Tuesday, July 27, 2010

28 Sajak Persembahan Nurel Javissyarqi

[UNTUK PUTRI BENGAWAN SOLO]

Rupanya terjerat benang halus kasat mata
menaiki ketinggian ombak ke mana perginya
:
bersamamu tujuan musim perasaan muda.

Jari-jemari tangan bergelayut ke mega-mega,
hujan menyirami mimpi-mimpi hampir musnah.

Perbaiki langkah keluar menjelajahi rahasia,
takkan muncul jika tak ke penghujung masa.

Selendang kau terbangkan nyata warnanya
berganti-ganti sulaman tiadalah memudar
:
aku menyimak bau harum semerbak rupa.

Sanggullah mahkotamu membuhul tanggul,
sesekali geraikan kecupan gerimis kesucian.

Awan menyisiri tangkai bayu pesonakanmu,
cahaya berhamburan senyanyian rambutku.



[MATA KAKI PETAPA]
Untuk Suryanto Sastroatmodjo

Nafas-nafas gelombang
mengukir batuan karang,
gelak busa saksi matahari.

Sejauh hempasan ke pantai,
terjatuh di mata kaki petapa.

Rentangan sayap di angkasa
kedip bebintang disapu gerimis.

Jantung ombak memompa awan,
direngkuh malam-malam bestari.

Suara-suara sedari laut, ganggu
tidur panjang butir-butiran garam.

Unggun menghibur sederu arang
menghampiri batas pedalaman.

Memburu arak-arakan sang fajar,
decak kangen lengkungan pantai.

Sejauh tarian di relung samudra,
gemuruh samadi mengangkasa.



[TEBING NASIB]
Untuk Alexander Pushkin

Meratapi tebing nasib
hatinya mendekap belukar.

Dibawanya kutukan para nabi
hidup yang perih
merongga kekal.

Ketika angin di jemarinya,
merambati leliku waktu.

Tubuh terbenam malam,
dikepakkan sayap lautan.



[PENYIMPAN KARAGUAN]
Untuk Wislawa Szymborska

Keraguan apa kau pendam?
Hingga dunia terkagum
senyuman gaibmu.

Aku mengenalmu sejauh senja
namun kerut pada wajah
tidak tampak kecewa.

Dengan kacamata apa
kau melihat cakrawala
Wislawa?

Bertahun-tahun
aku renungkan keraguanmu
yang kudapati selalu saja semu.

Oh, di mana kita dapat berjumpa?
Di negara apa kita bisa bertemu?
Apakah di Polandia?

Terangkan keraguanmu padaku,
agar kudapat menenggaknya
penuh sungguh.

Dan kurang berapa dalam,
aku gali pekuburan waktu?

Beri pidatomu Szymborska
dalam mimpi-mimpiku.



[PANCARAN WAKTU]
Untuk Jawaharlal Nehru

Ia setia merawat zaman menyendiri
merangkai warna cahaya renungan.

Seharum waktu dipeluk matahari
melampaui perbincangan sejarah.

Surat terkelupas dari jeruji penjara,
waktu-waktu berdekatan nafasnya.

Angin mengeja rambut kesadaran
yang panjang menggalang angan.

Dialah pemetik alunan rindu tanah air
gemericik menari-nari di altar nurani.

Menemukan kuncupan mekar negeri
pada segaris kening jiwa-jiwa murni.

Atas debu-debu kitab suci cakrawala
yang selalu membuka pepintu dunia.



[PENGUMBAR]
Untuk Johann Christian Günther

Ruhmu melayang-layang
mencari titik-titik keabadian.

Melepaskan tubuh mendesir
bergema di rerongga nafas.

Adakah dirimu terus gelisah
di alam keabadian masa?

Memburu cahaya
memahat senjakala.



[PINTU WAKTU]
Untuk Konstantin Dimitriwitsj Balmont

Dengan bulan putih menggantung
pelapar kenyang dalam lamunan.

Menembus batas pintu gerbang
menakar awan dan gemintang
:
ditaksirnya hati merenda kekal.



[NAFAS SEKAM]
Untuk Alexander Blok

Abu hitam paling purba
luruh padam hatimu.

Ranting kayu hutan
sekelam arang tidak menjalar.

