Tuesday, June 29, 2010

PEMBUNUHAN KARAKTER DAN BUNUH DIRI MASSAL

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

“Yang paling berbahaya pembunuhan karakter dengan mengkultuskan seseorang daripada bunuh diri secara massal.”

Sudah banyak pembantaian berserakan di muka bumi atas ulah-pakolah mengkultuskan seseorang pun gagasan. Ialah tidak terpungkiri, kehidupan digerakkan beberapa gelintir pandangan-ide. Berlangsung hingga kursi-kursi kekuasaannya dirasa aman.

Semisal strategi komando serempak tidak dengan keberagaman memperkaya identitas di belantara hayati. Tapi sebaliknya mencengkeram lewat kuku-kuku pemerintahan otoriter. Propaganda menyimpan watak hasrat kuasa tersembunyi. Bungkus mendedikasikan nalar-perasaan berpadu, laiknya terompet bersatu setarikan suara yang sama.

Suara-suaranya memecah awan di langit penalaran, serupa pawan hujan diyakini banyak orang. Ini bisa disebut pembangun kuasa lain daripada kekuasaan Tuhan. Dan tak terlihat kecuali mawas diri di sekitar perubahan menggerus ingatan. Jarak berdiri tanpa tarikan tangan, tapi timbunan kenang penjajakan dari kegelisahan pelahan menemui kejuntrungan.

Kita diingatkan pada perkumpulan jamaat di Guyana dekat Vinezuela, diapit Surinam dan Brazil. Atas pamor pendeta Jim Jones yang luar biasa, bersanggup mengajak para jamaah berjuta-juta umat dalam bunuh diri secara massal, hari jum’at 17 November 1978.*) Seakan kekuasaan Tuhan diajak berkompromi demi manunggaling kebodohan.

Ini tak lepas sifat nggumunan (heran) akan perubahan, ditambah kahanan (keadaan) percepatan informasi seolah tanpa kendali nurani. Laksana awan ditarik dinaya spiritual para pawang. Planet berbenturan tiada kendali, perburuk atmosfer penciptaan kreatif para insani. Letak kekacauan tumbuh meraksasa, umpana begejil tengah menghisap darah kemanusiaan. Fitroh seyogyanya dikembangkan kearifan berpribadi iman terbalut jiwa tulus tanpa pamrih.

Ini hasil membaca luaran yang memantul dalam diri menggelisahi roda-roda massa bertambah terasa banyaknya penafsir, dengan sudut tekan tertentu mencipta paduan menggema. Maka patutlah meditasi sosial diberangkatkan meyakini keberagaman suci. Membuka kemungkinan, bukan persempit keadaan dengan menghidangkan satu warna ditelan mentah.

Andai benar, cara mengunyah jelas tak serupa. Seperti gigi-gigi tak sama walau mempunyai kecenderungan buah sejenis. Semisal titik perbedaan pada insan yang lahir kembar, di sini Tuhan menaik-turunkan derajat atas perjuangan masing-masing. Aku rasa keseragaman itu periodik, maka kudu (harus) hati-hati membaca metamorfosis para pengikutnya.

Meditasi sosial itu ingat-mengingat demi mencapai masyarakat berkeindahan. Silaturrahmi saling mematangkan memberi pemaafan bagi kesilapan. Yang nyata berhasrat balik pada kedudukan semestinya. Suara-suara merdu kembali, hutan belantara dihuni berjenis-jenis kicauan burung menambah martabat kebangsaannya.

Lebih kentara abad revolusi industri, manusia digerakkan tuntutan mesin, karakter individual dilenyapkan diganti perintah tuan. Atau tersebut bapak kandung pembunuhan karakter ialah ancaman, ibunya rayuan, sedang moyangnya keserakahan. Momok perang dunia, bukti sang bapak membantai anak-anak kehidupan di belahan bumi, teror melumpuhkan mental dikemudian hari menjelma pecundang. Istilah Pram “beraninya main keroyokan.”

Ketika bapak pembunuhan karakter terjepit mati-matian pertahankan kuasa bedil meriam, datanglah iklan perayu keunggulan modernitas. Kala menemukan kegagalan pula, disulap tubuhnya dengan istilah postmodern pun hiper-hiper. Gelombang ini menggelegak dalam bathin bersimpan ketakutan serta harapan. Lahan tersebut yang digarap dan kesusastraan memungkinkan mengukuhkan tiap lipatan rapi propaganda menelusup berkeharuman. Maka pantasnya meditasi dikumandangkan, guna tak terperosok ke juang adu domba paling kelam.

Dengan kebersamaan beragam lelapisan yang ada, sapu jagat kebangsaan ditarik pembersih ketakutan pun rayuan bersarang di badan yang datang dari luar. Guna kuasai ruang-waktu, bukan dikuasai kedua-duanya. Teriakan tak satu suara, namun satuan tekad dipelihara. Aku rasa merawat ingatan tak harus membawa bendera. Banyaknya bendera malah dimanfaatkan mata sempit fanatik buta. Bercerminlah pada kaca bengga sejarah, pula menggali pandangan demi ke muka.

*) dari buku “Bunuh Diri Massal Di Guyana” laporan Charles A. Krause, dengan bahan eksklusif oleh Laurence M. Stren dan Richard Harwood dan staf dari The Washington Post, alih bahasa Berbuddy M. Daroe, penerbit PT. Bina Ilmu, 1980 Surabaya.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►