Thursday, October 11, 2012

Yang Manakah Sastra Kita Sebenarnya? (Antara Kontekstual dan Universal)

Sutejo
Surabaya Post, Feb 1990

Setiap saat kita selalu dihadapkan pada pertanyaan klasik, namun bila kita bicarakan akan semakin asyik. Yakni, tentang manakah sastra kita? Sehingga jawabannya akan sangat perspektif sekali, tanpa ada suatu kepastian. Termasuk para ‘’dewa-dewa sastra’’ sekarang tak mampu memberikan jalan tengah. Mereka berpendapat sendiri dengan penuh kesubjektivitasan. Di satu sisi, di dengungkan tentang sastra adiluhung yang mempunyai nilai sastra tinggi, dengan begitu orientasi diarahkan pada lapisan masyarakat tertentu, yakni para kritisi sastra. Sementara, di sisi lain didengungkan tentang sastra yang kontekstual, yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat (sosial, budaya, pendidikan, teritorial daerah, dan seterusnya).

Satu hal yang patut kita amati adalah masalah penentuan manakah sastra, dan manakah yang bukan (belum) sastra. Agaknya keputusan masih terletak erat di tangan para kritisi sastra. Efek dari keadaan ini tampak sekali dalam dunia pengajaran sastra di sekolah, yang banyak memanfaatkan vokal para kritisi sebagai senjata andal dan pamungkasnya. Bahkan, tidak jarang dalam mengajarkan sastra mereka mengenakan ‘’seragam apresiasi’’, kemudian dikenakan beramai-ramai oleh siswa sebagai penikmat sastra. Dan jarang sekali, memilih karya sastra yang bertebaran dan yang telah terpublikasikan di media massa.

Inilah kenyataan sekarang. Terkecuali bila pengarangnya sudah mempunyai tahta –sebagai sastrawan yang mapan- bukan sastrawan pemula yang masih banyak mencoba-coba mencari bentuk dan jati diri.  Maka dari keadaan ini, tidaklah mengheranka bila pada ‘’pertemuan Sastrawan Muda Jawa Timur’’ tempo hari, ada semacam kesepakatan masalah perlunya respon para kritisi terhadap karya mereka, minimal diperhatikan dan diperhitungkan kehadirannya. Atau, katakanlah, ada semacam kesepakatan dibutuhkannya ‘’keterterimaan’’ atas kehadirannya, bukan antisipasi ataupun ‘’keteracuh-tak-acuhan’’.

Barangkali, inilah suatu keironisan panjang yang akan menjadi keriskanan, bila sang kritisi tidak juga mau dan sudi mengerlingkan mata pada sastrawan muda yang mencoba merangkak untuk menemukan sosok sastranya yang ideal, karena mereka ibarat tumbuhan adalah calon-calon benih yang akan tumbuh. ‘’Bagaimana agar mereka tidak mati?’’ tentunya dibutuhkan siraman dan perhatian terhadapnya agar tidak musnah.

Sastra Universal

Sastra inilah, agaknya yang diidealkan oleh kritisi sastra, yakni ‘’sebuah karya sastra yang berada di awang-awang’’, karena sastra ini dianggap mempunyai nilai rasa universal, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, yang berlaku kapan saja dan di mana saja. Dan sastra macam ini hanyalah milik orang-orang tertentu. Ambillah contoh, karya sastra yang mendapat Hadiah Nobel, yang penciptaannya cenderung diorientasikan untuk konsumsi bagi konsumen tertentu, yakni para kritisi sastra. Dengan begitu, akan terasa adanya kesenjangan panjang dengan penikmat yang lain.

Pada keadaan ini, muncullah problema bahwa sastra kita akan menjadi tidak akrab lagi dengan publik sendiri (masyarakat), tepatnya hanya untuk kalangan tertentu. Sehingga akan terasa menyakitkan bila ketidaktahuan penikmat yang lain, dianggap sebagai suatu keterbelakangan, kebodohan, dan kepicikan apresiatornya. Bukankah sebenarnya sastra kita mempunyai corak tersendiri dengan yang lain?

Dan barangkali, sastra yang macam inilah yang diidealkan dalam tulisan sastrawan Bandung ‘’Obsesi Resepsi Sastrawan Muda Jawa Timur’’, dengan menampilkan beberapa tuntutan dalam menentukan kebermaknaan suatu karya, diantaranya (i) sudahkah karya sastra yang dimaksudkan memenuhi harapan si apresiator (Jauss dan Mandelokov) sehingga dengan begitu akan diperoleh adanya perluasan jarak estetis dan penemuan norma baru, (ii) apakah faktor ketidaktentuan (inerden) dan bidang kosong (Iser) dapat dihadirkan oleh sang kreator dan konstruktif, sehingga karya mempunyai pesona untuk diapresiasi.

