Tuesday, August 23, 2011

BAHASA DAN KRISIS IDENTITAS

Muhammad Aris*

http://terpelanting.wordpress.com/



Konsep “identitas” pada pengertian ilmu psikologi, adalah suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, pada keyakinan yang pada dasarnya tetap tinggal sama selama seluruh jalan perkembangan hidup kendatipun terjadi segala macam perubahan. Erikson menambahkan bahwa pembentukan identitas adalah suatu proses yang terjadi dalam inti dari pribadi, dan juga di tengah-tengah masyarakat.



Sedangkan identitas dalam pengertian ilmu sosial adalah satu unsur kunci dari kenyataan subyektif dan sebagaimana semua kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial.



Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Secara luas pencarian identitas dalam perkembangan berikutnya, dari tinjauan budaya, menurut Kleden, berjalan seiring dengan usaha mencari identitas kelompok secara politis.



Identitas Bahasa



Hampir seluruh pengarang, baik yang bergerak dalam bidang prosa ataupun puisi, menggarap dan menonjolkan identitas yang menyangkut pola bahasa yang digunakannya secara intens. Salah satu yang menonjol adalah H.U Mardi Luhung. Pola bahasa yang digunakan oleh H.U. Mardi Luhung adalah pola bahasa yang silang-sengkarut seperti tidak beraturan dan cenderung membentuk pola bahasa baru. Penggunaan pola bahasa baru adalah upaya H.U. Mardi Luhung dalam merengkuh dan menghayati fenomena yang berkembang dalam lingkungan sosialnya. Bahkan daya responnya yang agak cepat menyebabkan ia harus berhadapan dengan hal-hal yang kompleks, seperti kompleknya ide-ide yang hendak disampaikannya.



Bait-bait puisi “Penganten Pesisir” dengan jelas mengambarkannya: … di depan para pesilat bertopeng monyet, celeng, macan, dan juga kancil berjumplitan , … aku datang dalam muasal bercinta, seperti dulu ketika kita sama-sama punya pagi, sama-sama mengumpulkan telur-telur sembilang, …



Diksi berjumplitan dalam kamus bahasa Indonesia jika kita mencarinya pasti tidak akan tertemukan. Diksi tersebut adalah diksi khas dari wilayah Gresik sub pesisiran, yang digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Secara denotatis, diksi tersebut dapat diartikan suatu kegiatan meloncat kesana-kemari.



Sedangkan diksi sama-sama adalah diksi yang diserap dari diksi bahasa jawa yaitu padha-padha. Diksi ini dipergunakan secara luas oleh etnis Cina, yang dapat diartikan sebagai diksi pembauran dari sebuah etnis minoritas. Diksi sama-sama yang diulang sampai dua kali menunjukkan upaya yang cukup keras dalam meraih angan-angan pembauran yang riil.



Contoh lain yang menggambarkan upaya pembaruan dari pengarang lewat diksi etnis Cina-Melayunya atau Cina perantauan dapat disimak dalam puisi “Terbelah Sudah Jantungku”: …lewati bidang dadamu, aku melihat hari-hari jadi seperti babi, mengendus-ngendus di gigir-pedang-tajam sambil, menyerahkan tubuhnya berdikit-dikit dibelah, …



Diksi berdikit-dikit adalah diksi yang khas diucapkan oleh etnis Cina-Melayu atau cina perantauan. Diksi ini adalah serapan dari diksi dalam khasanah bahasa Indonesia yaitu dari kata ulang sedikit-sedikit atau sedikit demi sedikit.



Bahasa yang dipergunakan oleh H.U. Mardi Luhung menuju pada definisi psikologi tentang keterpecahan/kebingungan identitas (split personality) atau dalam istilah yang lebih sederhana dan tepat adalah krisis identitas. Dan krisis identitas selalu berhubungan erat dengan krisis psiko dan krisis sosial.



