Tuesday, August 23, 2011

PUISI DAN KAKI TANGAN SASTRA

Catatan Kurasi Sepuluh Kelok Di Mouseland

Timur Budi Raja

http://sastra-indonesia.com/



I.

Adalah suatu kenyataan yang menggembirakan, bahwa Sastra Indonesia, khususnya dunia kepenyairan dan penulisan puisi, sampai hari ini masih baik-baik saja. Tidak pernah mengalami ke-mandheg-an atau berhenti. Khazanahnya senantiasa bertambah, sejalan dengan lahirnya penulis-penulis muda yang kehadirannya cukup kontinyu dan intens mewarnai kelangsungan perjalanan hidup sastra Indonesia itu sendiri. Etos produktivitas dan pengembaraan dalam hal kekaryaan dapat dikatakan sangat tinggi.



Sebut saja nama-nama yang muncul dalam rentang waktu tujuh atau lima tahun terakhir ini; Mardi Luhung (Gresik), Didik Wahyudi (Surabaya), A. Muttaqin (Mojokerto), Alek Subairi (Madura), Ahmad Kekal Hamdani (Madura), Esha Tegar Putra (Padang), F. Aziz Manna (Surabaya), M. Faizi (Madura), Galih Pandu Adi (Semarang), M. Fauzi (Madura), Dian Hartati (Bandung), Musyafak Timur Banua (Semarang), Kurniawan Yunianto (Semarang), Whika Setiawan (Semarang), Adin Histeria (Semarang), Hanna Fransisca (Jakarta), Vivi Andriani (Semarang), Dody Kristanto (Surabaya), Ramon Damora (Kalimantan), Nurul latifah (Jogya), Rozi Kembara (Jogya), Dea Anugerah (Jogya), Fitri Yani (Sumatra), Nurel Javissyarqi (Lamongan), Muda Wijaya (Bali), Ni Made Purnama Sari (Bali), Pranita Dewi (Bali), Heru Emka (Semarang), Aan Mansyur (Makassar), Benazir Nafilah (Madura), Bode Riswandi (Tasikmalaya),…



Sebagian dari nama-nama yang saya sebut di atas, karyanya terhitung kerap dan pernah mengisi beberapa media yang ada. Sementara sebagian yang lain, karyanya tak terlalu sering muncul di media, tapi mereka cukup concern menghidupkan komunitas literer di lingkungan kebudayaannya.



Memandang peta kepenyairan akan menjadi lebih tepat, bila sejarah proses kerja kepenyairan beserta jejak-jejaknya yang riil diletakkan sebagai ukuran penekanan yang berada di level penting atas pembacaan. Setidaknya dengan begitu, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, membaca penyair yang karya-karyanya intens dimuat di media massa. Kedua, membaca penyair yang memiliki intensitas dan militansi di jalur kerja gerakan sastra.



Kedua motif dan cara pandang ini akan menjadi lebih menarik, bila masing-masing tidak sekedar mengedepankan persoalan isi dan kualitas teks-puisi yang dihasilkan. Apa lagi hanya dengan menetapkan media sebagai barometer peta kepenyairan. Kerja sastra, akhirnya tidak berhenti pada wilayah penciptaan dan publikasi semata. Di luar itu, faktor-faktor lain yang bersifat substantif, yang berpengaruh terhadap atmosfir apresiasi dan pertumbuhan karya sastra; seperti membangun komunitas literasi berikut menghidupkan mental attitude puisi yang direpresentasikan dalam bentuk laku kebudayaan konkrit, juga perlu ditempatkan pada posisi yang sama.



Kedua bentuk kerja kepenyairan seperti ini sama-sama berkontribusi terhadap perjalanan kelangsungan hidup sastra Indonesia, termasuk khazanah dan dinamikanya. Keduanya dapat bertemu dalam satu orientasi kepentingan, sekaligus secara bersamaan menciptakan pusaran gelombang yang berbeda; yang begitu angkuh berhadapan dan berpotensi saling menabrakkan.



Terlepas dari nilai apresiasi yang terbilang belum cukup serius dalam hal menempatkan puisi sebagai karya kreatif, yang jelas, puisi masih tetap ditulis dan penyair terus dilahirkan di antara medan peristiwa dan hegemoni realitas persoalan.



II.

Dipungkiri atau tidak, kelangsungan perjalanan hidup sastra Indonesia, menurut hemat saya bergantung kepada sinergitas mimpi dan usaha-usaha para pelaku yang tersangkut di dalamnya. Baik penyair, komunitas sastra, kritikus, penerbit, media, apresian, insitusi sastra, beserta unsur-unsur sistem lain yang saling melengkapi.



Asumsi beserta tudingan terhadap media sastra yang ada saat ini -yang konon kelahirannya dimotivasi sebagai sarana penampung publikasi pertumbuhan karya-karya sastra; seperti koran, majalah dan jurnal-, telah menjadi media yang dipolitisasi oleh orientasi lain di luar sastra (teks), tentu tidak bisa sepenuhnya disalahkan.



