Monday, June 11, 2012

Pujangga Baru: Yang Lama Telah Mati

Seno Joko Suyono, Anton Septian
http://majalah.tempointeraktif.com/

Harga Langganan: f 1,25. Tiga boelan, dibajar lebih doeloe. Alamat Administrasi: Gang Kesehatan VII No.3, Batavia-C. Karangan dialamatkan: Armijn Pane, Taman Siswa, Kemajoran 42, Bat-C.

JULI, 1934. Majalah Pujangga Baru memasuki tahun kedua. Harga tetap, seperti ketika terbit perdana, Juli 1933. Dalam kata pengantar peringatan satu tahun itu Sutan Takdir menulis bahwa sesungguhnya, ketika hendak menerbitkan majalah ini, terbetik perasaan waswas, apakah majalah "berat" ini bisa bertahan lama.

"Baiklah kami katakan teroes-terang, bahwa ketika kami menjelenggarakan Poedjangga Baroe nomor pertama setahoen jang laloe, kami masih sangsi tentang pandjang atau pendeknja oesia madjalah ini.... Soal jang menjebabkan sangsi kami itoe ialah: telah tjoekoepkah minat ra'jat Indonesia akan bahasa dan kesoesastraan, akan seni serta bahagian keboedajaan jang lain, sehingga dapat ia menghidoepkan seboeah madjalah seperti Poedjangga Baroe ini?"

Pujangga Baru didirikan Takdir bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah. Pada Juli 1933 itu, mereka masih muda belia. Takdir 25 tahun, Armijn 25, dan Amir 22. Majalah itu diniatkan sebagai "motor pembaharuan", ruang yang memberi tempat seluas-luasnya bagi ekspresi individu yang bebas dalam sastra, dan pada refleksi antikekolotan kebudayaan. Aktivitas sastra bagi mereka bukan sesuatu yang bisa ditunda-tunda sampai Indonesia merdeka.

Awal pertemuan tiga serangkai ini adalah tatkala Takdir menjabat redaktur kepala Panji Pustaka, majalah terbitan Balai Pustaka. Dalam majalah itu, sejak 8 Maret 1932, Takdir mengetengahkan rubrik khusus: Oentoek Memadjoekan Kesoesastraan. Lembar itu semacam forum bagi penulis yang menulis dengan gaya baru; yang bukan bercorak kesusastraan lama seperti pantun, syair, gurindam, gazal, masnawi, atau hikayat.

Amir dan Armijn kerap mengirim sajak ke lembar itu. Amir Hamzah saat itu bersekolah di AMS-A (Algemeene Middelbare School) Solo, Armijn wartawan harian Soeara Oemoem, Surabaya. Keduanya lantas menjadi sahabat pena Takdir. Mereka semakin karib ketika Amir dan Armijn pindah ke Jakarta: Amir meneruskan studi ke sekolah hakim tinggi dan Armijn bekerja di Taman Siswa.

Takdir mengajak mereka membuat satu majalah sastra bulanan di luar Balai Pustaka. Nama yang mereka pikirkan tidak langsung Pujangga Baru. "Mula-mula namanya majalah Bahasa dan Sastra, sesudah itu Sastra oentoek membentoek keboedajaan baroe," kata Takdir dalam sebuah wawancara.

Lewat perantaraan F. Dahler, salah satu kepala Balai Pustaka, mereka dihubungkan dengan Percetakan Kolff, sebuah percetakan besar di Pecenongan, Jakarta. Percetakan itu tidak keberatan menerbitkan sebuah majalah sastra. Disepakati pembiayaan digalang dengan cara mencari pelanggan yang harus mau setor uang di muka untuk tiga penerbitan. Kolff lalu mencetak 10 ribu formulir berlangganan Pujangga Baru.

Ternyata, pelanggan yang terjaring tak lebih dari 110 orang. Kolff mulanya membatalkan dan bermaksud mengembalikan seluruh uang pelanggan yang masuk. Namun Takdir mengusulkan, uang yang terkumpul sudah cukup untuk membuat majalah kecil 32 halaman dengan kertas biasa.