Hal ini dapat disimak pada pengunaan kata ulang yang terkesan aneh. Seperti dalam puisi “Penerbangan Ikan Paus”: …sepucat warna tropika, dalam memungut-balik musim petik, yang telah lama, …



Dalam kaidah bahasa Indonesia atau penulisan dengan Ejaan Yang Disempurnakan, tentu tidak akan ditemukan kata ulang seperti diksi di atas. Secara EYD, yang benar adalah memungut-mungut. Tetapi penyair di sini menggunakan diksi memungut-balik, yang secara makna memang tidak ada bedanya, namun penggunaan diksi tersebut tidak lain karena dalam diri penyair terdapat sesuatu yang tarik ulur yaitu antara melepas sesuatu dan memungutnya kembali.



Dalam bait puisi selanjutnya dari “Penerbangan Ikan Paus” semakin menggambarkan keadaan tersebut: …dan akhirnya, diantara cuaca, yang ceriwis, kita pun melihat, gerak-terbang ikan paus makin lurus, …

Keterpecahan identitas bahasa juga tercermin dalam penggunaan tanda hubung untuk beberapa diksi sekaligus. Pada puisi “Terbelah Sudah Jantungku” dengan jelas terbaca: …lewati bidang dadamu, aku melihat hari-hari jadi seperti babi, mengendus-ngendus di gigir-pedang-tajam sambil, …



Penggunaan tanda hubung lebih dari dua kata biasanya merujuk pada apa yang dinamakan idiom. Idiom digunakan bertujuan untuk merengkuh makna yang lebih luas dan sekaligus fleksibel. Penggunaan idiom lewat tanda hubung yang mengunakan lebih dari dua diksi umumnya terdapat dalam khasanah bahasa Inggris, tetapi untuk khasanah bahasa Indonesia jarang terjadi. Dari segi psikologis bahasa, penggunaan idiom model di atas menunjukkan pengarang mengalami gangguan pikiran, yang tercermin dalam model berbahasanya.



Hal yang sama juga terdapat dalam puisi “Penerbangan Ikan Paus”: …lalu lewat lengkung ritmis, trisula-kemamang-bakau, ikan paus pun melesat, …, jadi menu-siap-santap, sampai, …



Diksi trisula-kemamang-bakau jika dipisahkan satu-persatu memiliki arti leksikal yang berbeda. Juga diksi menu-siap-santap, secara leksikal pun berbeda. Hanya saja, untuk diksi yang kedua ini masih ada kedekatan makna leksikal dibandingkan dengan diksi pertama.



Krisis Identitas



Kekacauan/kebingungan identitas atau krisis identitas yang dialami oleh H.U. Mardi Luhung adalah bawaan dari struktur keluarga yang “kacau”. Erikson menyatakan bahwa krisis identitas ini dapat diperkuat oleh keraguan mendalam terdahulu tentang identitas seksualnya dan tentang tempatnya serta nilainya dalam relasi-relasi primer keluarga. H.U. Mardi Luhung memberikan sebuah pemahaman di atas yang menyangkut dirinya dalam puisi “Terbelah Sudah Jantungku”: Aku diletakkan diantara dagingmu, yang digarami persetujuan dan perseteruan, aku mengambang diantara kejejakanmu, sambil menjilati garammu itu, lewati bidang dadamu, aku melihat hari-hari jadi seperti babi, mengendus-ngendus di gigir-pedang-tajam sambil, menyerahkan tubuhnya berdikit-dikit dibelah, …, aku memang milikku dan kau milikkukah?, aku memang pasir, laut, siwalan, ceruk, ikan?, kau apakah juga memang nelayan, jaring, perahu, kemudi?, Sang pasangan abadi yang tak pernah undur, …, jika begini, terbelah, ya, terbelah sudah jantungku dalam kegembiraanmu, itu, kekasihku.



