Tuesday, July 27, 2010

9 Sajak Kembar Nurel Javissyarqi

[MERAWAT JIWA-JIWA]

Aku tunda kantukku, demi fajar ranum gemerisik:
lelangkah ibu ke pasar, burung-burung berkicauan.

Yang terlelap di butiran awan, senandungkan bukit,
lereng bibir pantai tarian gelombang, membiru haru.

Sepasang sayap terbang melebihi ketinggian purba
pada harapan matahari, bayangan mengambili ruh.

Pengetahuan setajam mata sabit di tangan kembala,
kata-kata melingkar ke dalam kesadaran abad-abad.

Musik berdendang perang membunuh besar-besaran:
yang tak sanggup memanggil, akan terpenggal sia-sia.



[MERAWAT JIWA-JIWA, VERSI II]

Aku tunda kantukku
demi fajar ranum gemerisik, lelangkah ibu-ibu ke pasar,
burung berkicau di belantara kota membopongku keluar.

Butiran putri mendung senandungkan bayu-bayu pantai,
menarian gelombang lautan membiru hatimu menunggu.

Sepasang sayapnya terbang melebihi ketinggian bukit,
harapan setua bayang matahari mengambili ayat-ayat.

Meruh pengembala kata-kata memasuki kesadaran
abad-abad. Musik berdendang perang kebijakan di
mata dunia, yang tak memanggil terpenggal sia-sia.



[SETUWUNG SENYUMMU]

Cahaya langit melukis tetumpukan awan,
melewati ribuan angin serentak keyakinan.

Menghujani ubun-ubun pengab menggeliat,
bercangkul di ladang-ladang jiwa para insan
:
menebah tanah lempung dijanjikan kembara.

Memasuki hutan belantara penuh kekicauan
embun menetes di dedaun memanggil pagi.

Di luar gua jarum-jarum rumput meninggi
sesudut mata kubiarkan tanpa perpisahan.

Lelangkah membuka gerbang lamunan
mengikuti aliran sungai ke matahari.

Yang riuh ombaknya gemerincing, di
kedalaman dada isyarat senyummu.



[SETUWUNG SENYUMMU, VERSI II]

Cahaya langit cemerlang
melukis tumpukan awan.

Dan ribuan angin serentak,
keyakinan hujan tak bakal datang.

Ubun-ubun pengab geliatkan tubuh
keringat menggantungkan kalimah.

Bercangkul di ladang-ladang jiwa,
menebah lempung diri, dijanjikan.

Memasuki hutan belantara kicauan
embun menetesi dedaunan pagi:
memanggil hati di goa pertapaan.

Jarum rumput ilalang meninggi,
ke sudut mata langit perpisahan.

Langkah membuka gerbang lamunan:
seiring waktu lagu diam kutermangu,
mengikuti alunan sungai ke matahari.

Yang riak ombaknya menggemerincing
dalam dada, isyarat senyum penentu.



[MEMUNGUTI MIMPI]

Seringan tembang hujan menari-nari
dari langit cahaya membuka jendela
:
ia senantiasa menantikan kata-kata.

Sesayap rindunya mengapung setia,
memancarkan hidup gerimiskan doa
:
sunyi mengirisi kulit daging kekasihnya.

Di mana kepastian berdegup dalam dada
memburu membidik guguran gemintang
:
memunguti mimpi-mimpi perempuannya.

Meneguk matahari atas fajar persekutuan,
menjilat langit tumpahkan darah perawan
:
menampar pipi segoresan ombak menikam.



[MEMUNGUTI MIMPI, VERSI II]

Seringan nyanyian gerimis ke hati
cahaya lampu membuka jendela,
yang dinanti hanyalah kata-kata.

Sayap kekasih mengapung setia
memberikan pancaran doa-doa
menghiasi harum wengi lestari.

Sunyi, pastikan degupan dada
membidik bintang berguguran
memunguti mimpi dan harapan.

Meneguk angin fajar menyergap
menjilati langit gemuruh awan,
menumpahkan ombak menikam:

Aku yang selalu mencumbui puisi
tidak rela lepas sebelum kata-kata
menyunggi beban seribu penantian.



[SAJAK JEMBATAN]

Pandanglah lautku, ambillah segenggam awan
sembari tikam gelombang pada himpitan karang.

Pasir beterbangan menjelma lebah di matamu
dan angin tiupan itu pingsan dijemput syairku.

Di sini aku masuk dalam kesadaran jembatan
bayang-bayang menyusuri pantai ke hutan.

Aku menguntitmu
sejauh senja menghulu ke pintu.



[SAJAK JEMBATAN, VERSI II]

Pandanglah lautku, ambil segenggam awan
kan tertikam gelombang di himpitan karang.

Pasir beterbangan mengenai mata angin,
dari hadapan pingsan dijemput syairku.

Di sini, langkahku memasuki kesadaran,
bayang menyusuri hutan rimbun cemara.

Sebias cahaya kota asal matamu
menguntit di senjakala nun jauh,
terlelap mimpi menuju jembatanku.