Dalam keadaan ini, agaknya yang patut dicatat adalah apresiator kita yang beragam, sehingga akan muncul kemungkinan bahwa karya itu bermakna bagi yang satu belum tentu bagi yang lain, indah bagi apresiator yang satu belum tentu indah bagi apresiator lain. Padahal, keindahan dan kebermaknaan itu bukankah ada pada karya itu sendiri, penikmat sastra (apresiator), dan keindahan yang ada di luar antara keduanya. Barangkali yang terpenting adalah bagaimana karya itu bisa berinteraksi secara elastis dan fleksibel dengan penikmatnya.

Sastra Kontekstual

Sastra ini secara ekstrem dapatlah dikatakan sebagai pertentangan dari sastra universal. Sastra yang dibatasi oleh konteks tertentu, mempunyai nilai yang berbeda dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, tempat yang satu berbeda dengan tempat yang lain, begitu seterusnya. Mungkin karya sastra yang bertebaran hijau di lahan massa dapat digolongkan dalam sastra ini, di mana sastra yang demikian mempunyai hubungan yang lebih akrab  dan menyatu dengan penikmatnya. Bukan saja bentuk-bentuk yang demikian dapat dikatakan sastra, seperti halnya Yudhistira yang mengatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang bisa berkomunikasi dengan lingkungan. Dicontohkan salah satu bentuknya sastra dangdut. Bagi Romo Mangun, lebih berbicara masalah keagunan yang menggantikan konsep keindahan secara formal dalam dunia sastra –keindahan adalah formal dalam dunia sastra – keindahan adalah kecerlangan kebenaran (puchrum splendor est veritas), sehingga sastra yang berkualitas baginya adalah sastra yang mempunyai nilai (dimensi) religius.

Bila kita apresiasi beberapa karya sastra yang sudah mapan, banyaklah yang dapat kita golongkan ke dalam karya sastra ini. Di antaranya (1) Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, (2) Ronggeng Dukuh Paruk (1982), (3) Lintang Kemukus Dini Hari (1985), (4) Jantera Bianglala (1986), yang ketiganya karya Ahmad Tohari, (5) Burung-burung Manyar (1981) karya Romo Mangun, dan masih banyak lagi.

Pada Pengakuan Pariyem tercermin adanya kepasrahan seorang pembantu yang digauli oleh bendoronya, dia terima dengan kepasrahan lego lilo pasrah sumarah menggambarkan adanya ‘’dunia kecil’’ dan ‘’dunia besar’’. Pada ketiga karya Ahmad Tohari tercermin warna lokal kedaerahannya, yang menggambarkan warna lokal Jawa (tepatnya Jawa Tengah). Sedangkan Burung-burung Manyar Romo Mangun, lebih menonjolkan suatu nilai yang patut dipersembahkan kepada bangsanya, yang mencerminkan keadaan masyarakat (tepatnya masyarakat Indonesia).

Kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sastra Jawa yang mempunyai nilai tinggi. Seperti halnya Wayang, yang banyak mengandung nilai filosofis dan mistis tersendiri, bahkan mistis itu begitu tertanam dalam masyarakat Jawa (tepatnya yang masih memegang adat Jawa). Keyakinan akan ‘’candrane pewayangan’’ terhadap seseorang yang lahir pada hari tertentu, misalnya seorang anak yang lahir pada hari Wage, dianggap mempunyai tabiat dan perwatakan yang mirip Bima (=Bayuputro, Werkudoro). Sehingga anak itu, dianggap mempunyai ciri berpendirian teguh, kuat keyakinan, pantang mundur, mempunyai sikap yang sederhana (prasojo), dan seterusnya.

Lalu Sastra Kita?

Barangkali kita tidak terlalu repot dan bersusah-susah dengan teori Barat kemudian kita paksakan pada sastra kita untuk sekadar menentukan baik atau buruknya. Karena, kita mempunyai ciri karakteristik yang khas pada sastra kita yang berbeda dengan yang lain. Tapi, bukan menutup kemungkinan bahwa sejumlah teori Barat yang dianggap agung bisa diterapkan pada sastra kita, namun jangan disalahkan sastranya. Itu semua adalah sastra kita, milik kita. Mengapa harus memakai ukuran orang lain? Agaknya bukanlah suatu keharusan.

*) Sutejo, atau S.Tedjo Kusumo, (dulu) penulis  tingggal di Malang.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/10/yang-manakah-sastra-kita-sebenarnya-antara-kontekstual-dan-universal/

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►