Namun, desir angin membangkit
selentik biji api menyalakan jiwa.



[WAKTU BEKU]
Untuk Jalaluddin Rumi

Aku menjenguk dirimu di sekapan waktu
tiada murung walau terkuliti dingin beku.

Jiwa khusyuk menyendiri di alam semedi
terbasuh embun kembang kesucian hati.

Sebening sungai menggelinjaki batu-batu
menyeruak ilalang kala pekabutan subuh.

Kenang tertampung di kelopakan malam
dipandang purnama menemui kediaman.

Membimbing pengorbanan kasih hening
ribuan gemintang menerangi rumputan.

Rongga pernafasan petir ditempa angin
menyambar kesadaran bulu-bulu mata.

Berabad lambaian wangimu pengekang,
aku pasir pesisir ditiup ombak berulang.



[SEBUTIR JAGUNG]
Untuk Thales

Kau sebar butiran jagung ke tengah laut,
digulung ombak memukul batuan karang.

Terhempas ke pantai-pantai, didorongnya
seperti sampan menyaksikan pedalaman
:
disapu bayu-bayu terpendam masa silam.

Bertahun-tahun sedenyut air serasi jiwa,
awan-gemawan selimuti bumi makin tua.

Membangkitkan hantu-hantu, petir murka
membelah langit lempengkan air samudra
:
sejauh-jauh matahari terlempar senjakala.

Hukum waktu menemukan belahan benua
kaktus-kaktus meliar menjebak ikan-ikan
:
lengking tanah merah di negeri balik bulan.

Kau tinggalkan aku sebatang di ujung waktu
bibir merayu putuskan sepuluh jemari meragu
:
menyisiri anak-anakan rambut panjang usia.

Aku dipersunting takdir, hamil keyakinanmu,
aku bijian jagung, rindu sejarah lemparanmu.



[HAIFA, KAU SAJAK PERTAMAKU]
Untuk Haifa Puspita Surya Dewi

Simaklah syair wahai putri
suara kisah tentang diri ini
terasa sudah saat sendiri
di Denanyar penjara suci.

Tak jauh dari Jombang kota,
di embong miring ada cerita
disinari bulan separuh rata
di sanalah pokok legenda.

Seorang gadis ayu permai jelita,
rambut tergerai anggun mahkota
aku berbondong menghampirinya,
sambil membawa setangkai cinta.

Bibirnya mengatup suatu hari
jawaban lembut laksana peri,
bijaksananya serupa Srikandi
ucap terlambat sebelum pergi.

Jiwaku tak bisa berkata-kata
sukmaku diam seribu bahasa
mendengar tutur sang juwita,
aku terimalah kenyataan luka.

Puspita Surya Dewi sebutannya
banyak yang tahu kian ke sana
cantik manis memikat hati
mata menawan tiap lelaki.

Ini sajak pertamaku padamu
sedurung tinggalkan kotamu,
bacalah kidungan permai ini
untuk kenal bayang sendiri.

Diriku ke Jogja perdalam seni
menggurit waktu kian misteri,
menambah tebal asalnya rindu
yang berlalu biarlah bayu setuju.

Menterjemah-jamah ruh tubuh
melampiaskan takdir kaweruh
lantaran tetap tidak berjodoh
berpisah sudahlah sayangku.

Tinggal kenang di ujung ingatan
aku menjelma diri petanda jaman
dan kau menjadi ibunda kegaiban,
segalanya mengalirkan denyutan.

Kasih sayang bersayaplah pantai
laut berbilang kepak gelombang,
aku mewujud rindu gentayangan
antara mereka pendam cemburu.

Simaklah ini kembali Dewiku
aku tambahkan berpantulan,
agar tak habis ditelan malam
tak busuk dimakan kesiangan.

Harus aku jujur kepadamu
kalbuku berkembang lara,
sebab waktu mencabik usia
meradang samping wanita.

Tuhan perbuat segalanya
aku tertunduk takdir-Nya,
berlari-lari menjemput kau
sampai keringat habis cerai.

Kalau kau siulan bayu
hisaplah kelembutanku,
itu milikmu jua. Melumati dunia
dengan kenyataan pahit sejarah.

Jikalau kau air telaga desamu
biarkan aku gelembung udara
pun tiada pelangi di sana
penyair memperolehnya.