[DALAM CANDI IJO]

Pahatan kepala naga memberi tanda
ke debu-debu di dinding langit batu.

Memasuki lorong-lorong kota purba
digulungnya gema waktu menstupa.

Kertas-kertas wasiat kekal terbaca
nafas pewaris menyebrangi kisah.

Kura-kura mengucurkan air mata
pada tangan terbuka cahayanya.

Zaman terisi gending bertuah
daya pecinta abadi di dalamnya.



[DALAM CANDI IJO, VERSI II]

Tubuh-tubuh kita gemetar
kunjungi rahim percandian.

Dada berselubung gemuruh
memandangi relief percintaan.

Rambut dewi alam semesta
terurai, ditiup jemari masa.

Dan sangkakala membahana
ke gerbang benderang senja.

Serupa membiar bunga batu
kelopak gemawan menjauh.

Di petang hari melipat peta
mata angin menuju lembah.

Pepucuk daun usia bertaut
dahan mengubah bimbang.

Adakah seruan bayu ditabuh
bertalu-talu ke pembaringan?



[UJUNG]

Makin ayu menghadap siur bayu,
pagi-pagi ombak laut berdentang
:
camar meniti buih tiadalah bosan.

Takdirnya belum terangkum nafas
:
kata-kata tersengal akan bersayap
ke belahan lain adalah gema suara.



[UJUNG, VERSI II]

Kan datang masa-masa lampau
serentang doa tengadah tangan.

Embun dedaun dimamah dendam,
kering dahaga ke ujung penantian.



[PEKUBURAN]

Tergesa pribadiku meminjam penamu
yang terpendam sedari abad lampau.

Izinkan menulisnya di bingkai waktu
sebab hawa kematian menguntitku.

Serintihan gerimis ke pucuk cemas
kenang terjatuh di tumpukan buku.

Dedaun pemandu angin kupu-kupu,
mengepak tiupan keluh ke wajahmu.

Ikan-ikan dingin menari di balik awan,
sehalus kabut pembuka gunung Lawu.

Bergulung angin menunggangi turangga
berderap maju mengingat masa kecilku.

Menerima mesin ketik nyanyikan kenang
mengecup kalbu di sepanjang tapak lalu:

menyusuri prasangka hantu, gumamku.



[PEKUBURAN, VERSI II]

Tergesa diriku meminjam bibirmu
yang terpendam sedari menunggu.

Izinkan kuucapkan di bingkai waktu
oleh telempap telah menanti mautku.

Ibunda malam memanggil di balik tirai
:
puja bergegas memanggul jasad layu.

Dalam pendengaran semakin khusyuk,
jiwa-jiwa hujan menumpahkan tarian.

Musim hening berhamburan keluar,
menjemput bersegala kerinduan.



[SAJAK PULANG]

Penyelamanmu ke dasar laut
tenggelam merangkaki bibir
:
matamu dipedaskan air mata.

Hanya angin penghuni nafas,
tersimpan batu di lipatan besi.

Terukir sebilah keris di jantung
gerbang langit sekilatan takdir.

Pulang berturangga sembrani,
melesatkan titah cahaya hati.



[SAJAK PULANG, VERSI II]

Aku simpan batu granit terlipat besi
kuukir sebilah keris tiada memesan
hanya jantung selalu berkata-kata.

Sepanjang dilempar batu langit,
masa membuka gerbang pulang.

Berdatangan menunggang turangga
titisan titah dewata di telapak tangan,
sejarah tercipta di bawah sadar insan.



[WARUNG KOPI DI HUTAN NGAWI]

Di gerbang waktu memandang wanita
: duduk di warung tengah hutan rimba
tak tersia segelas kopi ujung beranda.

Elang kendarai angin melintasi awan
ditatap menarik harap kucuran hujan.

Diciumnya bau-bau rumbut senjakala,
terpanggang kaki langit di ufuk purba.

Lelempengan bukit tungku cakrawala,
berpeluk petang mata-mata membisu.

Menelusuri malam bertenggelam lama
garis-garis pepohon tinggalkan cahaya.

Hawa dingin terusik hangatan unggun
kayu-kayu arang mendetak teriak api.

Gegas tumpangi mimpi ke batas fajar
seembun pesawahan basahi hari-hari.



[WARUNG KOPI DI HUTAN NGAWI, VERSI II]

Di kepung hutan belantara
pepohon kering meranggas
:
tangkai kemarau rontok sudah
taburkan debu-debu memucat
di jalanan berliku pilu sunyinya.

Tiap kali tergilas roda-roda masa
daun-daun berhamburan menyala
:
menari-nari menuju pinggiran kaki
berkidung-kidung sedih pertiwi.

Di sebalik mendung temaram,
aku memesan segelas wedang
:
manis kental panas menguap.

Seorang gadis terhempas melirik
bawakan cawan di ujung geretan
:
api tersulut, jantungnya blingsatan.

Melewati jendela terbuka, kupandang
musim gugur menanti mekar bunga
:
berharap hijau daun kembali di mata.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►