Nomor perdana Pujangga Baru akhirnya terbit pada Juli 1933 itu. Hoesein Djajadiningrat menulis mukadimah memberi selamat. Takdir menulis Menoedjoe Seni Baroe. Kalimat awalnya menggebrak: Jang Lama Telah Mati.... Armijn Pane menulis Kesoesastraan Baroe, yang dimulai dengan kalimat: Seorang hamba seni jang sedjati adalah hamba soekmanja. Tiga nomor awal Pujangga Baru selamat, meski kemudian berpindah percetakan ke Gang Kenanga di Kota, yang biayanya lebih murah.

Selama setahun, majalah ini cepat menyerap perhatian kaum muda intelektual. Tjipto Mangoenkoesoemo dari pengasingannya sampai menulis: Surat dari Neira. Pada tahun-tahun kemudian bahkan kita lihat beberapa penulis perempuan menyumbang artikel. Maria Ulffah Santoso, misalnya, pada 1937 menulis: Peladjaran apakah jang dapat dipeladjari anak gadis Indonesia di Eropa?

Pada kulit muka Pujangga Baru di tahun-tahun awal selalu tercantum kutipan-kutipan dari pemikir terkenal. Pada edisi 6 Desember 1934, misalnya, ada kutipan dari Khrisnamurti: "The True enemy of freedom is dead tradition; living at second hand; the enslavement of the life of today to the worn out formulas of a past age."

Ada hal menarik bila kita cermati terbitan 2 Agustus 1934. Di nomor itu ada pengumuman, karena pembaca mengeluh banyak kata sulit dalam puisi yang dimuat, redaksi meminta agar penyair yang mengirim puisi "... soedilah memboeboeh arti pada perkataan-perkataan dalam karangan atau poen sja'irnya jang menoeroet anggapannja tiada oemoem diketahoei orang."

Terlihat artikel yang dimuat tidak didominasi oleh selera Barat Takdir. Amir Hamzah, misalnya, secara bersambung menerjemahkan Bhagawad Gita. Lalu ada seorang bernama Soeharda Sastrasoewignja, yang pada 1934 menulis secara bersambung upaya pembaruan wayang kulit. Muhammad Yamin juga menulis Ken Arok dan Ken Dedes.

Sikap yang mengobarkan semangat pembaruan bernada polemis memang sering ditampakkan artikel Takdir. Ia menulis apa saja, mulai dari puisi, tinjauan bahasa, hingga pendidikan masyarakat. Pada 1936-1937, diawali dengan pemuatan fragmen novelnya: Layar Terkembang, Takdir berdebat dengan penulis Sandhyakalaning Madjapahit, Sanusi Pane.

Takdir juga pernah menulis sesuatu yang unik, yaitu mengenai Mas Pirngadie, ahli gambar kita yang pada 1904-1913 bertualang ke seluruh Nusantara-menemani J.E. Jasper pegawai pemerintah Belanda. Takdir melihat kumpulan gambarnya yang terhimpun dalam buku De Inlandsche Kunstnijverheid in N-Indie sebagai sesuatu yang penting. Artikel itu dilengkapi contoh-contoh lukisan Mas Pirngadie dan foto Mas Pirngadie tatkala melukis.

Terasa memang, Pujangga Baru adalah majalah intelektual. Di samping artikel, sikap kritis juga sering terlihat dalam tinjauan buku. Sutan Takdir sering menulis resensi buku. Pada November 1934, ia mengulas buku Dr G Stuivelin tentang Nieuwe Gids, yakni pergerakan sastra baru di Belanda pada 1880, yang menurut Takdir mengobarkan revolusi dahsyat kesusastraan Belanda.

Dalam desainnya, Pujangga Baru sering menampilkan iklan majalah "idealis" lain. Misalnya, sering dimuat advertensi Madjalah Penindjauan, majalah bergambar yang dipimpin P.F. Dahler dan Dr GSSJ Ratu Langie. Atau Wasita, yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara. Juga sering dimuat iklan buku baru atau buku bekas berbahasa Belanda, seperti buku Bharata Yuddha, terjemahan bahasa Belanda oleh Dr Poerbatjaraka dan Dr C. Hooykaas. Jarang kita lihat ada iklan produk barang. Sekali ada iklan "Obat Gosok Balsem Tjap Matjan".