Denanyar 1994



[ANGGUR NABI]
Atas Ibn Rushd (Averroes)

Segelas anggur dari tuangan kendi abad silam
tersimpan di kediaman tuan.

Aku bertamu, tuan persilahkanku meminumnya
kuteguk dalam kesunyian lama
gemerincing menjalari tenggorokan.

Jiwaku segar berpandangan jernih bukan samar,
menggelegak ke lambung kerinduan.

Jangkauanku bertanya: apa yang tuan suguhkan?
Jawabnya: itulah hasil perasan tangan anak yatim,
dia hadiahkanku saat kembara, bersinggah kemari.

Dadaku tiba-tiba terguncang meninggikan debaran,
sebelum terus bertanya, tuan lenyap dari hadapan.



[PEMECAH TAKDIR]
Untuk Iman Budhi Santosa

Arak-arakan kecemburuanku padamu
mendung melengkung di langit ungu.

Meratap-ratap menimbun cerita lalu,
di negeri semalam ditempa hara-huru.

Lengan pepohonan hangus terbakar
jilati petir lecutan pecut menyambar.

Menjatuhkan kecupan maut ke batu
merindu bayang tundukkan dendam.

Kabarnya pemecah takdir akan datang
segenggam palu memukul serat waktu.

Pada kening kerutan kabut pegunungan
sejauh hati terhempas buih-buih pantai.

Yang tersimpul dalam lelaku penafsiran
memasuki tarian jiwa bertujuan pulang.

Bersimpan dinaya terjang kemungkinan,
lebih ngeri dari seunggun penghianatan.



[KIDUNG PERSEMBAHAN]
Untuk Rabindranath Tagore

Aku simak kidung persembahanmu
alunannya menghanyutkan zaman.

Burung-burung kau beri kebebasan
bersarang pucuk bambu menjulang.

Desau malam memikat para kekasih
sedenyut bayu keagungan pangkuan.

Kau berlaksa stupa candi sumringah,
pebukitan jua kaki gelombang cerita.

Anak-anak lepaskan pelukan selenda
ibunda memandang lekuk hembusan.

Pemotong bambu rapikan mata kaki,
di taruhnya nyala lilin pada cekungan.

Bumbung dibasuh rindu penerangan,
dipandang purnama perkampungan.

Bebocah melantunkan tetembangan,
kelanggengan wengi ke pembaringan.



[KUAS BULU KUDA]
Untuk Jean Paul Sartre

Sebelum matahari dibuka bijian mimpi
menyisiri rambut menaburi usia bulan
segoresan maut pertimbangkan nalar.

Sayap lembut birahi memasuki lukisan,
bulu-bulu kuda jantan lepas dari kendali,
kering sentuhan tertampar kuas revolusi.

Atas panggung, garis tegak tampak sayu
menyapu alis malammu ke ujung awan,
kelana pengantin musim peperangan.

Lembut terkantuk dinaya mengawang,
ngapung tersentak senja perbincangan
: jejiwa merdeka bertempur kecurigaan.



[TAMU KESUNYIAN]
Pada Marguerite Yourcenar

Depan pintu tertulis kalimah:
“Masuk lepaskan nama idola,
akan keluar membawa pelita.”

Pada pintu tertempel tanda
yang ikut gagal berlalu suara.

Kepulan asap cerutu meragu
harapan tidak kunjung menepi
padahal nafas pastikan selesai.

Hujan lebat pucatkan langit
mengapung membelah biru
bertengger di siang klawu.

Kehampaan tubuh terjatuh
dingin kata terlampiaskan
ketinggian angin membisu.

Menguras tarian pena ke jurang
petik gerimis pebukitan curam.

Kembarai musim tangan waktu
bawa takdirmu mencintai abadi.

Jejiwa gentayangan ditebus awan
mengurai detakan jantung kelabu,
tersimpan dalam tabung rencana.

Segelantung kembang teras rumah
tangkainya menjalari pribadi utama.



[PERNIKAHAN MATA]
Untuk K’tut Tantri

Jiwa-jiwa muksa bertarian sukma
ruh berbangkit di tengah gerimis.

Gemerincing binggel kaki penari
kisahkan tarian di tanah pertiwi.