Dalam puisi tersebut nampak jelas pergulatan H.U. Mardi Luhung menghadapi sesuatu yang menempatkannya pada posisi serba salah. Daging dapat diartikan sebagai anggota tubuh yang mewakili tubuh itu sendiri sekaligus sebagai suatu wilayah teritorial yang jamak, artinya wilayah pribadi yang dekat dengan wilayah personal dan emosional. Sedangkan diksi garam yang ditampilkan, secara denotatif dapat diartikan sebagai benda yang berhubungan dengan wilayah dapur, yaitu tempat memasak. Sifat dari garam adalah membuat asin dan memedih-rangsangi luka atau kulit badan. Dari dua diksi tersebut H.U. Mardi Luhung seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa wilayah personalnya mengalami sesuatu yang membingungkan. Satu sisi subyek lirik ditempatkan pada sebuah wilayah, namun di sisi lain dia harus berhadapan dengan garam yang tanpa memberi posisi baginya untuk memilih, sebab semuanya terletak pada kontradiksi antara persetujuan dan perseteruan. Maka secara terpaksa pula subyek lirik harus menjilati garam dan harus rela pula menyerahkan hari-harinya, sejarah dan cerita kehidupannya pada gigir-pedang-tajam dan berdikit-dikit dibelah.



Pada penutup puisi di atas, semakin nampak jelas H.U. Mardi Luhung mengalami krisis atau kekacauan identitas. Subyek lirik tak dapat lagi menolak segala yang perbuatan yang diperlakukan terhadap dirinya, segala diserahkan pada subyek yang mempengaruhinya. jika begini,/ terbelah, ya, terbelah sudah jantungku dalam kegembiraanmu/ itu, kekasihku…



Krisis identitas ini juga dapat diperparah oleh ketakutan menyangkut ketidaksanggupannya untuk menemukan peran orang dewasa dalam bidang pekerjaan, cinta atau status sosial-politis yang biasanya menyokong identitas aktual dan masa depannya. Dalam puisi “Dari Jalanan” berikut tercermin keadaan tersebut: Dari jalanan ketika kau bekerja cuma, dibayar dengan berita dan terpaksa, pulang dengan persiapan berkelahi dengan istri, …



Puisi di atas berhubungan dengan persepsi tentang kerja. Kerja dalam pandangan kaum kosmologi dipahami tidak mendapatkan tempat ataupun fungsi yang menentukan. Epistemologi lama pikiran kosmologis memperlihatkan bahwa tidak ada distansi antara manusia dan alamnya. Persepsi semakin mendorong masyarakat untuk tidak memberikan penghargaannya terhadap kerja dalam kehidupan sosial.



Tidak adanya penghargaan terhadap kerja tersebut kemudian ditentang oleh John Locke kemudian diteruskan oleh Adam Smith. Mereka mengartikan kerja sebagai kegiatan yang luhur dari manusia, bukan saja karena kerja manusia dapat bertahan hidup, tetapi kerja merupakan penciptaan manusia terhadap alam sekitarnya manjadi manusiawi. Namun dalam perkembangannya, persepsi kerja dewasa ini menuju kepada materialisme, karena kerja bukan mulai lagi dinilai sebagai realisasi ataupun pendewasaan diri manusia, tetapi semata-mata ditentukan oleh produktivitas ataupun kekuatan ekonomi.



Akibat lain dari krisis identitas adalah terjadinya alienasi. Pengaruh hubungan pribadi dengan lingkungan atau alam sosio-budayanya yang tidak sepadan dan serasilah yang menyebabkan situasi tersebut terjadi.



H.U. Mardi Luhung dengan cermat melukiskan rasa terasingnya menghadapi sesuatu yang begitu mencekam. Ada kesan telah terjadi traumatik sejarah sekaligus traumatik masa lalu dalam diri subyek lirik, di mana ketika suatu waktu subyek lirik pulang dari kepergian berlayar; dengan menjadi ujung tombak pelayaran –yang merupakan tradisi keseharian masyarakat pesisir–, seolah-olah diri subyek lirik bimbang untuk dapat mengenal siapa dirinya, siapa lingkungannya. Lingkungan yang biasanya aman tentram, tiba-tiba suasananya berubah. Keberubahan suasana yang teramat mandadak inilah yang menyebabkan diri subyek lirik manjadi begitu terasing. Subyek lirik yang merasa terasingpun hanya bisa bertanya; sebuah pertanyaan yang mungkin kepada dirinya sendiri, dan pertanyaan tersebut terus menerus diulang.



