kriteria pemilihan se-jumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan apa yang dilakukannya dalam “Pendahuluan” buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43). Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang terbit tahun 1950-an. Dan sesungguhnya, secara keseluruhan, masalah inilah yang menja-di titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertang-gungjawaban merupakan hal yang penting, meski penyusun mempunyai hak penuh atas pilihannya. Jika saja Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihim-punnya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kon-tribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Ham-ka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusas-traan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboeda-jaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih me-wakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayang-nya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Meski begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Di sana, ju-ga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Oleh sebab itu, beberapa artikel lain, sampai ke tulisan H.B. Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Jika dita-rik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masa-lah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan itu. Belakangan ketika Pramoedya mem-peroleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu.
***

Sungguh Sumber Terpilih yang disusun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menye-marakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok).

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►