Mata anak-anak berkulit coklat
tangan menyatukan fajar laut.

Menyentakkan bambu runcing
menyobek leher para penjajah.

Daya-dinaya muncratkan darah
seharum melati sepanas mawar,
kain merah putih membalut luka.

Jika petang gerilyawan mengintai
di balik lintang bukit karang nurani
menggelegak jantung menghujam.

Penciuman angin di langit kemboja
belai uban-ubun ditempa purnama.

Sewarna perak pernikahan mataku
di tengah wengi penuh cahaya tinta.



[KEMBANG GAPURA]
Untuk Samira Mahmalbaf

Dari gapura negeri Iran
kepak putri sayap elang.

Kekuatan jiwanya risau
melintasi pusaran awan.

Ketinggian ombak kebisuan
serupa kekupu sebrangi teratai.

Katupan sayap buku di pangkuan
mata mungilnya menggoda insan.

Pangeran melirik dari singgasana
dinaungi cahaya ketenangan senja.

Selaguan seruling lembah gembala
menarik mahabbah jejanur kurma.

Diajaknya menjelma matahari
kibaskan gemuruh angin, pada
debu-debu memusari bara rindu.

Menggelinding gosongkan usia,
keringat mendidih gelora pecah
karang terlempar jelma purnama.

Malam harum kembang kanthil
sekuat stupa candi tegak kukuh
sepohon bergetah takkan runtuh.

Kembarai mimpi tempaan empu
sewaktu asah keris berkelok tujuh
kegigihan menerima takdir waktu.

Awan sejarah sederu jiwa semesta.
Entah di manakah dirinya sekarang?
Semoga tetap mencintai tlatah Iran.



[RAJA PELAMUN]
Untuk Kahlil Gibran

Menuang keganjilan bertemu genap
diikuti arus deras,
gemerincing anggur ke batu-batu
busanya meluap,
menelenjangi tubuh sungai malam
mendenyutkan nafas.

Jalan membentang kenangan
rerambut cemara menari-nari
sederai gerimis patahkan hati.

Ranting sayap kabut pebukitan
bergelembung embun terjatuh
dirawatnya ke tanah kelahiran.

Angkat dayung keringat lengan,
setinggi gemawan digiring angin
terpenggal lecutan dahan cahaya.

Bebuah terdampar menuju fajar
melamun di bencah batas desa
ke tangga pesawahan lembah.

Dicecapnya bulan yang dingin
terpahat tetembangan lama,
dicukupkan bersarang setia.



[DI YOGYA SUATU MALAM]
Untuk Pantomimer Enderiza

Melewati ribuan lampu
terbalut putih tubuhnya
: ia bermandikan cahaya
wajah berbedak purnama.

Jiwanya remuk dipukuli waktu
mata berkeping-keping berita:
ia lebih waras dari yang berlalu
sadarnya kaki-kaki melangkah
lentur menggapai muasal kata.

Terangnya serpihan kalimah
selembut lembaran malam
meleburkan tarian ragawi
merasuki sukma berlaksa.

Kaki-kakinya terus berjalan
hingga membatu tegak tugu
di tengah-tengah kota Yogya:
sekuat tabah setua zamannya.



[SANDIWARA SOEKARNO DI ENDEH FLORES]

Menyaksikan kulit-kulit lumut terkelupas
dari daging karang atas sobekan mentari.

Batuan cadas terlempar membisu panas
ditempa besi baja tapal kuda ke jalanan.

Semakin jauh pilunya seperti para janda,
tetangkai kelapa diderai angin kembara.

Melumpuhkan debu-debu kemarau
tangisannya sampai daun rumput
pulau Bunga.

Nafas tersengal udara menyumbat
lempengan padat awan-gemawan
terhempas ke kaki-kaki senjakala.

Menapaki tanjung ujung pesisir
atas tubuh lusuh tenggelam
dalam riak duri-duri malam.

Tanpa peduli gemintang
bulan berkaca samudra
kala danau matanya
menjadikan muara.



[SAYAP SELENDANGMU]
Untuk Penari Saraswati

Waktu sayap selendangmu hilang ditelan panggung
bayangannya sampai ke mari, diantar cahaya pagi.

Matahari melukis cakrawala mengepak arus sungai
olehnya lupakanlah khilafku, lantas maafkan diriku.