Menjelang pendudukan Jepang, majalah ini mati. Sejak terbit pertama kali, sampai Jepang datang pada 1942, oplah Pujangga Baru hanya 500 eksemplar per edisi. Ongkos cetaknya f 35 hingga f 85 per bulan. Dicetak mula-mula oleh percetaakan Kolff, lalu berpindah-pindah untuk menghemat biaya. Uang langganan f 1,25 per kuartal, dengan jumlah pelanggan kurang dari 150 orang. Selama sembilan tahun terbit, Pujangga Baru menderita rugi rata-rata f 25 setiap bulan. Kerugian itu ditutup oleh gaji Takdir dari Balai Pustaka, yang ketika itu f 125 per bulan.

l l l

PADA Maret 1948, Pujangga Baru terbit kembali. Kini diterbitkan percetakan milik Takdir: Pustaka Rakjat. Dalam kata pengantar, Takdir dengan menyala-nyala mengatakan, datangnya Pujangga Baru dahulu sesungguhnya jauh melampaui zaman. Ia melihat kini, setelah merdeka, ada tanda-tanda perjuangan mengalami angin mati. Maka dibutuhkan orientasi yang mampu mengarahkan perjuangan.

"Apabila Pudjangga Baru terbit kembali setelah enam tahun lamanya dihentikan itu, djustru pada waktu jang sesukar ini, pada waktu orang putus asa dan mulai menjadi lethargis dan masa-bodo, maka tidaklah lain daripada oleh kami jakin, bahwa lebih-lebih dari masa jang lampau kita sekarang perlu sadar kembali, memperkuat batin kita...."

Pada penerbitan kembali ini, Amir Hamzah telah tiada. Ia dibunuh sekelompok pemuda dalam apa yang disebut "revolusi sosial" di Sumatera Timur. Dalam kata pengantar redaksi ditulis: "... Kata orang matinja digorok, dan majatnya ditjampakkan begitu sadja di salah satu hutan di dekat Tanjung Pura, sebagai mentjampakan majat pendjahat...."

Armijn Pane tak duduk di redaksi nomor ini, walau di nomor-nomor selanjutnya ia kembali tercatat sebagai pembantu redaksi. Wajah baru di redaksi: R. Nugroho dan L.S. Sitorus. Sementara Soewarsih Djojopoespito, Idrus, Hazil Tanzil, Rivai Avin, Asrul Sani, dan Chairil Anwar, antara lain, tercatat sebagai pembantu redaksi. Chairil pun cuma singgah setahun. Ia wafat pada 1949. Achdiat Karta Mihardja juga duduk di redaksi hingga majalah itu tidak terbit lagi pada 1953.

Harga Pujangga Baru setelah kemerdekaan f 4 per satu kuartal. Tapi, jika membeli eceran, harganya f 1,50. Sebelum mata uang dikonversi ke rupiah, harga majalah ini sempat naik menjadi f 4,50 per satu kuartal. Pada 1950 harganya Rp 6 per kuartal, atau Rp 2 setiap bulan. Hingga akhirnya tak terbit lagi, harganya hanya naik menjadi Rp 6,15 setiap kuartal.

Lantaran diterbitkan oleh percetakan Takdir, advertensi buku kebanyakan buku terbitan Pustaka Rakjat, termasuk buku nonsastra. Misalnya sering diiklankan buku Obat Asli Indonesia karya Dr Seno Sastroamidjojo. Ke Udara, buku penerbangan modern karya R.J. Salatun, bahkan petunjuk bagi wanita hamil karya Sutadireja.

Kualitas cetakannya lebih baik ketimbang Pujangga Baru "edisi lama". Juga lebih kaya gambar. Ada gambar Mahatma Gandhi yang dibuat Mochtar Apin dengan pahatan lino, dimuat di nomor pertama "edisi baru". Mochtar Apin, yang disebut-sebut sebagai Bapak Seni Grafis Modern Indonesia, juga duduk di dewan pembantu redaksi edisi ini. Untuk ilustrasi kemudian banyak dimuat vinyet, sketsa para pelukis kita, di antaranya Sudjojono, Salim, Sudjono Kerton, Fadjar Sidik, Oesman Effendi, Arie Smith.

