Friday, June 29, 2012

Ketika Para Buruh Menulis Sastra

Bonari Nabonenar
Jawa Pos, 10 Juli 2005

Minggu, 10 Juli ini, di Hongkong University, Kowloon, dua cerpenis Jawa Timur, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto, diundang menjadi pembicara pada acara workshop penulisan bagi buruh mingran Indonesia (BMI) di Hongkong. Workshop yang diadakan komunitas sastra BMI Caf? br> de Kosta itu diikuti lebih dari 200 pekerja di Tiongkok itu.***

Belakangan ini dalam dunia sastra Indonesia muncul istilah yang tampaknya akan semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Fenomena itu ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dari “rahim” para pekerja wanita kita di luar negeri, yang diam-diam sudah lama “mengandung” benih-benih potensi yang luar biasa.

Terus terang, saya sempat dikagetkan oleh kehadiran Rini Widyawati, yang tahun lalu baru pulang dari Hongkong. Selama dua tahun Rini memang bertaruh jiwa dan raga menjadi domestic helper (pembantu rumah tangga) di negara bagian Tiongkok itu. Nah, ketika pulang ke kampung halaman itulah, Rini membawa oleh-oleh sebuah catatan harian yang, oleh beberapa kalangan, dinilai sangat nyastra. Tak lama kemudian, oleh-oleh itu telah terbit menjadi buku dengan judul: Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP-Books, Mei 2005). Rini boleh jadi termasuk salah satu TKW kita yang istimewa. Secara akademis, dia hanya sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar. Karena setelah itu, dia harus mencari penghidupan sendiri keluar dari kemiskinan keluarganya di desa. Untungnya, begitu sampai di kota (Malang), dia bertemu dengan seorang pengarang wanita hebat:Ratna Indraswari Ibrahim. Maka, sambil membantu membereskan pekerjaan rumah, Rini mendapat “pelajaran” secara khusus bagaimana “menulis sastra” dari Mbak Ratna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga Rini menginjak dewasa. Hingga Rini kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKW di Hongkong.

Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi editor di JP-Books) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Dari pengalaman menyunting buku Rini itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan cerpenis Lan Fang) dengan wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia yang beredar di Hongkong). Dia bernama Ida Permatasari yang lebih senang memakai nama Arsusi Ahmad Sama’in dalam tulisan-tulisannya (kebanyakan berupa cerpen). Perempuan asal Blitar itu yang sangat bersemangat memprovokasi perempuan buruh migran asal Indonesia di Hongkong untuk: menulis, menulis, dan menulis! Untuk mewadahi para penulis BMI itu, Ida lalu membentuk komunitas penulis BMId untuk saling asah dan asuh demi meningkatkan kualitas tulisan-tulisan mereka.

Kekaguman saya makin menjadi-jadi tatkala memasuki milis-group mereka. Banyak mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar memolesnya, pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman Sastra Indonesia.

Bagi para aktivis BMI, menulis ibarat pedang bermata banyak. Dengan memanfaatkan waktu luang dan waktu libur untuk menulis, mereka akan terhindar dari godaan-godaan yang bisa menjerumuskan ke jurang kenistaan panjang di perantauan.

Dengan menulis, para BMI juga bisa melakukan semacam terapi diri, menyalurkan “hawa buruk” berupa rasa rendah diri, frustrasi karena majikan terlalu cerewet, bahkan mungkin juga kasar, jahat, dan lain-lain, ke dalam tulisan. Apa saja bentuknya.

Dengan menulis, mereka juga bisa menyuarakan aspirasi, menentang secara cerdas tindakan-tindakan pihak lain: birokrasi, majikan, dan pemerintah, yang tidak adil terhadap mereka. Dalam kata lain, dengan menulis para BMI menolak untuk sekadar dicatat sebagai salah satu sumber devisa negara. Sebab dengan menulis mereka menjadi subjek yang berkuasa penuh atas apa yang hendak mereka goreskan.

Dengan menulis, para BMI yang oleh masyarakat awam dipandang golongan “hina”, babu, budak; melompat ke dalam “kasta” paling tinggi yang bisa dicapai seorang manusia.

Pertumbuhan dunia sastra di kalangan BMI itu diikuti oleh munculnya komunitas-komunitas sastra yang mewadahi mereka. Di Hongkong, menurut Ida, saat ini sedikitnya ada tiga komunitas BMI yang aktif di bidang penulisan. Yakni Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Caf?de Kosta yang dikomandani Ida Permatasari. Mereka telah membuktikan diri dengan bersaing secara bebas dengan penulis-penulis lain dari berbagai kalangan. Karya-karya mereka mulai bermunculan di media-media cetak, di dalam maupun luar negeri.

Selain Ida, beberapa penulis BMI juga sudah saatnya diperhitungkan namanya di jagat persilatan Sastra Indonesia. Sebut saja, misalnya, Lik Kismawati asal Surabaya, Wina Karnie dan Etik Juwita (Blitar), Tania Roos dan Mega Vristian (Malang), Hartanti (Ponorogo), Dian Litasari (Banyuwangi), Tarini Sorrita (Cirebon), Suci Hanggraini (Madiun), dan Atik Sugihati (Kediri). Karya mereka sudah bertebaran di banyak media.

Sekarang, apakah Anda tidak merasakan kejutan indah oleh berita ini: Seorang pramuwisma asal Cirebon yang kini bekerja di Hongkong telah menerbitkan buku kumpulan tulisan reflektifnya berjudul Big Question, Don’t Look Dawn at Domestic Helper. Tarini Sorrita, begitulah nama pena pramuwisma ini, langsung menulis dengan bahasa Inggris, dan atas bantuan temannya yang berkebangsaan Swiss, buku itu berhasil diterbitkan. Sayangnya tidak di Indonesia.

Pemerintah dan instansi terkait sudah selayaknya merasa bangga dengan kiprah para BMI itu. Jangan malah memandang mereka dengan mata curiga, karena dianggap: tidak selayaknya seorang babu mempunyai keahlian sebagai penulis. ***

*) Bonari Nabonenar, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, bersama Kuswinarto akan menjadi narasumber pada Workshop Penulisan bagi BMI-H (, 10 Juli 2005).

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►