Wahai siur rambut kelapa janur-janur hijau embun
menuju ombak angkasa jiwaku bersalam padamu:

Hukum langit memberi kasih serupa sayang ampun
darimu, selalu memberkati tapak-tapak langkahku.



[BENGAWAN SOLO]
Untung Gesang Martohartono

Aliranmu berkisah lelaki tua
duduk di gugusan tanah liat.

Menatapi gulungan ombak
belaian kabut dan matahari.

Kelambu angin berdetakan
sekuat dada pejala curiga.

Menggali pedalaman watak
menyanyikan keroncong jiwa.

Bunga tak bernama dari desa,
persekutuan jiwa musim sunyi.

Menggayuh perahu ribuan masa
terhapus tangis setegar pohon jati.

Kidung-kidunganmu alirkan rindu
hingga menembus batas empedu.



[MEMBACA BAYANGAN]
Untuk Suhrawardi

Bayangan hadir menggoda malam
diterpa cahaya memburu putaran.

Mengejar jarak lengkingan nurani
kembarai tanah liat hening sunyi.

Gerakan nafas gelisah memberat
sesayup kalimah ketiadaan hadir
memberi punggung belati elang.

Kiranya renung kesiaan mencari
hikmah tipudaya telusuri muasal
sepohon melepas daun ke telaga.



[POTRET DIRI]
Untuk Van Gogh

Melihatmu, jantungku berdetak keras
meronceng kalbu mencerca cemburu.

Adakah senja lamban menyimak usia?
Sedang guratanmu tanpa ragu-ragu.

Sapuan kering kuasmu melumat dunia
segetaran penyangga awan berpindah.

Campuran warnamu buyarkan batu
mata kikisan duri tumpulkan belati.

Van Gogh, berilah aku kenekatan
: memotong telingamu yang satu.



[NYAI LORO KIDUL]
(Putri Lara Kadita)

Oh, masuklah penuh kelembutan
seharum bunga sedap malam
nan dinanti di sebrang lautan.

Bayu berkabar bukit keabadian
pesisir remang sekecupan bulan
seranting kayu tinggallah lamunan.

Kelepak rambut akasia terhempas
dada berbangkit bawa kalbu sunyi
menjulur berpisah Prabu Siliwangi.

Berderap kencana menggulung awan
ikuti hasrat musim semi menari-nari,
menembusi abad sedari silam lestari.

Gemintang bersekutu peputik ranum
tutuplah pintu agar matamu terlelap
saat bangun, mimpi dalam dekapan.

Kidung serangga langgam pelaminan
kekal penggalan hati rintihan bambu,
tinggalkan nestapa ditiup kabut rindu.



[UNTUK YANG MERASA]

Sampaikan salam pertiwi
lantunkan hujan purbawi,

pengisi dengar para insani
bertembang senjakala hati.

Pahatan malam bersungguh
nyala obor terangi jalan itu
:
menelanjang ke altar nurani.

Tuntun gemerincing jiwa-jiwa
sedari kemabukan abad lama.

Gemerlap kota-kota lembah
dermaga dicahayai purnama
segurau gemintang angkasa.

Mentari sebar putik kembang
selautan dengar ikan perkasa.

Jangan terlena
agar bayu tak sobekkan layar
:
lembar waktu rambahi rahasia,
berlaksa maknawi satukan rasa.



[MENAMPUNG DANAU BALADA]
Untuk W.S. Rendra

Sampailah salam ke lembah-lembah berbaur kabut hijrah
dituntun jalanan setapak bukit tua memetik angin cahaya.

Kicauan burung kabarkan sarang biru, embun terpelanting
menepati janji kenai lantai marmer pendapa nan menyerap.

Kucuran keringat bocah bermelodi kangen halaman rumah
serta rerumputan bersalam pagi membasahi lembaran hati.

Dalam tanjakan gerimis, degup elang melintasi cakrawala
sayap-sayap perkasa selengking gayuhan kisah negeri ini
: orang-orang berduyun pada gerbang kota tertelan warna.

Tatap saja saat ragu, kan diperlihatkan kasih sayang merdu
airmata ketenangan jiwa menampung danau-danau balada,
dan prahara tinggalkan kelopak-kelopak tanah kan bersemi.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►