Efek lain dari krisis identitas yang dialami H.U. Mardi Luhung adalah pelarian diri. Menurut Fromm ada beberapa mekanisme pelarian diri dalam mengatasi perasaan ketidakpastian ketika berhadapan dengan kekuasaan besar yang berasal dari luar dirinya, yaitu: pertama, melepaskan integritas individunya dan menjadi orang lain. Kedua, menghancurkan segala dunia luar. Ketiga, penarikan diri dari dunia luar.



Dalam puisi “Pesisir Terakhir”, mekanisme pelarian diri merujuk pada kategori ketiga. H.U. Mardi Luhung menyadari bahwa keadaan lingkungan yang dengan cepat berubah seolah-olah tidak dapat berbuat banyak. Hal memaksa subyek lirik untuk membiarkan segalanya terjadi seperti kejadian alam. Dan seperti 20 tahun yang lalu/ kadar-kadar pun tetap berimbang.



Mekanisme pelarian diri kategori kedua juga direnggut oleh H.U. Mardi Luhung. Hal ini tampak dari puisi “Dari Kegelapan Dasar Lautan”:… kemudian ekor naga di hatinya, mengibas, terkibas pulalah setiap apa, yang diingatnya itu, …



Subyek lirik yang merupakan wakil H.U. Mardi Luhung rupanya tidak tahan dengan situasi yang melingkupi dirinya. Situasi yang membuat dirinya sulit untuk bernafas, maka tidak ada jalan selain memberontak, tanpa memperdulikan apakah nantinya keadaan atau sesuatu yang mengganjal dirinya tersebut hilang atau justru semakin kacau.



Tumbuhnya kesadaran untuk menciptakan pola bahasa atau struktur bahasa baru menunjukkan kemampuan kepengarangan di satu pihak dan menempatkan dirinya sebagai manusia profesionalis dan intelektual di dalam struktur sosialnya. Hampir semua materi yang digunakannya diberlakukan demikian bebasnya dengan maksud untuk mengembalikan hakikat struktur seni pada tempatnya semula, yakni dunia imajiner yang mampu menggambarkan kesadaran manusia yang kompleks.



*) Penulis lepas dan staff LePASS (Lembaga Pengkajian Agama, Sastra, dan Sejarah) dan Komunitas @rekpilem Surabaya. Lahir di Lamongan, 19 Agustus 1975. Karyanya berupa puisi, gurit, cerpen, dan esai dimuat di beberapa antologi bersama; Upacara Menjadi Tanah (1995), Adakah Hujan Lewat Di Situ (1996), Rumah Yang Kering (1997), Permohonan Hijau (Festival Seni surabaya, 2003), dan beberapa media antara lain: Karya Darma, Ummi, Annida, Mimbar Pembangunan Agama, Surabaya Post, Surabaya News, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Media Indonesia, Serambi Indonesia, dan Waspada. Antologi puisinya Ngilu Peju (GAPUS, 2000) diluncurkan dan dipentaskan di Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Antologi puisinya Manifesto Surrealisme (Galah, Yogyakarta, 2002) bersama W. Haryanto, Indra Tjahyadi, dan Mashuri, dibedah dan ditransfer ke dalam lukisan di beberapa kampus dan Dewan Kesenian Surabaya. Alamat : Rangge 6/37 Lamongan 62216 E-mail : bandeng_iwak@plasa.com



0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: BAHASA DAN KRISIS IDENTITAS Template by Bamz | Publish on Bamz Templates