Tampaknya dunia seni lukis mendapat porsi cukup banyak. Pada edisi Februari-Maret 1950, redaksi mengumumkan bahwa mulai nomor itu sedapat-dapatnya tiap nomor akan memuat repro lukisan berwarna dari pelukis besar dunia, disertai keterangan sekadarnya. Pada edisi itu kita lihat foto repro lukisan Van Gogh dipasang disertai sedikit ulasan. Pada nomor-nomor selanjutnya giliran ditempel foto lukisan Marc Chagal, George Braque, Paul Gaugain, Rousseau, Edouard Manet, Diego Rievera.

Tulisan C. Doelman tentang seni rupa banyak dimuat. Ia, misalnya, menulis Seni Lukis Abad 20 dan laporan Bienalle Venesia. Dilihat dari tulisan yang masuk, Pujangga Baru "edisi baru" tidak bisa lagi disebut "hanya" majalah kesusastraan. Sejumlah esai filsafat pun muncul. Salah satunya tentang eksistensialisme yang ditulis oleh R.F. Beerling. Di edisi Januari 1949 bahkan dimuat sebuah terjemahan tulisan Albert Camus, Seniman ialah saksi dari Kemerdekaan.

Tak kalah menarik adalah tulisan dan terjemahan artikel tentang musik dari J.A. Dungga dan komponis Amir Pasaribu. Amir pernah mengkritik habis-habisan orkes di Ibu Kota sebagai Orkes Tak Peduli Ekspressivitet. J.A. Dungga pernah secara panjang-lebar mengeluarkan pendapat bahwa konservatorium lebih baik didirikan di Jakarta daripada di Yogya, karena di sana kekurangan guru. J.A. Dungga sendiri pada 1953 masuk redaksi.

Di luar itu, sebagaimana Pujangga Baru "edisi lama", puisi tak pernah absen dimuat. Bahkan Pramoedya Ananta Toer aktif menulis mulai akhir 1952. Pada September 1952, artikelnya tentang Kegiatan Seni Dalam Bulan September di Ibu Kota dimuat. Bahkan pada bulan Februari 1953, dimuat tulisannya, Offensif Kesusastraan 1953, yang beranak judul garang: H.B Jassin sudah lama mati sebelum gantung diri.

Sebagaimana biasa, Takdir tetap banyak menulis kritik sastra dan kebudayaan. Salah satu yang menarik adalah Tjara Berpikir Statis Membawa Kita ke Djalan Buntu. Ia mengkritik hasil konferensi kebudayaan di Magelang, ketika Takdir dan sahabat lamanya, Armijn Pane, berdebat. Pada November 1951, ia mencecar kongres kebudayaan di Bandung. Judulnya Konggres Kebudajaan di Bandung: Gedjala Kelumpuhan Jiwa! Tulisannya yang menawan pada 1951 adalah renungan perlawatannya ke Eropa, sebuah tulisan bersambung yang panjang, yang menjelaskan mengapa ia memilih ke Eropa daripada ke Amerika.

Tapi justru ketika isi majalah makin luas, Takdir melihat majalah itu tidak ada bedanya dengan majalah lain saat itu seperti Gelanggang, Zenith, Siasat, atau Indonesia. Hal itu terjadi, menurut dia, karena Pujangga Baru pascakemerdekaan sebagian besar didukung oleh sastrawan Angkatan 45.

Nomor terakhir Pujangga Baru adalah edisi 10 April 1953. Tidak ada tanda-tanda majalah itu bakal mati. Tidak ada kata pengantar yang mengisyaratkan bahwa majalah itu akan sayonara. Pada edisi itu malah dimuat lengkap naskah sandiwara Sitor Situmorang, Drama Pulo Batu. Di nomor sebelumya dimuat cerpen "penulis baru" Wiratmo Sukito, berjudul Apakah Tuhan Sudah Mati.

Dan kita tahu, bukan Tuhan yang mati. Tapi Takdir sendiri yang akhirnya menyudahi Pujangga Baru.

25 Februari 2008
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/02/25/LYR/mbm.20080225.LYR126443.id.html

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►