Asumsi ini lahir karena beberapa alasan pembacaan. Pertama; kenyataan yang ditangkap masyarakat sastra, terutama para penulis secara umum, bahwa media-media sastra yang ada, tampak sebagai representasi mesin komunikasi dan informasi kepentingan, yang dikendalikan oleh sosok atau kelompok-kelompok sastra dominan bertabiat rezim. Kedua; perbedaan selera estetika redaktur media antara satu dengan yang lain, yang tampak begitu mencolok dalam hal pemuatan karya, seperti menegaskan perbedaan kepentingan atas apa yang diperjuangkan masing-masing media itu sendiri. Ketiga; intensitas pemuatan karya penyair tertentu dan ternafikannya karya penyair lain, menimbulkan dugaan, bahwa selera estetika redaktur media bermain dengan kecenderungan ukuran like or dislike pada otonomi wilayah pemuatan.



Media sastra yang ada, kini tak lagi dipandang begitu banyak pengaruhnya dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Munculnya jurnal-jurnal sastra, buletin dan antologi-antologi komunal yang diterbitkan secara independen, adalah sekian amsal lahirnya media alternatif yang merepresentasikan runtuhnya mitos media-media besar.



Sarana aktualisasi dan pertukaran informasi seperti Blog, Facebook dan Twiiter di dunia maya, memberi andil yang cukup besar terhadap perkembangan Sastra Indonesia dewasa ini. Sastra Indonesia yang sebelumnya dirawat dan dibesarkan oleh media cetak, pelan-pelan bergeser dan menjadi lebih cair, sejak sastra mengenal dan memasuki dunia cyber.



Arus deras yang mendera realitas sastra kita, memang tidak serta-merta lahir dari rahim pikir dan laku sastra itu sendiri. Terdapat sebuah perhelatan besar yang didorong lajunya arus industrialisasi dan gempuran teknologi media, yang bermetamorfosis sedemikian cepat dan tak terbendung. Dan sastra Indonesia berkelindan di dalamnya mencari posisi yang ajeg dan mengatasi. Kenyataan-kenyataan ini menegaskan, betapa reproduksi kepenyairan mengalami adaptasinya yang mengejutkan dan tak terreka sebelumnya.



III.

Sajak-sajak di dalam antologi ini adalah anak-anak dari kelahiran sastra yang sedemikian. Mereka lahir dari ketegangan-ketegangan dua cara pandang sastra, media dan arus sosial gerakan sastra yang semakin luber. Ketika batas-batas lama dan kode etik sastra bertransformasi menjadi bentuknya yang kini.



Adalah hal musykil mencari bentuk kesebangunan estetik di antara banyak sajak yang lahir di dalam antologi ini. Meski perbedaan gaya ungkap dari 10 penyair yang terdapat di dalam buku ini tak terlalu spesifik, yang pasti, setiap sajak memiliki dunianya yang unik dan memiliki pertalian sejarah dengan larik-lariknya sendiri. Pertalian yang kemudian mencoba merajut diri di dalam antologi Sepuluh Kelok di Mouseland. Mereka; Arganita Widawati, Arif Fitra Kurniawan, Arther Panther Olie, Dalasari Pera, Husni Hamisi, Lina Kelana, Neogi Arur, Oekusi Arifin Siswanto, dan Reski Kuantan setidaknya bertemu dalam perbedaan tema.



Sebuah sajak, ternyata tidak sekadar ditentukan oleh pengalaman personal penyairnya. Ada perangkat-perangkat lain sebagai ukuran yang mengikuti dan mutlak. Pengalaman kebahasaan, pergaulan kreatif, dan perjalanannya diantara bacaan-bacaan lain. Sepertinya harus. Di sini sajak baru disebut ‘hadir’ sebagai sajak. Ia bergerak, berbicara dan membangun mimpi-mimpi penyairnya; hadir sebagai tafsir terbuka terhadap realitas –menjadikan realitas menjadi benar-benar berbeda-, atau hadir untuk memberi makna baru terhadap realitas.



Kehadiran yang membangun dunianya sendiri, yang seperti ingin mengatakan, bahwa lahirnya sebuah sajak tak perlu lagi diiringi oleh ritual-ritual yang didudukkan sebagai penjelas, yang seringkali justru tak membuat sebuah sajak menjadi lebih kokoh dan liat –baik secara tekstual, interpretasi pembacaan dan perjalanannya-.



Barangkali, disebab itu Barthes menganggap pentingnya perayaan terhadap kematian penyair. Seperti analog tentang keluarga –anak dan orang tua-, bagaimana pun ternyata, pada akhirnya anak-anak harus menemukan kehidupan dan memperjuangkan hidupnya sendiri.



Sekelumit catatan ini hanyalah sebentuk pintu kecil yang berusaha membuka tamasya menuju teks-teks puitik dalam antologi ini. Dan tentu saja, pembaca merdeka membikin pintunya masing-masing. Selamat membaca, selamat bertamasya![]



Bangkalan-Bojonegoro, 2011



0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►